Personal Assistant : WIFE!

By GreyaCraz

3.9M 115K 6.2K

Di penghujung usia tiga puluh, Jemima akan melepas masa lajangnya. Ketika ia pikir tak memiliki alasan untuk... More

1 : Overtime
2 : Visiting
3 : Sleepover
4 : Lipstick
5 : Marry
7 : Darya
8 : Mad!
9 : Suggestion
10 : Divorce
11 : Heart Beat
12 : See You
13 : Invitation
14 : Restless
15 : Hero
16 : Accepted
17 SAH
Open PO

6 : Stalking

80.4K 7.2K 459
By GreyaCraz

Ada urusan keluarga mendadak yang membuat Abyasa harus segera pulang. Jemima yang merasakan kemerdekaan datang meski hanya sebentar, langsung membuat acara makan bersama dengan rekan kerja.

Khusus tim Pejuang Kebebasan.

Di rumah makan AYCE, mereka terlihat begitu menikmati waktu tenang tanpa Abyasa. Karena pulang cepatnya pria itu bukan kemerdekaan untuk Jemima saja tapi semua karyawan juga.

"Tapi sama lo, Difa masih nyuekin?"

"Gue rasa nih, bu. Difa kek iri sama Mima."

Mendengar obrolan antara Fatma dan Tia, Jemima mencebik sambil mengunyah.

"Dapat gaji buta, Mima yang ngerjain semuanya juga. Masih bisa ketusin Mima? Emang tuh bayi ngga sadar diri!"

Mendengar Ikhsan membelanya, Jemima dengan bibir penuh, berdiri memberikan telapak tangan terbuka ke arah Ikhsan yang duduk di seberangnya.

Plak!

Mereka melakukan high five.

"Dhia fhikhir henak hadi hue!" ucap Jemima yang kemudian mendapatkan pukulan di pantat dari Hesti yang duduk di sampingnya.

"Telen dulu napa!"

"Muncrat, Mima!" timpal Ikhsan yang malah mengambil dengan sumpit satu potong daging dari atas panggangan lalu ia yang masih berdiri seperti Jemima menyuapkannya ke mulut Jemima yang makin penuh saja.

Gelak tawa mereka lantas mengiringi. Kembali duduk, mereka lanjutkan makan dan obrolan ringan.

"Saya datang para suhu!"

Semua wajah menoleh ke arah sumber suara yang menyapa. Segera berseru sambil bertepuk tangan riang, lima orang yang terdiri dari empat wanita dan satu pria itu menyambut kedatangan Yusuf yang Ikhsan kabari menyusul karena tak enak jika harus mengajak pria ini di saat masih bersama rekan lainnya.

"Anggota baru akhirnya datang!" Ikhsan menarik kursi dari meja lain dan memposisikan di sampingnya.

Yusuf membungkuk layaknya orang baru yang memperkenalkan diri. "Mohon bantuannya."

"Duduk-duduk. Jangan sungkan-sungkan. Di sini kita bebas." Hesti mempersilakan Yusuf. "Peraturannya Mima?"

Jemima yang hanya tertawa saja sejak tadi karena kedatangan satu orang lagi yang akan menjadi bagian dari grup Pejuang Kebebasan yang dapat dipercaya atau bukan mata-mata yang akan menjadi penjilat Abyasa. Berdiri setelah menelan semua potongan daging yang terus ia sumpalkan ke mulut. "Kita bebas di sini. Bebas ngatain pak Aby. Hahahaha!" Bahagia sekali ia katai si atasan yang sudah membuat ia berjaya dalam segi keuangan.

Meski tak menikmati sepenuhnya, tapi berkat Abyasa, keluarga Jemima jadi tak menderita seperti dulu lagi

Sekarang sudah ada rumah, tanah, bahkan adiknya bisa kuliah. Jemima di sini juga bisa membeli mobil.

Tapi masih kredit.

Alasan kuat yang membuat ia tak bisa lepas dari Abyasa.

"Jadi apa keluhannya wahai anak muda!" Tia bertanya sambil menyodorkan segelas es teh pada Yusuf.

Akhir-akhir ini entah mengapa Yusuf sering sekali diamuk oleh Abyasa. Sedikit saja melihat salahnya, Abyasa akan membuat pria itu bekerja bagai kuda. Lalu jika tak ada salahnya, maka akan dicari-cari sampai Yusuf terlihat salah.

