Personal Assistant : WIFE!

Von GreyaCraz

3.9M 115K 6.2K

Di penghujung usia tiga puluh, Jemima akan melepas masa lajangnya. Ketika ia pikir tak memiliki alasan untuk... Mehr

1 : Overtime
2 : Visiting
3 : Sleepover
4 : Lipstick
5 : Marry
6 : Stalking
7 : Darya
8 : Mad!
9 : Suggestion
10 : Divorce
11 : Heart Beat
12 : See You
13 : Invitation
14 : Restless
15 : Hero
16 : Accepted
Open PO

17 SAH

86.6K 6.2K 495
Von GreyaCraz

Wanita itu pernah melihat bagaimana indahnya daun yang berjatuhan di Jepang ketika musim gugur. Saat itu ada kunjungan bersama Abyasa di pernikahan kolega yang paling Abyasa perhatikan karena dari sekian banyak orang penting di sekitar pria itu, kolega yang satu ini adalah yang paling mendukung majunya Abyasa menjadi direktur di Century Giant.

Semua terlihat begitu cantik bahkan meski itu adalah pertanda di mana pepohonan akan kehabisan banyak daun di tangkainya sampai musim semi berikutnya tiba.

Gugur yang paling indah.

Karena selain hal itu, tak ada yang menjadi lebih menawan, alih-alih menyakitkan.

Seperti yang Jemima alami saat ini. Mimpi yang ia rangkai satu persatu, berharap asa itu mampu membuatnya bahagia di kehidupan baru yang akan ia tempuh satu persatu jatuh berguguran hingga rasanya tak lagi bersisa.

Mimpi-mimpi yang sempat ia ceritakan pada pria yang malah tinggalkan dirinya tanpa kata tepat di hari yang ia kira akan menjadi hari paling membahagiakan, namun kini jangankan mengulang lagi mimpi yang telah ia sulam. Mengingatnya saja membuat Jemima tak sanggup bahkan untuk bernapas dengan normal.

Kesedihan terus menaungi dirinya seperti mendung yang hanya akan memberikan tangis.

Kisahnya berujung tragis. Semua asa beralih menjadi putus asa.

Sekarang dengan pilu yang harus disembunyikan karena enggan menambah beban di hati orangtua yang masih berduka meski hari besar yang telah mereka rencanakan tak sepenuhnya gagal, Jemima yang tak mampu mengangkat kepala duduk di samping pria yang bahkan tak pernah sama sekali ia bayangkan akan menjadi pendampingnya.

Sekalipun tak pernah ia bayangkan hal itu karena bukan masalah layak tak layak melainkan Jemima masih memikirkan usia yang ingin panjang. Tapi ... Tuhan sepertinya memang suka membuat ia tersiksa. Bukannya menjauhkan mereka, hari ini Abyasa malah menjabat tangan ayahnya.

Terasa susah menelan ludah setelah sang ayah selesai mengucapkan akad tanda jika ia menerima putrinya dipinang oleh pria yang diharapkan menjadi imam dalam rumah tangga, Jemima yang merasakan keringat kian banjiri telapak tangannya, spontan menggenggam jemari pria di sampingnya yang baru akan membuka mulut untuk ucapkan ijab kabul.

Dengan kepala yang senantiasa tertunduk, ia remas jemari Abyasa yang terdiam, urung melafalkan janji sucinya. Wanita itu masih berkalung ragu, namun ia bahkan tak mampu tuk hentikan apapun meski jeda yang Abyasa ambil untuk tak secepatnya menghalalkan Jemima untuknya, mencipta rasa heran disertai suara-suara berbisik yang terdengar dari para tamu yang menyaksikan.

Sementara itu Abyasa yang tahu betul jika Jemima sama sekali tak inginkan ini terjadi dan barangkali sampai kapanpun tak akan pernah menghendaki ia menjadi suami wanita ini, menunduk untuk melihat kepalan tangannya yang berada di atas paha yang kini diselimuti oleh jemari Jemima yang terasa bergetar.

Tetap bungkam untuk memberi waktu Jemima sampai risau itu berkurang, suara panggilan dari Wiono di depannya membuat ia melihat ke arah pria berkumis tebal itu.

"Kenapa, nak?"

Menggeleng samar disertai senyum tipisnya untuk hapus rasa cemas di wajah calon mertua, Abyasa yang duduk bersila lalu mencondongkan tubuh ke arah Jemima yang tak kunjung lepaskan genggaman di punggung tangannya, membuat selendang yang menutupi kepala keduanya jatuh ke sisi bahu masing-masing.

