Memories in the Making

By dindaarula

58.6K 5.9K 962

[Cerita Terpilih untuk Reading List @WattpadRomanceID - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2023] Menjadi lebih dek... More

โ€ Introduksi
โ€ 01 - Ketika Xenna Ditinggal Menikah
โ€ 02 - Problematika Hati dan Skripsi Xenna
โ€ 03 - Tentang Janu dan Pencarian Jodoh
โ€ 04 - Xenna Bukan Anak Kecil (Lagi)
โ€ 05 - Tindakan Langka Janu
โ€ 06 - Layaknya Kakak Ketiga Xenna
โ€ 07 - Xenna, Tumbuh Dewasa, dan Luka
โ€ 08 - Debaran Pertama untuk Janu
โ€ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri
โ€ 11 - Sisa Hari Bersama Janu
โ€ 12 - Hadirnya Teman-Teman Janu
โ€ 13 - Kekesalan dan Kecemburuan Xenna
โ€ 14 - Berlabuhnya Hati pada Janu
โ€ 15 - Xenna dan Sakit yang Tiada Habisnya
โ€ 16 - Janu dan Kucing Hitam
โ€ 17 - Naik Turunnya Perasaan Xenna
โ€ 18 - Ruang Pribadi dan Dunia Janu
โ€ 19 - Xenna dan Hati yang Terporak-poranda
โ€ 20 - Lebih Dekat dengan Janu
โ€ 21 - Harapan Perihal Kebahagiaan Xenna
โ€ 22 - Keinginan Tersembunyi Hati Janu
โ€ 23 - Xenna dan Bentuk Kepeduliannya
โ€ 24 - Janu dan Bentuk Kekhawatirannya
โ€ 25 - Ketika Xenna Menjadi yang Utama
โ€ 26 - Di Saat Janu Cemburu
โ€ 27 - Bimbingan, Obrolan Malam, dan Xenna
โ€ 28 - Perkara Ajakan "Kencan" Janu
โ€ 29 - Satu Lampu Hijau dari Tiga Pelindung Xenna
โ€ 30 - Perihal Pembuktian Perasaan Janu
โ€ 31 - Cukup Hanya dengan Xenna
โ€ 32 - Semua Akan Janu Usahakan
โ€ 33 - Rasa Kecewa yang Tak Xenna Duga
โ€ 34 - Keyakinan yang Menghampiri Janu
โ€ 35 - Sebuah Usaha untuk Membuat Xenna Pergi
โ€ 36 - Berada di Luar Kendali Janu
โ€ 37 - Amarah yang Melingkupi Xenna
โ€ 38 - "Kejahatan" yang Dapat Janu Maklumi
โ€ 39 - Xenna dan Ketenangan yang Enggan Hadir
โ€ 40 - Janu di Ambang Bimbang
โ€ 41 - Hadiah yang (Tak) Xenna Inginkan
โ€ 42 - Tatkala Dunia Janu Meruntuh

โ€ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna

1.5K 167 2
By dindaarula

"UNTUK catatan revisinya kirim via e-mail saya saja. Tapi berhubung sekarang bukan jam kerja dan deadline masih besok siang, malam ini saya hanya akan kasih lihat sketsa kasarnya dulu untuk dicek." Janu sibuk bertelepon dengan salah satu rekan kerjanya sembari membuat teh hangat di dapur, dan diam-diam Xenna mendengarkan sambil sesekali mencuri pandang ke asal sumber suara. "Kalau begitu paling lambat jam delapan saya hubungi. Setelahnya saya tunggu kabar baik secepatnya. Kebetulan besok ada beberapa kerjaan lain yang harus saya handle di hari yang sama. Saya khawatir yang satu ini malah tidak akan terkejar."

Saat ini Xenna memegang masing-masing kedua sisi sebuah buku yang terbuka, tetapi sepasang netra gadis itu malah fokus mengarah ke satu titik di arah kanan. Entah untuk apa, Xenna hanya melakukannya begitu saja. Namun, ketika sosok Janu kembali tertangkap oleh penglihatan, mata Xenna lekas membulat panik dan ia pun buru-buru mengambil sikap seolah ia benar-benar tengah serius membaca tiap-tiap kalimat yang tercetak dalam buku. Kendati demikian, sesekali Xenna masih mencuri pandang pada Janu yang masih berbicara melalui sambungan telepon. Tampaknya lelaki itu pun akan melewati ruang tengah begitu saja.