Karena anak baru, mendapatkan teman pun tak bisa asal menjadi tempat bercerita karena banyak penjilat yang sibuk mencari perhatian Abyasa. Akhirnya Yusuf hanya mampu menceritakan keluh kesahnya pada Ikhsan dan orang-orang yang kini duduk di sekitarnya.

Menurutnya, hanya lima orang ini yang dapat dipercaya untuk tak memanfaatkan keluh kesahnya untuk mengambil simpati Abyasa. Bahkan Jemima yang sepuluh tahun dengan tiran itu pun bisa memahami posisinya dengan baik.

"Kesalahan Santi dilimpahkan ke saya, suhu!" Yusuf yang merupakan staff perencanaan mengambil gelas yang Tia sodorkan padanya dan meneguknya hingga tersisa setengah. "Sudah aku bilang, yang buat rincian anggaran itu bukan saya, pak. Saya cuma mengetiknya saja. Tapi pak Yasa bilang; 'KAMU NGATUR-NGATUR SAYA?!"

Beruntung mereka mengambil duduk di paling belakang restoran yang tak banyak pengunjung, jadi pekikkan Yusuf tak banyak yang memperhatikan.

Begitu meluap-luap, Yusuf yang berdiri, lalu bersedekap meniru gaya Abyasa. "Kamu lembur malam ini! Kerjaan kamu tidak ada yang benar!"

Jemima yang sedang minum, sontak tersedak.

Dia ada di sana ketika Abyasa mengatakan hal itu pada Yusuf.

"Sebenernya lo bikin dosa apa sih, Suf? Kok dua Minggu ini kena murka terus?"

Yusuf kembali duduk sambil menggeleng lemah. "Ngga tau, Bu," jawabnya untuk tanya Fatma. "Salah ketik, huruf B jadi V aja diamuk. Padahal cuma itu aja typonya. Eh dibilang suruh les komputer lagi."

Hanya mampu mendengarkan tanpa bisa memberi bantuan karena musuh yang mereka hadapi adalah bos tiran yang paling berkuasa, akhirnya grup Pejuang Kebebasan itu hanya bisa tertawa saja.

"Selamat datang ke neraka Abyasa, Yusuf," balas Hesti kemudian.

"Tingkatan Neraka paling tinggi di akhirat adalah Jahanam. Kalau di dunia Abyasa!" Ikhsan menyambung ucapan Hesti dan lagi, tawa kemudian mengiringi.

Mereka ini memang sekumpulan manusia munafik yang asyik membicarakan si pemberi makan. Tapi mau apa dikata. Jika tak ingin gila, mereka harus meluapkan semua rasa kesalnya karena membalas Abyasa pun tak bisa.

"Mim! Itu hape lo geter dari tadi!"

Segera mengambil ponsel dari dalam tas yang bersandar di kaki Hesti, Jemima segera mendesis sebal saat tahu siapa yang menghubunginya.

Masih aja ganggu!

Omel dalam hati dari wanita dengan rambut kecoklatan yang menjuntai cantik hingga bawah bahu itu. "Heeh! Diem dulu, anak jin nelpon," katanya kemudian.

Semua seketika diam dari pembicaraan tentang kejamnya Abyasa ketika tahu siapa yang menghubungi Jemima.

"Mau lo angkat?" Tapi Fatma, ibu dari sepasang anak kembar itu bertanya dan Jemima hanya mengangguk dengan ekspresi tak rela.

Menjawab segera panggilan tersebut, Jemima belum buka mulut karena dari seberang sana, Abyasa langsung bersuara.

"Temani saya makan."

Selalu seenak hati.

Bahkan tak ada kata tolong atau sekadar basa-basi menanyai ia apakah sibuk atau tidak.

"I ... Iya, pak?"

Jemima menahan hela napasnya yang jadi begitu berat.

Lagian untuk apa makan saja mencari dirinya? Memangnya pria itu bisa mati jika makan tanpa ada Jemima?

"Tapi saya lagi di luar, pak." Jemima memutar otak untuk mencari-cari alasan agar Abyasa berhenti mengganggu dirinya. Untuk malam ini saja. "Habis ini mau tidur. Saya ca--"

"Iya. Saya tahu."