"Boleh aku ucapkan sekarang?" izinnya pada wanita yang tak sama sekali menutupi perasaan enggan karena menikah dengannya sambil memperbaiki posisi selendang putih agar kembali tersampir di kepala mereka.

Saat ini Abyasa merasakan sakit sedang menghukum hatinya karena penolakan yang wanita ini perlihatkan rasanya jauh lebih buruk daripada ketika Jemima mengatakan ingin menikah.

Perlahan netra dengan iris berwarna senada milik mereka beradu, Jemima yang sesaat diam untuk berpikir hal yang tak akan menemukan solusi lain, lantas mengangguk sebelum palingkan wajah ke arah penghulu namun saat gelegak kesedihan masih mengurung hatinya, desir darah terasa panas saat jemari yang tadi berada di atas tangan Abyasa kini berpindah dalam remasan lembut pria itu.

Sesungguhnya Jemima tak pernah membenci pria ini karena Abyasa adalah salah seorang yang begitu ia hormati. Hanya saja ... Dia tak menginginkan sebuah pernikahan terpaksa apalagi gagalnya pernikahannya dengan Darya menjadi keuntungan bagi Abyasa untuk menguasai dirinya.

Wanita itu hanya akan semakin menderita karena bukan lagi dua belas jam ia bekerja untuk Abyasa melainkan dua puluh empat jam penuh tanpa jeda jika melanjutkan pernikahan ini dengan mantan atasan yang akan kembali jadi atasan alih-alih seorang suami.

Huh ... Tapi tak ada solusi.

Sekarang Jemima benar-benar ingin menangis tapi bukan karena perginya Darya. Perseta dengan pria itu!

Jemima ingin menangis. Menangisi nasib buruknya yang akan makin buruk setelah ini.

Ya Allah....

Batinnya lantas merintih.

Hamba tidak mau mati muda.

Jemima sedih sekali.

"Saya terima nikah dan kawinnya Jemima Pratista binti Wiono Tirtorejo dengan mas kawin tersebut tunai!"

Kali ini terpejam dengan tekanan kuat di dada yang membuat ia sesak, Jemima yang mendapatkan remasan kian kuat di jemarinya dari Abyasa yang masih berjabatan dengan Wiono, merasakan kosong di kepala yang tak tahu lagi harus memikirkan apa terlebih ketika kata sah dan Alhamdulillah saling bersahut-sahutan di sekililingnya.

Sah!

Sudah sah!

"Karena buku nikahnya harus dibuat ulang, secepatnya kalau bisa langsung segera diurus, ya?" Pak penghulu bersuara.

Abyasa merasakan sengatan hangat di balik dada setelah dengan begitu lancar ia ucap ijab kabul tuk menjadikan Jemima miliknya selamanya, kemudian untuk yang pertama kali hari ini tersenyum tanpa secuil culas, beban atau keterpaksaan membuat banyak pasang mata yang melihat yakin jika pernikahan ini memang dirinya lah yang mau.

Tapi itu benar.

Pernikahan ini Abyasa yang menginginkan atau lebih tepatnya memiliki Jemima adalah impiannya sejak awal.

"Sekarang pakaikan cincinnya, ya?" Terdengar suara dari salah seorang pria yang duduk di samping penghulu.

Karena tak ada berkas apapun yang perlu Abyasa tandatangani, maka proses berikutnya adalah pemasangan cincin yang terasa seperti pengikatan hidup Jemima ke dalam penjara milik Abyasa.

Membuka takut-takut kelopak matanya, Jemima lalu gulirkan bola mata ke arah sekotak perhiasan yang Abyasa bawa. Pria itu berkata benda berharga itu awalnya akan dijadikan kado tapi ... Bukankah itu terlalu mewah untuk sekadar kado?

Melihat jemari besar pria itu perlahan mengambil satu cincin putih bertahtakan permata berwarna senada yang terlalu bersinar hingga tadi saat Abyasa tunjukkan benda itu--sebagai mahar--banyak decak kagum yang terdengar.

Benda itu terlalu mencolok.

Tapi Jemima bahkan tak bisa protes karena dalam kondisi kacau begini ia enggan makin kacau jika sampai mendengar jargon menjengkelkan Abyasa; "Kamu ngatur-ngatur saya?!"

Melihat pada Abyasa yang menyodorkan cincin ke arahnya, segurat mimik kelam tampak di wajah Jemima karena ia temukan senyuman Abyasa yang terlalu cerah hingga terasa seperti siksaan untuknya.

