Personal Assistant : WIFE!

By GreyaCraz

3.9M 115K 6.2K

Di penghujung usia tiga puluh, Jemima akan melepas masa lajangnya. Ketika ia pikir tak memiliki alasan untuk... More

1 : Overtime
2 : Visiting
3 : Sleepover
4 : Lipstick
5 : Marry
6 : Stalking
7 : Darya
8 : Mad!
9 : Suggestion
10 : Divorce
11 : Heart Beat
13 : Invitation
14 : Restless
15 : Hero
16 : Accepted
17 SAH
Open PO

12 : See You

65.2K 5.8K 230
By GreyaCraz

"Ya sudah, Mima. Tidur, ya? Besok berangkat pagi, kan?"

Menatap lurus dengan binar lembutnya, Jemima yang sedang berbincang dengan si manis Darya, lalu mengangguk. "Besok berangkatnya santai sih, mas. Cuma harus ke kantor dulu. Mau pamitan."

"Iya. Pelan-pelan nyetirnya. Jangan bergadang loh, ya." Jemima mengangguk lagi. Dari enam orang yang pernah menjalin hubungan dengannya, Darya--yang ke enam--adalah yang paling lembut menurutnya. "Assalamualaikum, Mima."

Masih dengan senyum anggun yang tak pernah lekang dari wajah tiap berbincang dengan Darya, Mima lalu menjawab salam sebelum mematikan panggilan dari Darya yang menghubungi ia pukul sembilan malam tadi dan tak terasa mereka berbincang selama satu jam.

Satu jam yang terasa lama sesungguhnya, karena Jemima yang harus mencari topik pembicaraan. Darya, pria yang terlihat tak banyak bicara itu lebih memilih untuk mendengarkam daripada banyak cerita tentang kehidupan pria itu yang lebih banyak ia dapatkan dari Santika, adik Darya yang merupakan teman Jenar.

Tapi untungnya wajah Darya cukup enak dipandang. Jadi dia tak bosan.

Membaringkan tubuh, Jemima yang harus merias wajahnya lebih dulu sebelum menerima panggilan dari Darya yang rutin menghubungi ia setiap hari itu lalu mendesah susah saat benaknya mengingatkan ia untuk segera membersihkan wajah sebelum benar-benar malas.

Kata Jenar, Jemima saat ini sedang dalam proses malu-malu kucing menjijikkan. Ya barangkali karena sudah lama tak menjalin hubungan dengan pria karena manusia berpentungan hansip yang sering berinteraksi dengannya hanya Abyasa saja sampai Jemima lupa bagaimana rasanya mempunyai seseorang yang memperhatikan ia bak belahan jiwa, lalu saat kemudian berhubungan dengan Darya ia selalu ingin terlihat sempurna.

Karena itu sebisa mungkin, ketika akan berbincang dengan Darya yang selalu meminta panggilan video itu, Jemima harus merias wajahnya terlebih dulu. Tidak dengan bedak tebal, tapi yang penting tak tampak lusuh seperti bagaimana biasanya ia ketika ada di kos-an.

Jemima butuh pernikahan ini terlebih lelaki itu adalah Darya yang dari reviewnya saja terdengar begitu menarik. Jadi selain harus menjaga tampilan di depan calon suami, Jemima bahkan menjaga caranya tertawa dan tersenyum.

"Ah ... Yang penting nikah, Mima." Tak apa jika ia terkesan memberi kepalsuan, asal dia dan Darya berakhir di pelaminan, mengubah sifatnya pun ia rela.

Sepertinya dia memang sangat ingin keluar dari neraka yang membelunggunya saat ini, ya? Sebenarnya jika keluar tanpa harus ada alasan menikah pun bisa saja. Tapi Jemima sudah lelah bekerja. Sudah tak mau menguras tenaga demi sesuap nasi untuknya dan keluarga. Jadi bukan asal ingin lepas dari Abyasa saja, tapi harus ada seseorang yang sukarela menampung dirinya, membantu ia lunasi kreditannya, lalu tak menuntut ia untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Ya ... Orang yang menyanggupi beberapa syarat yang ia ajukan itu hanyalah Darya.

