Personal Assistant : WIFE!

By GreyaCraz

3.9M 115K 6.2K

Di penghujung usia tiga puluh, Jemima akan melepas masa lajangnya. Ketika ia pikir tak memiliki alasan untuk... More

1 : Overtime
2 : Visiting
3 : Sleepover
4 : Lipstick
5 : Marry
6 : Stalking
8 : Mad!
9 : Suggestion
10 : Divorce
11 : Heart Beat
12 : See You
13 : Invitation
14 : Restless
15 : Hero
16 : Accepted
17 SAH
Open PO

7 : Darya

71.7K 6.3K 292
By GreyaCraz

Bencana tengah menghampiri Jemima. Wanita yang berpikir akan merayakan kemerdekaan singkatnya hingga malam bersama para anggota Pejuang Kebebasan, karena mereka sudah berniat untuk melakukan karaoke selama tiga jam usai makan, malah dihadapkan oleh tatapan buas Abyasa yang berhasil menarik ia ke restoran Lain.

Tempatnya tak jauh dari tempat ia berkumpul dengan teman sejawat, tapi tetap saja ia tak bisa kabur dari pria yang masih tetap terlihat mengerikan meski tatapak yang menghunus tajam itu berada di balik kacamata minus yang hanya dilepas di saat-saat tertentu saja.

Menelan salivanya kasar, Jemima yang bahkan tak mampu meratapi nasib, lalu mengaduk-aduk steak yang sudah ia potong kecil-kecil.

Makanannya sama-sama daging. Malah jika dilihat dari kualitas, menu yang Abyasa pilihkan untuknya memiliki harga berkalilipat lebih mahal dari hidangan di rumah makan AYCE yang membolehkan ia makan sepuasnya selama sembilan puluh menit. Tapi berselera untuk menelannya saja tidak, karena Abyasa di hadapannya membuat nafsu makan yang ia punya menghilang.

Pria yang masih menggunakan setelan kemeja seperti siang tadi, sama dengannya yang masih memakai pakaian yang ia pakai untuk bekerja seharian, terus saja menatap Jemima seolah makanan tak jauh lebih menarik dari wajahnya yang bisa diperkirakan sedang cemas sekarang.

Padahal dia tak buat salah. Tapi kalau dihadapkan dengan Aby, herannya selalu saja merasa was-was.

Mengedarkan pandangan ketika sudah bosan ia tatap steak yang berubah jadi potongan-potongan kecil. Malangnya sudah seperti makanan sisa yang tak layak makan, Jemima tersentak mendengar dehaman Abyasa yang mulai mengangkat garpu dan pisau.

Jemima melirik pria itu hati-hati.

"Pulang jam berapa tadi?"

Jemima langsung berdengung panjang. "Ngga lama dari bapak pergi."

"Kenapa?"

Jemima meringis.

Padahal Abyasa tadi meninggalkan ia dengan setumpuk pekerjaan tapi Jemima tak berpikir untuk menyelesaikan karena pria ini biasanya tak akan marah kalau ia tinggal pulang pekerjaan selama Abyasa juga sudah tak di kantor.

"Kan ngga apa-apa pulang kata bapak."

Abyasa diam, seolah tak menyalahkan keputusan Jemima untuk pulang, namun pria yang selalu menyisir rapi rambutnya ke belakang ketika bekerja itu masih tetap menatap Jemima begitu dalam.

Gugup, wanita yang menggunakan blouse putih itu, mengusap-usap pelan pahanya yang tertutup celana berwarna khaki.

"Yang lainnya? Mereka pulang lebih awal ju--"

Menutupi kesalahan teman, Jemima lalu menggeleng. "Mereka jam setengah lima, pak. Saya duluan yang pulang."

Lagi, Abyasa tak protes jawaban Jemima. Memasukkan perlahan potongan daging ke mulut tanpa memutus pandang dengan Jemima yang seperti berada di ruang persidangan. Pria itu lalu mengangguk pelan. "Lalu mereka ajak kamu makan--"

"Ngga juga, pak. Saya yang ajakin, kok!" Duh, kenapa pula untuk hal-hal seperti ini harus Jemima jelaskan.

Itu haknya untuk pergi makan dengan siapapun, kan?

Ck! Tapi kenapa dia seperti maling yang tertangkap basah begini jika sudah jelas tahu tak lakukan kesalahan kecuali pulang bahkan sebelum pukul lima.

"Kamu yang ajak mereka makan?" Tatapan Abyasa kian meruncing dan Jemima yang perlahan mengumpulkan keberanian, mengangguk lagi.

"Saya sudah biasa pulang malam. Sesekali pulang cepat--"

"Saya ngga marah untuk itu."