Dari senyuman yang bisa mengecohkan siapapun itu, Jemima tahu jika ada rencana yang tengah Abyasa rencanakan untuk memeras keringatnya!

Tiran sialan ini!

Duduk berhadapan namun dengan sorot yang berbeda karena penyesalan serta keterpaksaan tampak di pendar tatap Jemima sedang bahagia beserta segaris culas tampak di pendar bening Abyasa, pria itu lalu berbisik. "Tersenyumlah." Bibirnya bergerak samar. "Aku menikahi kamu." Senyum Abyasa semakin lebar. "Bukan berniat membunuh."

Tentu. Abyasa tak akan membunuh Jemima namun membuat wanita itu tertekan hingga rasanya ingin mati saja.

Tak ingin menjawab apapun karena bukan saat yang tepat untuk mendebat Abyasa dan lagi pula ia tak seberani itu sih, Jemima lantas mengembangkan senyumnya namun itu tak sampai ke netra yang malah menyorot tajam.

Tak ikhlasnya terlihat sekali.

Menyodorkan tangan kanan sebelum Abyasa protes karena telah membuat pria itu menunggu, Jemima dengan derap jantung yang nyaris meledak menahan napasnya ketika cincin indah itu melingkar di jemari manisnya.

Sudah.

Terikat sudah dirinya.

"Cium keningnya dan tahan, ya." Seorang fotografer lalu mengarahkan pose untuk Abyasa dan Jemima yang malah saling mengunci pandang.

Cium?

Tiba-tiba Jemima terengah seolah baru saja berlarian.

Abyasa akan menciumnya.

Si bosnya ini?! Manusia yang merupakan peranakan setan dan kera?! Si ahli neraka?!

Tidak mungkin!

Pria ini adalah Abyasa!

Atasannya dan pria itu tak akan menciumnya, kan?

Abyasa tak mungkin menciumnya!

"Tutup mata kalau bagi kamu ini sangat menakutkan."

Meski terkejut mendengar penuturan Abyasa, namun Jemima tak menunggu perintah dua kali, karena wanita yang tak sadar telah menunjukkan ketakutan itu langsung rapatkan kelopak matanya yang detik itu membuat pria di hadapannya ini memaki dalam hati.

Jemima sialan!

Akan ia buat wanita ini membayarnya nanti malam.

Lihat saja!

*

Proses pernikahan yang memakan waktu berjam-jam. Pukul empat sore akhirnya semua selesai tanpa banyak yang tahu jika pernikahan ini nyaris saja gagal atau menyadari kalau pengantin pria telah ditukar.

Tapi sosok Abyasa yang terlihat begitu gagah mendampingi Jemima, mencipta decak kagum dari beberapa tamu karena sosoknya yang tinggi dengan tatap tajam itu seperti mengirim para wanita menuju dunia imajinasi di mana Abyasa lah objek fantasinya.

"Ayo ganti baju, mba." Salah seorang anggota penata rias menghampiri Jemima yang baru meneguk air putih karena merasakan dahaga kering setelah hampir seharian ia dipaksa untuk tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

Menyeka pelan bibirnya yang basah sambil melihat Abyasa, wanita itu menggeleng heran karena pria yang tak ia sangka parasnya berkalilipat lebih tampan ketika menggunakan beskap beludru berwarna hitam dan blankon itu masih sangat sempat memeriksa laporan kerja yang katanya baru dikirim Ikhsan.

"Bapak--"

"Nanti kamu periksa ini, ya?" Lalu belum Jemima selesaikan kalimatnya, Abyasa sudah menyodorkan file Excel di ponsel pria itu.

Jemima menahan diri untuk tak memutar bola matanya. Orang-orang yang melihat bagaimana interaksi mereka sejak tadi terus berkata; "Kalian loh keliatan lebih akrab dibanding sama yang kabur. Lebih cocok! Pengantin paling ganteng dan ayu. Pantes disanding berdua." Tapi kenyataan yang tak mereka ketahui adalah apa yang Jemima dan Abyasa obrolkan sejak tadi hanya seputar pekerjaan saja.

"Ayo, mba." Tak gubris Abyasa yang kepalanya mengikuti gerak Jemima yang berdiri, wanita itu lalu pergi dibantu Jenar dan kru penata rias yang memegangi ekor bajunya.

