A Reason

By Lapoo05

1K 145 3

[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang sela... More

Prolog
1. Luka dan Obatnya
5. Suatu Saat Nanti
2. Praduga Masa Depan
6. Pentas Seni
3. Hubungan Dua Keluarga
7. Awal Mula Kehancuran
4. Awal Kehilangan
8. Kemenangan Seorang Lala
9. SMA Major
10. Interaksi Pertama
11. Bertemunya Tokoh Utama
12. Menjauh Dari Lala
13. 3A
14. Kekangan Firda
15. Waktu Bersama Joseph
16. Tiga Sekawan
17. Indirect Confession
18. Tiga Sekawan (2)
19. Permintaan dan Imbalan
20. Lala, Dika, dan Kisah Tentang Mereka
21. Kisah yang Dimulai
22. Perasaan yang Sebenarnya?
23. Triangle or Quadrangle Love?
24. Love and Guilty
25. Bukan Lala
26. Meet and Greet
27. Awal Kisah Cinta
28. Akhir Kisah Cinta?
29. Berdua Bersamanya
30. Rahasia dan Takdir
31. Pasangan yang Seharusnya
32. Tak Bisakah Aku Saja?
33. Langkah dari Joseph
34. Cemburu dan Pelampiasan
35. Pernyataan Cinta
36. Ketakutan
37. Ada Sesuatu
38. Lagi-lagi Joseph
39. Apa Imbalannya?
40. Awal Mula Kerumitan
41. Perjodohan
42. Pertolongan Alvina
43. Arya Abimanyu
44. Ivan Aldiansyah
45. Dari Ivan untuk Lala
46. Rencana Dimulai
48. Putus
49. Kepergian si Gadis Cantik
50. Tersangka Utama
51. Hilangnya Kepercayaan
52. Rumor Menyebar
53. Pergi dari Rumah
54. Pertemuan dengan Kepala Sekolah
55. Penyelidikan Dimulai
56. Petunjuk Pertama
57. Rumah Lala
58. Barang Bukti
59. Penjelasan

47. Penyelesaian dari Salah Paham

12 2 0
By Lapoo05

Bacanya pelan-pelan aja, ya! 1,7k kata nih. Jangan lupa siapin camilan biar nggak bosen.
***

Pagi hari yang cerah bagi Alvina. Kafe barunya begitu ramai pengunjung. Mungkin orang-orang penasaran dengan isi dari kafe yang baru buka itu. Dalam hati dia berdoa, semoga di antara ratusan manusia yang penasaran itu, banyak dari mereka yang akan menjadi pelanggannya.

Suasana hati Alvina yang sangat bagus itu membuatnya tampak berbeda. Semua orang yang berpapasan dengannya diberikan senyuman. Beberapa orang membalas dengan senyuman juga. Sedangkan sisanya justru menatap heran.

Kelas Alvina berada cukup jauh dari gerbang. Untuk mencapainya, perlu melewati mading utama sekolah. Ketika Alvina melewati mading itu, dia justru salah fokus karena melihat betapa ramainya tempat itu.

"Tumben banget mading rame. Biasanya tingkat literasinya pada rendah, walaupun mereka tetep pinter sih." Alvina diam-diam penasaran.

Mengatasi rasa penasaran, Alvina menghampiri mading itu. Betapa terkejutnya dia saat melihat foto-foto yang terpampang di sana. Lala sedang melakukan tindakan yang tidak senonoh.

Akan tetapi, Alvina bukan orang bodoh. Dia adalah penggemar sosiologi garis keras. Menganalisis perilaku orang lain adalah makanan sehari-harinya. Karena itu, Alvina tahu jika di foto itu, Lala tengah dipaksa. Lagipula mana mungkin gadis sebaik Lala melakukan aktivitas seperti itu sebelum menikah.

Alvina jadi prihatin. Dia tidak menyangka jika perundungan Lala tak cukup melukai mental dan fisiknya. Mereka bahkan memfitnah Lala dan menjatuhkan harga diri gadis itu.

"Ada apa ini rame-rame?" Suara yang begitu Alvina kenali terdengar.

Alvina menoleh ke arah Dika. Laki-laki itu terlihat begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya. Kemudian menoleh ke arah samping, ke arah Alvina lebih tepatnya.