Tau?

"Bapak tau saya capek?" Kalau begitu mengapa malah mencari dirinya untuk makan saja?!

"Tahu kalau kamu di luar."

"Ha?! Eeh...." Jemima langsung bekap mulutnya sendiri.

Jawaban Abyasa entah mengapa seperti sebuah firasat buruk bagi Jemima yang praktis edarkan pandangan.

Jangan bilang dia di sini.

Jemima lalu memegang dadanya yang tiba-tiba berdebar.

"Eeng ... Bapak ... Bapak di mana?"

Duh Mima!

Wanita itu lalu melirik para teman yang tertular cemasnya.

"Kenapa?" Tia bertanya tanpa suara yang Jemima jawab dengan gelengan lesu.

Dia belum tahu sumber ketakutannya yang tiba-tiba datang ini. Walaupun kewaspadaan sudah memberinya sinyal.

Abyasa pasti menguntit dirinya!

Tapi kenapa? Dosa apa yang ia punya pada pria itu sampai.....

"Saya berdiri di samping mobil kamu."

Sial!

Abyasa memang selalu tak bisa biarkan hidupnya tenang.

*

Tiba-tiba ia diminta untuk pulang. Abyasa yang hanya akan kunjungi orangtua ketika butuh saja--Minta naikkan gaji--terpaksa harus mendatangi ayah dan bunda yang makin hari makin cerewet saja. Paling cerewet adalah Lerita, ibundanya.

Malas-malasan ia tinggalkan kantor, pria itu langsung disuguhi oleh pertanyaan yang selalu ia hindari.

"Sendiri aja? Calon istri mana?"

Kalau sudah begitu, Abyasa hanya akan memutar bola mata jengah, lalu menyalimi orangtuanya sebelum berkata; "Aku pulang."

Lerita gemas sekali pokoknya dengan si bungsu yang kini menjadi anak tunggal ini. Hanya akan bicara secukupnya tapi sekali buka suara pasti mengandung duri.

"Kamu tuh mau sampai kapan sendiri terus, sih?"

Lerita menahan Abyasa yang benar-benar ingin pulang. Mengamit tangan sang putra yang duduk di sampingnya, ia tatap wajah Abyasa yang mirip sekali dengannya tapi cara bicara persis seperti suami yang duduk di single sofa dengan ponsel di tangan, enggan membantu ia membujuk Abyasa agar mau menikah.

"Umur udah tiga dua, nak. Nikah. Biar ada yang ngurusin!"

Lerita yang tahun ini usia akan memasuki angka lima puluh sembilan itu begitu takut jika sampai usia enam puluh belum bisa menimang cucu dari Abyasa.

Senantiasa diam malah lirikan mata jatuh pada ponsel di tangan sang ayah, Benu, yang duduk di hadapannya, Abyasa sedikit tersentak saat mendapatkan tepukan ringan dari sang ibu di pahanya.

Wanita dengan keriput di wajah namun masih meninggalkan jejak kecantikan itu lalu cemberut. "Jangan cuekin bunda!"

Abyasa hanya menaikkan sebelah alis saja. "Kapan mau ni--"

"Tujuan nikah tuh apa, sih?"

Pria yang dua bulan lagi akan memasuki angka tiga puluh tiga itu lalu bertanya dan karena jarang sekali merespon rengekkan sang ibu, Beno angkat kepala dari layar ponsel. Ia tinggalkan permainan Solitaire untuk menatap wajah sang putra.

"Tujuan nikah?" Lerita berdecak kasar. "Punya keturunan, lah! Meneruskan nama keluarga."

"Kalau ternyata ngga bisa punya anak gimana? Banyak pasangan yang menikah tanpa anak."

"Kamu mandul?"

Lirikan langsung berlari ke arah Beno yang begitu datar, Abyasa hanya menipiskan bibir.

Ayahnya kalau bicara suka sembarangan memang.

"Ayah! Kalau ngomong yang bener, ah!" Tapi Lerita langsung menyanggahnya. "Anak kita ini sehat!" Wanita dengan hijab panjang itu mengelus lengan Abyasa. "Ya kan, nak?" Tapi kok dari pertanyaannya terdengar ragu.