Ditinggalkan sendirian, Abyasa yang menahan lidah sejak tadi untuk tak memuji karena Jemima terus memberi kejutan dengan kecantikan wanita itu yang tampak berbeda dari biasanya perlahan mengulum senyum.

Dia tak berniat merusak hari pernikahan mereka dengan membahas pekerjaan. Hanya saja Jemima sering ia dapati tengah merenung diam, maka ia harus mencari cara agar otak wanita itu bekerja dan tak ada kesempatan untuk memikirkan kesedihan karena ditinggal oleh si pengantin pria yang semestinya berdiri di posisi Abyasa kini.

"Mas, monggo diganti pakaiannya. Biar ndak gerah." Salah seorang pria hampiri dirinya dan Abyasa pun mengangguk sebelum ikut turun dari panggung.

Sebenarnya dia lelah dan juga pusing. Berjam-jam hanya bolak balik duduk dan berdiri disertai senyum yang harus terpatri.

Berjalan sendirian menuju kamar Jemima, Abyasa yang kesusahan melangkah karena jarik yang dikenakan itu harus menahan colekan para nenek-nenek di pipinya.

"Buaguse bojone Mima iki jan."

Uuuh dia tak tahu apa yang diucapkan si manusia renta ini dan tak ingin tahu juga. Abyasa yang tak menggunakan kacamata dan membuatnya makin pusing ini hanya ingin segera tiba di kamar Jemima dan membuka baju tebal serta jarit sempit sialan ini!

Entah apa yang dipikirkan banyak manusia yang begitu suka mengadakan acara pernikahan semerepotkan ini. Sialan! Sekarang pun ia malah berada di posisi yang menjengkelkan ini.

Hanya mampu menyengir itu pun terpaksa, Abyasa lalu diselamatkan oleh ibu mertua yang memberi ia jalan agar masuk ke kamar. Menggunakan kesempatan, Abyasa menjinjing ke atas jarik coklat yang ia kenakan hingga menunjukkan celana panjangnya yang sengaja tak ia lepas.

Terlihat begitu bodoh dengan penampilan seperti ini, tanpa peduli tawa geli orang yang melihatnya, Abyasa langsung membuka pintu kamar Jemima tanpa permisi. Namun ketika melihat apa yang ada di hadapan, pria itu terpaku dengan kerongkongan yang seketika itu kerontang.

Di depannya Jemima hanya mengenakan bra dan jarik yang sedang dilucuti. Kulit putih di area tersembunyi milik wanita itu yang selama ini tak mampu dirinya lihat, terpampang jelas membuat Abyasa tak mampu berkedip.

Itu terlalu indah.

Sial! Sayangnya pemandangan menawan itu hanya berlangsung beberapa detik saja sebelum pekik nyaring Jemima terdengar disusul sebuah kain yang dilempar ke wajahnya.

"Bapak ngapain?!" Jemima cepat-cepat meraih selimut untuk tutupi tubuhnya.

"Duuh mba Mima! Itu suaminya." Wanita yang membantu Jemima melepasi baju lalu bersuara sambil meringis kasihan pada si pengantin pria yang wajahnya tertutup kemeja putih milik pria itu sendiri.

Tapi Jemima bahkan tak peduli karena ia masih menganggap Abyasa sebagai atasan tiran!

Menarik turun kemeja dari wajahnya, Abyasa lantas hunuskan tatapan berang ke arah Jemima yang malah sibuk sendiri dengan selimut yang harus menggulung sempurna tubuhnya agar tak ada celah bagi Abyasa melihat tubuh setengah telanjangnya.

"Boleh kami berdua dulu?" tanya Abyasa datar.

Jemima yang mendengar ucapan pria itu lalu menggeleng tapi orang-orang yang bersamanya satu persatu berpamitan keluar membuat Jemima berdecak sebal.

"Bapak lain kali ketuk pintu!"

"Siapa yang tidak menguncinya?" Pria itu menghapus jarak antara dirinya dan Jemima yang masih memberengut kesal. "Kalau yang buka pintunya laki-laki lain bagaimana?"

"Satu-satunya orang yang masuk tanpa ketuk pintu itu hanya bapak!"

Pandangan Abyasa lantas menyempit. Berdiri menjulang tinggi di hadapan Jemima, ia menggulirkan bola mata ke bawah untuk melirik wanita yang seketika dikerubungi rasa takut.

Apa barusan Jemima membentak Abyasa?

Wanita itu mengulang-ulang sendiri nada yang ia kenakan untuk menegur Abyasa.

Duh ... Berani banget sih, Mim?