Setidaknya, sampai Janu mendapati Cimol berjalan mendekati Xenna dengan santainya, lalu mengeong manja sembari memijakkan kedua kaki depannya ke atas paha sang gadis. Mencari perhatian.

Secara otomatis Janu menghentikan langkah tak jauh dari tempat Xenna berada walaupun percakapannya dengan seseorang di seberang sana masih berlanjut. Namun, kedua matanya yang tak terhalang lensa kaca tertuju pada Xenna. Datar tanpa emosi, tetapi cukup membuat ketar-ketir. Karenanya Xenna pun beberapa kali mencoba mendorong pelan tubuh gembul Cimol seraya menaikkan kaki-kakinya yang semula bersila. Sayangnya, Cimol yang sudah terlampau lengket dengan Xenna pun tetap berusaha mendekat.

"Aduh, Cimol, sana dong, aku kan lagi baca buku," usir Xenna secara halus. Tepat pada saat itu, Janu telah menutup pembicaraan di telepon, lalu menurunkan ponsel. Pandangannya tidak berpindah. Xenna pun menyengir kaku seraya berkata, "A-aku nggak ngajak main Cimol kok, Mas. Serius."

Janu tidak merespons selama sepersekian detik. Lelaki itu hanya membuang napas pelan seraya beranjak menuju sofa panjang yang berada tepat di belakang Xenna--ia duduk di atas karpet bulu dan bersandar di bagian tepinya. Secangkir teh hangat berpindah ke atas meja sementara tubuh Janu telah mendarat di atas sofa. Ada jarak sekitar lima jengkal antara dirinya dengan Xenna.

Dan anehnya, Xenna merasa jantungnya kembali berdentum tak keruan kendati Janu tak melakukan apa pun padanya. Kenapa jadi begini, sih ..., batin gadis itu, tidak paham dengan dirinya sendiri. Biasanya tidak pernah seperti ini. Janu tidak pernah membuatnya merasakan hal seperti ini. Lantas, kenapa ....

Kedua mata Xenna memejam sejenak. Ia mendorong pelan buku di tangannya hingga naik dan menutupi setengah wajah. Bibir bawahnya menjadi korban, tergigit dengan sembarang sebab kebingungan yang melanda. Sementara itu, Xenna masih berusaha menghalau Cimol yang tidak menyerah untuk naik ke pangkuannya, mempersulit keadaan.

"Berani sekali kamu mengabaikan dia."

Vokal berat Janu membuat Xenna sekonyong-konyong menoleh terkejut, terlebih lagi karena kalimat yang terucap dari mulut lelaki itu. "Kan Mas Janu sendiri yang nggak ngebolehin aku main sama anak-anaknya Mas Janu ...."

Tidak ada perubahan eskpresi yang berarti dalam wajah Janu. Tetap saja datar, tanpa emosi. "Saya bisa apa, kalau memang dia sudah segitunya nyaman sama kamu," Janu membalas, dan kalau Xenna tidak salah menangkap, ada secuil nada kecemburuan dalam suaranya. Juga pasrah, seolah lelaki yang berbeda lima tahun dengan Xenna itu ialah wujud dari seorang ayah yang tidak bisa berbuat apa pun selain mengikuti kemauan sang anak.

Sontak Xenna pun tertegun. Pertahan yang semula ia buat langsung hilang, membuat Cimol segera mendapatkan akses bebas untuk mendekati dirinya. Kucing putih itu bahkan sudah naik ke paha, dan Xenna pun secara otomatis meluruskan kaki. Suara dengkuran khas lantas terdengar sementara Cimol sibuk mencari posisi ternyamannya untuk tidur. Ia berpaling sejenak untuk memerhatikan Cimol sebelum kembali lagi pada Janu yang masih betah menatapnya lurus-lurus.

Dan, debaran itu pun muncul kembali tanpa bisa Xenna cegah. Ini betulan gawat, pikir Xenna. Ia rasa dirinya akan makin gila jika terus seperti ini. Untuk saat ini, gadis itu tak punya pilihan selain melarikan diri. Maka dari itu, ia pun menaruh buku di atas karpet lalu pelan-pelan mengangkat tubuh Cimol, menyerahkannya pada Janu.

