Pacaran [TAMAT]

By Lulathana

310K 42K 3.4K

Dari kecil Bella itu sangat suka bela diri, berbagai jenis dia pelajari. Namun, karena tragedi ditolak cinta... More

Pacaran
...
1. Drama
2. Tawuran
3. Takdir yang Tak Diinginkan
4. Cowok Seblak
5. Dia Kembali
6. Rumination
7. Semangat
8. Sandera
9. Percaya Diri
10. MTNI
11. Keluarga
12. Kedua Kalinya
13. Bengkel Bang Jo
14. Banyak Sisi
15. Malming
16. Drama
17. Pertemuan
18. Teman Billa
19. Teman Billa (2)
20. Tanda
21. Cantik dan Anggun
22. Jola
23. Serangan Tak Terduga
25. Kanapa?
26. Sakit
27. Sakit (2)
28. Bimbang
29. Penculikan
30. Tidak Ingin
31. Bazar
32. Photobox
33. Sosok yang Sama
34. Dia Sebenarnya
35. Menggemaskan
36. Tidak Sungkan
37. Myth
38. Melarikan Diri
39. Optimis
40. Dua Arah
41. Terungkap
uwu
42. Mulai Membaik(?)
43. Konsekuensi
44. Garis Memulai
45. Tembok Penghalang
46. Β‘Maldito seas!
47. Β‘MALDICIΓ“N!
48. Sederhana
49. Pacaran (Tamat)

24. Rumah Gavin

5.2K 856 103
By Lulathana

Gavin hendak mengantar Bella pulang, tapi di tengah perjalanan Bella terpikir akan kemungkinan respon 'hebat' yang diberikan oleh keluarganya. Syukur-syukur mereka iba, tapi sayangnya itu masuk ke ranah kemustahilan. Daripada Bella memutar otak untuk menormalkan pandangan Gavin nantinya, Bella pun meminta Gavin untuk mengantar membeli baju saja.

Bella tidak tahu seperti apa pemikiran Gavin, yang jelas dia malah membawa Bella ke rumahnya. Apa boleh buat, Bella pun tidak tahan dengan kejelekan dirinya

Bella diperkenankan mandi di kamar Jola, dia juga dipinjamkan baju cewek itu. Sayangnya karena tinggi tubuh yang berbeda jauh, gaun yang seharusnya di atas garis lutut itu malah jadi setengah paha. Bukan jelek, malah lebih terlihat manis. Roknya jadi lebih mengembang berkat lekuk  pinggang tajam yang Bella punya.

"Cantik banget, Bella," puji Gita dengan senyum yang manis. Dia menghampiri Bella yang tengah menggosok rambut dengan handuk.

"Sini, Tante bantu keringin rambutnya."

"Nggak papa Tante, Bella bisa sendiri kok."

"Nggak papa." Gita meraih bahu Bella kemudian membuatnya terduduk pada bangku rias. Menghadap cermin berbentuk oval dengan ukiran di sekelilingnya.
Senyum senantiasa menghiasi wajah Gita. Tangan kanannya menyalakan hair dryer, sementara tangan yang lain mengurai rambut yang tergabung karena basah.

Di lain sisi atensi Bella ditarik habis. Tak sedikit pun pandanganya teralih atas apa yang Gita lalukan. Dari cermin Bella melihat bagaimana Gita menyentuh rambutnya, mengusap dengan lembut, sesuatu yang ... belum pernah Bella rasakan sebelumnya.

Mamanya tidak pernah melakukan hal itu padanya.

Tapi tunggu, membayangkan Venni bersikap seperti Gita ... Bella tiba-tiba merasa mual.

Memang benar, Tuhan sudah menempatkan segala sesuatu dengan adil. Manusia cukup menerima dan mensyukurinya.

"Rambut Bella bagus banget ya, perawatannya apa aja?"

"Gitu-gitu aja kok, Tan." Bella memilih jawaban netral. Jika dijelaskan yang ada Bella akan terlihat seperti pegawai salon yang tengah promosi.

Gita mengusap pipi Bella dengan gemas. "Tau nggak, baru tadi pagi Tante nanya Gavin kapan ajak Bella main ke sini, eh Gavin bilang nggak bakal. Tapi belum ada satu jam Gavin malah bawa Bella ke sini, ya meskipun bukan karena hal baik. Menurut Bella ini takdir bukan?"

"Mungkin kebetulan aja, Tan." Bella tersenyum kecil dengan wajah sedikit menunduk.

"Bella sopan banget ya."

Tangan Bella meremas kecil. Ia ingin merasa senang, tapi sosok dalam dirinya sudah terbahak menertawai.