Alvina tidak mengerti pandangan apa yang Dika berikan. Yang jelas laki-laki itu kelihatan ... marah?

Ah, itu bisa diurus nanti. Alvina dengan segera menarik tangan Dika. Membawa lelaki itu ke tempat yang sepi.

"Mau ngapain? Mau jelasin apa lagi?" ketus Dika.

"Nggak ngejelasin apa-apa. Gue juga nggak tau apa-apa soal foto-foto itu. Yang gue tau, Lala nggak seburuk itu. Di foto aja mukanya keliatan nggak nyaman."

Tertawa sinis, Dika menjawab, "Ngapain lo susah-susah jelasin ini sama gue? Bukannya lebih baik kalau gue percaya sama rumor itu? Dengan begitu gue bakal ilfeel sama Lala. Terus gue bakal terima perjodohan kita dengan senang hati. Itu 'kan mau lo sebenernya?"

"Lo apaan sih, Kak? Gue seburuk itu di mata lo?" Alvina membentak.

"Setelah percakapan kita kemarin, lo berharap gue masih bisa berpikir positif sama lo? Lagian orang yang paling berpotensi untuk ngelakuin ini semua itu lo, Vin. Lo musuh Lala yang paling sepadan."

Tawa sumbang Alvina layangkan. Buliran bening mulai memenuhi matanya. Dia tidak menyangka niat baiknya berakhir seperti ini.

"Wow, lo orang yang udah kenal lama banget sama gue, Kak. Dan lo nuduh gue kayak gini?"

"Kita emang kenal lama. Karena itu gue kira gue tau semua tentang lo. Tapi ternyata enggak. Banyak sisi buruk lo yang tersembunyi. Mungkin karena itu lo nggak pernah punya temen, lo busuk, Vin."

Setelah mengatakan semua penghinaan itu, Dika pergi begitu saja. Meninggalkan Alvina yang kini jatuh berlutut. Menangis sejadi-jadinya.

Orang yang sangat dipercayainya. Orang yang paling diandalkannya. Orang itu pergi meninggalkannya.

Menyadarkan Alvina jika memang tak ada yang mengharapkan kehadirannya.

🌷🌷🌷

Alvina masih berada di kelasnya walaupun bel pulang sudah berbunyi sedari tadi. Alasannya sudah pasti, orang yang ditumpanginya sedang rapat di Ruang OSIS. Kesal juga sebenarnya. Mengapa ia tidak pernah dibolehkan untuk pulang sendiri?

Kini gadis bernama lengkap Alvina Alya Alexandrina itu sedang meneliti buku berwarna biru yang sering dibawanya belakangan ini. Berpikir apakah ini saat yang tepat untuk mengembalikannya. Gadis pemilik buku itu mungkin saja sudah pulang, jadi ia bisa meletakkannya di tempat semula ia mengambilnya.

Tanpa sengaja matanya menatap ke arah jalan setapak di samping lapangan. Bukankah itu Lala? Mengapa dia belum pulang?

Alvina mengalihkan pandangannya. Mulai berpikir untuk berbicara langsung kepada Lala. Selama ini, dia hanya mampu menyimpan rasa irinya dalam diam. Bukankah lebih baik untuk berbicara kepada orang yang sejauh ini menjadi objek kecemburuannya? Dia tak ingin semakin membenci gadis itu.

Setelah memantapkan niat, Alvina melangkah menuju toilet di gedung IPA. Melihat arah Lala melangkah, tak ada lagi tujuan selain ke sana. Kantin sudah tutup saat ini.

Alvina berhenti sebentar di depan pintu kamar mandi. Berpikir apakah ia harus mengetuk pintu atau tidak. Dia merasa tidak sopan jika masuk tanpa mengetuk. Namun, apa gunanya mengetuk pintu toilet yang merupakan fasilitas umum?

Terlalu lama berdebat dengan diri sendiri membuat Alvina kesal sendiri. Dia membuka pintu dengan keras. Membuat seseorang yang berada di dalam terkejut.

"Alvina?" panggil Lala pelan. Gadis itu masih berusaha menetralkan detak jantungnya yang terpacu akibat keterkejutannya tadi.

Alvina berdiri di depan Lala dengan napas yang terengah-engah. Persis seperti banteng yang melihat warna merah. Jika dianimasikan, mungkin ada asap yang keluar dari hidungnya sekarang.