"Maaf, Mas, aku mau pulang, udah sore soalnya," ujar Xenna dengan cepat membuat sedikit bingung mulai menghampiri wajah Janu, tetapi lelaki itu hanya mengambil alih Cimol dalam diam sebelum ia letakkan dengan hati-hati di sebelahnya.

Xenna segera membereskan barang-barang yang ia bawa, lantas bangkit dan berkata, "Aku pulang ya, Mas, titip salam sama mami kalau udah pulang. Maaf juga tadi aku sempet ketiduran di sini." Xenna tersenyum begitu kaku sebelum ia beranjak pergi tanpa menunggu respons dari Janu. Lelaki itu mungkin akan menganggapnya aneh, tetapi Xenna tidak peduli. Ia hanya ingin menyelamatkam diri dari suatu hal yang mustahil terjadi.

Kini gadis berambut lurus sepinggang itu sudah sampai di pekarangan rumah Janu. Ia dengan cepat memakai sandal miliknya dan mengambil langkah menuju pagar. Namun, ketika Xenna membukannya dan hendak keluar, di saat itu juga ia sekonyong-konyong berhenti saat indra penglihatannya menangkap pemandangan yang tampak di depan rumahnya sendiri. Sontak Xenna buru-buru kembali menutup pagar dan berjongkok. Napasnya mendadak terasa sesak, ia pun mendekap seluruh barangnya dengan erat.

Kenapa?

Kenapa bajingan itu ada di sana?

Kenapa Arka di sana?

Kenapa Arka yang sudah berselingkuh dengan sahabat pacarnya sendiri itu datang lagi?

Xenna pikir setelah cukup lama tidak melihat sosoknya ia akan merasa biasa saja. Tapi ... kenyataannya tidaklah demikian. Jauh dari itu, sama seperti pertemuan tak terduganya dengan Gia kemarin, rasa sakit kembali hadir secepat kilat tanpa terhalang apa pun. Hatinya seolah kembali tersayat, menambah lagi luka--yang sebelumnya bahkan belum dapat ia sembuhkan secara menyeluruh. Jantungnya berdetak kencang lantaran terkejut. Untuk kembali berdiri saja rasanya gadis itu tak sanggup.

Entah akan memakan waktu berapa lama bagi Xenna tetap bertahan dalam posisi tersebut. Xenna belum juga mendengar suara mesin motor Arka yang pergi menjauh. Jika bisa, Xenna pun ingin cepat-cepat pergi sebelum--

--oh ... terlambat.

Suara pintu yang terbuka dari arah belakang segera menyapa rungu Xenna, yang tak lama disusul oleh suara langkah yang makin mendekat. Xenna bahkan tidak berkeinginan untuk menoleh.

Janu tergeming selama beberapa detik saat mendapati Xenna yang berjongkok sambil tertunduk di dekat pagar. Ia tak menyangka akan menemukan pemandangan ini sebab tujuannya keluar hanyalah ingin pergi ke minimarket yang berada dalam komplek tempatnya tinggal. Rasa ingin tahu pun segera muncul, membuat Janu kembali melanjutkan langkah menghampiri gadis itu, lalu turut berjongkok di hadapannya.

"Ada apa?" tanya Janu dengan hati-hati. Xenna kontan mengangkat kepala perlahan. Kedua mata mereka bertemu. Tatapan penuh luka yang Janu dapati cukup mengganggunya.

"Mantanku datang ke rumah, Mas," Xenna menjawab dengan jujur. Ia hanya merasa tak harus menyembunyikannya dari Janu sebab laki-laki itu pun sudah tahu segalanya. "Dia nungguin di depan pagar. Aku nggak mau ketemu dia."

Janu termangu sesaat, lantas ia bangkit hanya untuk mengintip dari lubang yang tidak tertutupi fiber pagar. Dan, rupanya benar. Ada seorang laki-laki berjaket abu-abu tengah duduk di atas Ninja putih, membelakangi rumah Janu. Motor itu pernah beberapa kali Janu lihat ketika sang pemilik datang untuk menjemput ataupun mengantar Xenna. Kini laki-laki itu tampak tengah mengangkat ponsel yang menempel tepat di telinga kanannya.