"Jola orangnya cerah banget ya?" tanya Bella mengalihkan topik. Tidak ingin Gita sampai melihat keanehan dari dirinya. Atau wanita itu menemukan jika Bella tidak sesopan pendapat dia itu.

"Kamu pasti nilai dari tempelan warna-warni yang banyak banget 'kan? Dia memang suka membuat catatan. Segala hal yang dia temui pasti ditulis di sticky note " Gita menatap ruang kamar putrinya itu.

"Kalo sama yang kenal deket sih emang berisik, tapi di luar itu, disapa pun dia nggak bakal nyaut." Gita tertawa kecil. "Eh ini rambut kamu mau ditata apa digerai aja?"

"Digerai aja, Tan."

Gita pun mulai menyisir rambut Bella yang sudah kering itu. Gerakannya benar-benar sangat lembut hingga Bella tidak merasakan rambutnya tertarik.

"Beres, udah cantik."

Bella menoleh pada wanita itu. "Makasih ya, Tan."

Gita mengangguk. "Ya udah, kita keluar yuk."

Bella pun mengikuti langkah Gita. Saat Gita membuka pintu, sosok Gavin langsung terlihat seolah sedari tadi dia menunggu di sana. Dia juga sudah mengganti seragam kotornya dengan baju santai.

"Loh, ngapain kamu nunggu di sini?" tanya Gita.

Gavin terdiam, tatapannya terpaku pada Bella.

"Vin?" tegas Gita begitu putranya itu tak kunjung menjawab pertanyaan yang dia berikan.

"Eng, nggak. Siapa yang nungguin." Gavin kemudian beralih papan yang bergantung pada pintu. "Mau nyopotin ini."

Gavin kemudian sedikit melongok ke dalam kemudian meletakkan papan bertuliskan 'Ada Kak Lula' itu pada meja.

Sesaat pandangannya bertemu dengan Bella. Tak ada yang terucap hingga Bella menggerakkan sebelah alisnya untuk bertanya. Bukannya menjawab, Gavin malah berdeham dan cepat-cepat memutus kontak mata mereka. Geriknya sedikit aneh.

"Ye, nggak jelas banget kamu," ucap Gita begitu Gavin berlalu dari sana. "Emang kamu ngelakuin apa sampe Jola nggak mau diganggu?" sambungnya seraya ikut meninggalkan kamar itu.

Bella kembali mengekor seraya melihat-lihat sekitar. Bella tak mendengarkan obrolan ibu dan anak itu, foto-foto di dinding lebih menarik perhatiannya. Lebih tepatnya foto Clara yang ikut serta pada kebersamaan keluarga ini. Mereka ternyata punya hubungan yang sedekat itu.

Lalu apa alasan Gavin tidak mau dengan dia? Bella saja mengakui soal kecantikan Clara. Soal dia yang sampai menyuruh preman, itu cukup beralasan. Karena Bella tiba-tiba hadir dan Clara mencoba mempertahankan dirinya meski dengan cara salah.  Sejauh ini, Bella bisa memakluminya, tapi ....

Bella terdiam, matanya terpaku pada sebuah vas antik. Ukurannya rumit, meski ada sedikit cacat di bagian tepinya, tapi justru itu yang menjadi poin atas keasliannya. Harganya tidak perlu dipertanyakan lagi, justru yang berputar di kepala Bella kini adalah kenapa keluarga Gavin punya vas ini?

"Bell?"

Bella terperanjat begitu bahunya disentuh. Ada Gavin yang berekpresi kesal seolah dia sudah mengajak Bella bicara dari tadi, tapi diabaikan.

"Sorry, aku terpukau sama vas itu, cantik banget."

"Biasa aja," ucap cowok itu. "Tadi Mama nanya, kamu suka buah apa?"

"Melon," jawab Bella asal.

"Oke, kalo gitu Tante siapin dulu."

Bella hendak menolak, sayangnya Gita sudah lebih dulu melenggang dari sana.

"Padahal nggak perlu," gumamnya.

"Setau gue, orang diet bisa makan buah-buahan tuh."

"Gue bukan nggak bisa, tapi emang nggak mau. Ini bukan jam buat perut gue diisi."

Gavin menatap Bella baik-baik. "Kenapa harus sekeras itu sama diri sendiri?"

"Jangan ngomong gitu. Seolah gue jahat, padahal ini buat kebaikan diri gue sendiri."

"Cepet atau lambat, pasti ada efek buat kesehatan lo ."

"Iya tau, paham kok segala hal itu ada konsekuensinya."

"Keras kepala banget."

"Kebetulan ini terbuat dari berlian."

Gavin gemas dar akhirnya menyentil kepala cewek itu. Bella meringis dengan tatapan amarah yang dilayangkan.

Gavin meraih tangan Bella, lalu membawanya untuk duduk pada sofa.