"Kamu semakin berani, ya?"

Nah kan!

Abyasa pun menyadarinya.

Mengerjap terlalu cepat hingga siapapun yang melihatnya tahu jika Jemima kini tengah gentar, wanita itu lantas mendesis sebelum mendorong tubuh Abyasa ke belakang.

Mengapa pria itu semakin mendekatinya?

"Ini bukan di kantor. Jadi apa harus tetap menjaga sopan santun?"

Lawan! Ngga apa-apa lawan aja, Mim!

Pandangan kembali jatuh pada titik yang tadi membuat liurnya hampir menetes, Abyasa lantas menyeringai. "Tidak, sih." Lalu ia telan salivanya ketika membayangkan lagi pemandangan indah yang ia lihat tadi.

Tubuh berisi Jemima yang tetap memiliki lekuk tubuh sempurna, semakin indah dengan sepasang dada yang ... Itu tadi cukup besar, kan? Bahkan bra hitam yang Jemima kenakan tak menutup sepenuhnya daging kenyal itu.

Huh ... Sekarang jantung Abyasa bergemuruh kencang hanya memikirkan bagaimana jika ia menyentuh sepasang daging kenyal itu?

Sial!

Karena tak ada lagi batasan seperti yang sudah-sudah, Abyasa ragu jika ia bisa menahan diri untuk tak langsung menerkam Jemima.

"Bapak! Matanya ke mana?!" Sepertinya sadar dengan arah tujuan netra Abyasa yang malah berlagak lugu itu, Jemima makin merapatkan selimut di bagian dada.

Abyasa lalu berdecak. "Apa sih yang sedang kamu tutupi? Itu cuma daging." Daging yang akan menjadi mainannya sebentar lagi.

Jemima menghisap bibir bawahnya sambil menggeleng. Terserah lah dengan apapun yang Abyasa katakan. "Silakan bapak ganti baju dulu," ucapnya kemudian.

Mencebik samar, Abyasa lalu mengangguk tanpa protes. Ajaib sekali. "Oke." Langsung membuka beskap yang ia kenakan tanpa kesusahan, pria itu mencetak seringai.

"Eeh?"

Jemima terbelalak kaget sebelum buru-buru berbalik badan.

Pantas saja pria ktu langsung gerak cepat saat diminta untuk ganti baju.

Jemima kesal sekali hingga ia tak hentinya memaki dalam hati Namun Abyasa malah menahan senyuman geli.

Padahal hanya bagian atas saja yang telanjang dan itu juga sudah biasa wanita ini lihat, kan? Lalu mengapa merona begitu?

Langsung menggunakan kemeja putih miliknya tapi tatapan lapar terus tertuju ke tubuh bagian belakang Jemima yang sanggulnya telah lepas dan rambut wanita itu kini berantakan seperti singa namun bagi Abyasa, Jemima tetap menggoda. Pria itu lalu angsurkan kepala menuju bahu wanita itu. Nyaris dagunya bersandar di sana sampai membuat Jemima berjengit kaget dan buru-buru berbalik namun itu malah menjadi tindakan salah karena wajah Abyasa langsung menyambut dirinya.

Abyasa sepertinya ingin membunuh Jemima dengan serangan jantung tiba-tiba.

Semakin terkejut, Jemima melangkah mundur secepat yang ia bisa, namun baru dua langkah, kakinya malah membelit selimut yang membuat tubuhnya jatuh ke belakang, beruntung ranjang lah yang menyambutnya.

Jika tidak ... Ini bukan lagi lelucon jika ia terjengkang di depan Abyasa. Apalagi pria itu bahkan tak terlihat ingin menolongnya.

"Bapak keluar!"

Mengusir dengan wajah ia tutupi dengan selimut, Jemima yang hanya pedulikan rasa khawatirnya jika Abyasa melakukan hal yang sama sekali tak ia inginkan, tak sama sekali menyadari jika tubuh bagian bawahnya kini tersingkap hingga menampilkan kulit perut beserta pusar yang membuat Abyasa mengerang ketika hasrat seolah tak mampu terbendung lagi.

"Sial Jemima!" Pria itu tiba-tiba mengumpat.

"Bapak tolong jangan--"

Tidak!

Kata-kata wanita itu tertelan ketika ia rasakan tekanan dari sisi kiri kanan tubuhnya. Memberanikan diri untuk mengintip, ia dapati Abyasa sudah mengapit tubuhnya dengan posisi membungkuk.