"Sepertinya dia sedang menelepon kamu," kata Janu, memberi tahu tanpa menatap lawan bicaranya.

"Nggak akan bisa. Aku udah blok nomornya, juga semua sosmednya," aku Xenna.

"Kemungkinan pakai nomor lain."

"HP-ku mode silent. Nggak akan aku angkat juga."

Janu mengembuskan napas berat sebelum ia kembali berjongkok, menatap Xenna lurus-lurus. "Lalu kamu mau gimana? Mau terus diam di sini sampai dia pergi?" Ada jeda. "Atau perlu saya samperin dan bilang kalau kamu lagi nggak ada di rumah?"

Selama sepersekian detik, Xenna hanya tergeming dengan sorot yang tak mampu Janu definisikan. Janu akan anggap itu sebagai persetujuan. Lantas ia pun kembali berdiri, sebelum akhirnya tercegah karena cengkeraman Xenna di ujung kausnya.

Janu menengok cepat. Yang ia dapati kini adalah tatapan ... memohon? Memohon agar Janu tidak mengambil tindakan apa pun. Dan hal itu terbukti ketika akhirnya Xenna turut berdiri dan berujar, "Jangan, Mas. Kalau aku diem aja, besok-besok dia masih bisa datang lagi. Kalau Mas Janu bilang aku lagi nggak ada, besok-besok dia juga masih bisa datang lagi." Xenna menghirup napas sejenak, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Makanya ... biar dia nggak datang lagi, harus aku sendiri yang suruh langsung."

Cukup tak terduga. Bagaimana bisa Xenna berubah pikiran secepat ini? "Kamu yakin?" tanya Janu, memastikan.

Xenna mengangguk pelan-pelan. Sudut bibirnya lantas tertarik kendati terlihat dipaksakan. Sesungguhnya ia memang enggan melakukan hal tersebut. "Kalau gitu aku pulang ya, Mas," pamit Xenna untuk yang kedua kalinya. Sebelum Janu sempat memberi balasan, gadis itu kembali menarik pintu pagar dan beranjak, benar-benar meninggalkan pekarangan rumah Janu.

Tiap langkah yang Xenna ambil hanya untuk menyeberangi jalan terasa begitu berat. Namun, ia sudah putuskan untuk berani menghadapi ini. Lantas ia menghirup napas dalam-dalam ketika dirinya kian dekat dengan sosok Arka. Sembari memeluk barang-barangnya begitu erat, sebuah kalimat pun terlontar dari mulut sang gadis, "Lo masih berani munculin diri di depan gue ternyata, ya."

Arka dengan cepat menoleh dan berdiri dari motornya. Kedua matanya lekas melebar saat mendapati Xenna berdiri tak jauh darinya setelah ia menunggu cukup lama di depan rumah gadis itu. "Xen ... akhirnya aku bisa ketemu kamu," ujar Arka. Rautnya tampak penuh kelegaan. Senyumnya terbentuk. Kendati tampak getir, tetap berhasil menghadirkan dua buah cengkungan dalam pada masing-masing pipinya. Salah satu yang sangat Xenna sukai dari Arka ... dulu. "Aku kangen banget sama kamu, tapi aku sama sekali nggak bisa ngehubungin kamu karena semua aksesnya kamu block. Dan hari ini akhirnya aku ngeberaniin diri buat ke rumah kamu, setelah dapat kabar kalau kamu baru datang ke kampus lagi."

Xenna memandang Arka datar. "Kabar dari Gia, maksud lo?" terka gadis itu sebab di hari saat ia ke kampus, hanya Gia yang ditemuinya di sana.

Seketika Arka terhenyak, tetapi begitu cepat ia mengalihkan pertanyaan tersebut dengan, "Xen, tujuan aku datang ke sini buat bicara baik-baik sama kamu, sekaligus minta maaf yang sebesar-besarnya. Aku mau kita balik kayak dulu lagi, Xen. Aku nggak mau kamu pergi dari hidup aku."

Mendengar itu, otomatis mulai menyulut emosi Xenna. "Lo udah gila, ya? Kita udah putus, Arka, dan gue nggak akan pernah mau balikan sama lo." Sembari menahan sesak, gadis itu melanjutkan, "Lo lupa ... kalau sekarang lo udah punya Gia? Menurut lo apa pantas lo ngomong kayak gitu ke gue sekarang?"