Pacar terakhirnya saja mengaku enggan. Memang sih, dia disuruh untuk di rumah saja daripada bekerja. Tapi belum apa-apa sudah meminta Jemima untuk membantu pria itu dengan tabungan Jemima. Sudahlah banyak mengatur, banyak mintanya pula!

Berbeda sekali dengan Darya. Meski rasa yang ia punya pada pria itu baru sebatas kagum saja, tapi ia sudah cukup bangga karena Darya yang tak banyak bicara itu selalu mengiyakan pintanya.

Duuh ... Manis sekali, kan?

Semoga saja apa yang ia lihat dan dengar tentang Darya bukan kamuflase seperti dirinya yang selalu ingin tampil sempurna di depan pria itu. Tapi yang ia lakukan tak merugikan Darya. Tapi kalau sampai Darya yang menipunya ... Sudahlah. Hancur hidup Jemima.

Segera bangkit, usir semua bayangan buruk yang selalu terkadang menimbulkan rasa ragu, Jemima yang begitu mengantuk lalu memandang koper baju yang sudah terisi penuh.

Barang-barang lainnya yang tak bisa ia bawa pulang, rencananya akan ia jemput selepas menikah. Sekalian bulan madu ke Jakarta, pamerkan suami pada rekan kerja yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.

Huuh ... Agak berat ternyata, ya?

Apalagi dia sudah bergabung selama sepuluh tahun di Century Giant, kenal banyak orang dan mendapat saudara tak sedarah yang begitu mengerti akan dirinya.

Tapi pertemuan dan perpisahan bukankah memang bagian dari perjalanan hidup?

Jemima hanya harus menjalaninya saja. Toh takdir selanjutnya yang akan ia jalani ini adalah bagian yang begitu ia impikan sejak dulu.

Menikah. Mendapatkan pria yang bisa bertanggung jawab sepenuhnya akan hidupnya.

Menyenangkan sekali.

"Selamat tinggal Jakarta." Lagi, ia hempaskan tubuhnya ke ranjang. Sepertinya ia tak akan jadi membersihkan wajahnya. "Selamat tinggal para Pejuang Kebebasan."

Lalu mengambil bantal dan memeluknya erat. Sesaat, pikiran berkelana pada sepuluh tahun yang ia habiskan lebih banyak dengan satu orang saja.

"Selamat tinggal pak Aby." Nada suara lantas merendah.

Abyasa....

Sepertinya dia tak akan pernah berjumpa dengan pria itu lagi.

Pria yang selalu mengganggu hidupnya itu ... "Lo ngga sedih kan, Mima?!" Wanita itu lalu berdecak kesal.

Untuk apa ia pikirkan Abyasa, sih?

Tanpa dirinya pria itu pasti baik-baik saja!

"Tapi nanti dia hadapin pak Bara sendirian."

Kasihan.

Yah ... Sekesal apapun Jemima pada pria itu, dia juga tetap punya rasa peduli apalagi Abyasa lah yang membuat hidup keluarganya sejahtera meski sebagai gantinya ia lah yang dibuat seperti sapi perah.

Drrrttt!

Merasakan getar ponselnya ketika hati sedang meratapi Abyasa yang pasti akan merasa kehilangannya, meski pria itu berlagak baik-baik saja sejak ia berpamitan untuk keluar, Jemima lalu membawa tangannya ke atas, mencari-cari ponsel yang tadi ia taruh di atar ranjang.

Dapat!

Benda itu ada di dekat kepala ranjang.

Mengubah posisi jadi tengkurap, keningnya mengeryit dalam saat melihat layar ponsel yang menampilkan nama Pak Abyasa.

Pria itu menghubungi ia selarut ini.