Abyasa memutar bola mata jengah. "Ya aku juga ngga tau. Belum pernah hamilin orang--"

"Heeeehh!"

Plak!

Plak!

Dengan begitu ringan tangan Lerita memukul bahu putranya. Namun sebagaimana Abyasa bersikap, pria itu hanya diam seolah pukulan sang ibu adalah sentuhan ringan nyamuk yang numpang makan malam. "Jangan ngawur kamu, ya!"

"Hamilin ngga apa--"

"Ayah!" Lerita menghardik sang suami bersama pelototan membuat Beno kembali menatap layar ponselnya sambil bergumam pelan.

"Dinikahin dulu maksudnya."

Nah, itu!

Sebenarnya alasan Abyasa enggan menikah. Dia yang tampak berwibawa ini bisa hancur pamornya jika jadi pria yang takut istri!

Seperti Beno pada Lerita.

"Ya makanya bantuin cari jodoh buat Yasa!"

"Kalau anaknya ngga laku, kita mau--"

"Cih!" Tak peduli dengan tata krama, Abyasa berdecih mendengar kata tak laku keluar dari bibir ayahnya. "Aku ngga main dukun kayak ayah."

Lerita langsung menjewer sang putra sedangkan Beno segera kembang-kempis hidungnya.

Iya. Dia pendek, hitam, gendut. Tapi bisa mendapatkan Lerita yang cantik, putih, tinggi.

Tapi dia murni dapatkan sang istri dari pesonanya yang memang memikat hati.

"Udah, ya! Bunda ngga mau tau!" Lerita berdiri.

Dia sudah lelah sekali berhadapan dengan Abyasa yang selalu saja menghindar tiap kali membicarakan perihal jodoh dan kali ini ia tak mau kecolongan lagi. "Ini bunda ada foto-foto anak teman bunda!"

Dari kolong meja, ia keluarkan amplop dan kembali duduk sambil serahkan satu foto yang ia ambil dari kertas putih itu.

"Ini! Namanya Berlian!" Senyum Lerita mengembang lebar. "Cantik, kan?"

"Jaman sekarang masih ada foto kertas begitu?"

Beno tiba-tiba memberi komentar namun delikan sang istri membuat ia kembali menunduk, melihat layar ponselnya. "Cantik, kan?" Wanita itu kembali pada Abyasa yang meringis samar.

"Biasanya cuma ada di cv--"

"Abyasa! Bisa ngga usah gubris ayah kamu dulu?!" Lerita menyentuh kepalanya. Bisa gila ia hadapi sang putra, padahal selalu bertemu dengan Beno saja sudah mengambil setengah kewarasannya.

Tersenyum kecut, Abyasa lalu memandangi selembar kertas di tangannya. Untuk beberapa saat ia diam seolah menilai, sebelum kemudian serahkan kembali pada sang ibu yang tampak begitu berharap.

"Gimana? Masih muda, loh. Umurnya dua puluh ti--"

"Aku ngga suka sama orang yang ngga bisa rawat dirinya sendiri."

Alis Lerita bertaut. Dia pandangi foto gadis bernama Berlian ini untuk mencari bagian mana yang bisa dikatakan tak bisa merawat diri.

Tapi belum ia bertanya lebih rinci, Abyasa yang bersedekap segera menjelaskan. "Dengan tubuh sekurus itu, dia bisa menjatuhkan pamorku. Dikira orang ngga mampu makan nanti."

Astaga!

Lerita menutup wajah dengan lima jari yang terbuka lebar.

Ada saja alasan tak masuk akal yang Abyasa buat untuk menolak perjodohan yang ia tawarkan.

"Ya udah, yang ini!" Mencari-cari yang pas sesuai dengan kriteria sang anak--barangkali--Lerita menyerahkan satu foto lagi pada Abyasa yang hanya melirik saja.

"Dia kerja?"

"Iya. Dia ker--"

"Ngga. Untuk apa menikah kalau nanti sulit bertemu."

Wajah Lerita mulai memerah. Tapi ... Sabar. Dia harus mempunyai kesabaran seluas samudra untuk hadapi putranya. Apalagi ketika ia lirik sang suami yang sejak tadi lebih asyik dengan ponsel dari pada menolong ia yang begitu berusaha untuk menghapus status lajang di identitas pengenal sang putra.

Dia harus sabar. Harus semakin sabar.