"Aku nggak pernah serius sama Gia, Xen," aku Arka tanpa ragu. "Dan kita putus secara sepihak, kalau kamu lupa. Aku nggak pernah setuju buat putus dari kamu."

Kini Xenna makin tak habis pikir lagi dengan laki-laki itu. Dengan kepala sedikit dimiringkan, pandangan penuh kebencian pun Xenna layangkan. "Lo beneran sinting, ya?" Suara Xenna meninggi. "Gue nggak peduli. Gue bilang putus ya putus!" Sejenak Xenna menghela napasnya. "Terus, lo bilang apa? Setelah cukup lama main-main di belakang gue, lo bilang lo nggak serius sama Gia? Lo mau coba bohong sama gue demi kepentingan lo sendiri? Nggak ada gunanya, Ar."

Xenna tahu semua itu bohong. Tidak serius, katanya? Lantas mengapa kemarin keduanya muncul di kampus dengan begitu bahagia selayaknya dua orang yang saling mencitai? Apakah mungkin tak ada status yang mengikat mereka meski telah bertindak demikian?

"Tapi aku cintanya sama kamu, Xen." Wajah Arka tampak begitu memelas. "Aku akhirnya sadar kalau cuma kamu yang bisa ngerti aku. Aku bener-bener minta maaf karena terlambat. Dan aku mau kamu tau kalau aku bakal tetap lebih milih kamu daripada Gia, Xen."

"Nggak ada yang nyuruh lo milih, berengsek!" hardik Xenna yang mulai habis kesabaran. Rasanya ia ingin melemparkan seluruh barangnya ke wajah laki-laki itu, tetapi ia masih waras dan sadar situasi. Xenna cukup beruntung karena jalanan komplek di depan rumahnya selalu sepi serta punya tetangga kanan kiri yang individualis, sehingga keributan yang terjadi kini takkan menarik perhatian siapa pun.

"Xen ... kamu kenapa jadi kasar begini?" tanya Arka dengan tatapan tak menyangka.

"Orang kayak lo emang pantas buat dikasarin," tegas Xenna. "Asal lo tau ya, gue nggak pernah mau maafin yang namanya perselingkuhan. Mau lo bilang ini itu ini itu sebagai excuse, selingkuh ya selingkuh aja. Lo bilang lo cinta sama gue? Halah, bullshit. Kalau emang cinta lo nggak akan berbuat sampe sejauh ini, Arka ...." Xenna menggigit bibir bawahnya kuat, menahan desakan air di pelupuk matanya. "Lo pernah sekali aja mikirin perasaan gue nggak, sih, waktu lo main belakang sama Gia?" tanya Xenna, yang sialnya terdengar begitu lirih.

Arka sukses dibuat bungkam selama beberapa saat. Rasa bersalah perlahan mulai menyerang usai sadar bahwa nyatanya ia sudah sangat menyakiti gadis di hadapannya itu. "Maaf, Xen ...." Suaranya terdengar tercekat. "Aku nyesel ... bener-bener nyesel sekarang."

"Nggak ada gunanya lo nyesel," balas Xenna. Suaranya melemah lantaran lelah. "Udah ya, Arka? Sekarang mending lo pulang. Di sini lo cuma buang-buang waktu aja karena gue nggak akan pernah setuju, apa pun itu permintaan lo."

"Xen, aku cuma mau kamu ...."

"Lo udah punya Gia, Ar. Sadar, dong."

"Gia beda sama kamu, Xen."

"Justru karena beda makanya dia berhasil narik perhatian lo, 'kan? Padahal lo tinggal jujur aja kalau lo udah bosen sama gue."

"Tapi--"

"Cukup, Ar. Udah, ya? Nggak usah kayak gini. Sekarang lo udah bisa fokus sepenuhnya sama Gia. Lo bahagiain dia, lo jaga dia. Jangan macam-macam sama dia, Ar, apalagi sampai lo berani nyentuh dia."

Sejenak Arka terdiam. Satu alisnya terangkat. "Maksud kamu ngomong begitu apa, Xen?"

Xenna membuang napas berat. "Entahlah, liat kalian berduaan di kamar kos lo bikin gue nggak bisa buat nggak mikir ke arah sana. Temen lo bahkan nggak mau jujur sama gue." Kedua matanya lalu memicing curiga. "Lo beneran nggak ngapa-ngapain sama Gia, 'kan, Ar?"