Ooh?

Bibir Jemima lalu membulat.

"Terus kenapa bapak keliatan marah?"

"Karena kamu ngga pernah ngajakin saya makan."

Eeehhh?

Hanya karena hal itu?

"Tapi kita sering makan bar--"

"Siapa yang ngajakin? Selalu saya, kan?"

Jemima mengerjap tak percaya. Bagaimana hal sepele seperti ini harus Abyasa ributkan. "Apa bedanya sih, pak?"

"Beda."

Jika si bos sudah berkata demikian, Jemima tak punya pilihan lain selain mengiyakan. "Maaf, pak." Ia tatap pria yang memiliki alis bak ulat bulu itu. Tebal dan lurus memanjang. "Besok-besok saya ajakin bapak makan."

Tak janji tapi. Karena jika ada waktu tanpa Abyasa, Jemima memilih manfaatkan hal itu untuk berkumpul dengan para teman.

"Kamu selalu mengecewakan."

Hah ... Tahan Mima. Tahan.

Ia tak boleh memutar bola mata di hadapan Abyasa jika tak mau makin mendengar omelan pria yang bersuara tanpa nada.

Terlalu datar seolah tanpa emosi. Bagaimana Jemima tahu Abyasa sedang marah atau tidak adalah dari tatapan pria itu.

"Kamu makan ini."

Sreet!

Jemima membuka mulut hendak protes namun lidah terlalu kelu tuk komentari aksi Aby yang menukar piring mereka.

"Ini lebih enak dari yang kamu makan di restoran tadi," imbuh pria itu sambil menusuk potongan daging steak milik Jemima yang penampilannya bahkan terlalu kacau.

"Bapak ... Mau makan itu?" Ketika melihat garpu hendak meluncur di mulutnya, Abyasa menggulirkan bola mata ke atas, memandang Jemima yang meringis dari balik helai bulu matanya yang cukup panjang. "Itu ... Sudah saya acak--" Wanita itu tiba-tiba menginterupsi ucapannya sendiri.

Menunduk, Jemima menggigit bibir bawah ketika rasakan debar yang selalu muncul dari tiap aksi spontan Abyasa yang terkesan begitu perhatian padanya padahal sebenarnya pria itu biasa saja.

Abyasa masih terlalu waras untuk menyukai orang sepertinya.

Duh!

Mikir apa sih, Mima?

Dia juga tak berharap Abyasa menyukainya, kok. Apalagi Jemima juga tak suka tiran yang selalu menyiksanya ini.

Soal debar yang ia rasakan barusan adalah hal yang wajar, kan?

Semua orang pasti akan seperti dirinya jika mendapatkan perlakuan manis seperti ini dari seorang pria bahkan meski ia tak punyai rasa apapun.

"Kenapa? Kamu belum meludah di sini, kan?"

Hah!

Debar Jemima mulai melambat dan nyaris tak terdeteksi ketika mendengar jawaban Abyasa terlebih ketika pria itu kembali menarik piring yang sudah diberikan pada Jemima.

"Sudah dikasih terus diambil lagi?" Jemima menggerutu pelan.

Dasar Abyasa yang selalu saja berbuat seenak hati pria itu!

Melirik si tiran sambil bersungut-sungut sebal, apalagi pria itu bahkan tak membalas ucapannya. Jemima lalu mendesah panjang karena keberadaannya seperti benda mati di hadapan Abyasa yang malah asyik memotong-motong dalam ukuran sedang steak milik pria itu sendiri.

Sudahlah. Tunggu dia selesai makan, terus pulang.

Baru saja Jemima menyangga kepala, bunyi geseran piring yang bergesekan dengan meja kaca menarik perhatiannya lagi.

"Begitu caranya memotong dengan benar."

Kali ini debaran yang berdetak terlalu pelan, seketika langsung mengalun kencang seolah ia ajak berlarian.

*

Seperti rencananya tadi. Jemima pulang setelah selesai menemani Abyasa makan. Hal yang ia sesalkan adalah tak jadi ikut bersenang-senang dengan para teman yang sudah meninggalkan ia karena tak mungkin menanti dirinya yang disita cukup lama oleh Abyasa. Tapi tak terlalu membuat ia kesal karena Abyasa tak sampai membuat ia menunggu hingga restoran tutup.

Bergegas membersihkan diri, Jemima lalu berbaring ke kasur setelah gunakan piyama tanpa corak berwarna navy.

Melihat-lihat foto yang para teman Pejuang Kebebasan kirim, membuat Jemima makin iri saja, panggilan masuk dari sang ibu yang tumben sekali menghubungi ia malam-malam begini segera menariknya untuk duduk.