Tak heran sih karena hal seperti ini sudah biasa terjadi. Tapi mengingat dirinya besok sudah akan pergi, pasti pria ini ingin mencoba untuk menahannya agar tak jadi mengundurkan diri.

Uuh ... Jemima tak tega sebenarnya.

Segera menjawab panggilan itu dengan semangat yang meredup, Jemima lalu membuka suara tapi baru kata ha yang keluar dari bibirnya suara Abyasa dari seberang sana seketika itu membuat ia bungkam.

Bungkam dan suram.

"Kamu sengaja mau buat saya susah, ya? Kalau mau pergi, setidaknya selesaikan dulu pekerjaan kamu!"

Sialan!

Abyasa sialan!

Jemima menyesal karena sudah mengkasihani pria itu!!

*

"Kamu tau?"

Sedang duduk di halte bis dengan orang asing yang mengelilingi. Pria itu termenung dengan sorot nanar tertuju pada jalanan.

Hari ini, di mana ia harus menggantikan posisi sang kakak yang Tuhan ambil begitu tiba-tiba. Sebagai anak lelaki satu-satunya yang tersisa, ia tak bisa keluhkan rasa takutnya.

Ayahnya sakit. Kepergian kakak perempuan menambah derita kedua orangtuanya. Lalu, harus mencoba untuk tegar padahal begitu banyak ketakutan yang masih membayangi dirinya yang baru menginjak usia dua puluh dua, Abyasa hanya mampu pasrah ketika ia harus hadapi banyak penolakan dari para pemegang saham dan terutama tekanan dari paman yang harusnya melindungi ia.

Hanya tak percaya jika Bara akan memusuhi dirinya. Namun yang terburuk dari itu semua adalah sang ayah yang begitu sayangi Bara hingga rasanya percuma jika ia mengadu bagaimana sang paman memperlakukan ia.

Hari ini, tepat satu minggu ia bekerja. Merasa tak miliki siapapun selain para penjilat yang hanya mendekati ia karena dirinya lah yang diangkat sebagai direktur di Century Giant, Abyasa menginginkan seorang kaki tangan yang bisa ia percaya.

Tapi lowongan sebagai asisten itu baru dibuka hari ini dan Abyasa belum mendapatkan kandidat yang tepat. Ya ... Alih-alih berada di kantor, ikut menyeleksi CV para pelamar, ia malah kabur di sini.

Di tempat di mana seorang wanita di sampingnya tiba-tiba berbicara.

"Hari ini di perusahaan aku ada lowongan untuk satu posisi aja. Dan kamu tau? Untuk satu lowongan aja, yang melamar sampai hampir lima puluh orang."

Wanita yang terlihat cantik dengan garis rahang yang menonjol jelas itu menatap lurus pada jalanan. Rambutnya yang digerai lepas, tampak berkibar ikuti tiupan angin yang cukup kencang sore ini.

Masih tak menjawab celoteh wanita di sampingnya, Abyasa hanya diam menyimak apapun yang wanita itu katakan.

"Segitu pentingnya pekerjaan sampai untuk satu lowongan saja, segerombolan orang ikut melamar. Mencari pekerjaan memang sesusah itu. Susaah banget. Tapi ... Kamu tau apa yang paling bikin kesel?"

Abyasa mengerjap lambat sebelum kemudian menggeleng pelan. "Apa?" tanyanya pelan.

"Orang yang bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah tanpa harus ikut mengantri, malah mengeluh ini dan itu hanya karena takut tidak mampu."

Saliva yang terasa seperti duri itu Abyasa telan dengan susah payah.

Sebenarnya dia tak mengeluh. Hanya saja takut. Takut jika ternyata ia tak bisa memenuhi ekspektasi ayahnya.

"Kalau saya gagal bagaimana?" Abyasa bertanya lirih.

"Ayolah! Kamu bisa coba dulu, kan?! Kalau setelah mencoba itu lebih baik daripada mengalah sebelum melakukan apapun!"