"Kenapa kamu jadi nuduh yang nggak-nggak, sih?" Vokal Arka meninggi. Sepasang netranya berkilat marah. Xenna tertegun. Bagaimana bisa dalam sekejap keadaan menjadi berbalik?

"Gue cuma nanya untuk memastikan, Ar."

"Nggak, itu namanya nuduh. Kamu dengan sendirinya bilang kamu mikir yang macam-macam. Emangnya menurut kamu aku cowok apaan, Xen?"

Xenna makin dibuat tak mengerti lagi dengan situasi ini. "Gue cuma tanya astaga, Ar. Kenapa lo keliatan nggak terima? Justru dengan lo bersikap kayak gini malah bikin gue jadi tambah curiga lagi."

"Gue nggak sebejat itu, Xen! Lo tau itu!" Dengan cepat, Arka sudah mengganti panggilan dalam kalimatnya.

"Terus kenapa lo harus semarah ini? Gue sama sekali nggak ada nuduh lo, Arka!"

"Gue tau gue salah karena udah ngeduain lo, tapi bukan berarti lo boleh sembarangan mikir kayak gitu tentang gue, Xen."

"Terus lo berharap gue bakal minta maaf karena udah mikir macam-macam? Nggak akan, Ar. Sekarang justru lo sendiri yang bikin gue ngira kalau lo sama Gia udah ngelakuin--"

"Tutup mulut lo!"

Bentakan tak terduga dari Arka sukses membuat Xenna membatu dengan napas tertahan. Kedua matanya melebar kaget, yang alasan sesungguhnya bukan hanya karena bentakan. Melainkan, satu tangan Arka yang kini terangkat dan melayang di udara, terhenti dengan sendirinya sebab laki-laki itu baru menyadari apa yang baru saja akan dilakukannya.

Arka, nyaris saja memukul Xenna. Ia nyaris saja memukul seorang perempuan.

Sementara itu, di lain sisi, Janu masih berada dalam posisi saat Xenna pergi dari rumahnya. Janu merasa sedikit tidak tenang sehingga ia memutuskan untuk tetap diam di balik pagar agar dapat dengan sengaja mencuri dengar percakapan Xenna dan mantan pacarnya, khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Niatnya untuk pergi ke minimarket pun seketika lenyap entah ke mana.

Di awal Janu merasa semuanya masih dapat Xenna hadapi dengan begitu baik, hingga kemudian kedua manusia itu mulai saling meneriaki satu sama lain. Bentakan di akhir membuat Janu kian yakin bahwa keadaan makin tak terkendali. Namun, yang dapat ia dengar setelahnya hanyalah hening panjang.

Satu tangan Janu sudah berada di gagang pintu pagar, bersiap untuk menariknya.

Lalu sebuah kalimat pun meluncur dari mulut mantan pacar Xenna, "Xen, maaf, aku nggak sadar, aku sama sekali nggak ada maksud buat mukul kamu ...."

Janu sontak saja terperangah. Pegangannya pada gagang seketika mengerat. Ia tidak mungkin salah dengar. Memukul, katanya? Jadi, selama ini Xenna menjalin hubungan dengan seseorang yang ringan tangan? Asumsi tersebut entah mengapa membuatnya marah.

Lantas setelah sadar bahwa ia tidak mungkin hanya berdiam diri, Janu langsung membuka pagar dan meninggalkan pekarangan rumahnya. Namun, di saat itu ia malah menemukan Arka sudah naik ke atas motor dan pergi begitu saja, meninggalkan Xenna yang hanya terdiam di depan pagar rumahnya, masih dilanda syok berat akibat perlakuan mantan pacarnya sendiri. Karenanya Janu pun buru-buru menyeberangi jalan--yang sedang sepi--untuk menghampiri Xenna.

Janu tidak banyak berkata. Ia hanya menuntun Xenna agar gadis itu segera masuk ke pekarangan rumahnya. Sesaat Xenna masih tampak terjebak dalam situasi sebelumnya, hingga tak lama ia berhasil tersadar dan sedikit terkejut dengan keberadaan Janu. Lelaki itu berdiri menjulang di dekatnya sementara Xenna tahu-tahu sudah terduduk di salah satu kursi kayu yang terdapat di teras.