Dapat Jemima rasakan hela napas memburu Abyasa yang sama dengan hela napas terengahnya.

"Berhentilah menggodaku!" Pria itu menggeram. "Paham?"

Jemima yang menahan tangis di ujung tenggorokan itu lalumenggeleng.

Dia tak merasa menggoda Abyasa dan tak akan pernah lakukan itu.

Dia berjanji.

Sekali lagi turunkan pandangan menuju dada Jemima yang turun naik dengan cepat di balik selimut merah muda itu, Abyasa segera pijakan kaki ke lantai kembali sebelum anak orang pingsan di bawah tubuhnya. "Aku gerah."

Jemima yang merasa tubuhnya tak lagi berada dalam penjara Abyasa perlahan menurunkan selimut yang menutupi wajah. Ketika ia lihat Abyasa sudah berdiri, baru ia duduk dengan cepat dan seperti kepompong, ia balut tubuhnya dengan selimut semakin rapat.

Abyasa tak bisa menahan dengkusan geli melihat Jemima yang kini hanya tampak wajahnya saja.

Sial!

Wanita itu jadi makin menggemaskan.

"Bapak jangan bikin saya takut lagi!" protes wanita itu dengan nada tersengal.

Menyugar rambutnya ke belakang, Abyasa lalu kenakan kaca matanya dengan seringai culas yang selalu Jemima benci karena senyum itu selalu menjelaskan pada Jemima jika dia selalu kalah dibandingkan Abyasa.

"Saya mau mandi."

"Ngga ada yang larang bapak mandi!" Wanita itu menjawab dengan nada tinggi namun Abyasa yang tahu jika Jemima melakukan itu hanya untuk tak perlihatkan jika Jemima telah berhasil ia intimidasi, mencebik samar.

Tak akan ia tegur bentakan Jemima kali ini.

"Saya juga mau pipis. Saya menahannya dari tadi."

Hanya mendengar kata pipis saja Jemima lalu merona. Lagi.

Ia buang wajah dari tatapan geli Abyasa yang ia tahu sedang begitu berjaya karena berhasil mengerjainya. "Pipis tinggal pipis. Memangnya di rumah saya ngga ada kamar mandi?!"

"Mana saya tahu?" Untuk sholat siang tadi saja Abyasa berpamitan ke mushola di dekat rumah Jemima. Jadi mana ia tahu kamar mandi di rumah ini.

"Ya bapak kan bisa tanya." Masih berbicara tanpa melihatnya, Abyasa yang makin gemas lalu menggeser tubuh ke arah palingan wajah Jemima.

Kontan saja wanita itu berjengit kaget namun tak sampai membuat ia jatuh seperti tadi.

Tidak.

Tadi itu karena selimut yang membelit kakinya.

"Ba ... Bapak, bapak mau apa lagi?"

"Antarkan saya."

Mulut yang masih menempel gincu merah itu langsung menganga bersama desahnya. "Pak--"

"Terlalu banyak orang dan kamu tau, kan?"

Jemima menggeleng ragu sambil hindari tatapan Abyasa lagi namun tidak dengan palingkan wajah. Ia hanya liarkan bola mata yang tak langsung bertemu dengan tatap seduktif Abyasa.

"Saya ini pemalu."

Tepat kata pemalu keluar dari mulutnya, Jemima yang tak bisa mengontrol rasa tak percaya itu menatap Abyasa dengan bola mata membulat. "Bapak pemalu?!"

Bahkan dilihat dari mars pun Abyasa masih tampak tak tahu malu!

Tbc....

Sepanjang ngetik aku ga berhenti ikut senyum2 sendiri. 🤭🤣

With love,
Greya

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

180K 20.5K 74
Ini Hanya karya imajinasi author sendiri, ini adalah cerita tentang bagaimana kerandoman keluarga TNF saat sedang gabut atau saat sedang serius, and...
590K 42K 28
"Ikutlah kami ke mansion," "Maaf om ada lilin yang harus saya jaga," ◇~◇~◇ Seorang pemuda yang bernama Faziello XC hanya tinggal berdua dengan ibunya...
87.2K 9.3K 16
[Content warning!] Kemungkinan akan ada beberapa chapter yang membuat kalian para pembaca tidak nyaman. Jadi saya harap kalian benar-benar membaca ta...
649K 33.4K 42
Ini adalah sebuah kisah dimana seorang santriwati terkurung dengan seorang santriwan dalam sebuah perpustakaan hingga berakhir dalam ikatan suci. Iqb...