"Jadi menurut kamu ... Aku harus ambil pekerjaan ini?" Tadinya Abyasa sedang memikirkan cara bagaimana menolak jabatan yang dipercayakan padanya ini. Apalagi sang ibu berharap begitu banyak padanya. Tapi ... Wanita asing ini benar.

Seharusnya dia merasa beruntung, bukan? Di usia yang masih cukup muda, Abyasa sudah dipercayai untuk memegang jabatan penting di sebuah perusahaan padahal pengalaman kerja yang ia miliki bahkan belum genap tiga tahun.

"Oke. Pokoknya aku ngga mau tau, besok kamu harus ambil pekerjaan itu. Aku yakin, kamu pasti bisa."

Untuk pertama kali selepas sang kakak tiada, akhirnya bibir Abyasa dapat mengukir senyuman lagi.

Jika orang asing saja yakin dirinya bisa, mengapa ia sendiri masih ragu?

"Terima kasih--"

"Ya udah ya, sayang?"

Eh? Sayang?

Kening pria yang kepalanya tertutup dengan topi itu lalu mengernyit Dalam.

Dia ngga ngomong sama aku?

Abyasa lalu celingukan, melihat ke kiri dan kanan, mencari lawan bicara dari wanita yang sejak tadi memberinya motivasi namun sepertinya itu tak ditujukan untuknya.

"Bisnya datang. Sampai ketemu besok, ya? Doain aku semoga diterima untuk posisi baru ini. Daaah. Love you."

Lalu helai rambut hitam yang berterbangan, wanita itu selipkan ke belakang telinga dan benda yang menyumbat indra pendengaran wanita asing itu membuat Abyasa kontan merona malu.

Benar-benar tak bicara dengannya ternyata. Tapi ... Mengapa yang dibicarakan bisa pas sekali dengan masalah yang ia hadapi?

Segera membuang wajah ketika wanita di sebelahnya menoleh ke arahnya, Abyasa menelan saliva ketika untuk yang pertama kali ia rasakan sebuah debar hanya karena menyadari betapa jelita paras wanita yang sejak tadi mengoceh di sampingnya.

Cantik sekali.

Kembali angkat pandangan ketika wanita itu telah beranjak pergi, denyut jantung Abyasa lantas mencipta rasa nyeri.

Bagaimana ia bisa berjumpa dengan wanita asing itu lagi?

Abyasa tak pernah tahu jawaban dari pertanyaannya yang terdengar mustahil karena dia mengharapkan pertemuan dengan orang asing yang bahkan tak ia ketahui namanya tapi ... Bukankah Tuhan selalu memiliki caranya sendiri jika memang itulah yang Tuhan kehendaki?

Ketika pikiran tak hentinya mengulang-ulang paras cantik itu, Abyasa dibuat takjub ketika gambar beserta biodata lengkap si wanita asing, berada di dalam kertas yang terus ia pandangi dengan binar tak percaya.

Jemima Pratista.

Begitu indah rencana Tuhan atas hidupnya. Ketika ia pikir tak lagi berjumpa dengan si wanita asing, tapi dengan cara yang tak disangk-sangka, wanita itu malah menjadi bagian penting dari hidup Abyasa.

Jemima Pratista.

Wanita itu ... Benar-benar bertemu lagi dengan dirinya bahkan sepuluh tahun waktu yang tak singkat mereka habiskan bersama meski kemudian ... Ternyata waktu pun ada batasnya.

Jemima Pratista, hari ini akan pergi meninggalkannya.

Abyasa yang tak pernah ingin katakan suka karena enggan hubungan menjadi rusak karena sebuah rasa dapat berubah kapanpun dan hancurkan segalanya, kini memandang dalam pada wanita yang berulang kali terdengar menggerutu di meja kerja yang berjarak beberapa meter dari meja kerja miliknya.

"Udah nih, pak. Jangan ditambah lagi, dong. Saya hari ini mau pulang, loh!"

Mengeluh lagi dengan keluhan yang sama.

"Saya hari ini mau pulang, loh!"