"Mas ...," panggil Xenna lirih, tetapi setelahnya ia tak tahu harus mengatakan apa. Cairan bening sudah melapisi kedua matanya, tetapi gadis itu terus berkedip-kedip agar tidak menetes begitu saja.

Embusan napas panjang Janu loloskan. Kemudian ia berlutut di hadapan Xenna dengan masing-masing tangan bertumpu pada kedua lengan kursi. Lelaki itu perlu sedikit mendongak agar sepasang netranya dapat mengunci milik Xenna. "Kenapa ditahan? Nggak ada yang larang kamu buat nangis," ujarnya dengan tenang.

Xenna kontan menggigit bibir bawah bagian dalam. "Nanti Mas Janu ngatain aku cengeng lagi."

Janu menelengkan kepala, tidak habis pikir dengan alasannya. "Yang namanya bocah bukannya memang sering nangis?"

"Aku udah mau lulus kuliah ih, Mas, kenapa masih dibilang bocah terus, sih?"

Sudut-sudut bibir Janu lantas tertarik tipis, lalu ia membalas, "Betul juga, bocah ini sudah mau lulus kuliah rupanya. Dia sudah tumbuh dewasa." Sebelum Xenna sempat memprotes lagi ia mendapati tatapan Janu yang berangsur melembut. Kemudian dari bibirnya kembali terlontar, "Bocah yang sudah tumbuh dewasa ini masih sering nangis, hanya saja bukan lagi karena hal-hal sepele. Bocah ini sering nangis karena berbagai permasalahan yang belum tentu akan terjadi pada semua orang dewasa. Perceraian orangtua, perselingkuhan pacar, pengkhianatan sahabat ... semuanya sudah dihadapi sama bocah yang sudah tumbuh dewasa ini. Dunia ternyata sudah terlalu jahat, ya?"

Xenna seketika saja tertegun, memandang Janu tak percaya lantaran tidak pernah sekali pun lelaki itu berbicara sepanjang ini padanya, dengan tiap-tiap kata yang tersusun membentuk rangkaian kalimat yang begitu menyentuh. Bibir Xenna mulai bergetar, bersamaan dengan kristal bening yang kembali memenuhi pelupuk mata. Hanya dengan berkedip sekali saja, air langsung meluruh membasahi pipi, yang lambat laun kian deras hingga kemudian disusul oleh isakan. Lagi dan lagi Janu harus menyaksikan Xenna menangis, tetapi Xenna sudah tidak peduli. Ia betul-betul tak kuasa lagi menahan sesak di dada.

Janu mulanya hanya tergeming di tempat. Tidak ada rasa bersalah. Ia memang dengan sengaja menyusun kalimat sedemikian rupa dan melisankannya, semata-mata agar Xenna menumpahkan segalanya saat itu juga ketimbang harus menyiksa diri sendiri dengan pura-pura bertahan.

Namun, Janu merasa ia tak boleh diam saja.

Setidaknya ia harus sedikit bertanggung jawab, 'kan?

Maka dari itu, yang Janu lakukan setelahnya adalah setengah bangkit untuk kemudian dibawanya Xenna ke dalam dekapan dengan penuh kehati-hatian, mengingat ini adalah yang pertama kali.

Hanya itulah yang terpikirkan oleh Janu, dan beruntungnya Xenna sama sekali tak memberi sinyal penolakan. Xenna bahkan segera meremas kuat kaus yang Janu kenakan, membuat Janu dapat bergerak lebih Jauh lagi dengan mengelus lembut kepala Xenna dan memberi tepukan-tepukan ringan di punggungnya, menyalurkan ketenangan yang mungkin sedang sangat dibutuhkan oleh sang gadis.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

bandung, 30 juli 2023

Continue Reading

You'll Also Like

37.9K 3.2K 6
Spin-off Still into You. Mereka menikah. Bukan karena saling mencintai. Tapi karena keadaan yang mengharuskan pernikahan itu terjadi. Nathan harus me...
1M 154K 50
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
2.2M 10.3K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...
385K 8K 35
WARNING! DIHARAPKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA! THANKYOUโค๏ธ ____ Kenzy seseorang yang harus merelakan tubuhnya di jamah orang lain. Keadaan yang mem...