"Setelah ini apa? Lo mau keluar apa nunggu di sini sampe jam sekolah abis?"

"Keluar, nggak enak sama nyokap lo."

"Ada tempat yang pengen lo kunjungi?"

"Maksudnya nggak jalan juga."

"Terus?"

Bella terdiam. Ujungnya dirinya pun juga tidak punya pilihan. Kejadiannya mendadak, jadi Bella tidak punya agenda untuk mengisi waktu luang ini.

"Ke bengkel Bang Jo, mau?"

"Ngapain."

"Moles motor."

Bella ikut prihatin, bagaimana pun motor itu lecet karena dirinya juga. "Oke."

"Beneran?"

Bella melirik sinis. "Nggak percaya banget. Atau justru lo lagi nyari cerah buat diem-diem nge-date ya?"

Gavin memalingkan muka. "Apa sih."

Bella menarik sudut-sudut bibirnya. "Ngaku aja. Lo juga udah pake baju biru tuh, couple."

"Mana gue tau Mama pilihin lo baju warna biru."

"Bukan lo yang nyuruh?"

"Apa sih!" Gavin menutup wajah Bella dengan telapak tangannya. Cewek itu pun tertawa dengan riang.

Bel rumah berbunyi. Seorang asisten rumah tangga terlihat bergegas ke arah depan. Tak lama kemudian terdengar langkah yang berkesan terburu-buru.

"Vin, kamu sakit ya? Aku tanyain ke temen-temen ...."  Suara Clara menghilang beriring dengan matanya yang menatap Bella. Senyum Bella pun beriring luntur.

"Lo ngapain di sini?" tanyanya dengan tatapan tidak bersahabat.

Bella hendak menjawab, tapi Gavin cepat memegang tangannya, memberi tanda untuk tidak bersuara.

"Bukan apa-apa," jawab Gavin dengan nada yang datar, dia bahkan sedikit pun tidak melirik Clara yang mana dia yang menjadi lawan bicara.

"Lo yang ngajak Gavin bolos ya?" Clara menatap Bella dengan sorot merendahkan.

"Bukannya ini juga masih jam pelajaran?" balas Bella tak kalah memandang sinis. Jika diilustrasikan sudah seperti aliran listrik antara kedua cewek itu.

"Gue ke sini karena Gavin nggak masuk, ternyata lo yang bikin Gavin nggak masuk."

Gue ke sini gara-gara lo juga. Bella menghela napas. Ia pun memilih menopang dagu dan bersikap bodo amat. Setidaknya di depan orang yang jelas-jelas menganggapnya musuh, Bella tak perlu repot bersikap manis

Sayangnya Clara punya kesabaran yang tipis. Ia menarik tangan Bella hingga kepala cewek itu terkatuk karena kehilangan penyangga.

"Clara!" Gavin memekik memperingatkan. Dia menepis tangan Clara agar lepas dari Bella.

"Nggak papa, Bell?"

Bella mengangguk. Sebenarnya Bella tidak perlu perhatian itu, yang harus diperhatikan itu Clara yang kini sudah menahan amarah dengan wajah merah padam. Benar-benar kesabaran yang tipis.

"Clar, jangan ganggu Bella," ucap Gavin dengan intonasi yang lumayan tegas.

"Siapa yang ganggu dia? Dia yang duluan jadi benalu. Tiba-tiba dateng dan ngerugiin orang lain."

"Jangan sembarang, emang lo sewow apa sampe mikir benalu mau nempelin lo?" balas Bella yang tidak terima diremehkan.

"Lo ya!"

Clara terlihat maju, Gavin dengan cepat berdiri dan memasang badan untuk Gavin. Clara hendak menerobos tapi Gavin menahan tangannya.

"Jangan ganggu Bella lagi."

"Dia yang ganggu."

Gavin menatap Clara dalam. "Gue tau apa yang lo lakuin."

"Apa?"

Gavin tak menjawab. Meskipun begitu Clara bisa menangkap apa maksudnya. Cewek mengetatkan rahan seraya membuang muka

"Dia rebut kamu dari aku."

"Nggak ada yang rebut siapa dari siapa."

Clara terkekeh singkat, kemudian menatap Gavin dengan sorot nanar. "Aku dari dulu kenal sama kamu, aku duluan yang sama kamu. Dia siapa?"

Bella menopang  dagu menonton drama Clara itu. Dipikir cukup miris juga. Kasihan Clara. Sayangnya Gavin juga tidak bisa dikorbankan di sini.

"Dia cuma orang baru yang jadi pengganggu. Kamu tau selama ini aku selalu nunggu kamu, gimana aku bisa nahan diri ketika dia dengan mudah ambil kamu dari aku."

Bella mengangguk-angguk kecil, menghaminkan.

"Jangan ganggu Bella lagi."