"Kalau begitu yang ini." Ia berikan foto yang lain. "Ngga kerja! Ngga terlalu kurus juga! Ngga gendut juga! Kulit putih bersih, usia dua puluh lima, kerjaannya cuma di rumah! Ketemu terus kalian nanti!"

Lerita sabar. Hanya saja ia tak bisa untuk tak mempertegas tiap kalimat yang ia ucapkan.

"Sempurna!" imbuhnya lagi sebelum diam menanti jawaban Abyasa yang menaikkan sepasang alis.

Lerita menunggu jawaban sang putra dengan segumpal emosi yang akan meledak jika sekali lagi ditolak. Sementara Beno yang jadi ikut penasaran, menggulirkan bola mata ke atas, menjeda permainan untuk menunggu keputusan Abyasa yang tampak berpikir.

Beno tebak sih, putranya hanya sedang memikirkan bagaimana caranya menolak foto ketiga yang Lerita sodorkan.

"Ngga pernah kerja?" Ia bertanya lambat dan Lerita segera mengangguk tegas. "Aku benci dengan pemalas."

Alah sudahlah!

Lerita langsung banting amplop di tangan, Beno hanya bergumam pelan karena tahu jika putranya pasti akan beralasan untuk menolak, sementara Abyasa sendiri kemudian berdiri. "Aku pulang dulu bun, yah. Permisi."

Bahkan tak mau susah payah meredam emosi sang ibu yang pasti akan luapkan marah pada Beno yang makin menghela napas pasrah, Abyasa langsung bergerak cepat untuk keluar sebelum ibunya mengejar.

Dari area carport, ia masuk ke mobil secepatnya kemudian segera melajukannya dan napas lega baru bisa ia embuskam saat berhasil keluar dari perkarangan rumah sang ibu yang dibangun sederhana di atas tanah yang cukup lebar.

Akhirnya ia berhasil kabur dari Lerita yang tadi memanggil ia dengan alasan sakit. Tapi ketika tiba, ibunya bahkan terlihat sangat sehat.

Melajukan mobil miliknya sendiri, Abyasa lantas mengambil ponsel dari saku untuk menghubungi asisten pribadi yang ia tinggalkan di kantor dengan setumpuk pekerjaan.

Tapi mengingat Jemima yang seringkali bertindak suka hati ketika tak ada dirinya, ia tebak jika wanita itu sudah pulang tak lama dari kepergiannya.

Sudah pasti itu.

Beberapa kali menghubungi dan tak mendapatkan jawaban apapun, Abyasa yang melajukan kendaraan menuju Century Giant, berniat untuk kembali bekerja--yang benar adalah mengecek keberadaan Jemima--segera parkirkan mobil di area khusus untuk dirinya dan cepat-cepat keluar seolah waktu tengah memburu.

Melangkah lebar, abaikan beberapa sapaan, Abyasa yang lewat di belakang motor yang diduduki seorang pria yang cukup ia kenal karena beberapa hari ini selalu berada dalam pengawasannya, tiba-tiba melambatkan langkah karena mendengar nama wanita yang begitu sulit ia hubungi disebut.

"Ada mba Mima juga berarti? Oh ... Oke-oke, bang. Di Kashimura, kan? Aku berangkat sekarang."

Balikkan badan ketika pria yang tak lain si jangkung Yusuf mulai menyalakan motor maticnya, Abyasa kemudian melirik diam-diam ke arah kepergian karyawannya tersebut yang ia tahu memiliki cara pandang berbeda ketika menatap Jemima.

Sialnya wanita itu tak pernah sadar!

Jemima tak pernah sadar jika ada pria yang berusaha menyantap wanita itu.

Aarrgh!

Benar-benar membuat dia kesal.

Tbc....

Salah satunya yang mau nyatap Jemima namanya Abyasa, kah?

Cek Karyakarsaku : Greyacraz
Sudah sampai part 9 😘

With love,
Greya

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 50.8K 34
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
192K 12.6K 34
(DS) : BOYSLOVE AREA!
827K 57.9K 48
Sherren bersyukur ia menjadi peran figuran yang bahkan tak terlibat dalam scene novel sedikitpun. ia bahkan sangat bersyukur bahwa tubuhnya di dunia...
258K 23.8K 74
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.