Menjawab panggilan tersebut. Salam hangat dari seberang membuat senyumnya merekah.

"Waalaikum salam. Tumben nelpon malam-malam, bu. Kenapa? Sehat semua, kan?"

"Ya kenapa kalau nelpon malam memangnya? Orang ibu kangen."

Jemima mencebik samar namun menyusul senyum gelinya. "Baru kemaren telponan." Berjalan menuju meja kerja yang merangkap meja rias, Jemima lalu duduk menghadap kaca yang bergantung di atasnya.

Lebih baik ia lakukan perawatan rutin sebelum keburu malas.

"Hehe. Lagi apa, ndok?"  Di seberang sana sang ibu bertanya dengan aksen khas yang agak medok.

“Ngga ada, bu.” Jemima meletakkan ponsel yang sudah diaktifan louspeakernya ke atas meja. "Santai-santai aja. Bapak mana?"

"Jagongan, di depan." (Duduk-duduk)

"Udah malam, loh. Suruh masuk."

"Iya dalam rumah. Eh ... Ndok. Ibu mau bilang sesuatu."

Berhenti mengoleskan krim di wajah, Jemima terlihat serius mendengarkan sang ibu. "Opo? Soal mas--"

"Mas opo? Mas-mu? Ngga, ini soal lain. Tapi ... Jangan marah tapi, ya."

"Ya ... Apa dulu?" Jemima terlihat penasaran.

Berhenti melakukan apapun, ia fokus menunggu jawaban sang ibu yang terdengar menghela napas panjang.

"Ndok, mau ndak ibu jodohkan sama kakaknya temen adikmu?"

"Eeeh?" Kening Jemima lantas mengernyit dalam. "Jodohin?" Decih gelinya lalu terdengar. "Siapa yang mau sama Mima?"

"Heeh ... Bocahnya loh mau, ndok. Piye? Ganteng, kok."

Ganteng.

Jika menurut kriteria Jemima, menikahi pria seperti yang ia mau sih akan terdengar mustahil. Jadi ia tak terlalu berpatokan dengan wajah untuk menikah. Asal enak dipandang saja sudah cukup baginya.

Si om-om berberewok tipis, biarlah jadi khayalan dalam dunia fantasinya.

Tapi masalahnya, dengan kondisi saat ini, Jemima butuh pria yang bertanggung jawab bukan hanya secara batin saja namun juga lahir. Salah satu yang ia butuhkan dan harus lelaki itu tunjukkan sebagai bukti jika pria itu serius meminangnya adalah mau membantu ia membayar setidaknya setengah cicilan mobilnya.

"Ndok? Kok diem?"

Jemima mengerjap cepat ketika lamunan membuat ia lupa jika sang ibu menantikan sebuah jawaban. Bergumam panjang untuk sekadar beritahukan jika ia masih tersambung dengan telepon, hela napas Jemima terdengar susah saat ia dengar keluhan sang ibu yang begitu ingin melihat ia menikah sebelum ajal menjemput.

"Kenalan dulu gitu, loh. Mau ndak?"

"Bu, cicilan mobilku--"

"Kan tabunganmu sama ibu ada. Orangnya juga mau kok bayarin. Tapi ngga banyak, sih. Tapi orangnya jelas, ndok. Baik. Kerjanya lumayan mapan. Punya bengkel motor sendiri. Terus ... Umurnya dua tahun di atas kamu. Pokoknya kalau menurut ibu sama bapak--"

"Bentar." Mendengar nama bapak disebut, Jemima lantas interupsi ucapan sang ibu. "Bapak tahu?"

"Hehe." Sang ibu terkekeh lagi di seberamg sana. "Ya tau. Itu ... Bapak jagongannya sama dia. Main catur mereka."

Entah dari mana asal panas yang menyerang pipinya, Jemima lantas menyentuh kulit wajah yang agak memerah.

Jika sang ayah setuju, biasanya pria itu memang baik.

"Namanya Darya. Orangnya bagus. Pertama lihat foto kamu--"

"Foto yang mana?" Lagi, ia potong ucapan sang ibu yang sejak tadi bertutur kata lembut padanya. "Lama apa baru?" Nanti diberi foto yang lama, dapatnya Jemima dalam versi baru yang lebih berisi--lemak sana-sini.

Bisa-bisa ia dibilang bohong nanti.

"Yang baru, toh. Emangnya kenapa? Lama atau baru kan sama aja. Uuh ... Anak ibu loh yang sekarang malah semok!"

Jemima mencebik namun mimik wajah menampilkan keceriaan. Orang yang selalu tulus memuji dirinya memang hanya ibu dan ayah saja.