Bella mengerjap. Itu tidak terdengar seperti perintah, tapi permintaan. Gavin bukan terlihat seperti orang yang tidak punya kuasa, tapi kenapa dia malah melakukan itu?

Ini tidak beres, Bella cepat-cepat bangkit dan berdiri di samping Gavin, mempertanyakan maksudnya. Sayangnya Clara yang terlanjur sangat benci, tidak bisa menahan diri dan langsung melemparkan tamparan pada wajah Bella.

"CLARA!"

"DIA PELAKOR! DIA UDAH REBUT KAMU DARI AKU!"

"Dia bukan pacar gue, gue yang nyuruh dia pura-pura biar lo nyerah." Gavin melirik pipi Bella yang memerah dengan penuh khawatir. Tangannya ingin sekali mengusapnya untuk meredakan sakit, tapi pikirannya berkata itu mungkin akan memancing kemarahan Clara dan bertindak lebih jauh lagi terhadap Bella.

Bella cukup kebingungan atas pengakuan Gavin itu. Meskipun Jola sebelumnya sudah memberi aba-aba atas keputusan Gavin itu. Setidaknya jangan mendadak seperti ini, karena sebelumnya mereka juga baik-baik saja.

"Dia bukan pacar lo?"

"Bukan."

Baiklah kalau memang seperti itu finalnya. Bella hanya perlu mengangguk mengiyakan. Sebelum matanya menangkap benda berkilauan di leher Clara.

"Setelah ini, gue harap lo nggak sedikit pun nyentuh Bella. Jangan pernah berpikir buat nyakitin dia la--"

"Vin, maksudnya apa?" potong Bella.

Gavin mengernyit, apalagi ketika kini Bella menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Bell--"

"Jadi ini alasan kenapa dari dulu kamu selalu bilang buat backstreet? Ini alasan kenapa kamu ngelarang aku buat bilang sama orang-orang kalo kita pacaran?" Air mata lolos begitu saja melintasj kedua pipi Bella. Dia mulai terisak menyakitkan.

"Bell ...." Gavin kehabisan kata-kata. Kepalanya seolah baru dihantam batu, tidak bisa dibuat untuk berpikir. Bingung akan apa yang Bella lakukan. Di satu sisi dirinya benar-benar tidak tahan dengan air mata itu. Apa Bella menangis karena tamparan Clara?

"Aku baru aja seneng, bisa dikenalin sama adek kamu, bisa dikenalin sama Mama kamu, kamu juga nggak sembunyi-sembunyi lagi kalo anterin aku. Tapi kok malah akhirnya gini?" Bella tertawa, yang sialnya itu membuat dia terlihat semakin menyakitkan.

Bella menoleh ke arah Clara. "Sekarang kamu mau ngakhiri hubungan kita biar dia nggak ganggu aku lagi." Bella menggigit bibirnya.

"Aku nggak terima, Vin." Bella menggeleng. Bahunya semakin terguncang karena sesak.

Tangan Gavin terangkat, ia mengusap air mata di pipi Bella yang seolah tidak habis-habis.

"Apa pun yang terjadi, jangan tinggalin aku, Vin."

"Bell ...."

Bella meraih tangan Gavin di pipinya lalu menggenggam erat. Matanya yang bersorot nanar itu menatap Gavin penuh. "Jangan tinggalin aku."

Setelahnya Bella merasakan tubuhnya diraih dan dipeluk. Dari sela-sela rambut, Bella melirik Clara yang mematung di tempat.

Jangan pernah biarkan musuh lepas dari penglihatan, sebisanya genggam sedekat nadi.

Ini bukan tentang permintaan Jola. Dirinya tidak semurah hati itu. Ini bisa tentang alasan apa Gavin ingin menemukannya.

Atau bisa juga tentang vas tadi dan liontin grandidierite yang dipakai oleh Clara.

Bella masih mengingatnya dengan jelas bagaimana dulu kedua benda itu berada di dalam genggamannya.

oOo

Nah nah loh, makin bertanya-tanya nggak?

Kira-kira ada yang bisa nebak ada apa dengan Jola?  Ada apa dengan Bella? Atau ada apa dengan Gavin?

10 Agustus 2023

Continue Reading

You'll Also Like

811K 22.9K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
4K 597 39
πŸ’œ LavenderWriters Project Season 08 ||Kelompok 02|| #Tema; Ghosting Ketua : Hanifah Wakil : Dini & Lintang 🎬🎬🎬 Berawal dari kisah cinta yang t...
2.1M 98.2K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
23K 2K 37
Davian Marven, lelaki dengan ketampanan dan kepercayaan diri yang tinggi. Ia yang biasa di puji para kaum hawa hingga banyak yang ingin memiliki. Na...