Alvina melemparkan sebuah buku yang ditangkap oleh Lala. Gadis pecinta warna biru itu meneliti buku apa yang baru saja dilempar. Kemudian terukirlah senyum di wajah gadis itu.

"Jadi lo yang nemuin buku ini," kata Lala lega. Gadis itu bersyukur yang menemukannya adalah Alvina.

Alvina tercengang. Mengapa gadis itu bisa begitu santai? Bahkan setelah semua yang terjadi padanya, gadis di hadapannya masih bisa tersenyum.

Alvina kira, Lala akan melimpahkan semua padanya. Rumor buruk itu, apa Lala tidak curiga kepadanya? Tidakkah gadis itu setidaknya mengintimidasinya walau sedikit?

"Kayaknya lo bahagia banget ya. Bahkan setelah semua yang terjadi sama lo, lo tetep bisa senyum." Sayangnya, ego gadis itu sungguh tinggi. Alvina enggan memberi kepercayaan pada Lala untuk kedua kalinya.

Melihat Lala hanya tersenyum, Alvina melanjutkan, "Gue udah baca buku itu. Dan liat betapa bahagianya hidup lo."

"Kenapa? Kenapa lo selalu beruntung, La?!" Rahangnya mengeras, tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.

"Dari dulu, gue selalu dibandingin sama lo. Orang tua gue selalu pengen punya anak kayak lo. Gue udah berusaha, La. Gue udah berusaha bisa sebaik lo! Tapi gue nggak bisa. Tiap hari gue belajar lebih dari delapan jam sampai kurang tidur. Tapi apa? Gue sama sekali nggak bisa kayak lo. Gue benci kenyataan itu. Gue benci saat orang tua gue sendiri merasa nyesel punya anak kayak gue."

Masih dengan menatap Lala, tangisnya meluruh. Rasanya sakit mengingat betapa bahagianya ibunya saat membahas prestasi Lala. Betapa inginnya ibunya memiliki anak seperti Lala.

"Pas gue masuk sini, gue berharap bakal masuk IPA. Ikut olimpiade fisika kayak lo. Membuktikan kalau sebenernya gue nggak kalah pinter dari lo."

Bohong.

Jelas-jelas Alvina memilih masuk IPS. Hanya saja, saat ini Alvina ingin membuat gadis di hadapannya merasa bersalah. Sampai-sampai gadis itu membawa kebohongan dalam konfrontasinya.

"Terus apa yang salah, Alvina?" tanya Lala.

"Gue tau seberapa cintanya lo sama sejarah dan sosiologi." Alvina tertegun. Gadis itu mengetahuinya? Bahkan orang tuanya sendiri mengabaikannya.

"Lo tau? Walaupun nggak keliatan, gue sebenernya punya ambisi yang sama kayak lo. Gue pengen membuktikan kalau gue pantas jadi keturunan keluarga Rabbani. Karena itu, dulu setiap nilai semester dipajang di mading sekolah, diem-diem gue bakalan liat nilai lo. Berharap kalau lo tetep di bawah gue. Jahat memang, tapi kenyataannya memang sesusah itu 'kan terlahir di keluarga kalangan atas? Kita dipaksa untuk selalu sempurna."

Alvina terdiam. Tidak menyangka jika selama ini, bukan hanya dia yang selalu memperhatikan Lala. Tapi Lala juga memperhatikannya.

"Nggak usah heran. Gue suka jadi pengamat. Apalagi tentang orang yang selama ini selalu jadi ancaman buat pertahanan peringkat gue. Gue tau seberapa pinternya lo di mata pelajaran IPS dulu, Vina. Dan gue bersyukur atas hal itu. Karena gue merasa setidaknya kita cuma perlu bersaing di paralel. Tapi ternyata gue salah, kenyataannya hidup kita emang nggak akan lepas dari perbandingan antara satu sama lain, iya 'kan?"

Benar.

Apapun yang terjadi, bagi orang-orang, Lala dan Alvina adalah dua orang yang pantas untuk disandingkan. Diperdebatkan siapa yang lebih hebat. Juga digunjing jika melakukan satu kesalahan.

"Bukannya kita sama-sama terluka, Alvina? Kayaknya kalau kita bikin circle kumpulan teman seperjuangan, kita bakal cocok banget."