"Beneran loh, bu. Orangnya mau bayari cicilan mobil Mima? Ngga usah full. Seperempat juga ngga apa-apa." Ia turunkan syaratnya karena Jemima juga tak bisa menguras harta orang lain sebelum menjadi siapa-siapa

Takutnya nanti dibilang tak tahu diri.

"Insyaallah mau, ndok. Kamu gimana? Mau coba dulu? Kenalan aja ngga apa-apa."

Jemima berpikir sebentar. "Tapi...."

"Apa? Tapi apa?" Di seberang sana, samg ibu terdengar tak sabaran.

"Em ... Ibu ngga masalah kalau aku ngga kerja lagi?"

Jemima sudah lelah harus mencari uang lagi. Sungguh. Ia ingin menjadi ibu rumah tangga saja yang menunggu suami pulang kerja, sambil momong anak.

Uh ... Dalam bayangan saja itu sudah tampak begitu manis.

"Ya ngga apa-apa toh, ndok. Yang ibu harapkan sekarang cuma kamu menikah. Malah bagus kalau ngga kerja lagi. Ibu juga ngga mau jauh lagi dari kamu."

Tak bisa lebih lega dari hal ini, Jemima lalu mengangguk. "Ya udah." Toh orangtua sudah memberi restu dan kebetulan Jemima memang butuh sesuatu untuk lepaskan ia dari Abyasa yang menjelma bak belenggu.

Pria itu ... Bagaimana kira-kira responnya jika tahu ia akan menikah, ya?

"Mima mau ngobrol sama orangnya, bu. Tapi ... Kirimin fotonya dulu gimana?"

Iya sih, Jemima tak melihat tampang. Tapi kan syarat enak dipandang tetap tak boleh diabaikan.

"Bentar-bentar. Nar! Jenar!"

Menunggu dengan perasaan was-was, takut jika pria yang hendak dikenalkan padanya tak lolos seleksi mata, tak lama ia dapatkan pesan masuk setelah mendengar suara-suara dari seberang di mana sang ibu meminta bantuan Jenar, adik Jemima untuk mengirimkan foto padanya.

Bagus mba orangnya.
<Picture>

Tersenyum tipis membaca pesan sang adik sembari menunggu gambar terbuka seutuhnya, jantung Jemima berdebar ketika visual dalam angannya selama ini muncul dalam versi nyata.

Pria berkulit sawo matang dengan berewok tipis.

Ugh!

Kok Tuhan baik sekali padanya, sih?

"Piye? Lanjut, ya?"

Ibu Jemima kembali bersuara dan tak ada alasan untuk menolak, Jemima langsung mengangguk dengan semangat. "Gas, bu!" Ia bahkan sampai membungkuk tuk dekatkan bibir di ponsel yang masih di atas meja ketika menjawab dengan seruan lugas.

Kesempatan begini belum tentu terjadi dua kali.

“Ibu panggil Darya kalau gitu!” 

Kembali menanti, Jemima lantas mengusap tengkuknya ketika gugup tiba-tiba melanda. Ia bahkan tak bisa tutupi merah di wajah yang sudah menjalar ke telinga dan leher itu.

Duh ... Hanya lihat fotonya saja ia sudah berdebar-debar begini. Bagaimana kalau mereka ngobrol nanti.

Ya ampun! Nasib jomlo kelamaan memang begini, ya? Tak bisa dengar sedikit kabar ada pria yang menaruh hati padanya. Sudahlah, pintu hati langsung terbuka lebar apalagi yang kali ini datang bukan untuk sekadar bermain-main saja.

Tujuan mereka serius.

Berkenalan untuk menikah.

"As ... Assalamualaikum, Jemima? Ini ... Darya."

Glek!

Suara berat yang menyapa di seberang sana ... Uuh!

Sepertinya ia akan lupa dengan suara si tiran setelah ini.

Tbc....

Pak bos ati2 ada yang mau nyalip!

Di karyakarsa sudah part 12 ges yaaa



Yang tanya Jemima visualnya gimana kaak. Kalau aku begini. Tapi kalau kalian punya bayangan sendiri, ngga apa2. Ini bukan patokan kok.
😘😘

With Love,
Greya

Continue Reading

You'll Also Like

993K 2.5K 17
🔞 Bluesy area, mengandung 21+ 🔞 - oneshoot ! ranked; #1 Karina 24/6/2023 #1 Bluesy 25/6/2023 #1 Karinajeno 7/9/2023
513K 2.7K 18
Cerita ini bagian dari @fantasibersama
833K 58.3K 48
Sherren bersyukur ia menjadi peran figuran yang bahkan tak terlibat dalam scene novel sedikitpun. ia bahkan sangat bersyukur bahwa tubuhnya di dunia...