Terus diulang-ulang seolah Abyasa tak akan paham jika hanya diberitahu satu lali saja.

Berdeham, merespon suka-suka perasaan kesal Jemima, Abyasa lantas membuka tutup telapak tangan kiri sebagai kode agar asisten pribadinya ... Tidak. Mantan asisten pribadinya itu mendekat. "Saya lihat dulu."

Segera berdiri, wanita yang dalam waktu sepuluh tahun telah tumbuh semakin besar saja di banding awal bekerja dengan Abyasa, berjalan mendekat dengan langkah menyeret. "Udah jam dua, pak. Lagian ini kan masih untuk proyek bulan depan. Jadi harusnya yang ngerjain bukan aku, tapi asisten baru."

"Tapi belum ada pengganti kamu, kan?" Menerima lembar kertas dari Jemima, pria itu kemudian berlagak memeriksa.

"Ya tapi kan bapak ngga mau cari--"

"Kamu mau ngatur-ngatur saya?"

Jemima yang kesal langsung menggigit bibir bawahnya dan Abyasa yang kebetulan mengangkat wajah, kontan mendapatkan pemandangan yang membuat jantungnya berdebar gelisah.

Semua yang Jemima lakukan entah itu dengan bibir, rambut, jemari, lirikan, bahkan hela napasnya. Abyasa tak dapatkan arti lain selain menganggap itu sebagai bentuk untuk memprovokasi dirinya.

Menggigit bibir dengan mimik kesal seperti itu. Apa Jemima ingin Abyasa menerkam wanita itu saat ini juga?

"Pulanglah."

"Ha? Eeh ... Serius, pa--"

"Ya sudah kerja lagi kalau--"

"Eeeh ngga-ngga!" Jemima kibaskan tangan di depan dada. "Saya pulang ya, pak?! Kasihan orangtua saya udah kangen soalnya." Kemudian tangan kanan terulur ke depan.

Abyasa yang sudah menatap lembaran kertas di tangannya lalu melirik ke arah uluran tangan Jemima.

"Saya pamit ya, pak? Maaf kalau selama ini ada salah."

Masih diam dengan tatapan lurus ke tangan Jemima, Abyasa lantas mencebik samar sebelum ia pindahkan tatapan menuju layar komputer. "Heem. Pulanglah."

"Bapak! Saya mau jabat tangan ini."

Abyasa melirik ke wajah Jemima tanpa minat. "Apa harus?"

"Ih!" Lalu tangan dengan jemari berisi itu ditarik kembali. "Ya udah, lah." Kok rasanya seperti ditolak, ya? "Saya pamit ya, pak?"

Lagi, Abyasa hanya berdeham saja. Seolah mahal sekali tatapan pria itu sampai di detik-detik terakhir pertemuannya dengan Jemima, Abyasa enggan menatap.

Sesungguhnya yang kasat mata lalu seperti mencubit hati wanita itu.

"Selamat tinggal, pak."

Berbalik, wanita yang entah mengapa merasa ada panas menyusup di netranya itu segera mengambil tas sebelum kemudian beranjak pergi, keluar dari ruangan Abyasa yang perlahan mengangkat pandangannya ke arah di mana Jemima menghilang.

Diam, bersama tatapnya yang menyorot tajam. Abyasa yang perlahan mengangkat dagu sambil memainkan pulpen di jemarinya yang berada di atas meja itu lantas menyeringai terlalu kentara.

"Sampai berjumpa lagi, Jemima."

Tbc....

Pak kalau suka bilang pak! Aelah! Kalau ngeluarin bon cabe aja mudaaah banget yak.

With love,
Greya

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 95K 41
Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi Dave benci melihat...
1.6M 51K 34
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
7.3M 405K 48
⚠️FOLLOW DULU SEBELUM BACA! ⚠️Rawan Typo! ⚠️Mengandung adegan romans✅ ⚠️Ringan tapi bikin naik darah✅ Neandra Adsila gadis cantik yang berasal dari d...
264K 24.4K 75
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.