Hati Alvina yang mulai melunak sontak mengeras kembali. Jika memang mereka cocok menjadi teman, kenapa Lala tidak mau berteman dengannya dulu? Kenapa gadis itu justru memilih Ica?

Atau setidaknya ... Lala harusnya juga mengajaknya berkenalan dengan Ica. Sama seperti Ica yang memperkenalkan Agatha pada Lala.

"Lo yakin? Lo punya keluarga yang sayang sama lo. Lo punya sahabat yang pengertian. Lo selalu jadi pusat perhatian. Lo dikasih keberuntungan sama Tuhan dengan pinter di pelajaran IPA. Sedangkan gue? Nyokap gue sendiri bilang dia nyesel punya anak kayak gue. Sahabat gue nggak pernah ngertiin gue. Gue cuma punya Kak Dika dan itu pun udah lo ambil. Gue juga nggak pernah jadi apa-apa di sini. Dan lagi, gue juga dikasih Tuhan kepinteran di bidang yang gue suka, tapi apa artinya itu? Gue selalu diremehin cuma gara-gara masuk jurusan IPS. Orang selalu skeptis sama jurusan gue. Yakin kita senasib?"

Lala tampak termenung sejenak. Namun, gadis itu kemudian memberikan buku biru miliknya kepada Alvina.

"Kita sama-sama pernah belajar bahasa Jepang 'kan waktu kelas sepuluh dulu? Harusnya lo ngerti apa arti tulisan di sampul buku itu. Tapi kalau lo nggak ngerti, jaman sekarang ada yang namanya penerjemah online."

"Oh, dan satu lagi. Gue nggak pernah lupa tentang lo, Alvina."

Setelahnya, Lala pergi dari toilet. Meninggalkan Alvina dengan perasaan yang campur aduk. Dia senang Lala mengingatnya. Namun, dia juga kecewa karena Lala tetap tak berusaha memulai interaksi sama sekali dengannya.

Interaksi pertama mereka sebelum hari ini adalah hari pertama mereka di SMP. Dan interaksi terakhir adalah hari di mana mereka tampil bersama di pentas seni saat masa pengenalan lingkungan sekolah. Setelahnya, Alvina tak lagi berusaha untuk mendekati Lala karena tak ingin gadis itu risih. Begitu pun Lala yang sama sekali tidak berusaha untuk membangun interaksi.

Mereka bahkan tak pernah bertegur sapa lagi.

Mengingat perkataan Lala tadi, Alvina buru-buru mengambil ponselnya. Namun, bertepatan dengan dia menekan aplikasi penerjemah, telepon dari Joshua masuk.

"Vin, lo di mana sih? Kalau mau pulang bareng jangan nyusahin gini dong. Tiba-tiba ngilang."

"Maaf, Kak. Gue ke sana sekarang."

🌷🌷🌷

Dengan handuk kimono-nya, Alvina keluar dari kamar mandi. Tangannya sibuk mengusap rambutnya dengan handuk. Sedangkan otaknya sibuk berpikir, sepertinya dia melupakan sesuatu.

Matanya tak sengaja menatap ke arah buku biru yang tergeletak di meja belajarnya. Detik itu juga Alvina sadar belum mencari tahu apa arti judul buku milik Lala.

Dengan gesit tangan Alvina membuka aplikasi penerjemah. Mengganti keyboardnya dengan huruf Jepang. Kemudian mengetikkan judul buku Lala di sana.

これはわたしのゆめです

Ini adalah mimpiku

Terjawab sudah mengapa Lala mengatakan bahwa mereka sama-sama terluka.

***
To Be Continued

Continue Reading

You'll Also Like

300K 4K 10
INTINYA JN HAREM BERMEKI/BERMEMEK ONLY ONESHOOT OR TWOSHOOT. BXB AREA‼️ JENO : SUB JAN SALPAK SALPAK? JAUH² SNA MOHON BIJAK DLM MEMBACA. HOMOPHOBIC G...
199K 21.3K 14
Seorang pemuda malang berusia 18 tahun harus bertransmigrasi ke dalam novel yang dia temukan di gudang saat bekerja. Dia menjadi Archellio, si bungsu...
202K 12.3K 30
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
4M 310K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...