RUMOR

By blueesilverr

5.7K 496 81

โš ๏ธ ๐‡๐š๐ซ๐š๐ฉ ๐Ÿ๐จ๐ฅ๐ฅ๐จ๐ฐ ๐๐ฎ๐ฅ๐ฎ ๐ฌ๐ž๐›๐ž๐ฅ๐ฎ๐ฆ ๐ฆ๐ž๐ฆ๐›๐š๐œ๐š ๐‡๐š๐ซ๐๐š๐ง ๐๐š๐ง ๐ซ๐ฎ๐ฆ๐จ๐ซ ๐ญ๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง... More

Prolog
satu ; kita
dua ; tentang rumor
tiga ; bertengkar
empat ; tentang pahlawan dan pengakuan tak terduga
lima ; susah move on
enam ; malioboro menjadi saksi
tujuh; bertemu
delapan; disini untukmu
sembilan; kebenaran (1)
sepuluh; akhirnya
sebelas; restu
duabelas; kebenaran (2)
tigabelas; bintang kecil (1)
empatbelas; bintang kecil (2)
limabelas; janji
enambelas; keluarga kecil
tujuh belas; cinta pertama
sembilan belas; kemunculan
dua puluh; Radhika bersaudara (1)
dua puluh satu; Radhika bersaudara (2)
dua puluh dua; pengirim pesan (1)
dua puluh tiga; pengirim pesan (2)
dua puluh empat; titik terang (1)
dua puluh lima; berdamai
dua puluh enam; tentang rindu

delapan belas; semua akan baik baik saja

110 13 0
By blueesilverr



Vote komennya boleh banget yukk


Hanum pulang dengan seraut wajah lesu yang ia tunjukkan secara terang-terangan di depan Gita dan Hardan. Pasangan suami istri tersebut baru saja saling melepas rindu dengan berpelukan hangat sembari menonton film. Namun pelukan keduanya terlepas begitu saja kala mendapati putri semata wayang mereka-masuk ke dalam rumah dengan wajah lesu sembari menahan tangis.

Melihat putrinya untuk pertama kali setelah perjalanan bisnisnya, tentu membuat Hardan merasa bahagia. Tetapi senyumannya luntur kala mendapati Hanum berjalan menghampirinya dengan wajah menekuk seraya merentangkan kedua tangannya.

Tanpa banyak berpikir, Hardan turut merentangkan kedua tangannya menyambut masuknya sang putri ke dalam pelukannya. Lantas tangannya terjulur untuk mengusap surai hitam legam milik Hanum penuh kasih sayang. Sembari diperdengarkan suara isak tangis sang putri-yang membuat hatinya ikut pedih kala mendengarnya.

"Hey cup ... cup ... , papi sama mami disini, kamu boleh nangis sepuasnya tapi nanti janji harus cerita ya?"

Bukannya mereda, suara isak tangis Hanum terdengar kian nyaring. Gita yang berada disamping mereka ikut menjulurkan tangan guna menepuk-nepuk lembut punggung putrinya.

"Hanum masih marah ya sama papi, ngapain cerita ke papi coba?"

"Hmm ... lagi marah tapi peluk-peluk papi, gimana sih kamu?"

"Biarin, papi ini papi aku bukan sih? Dipeluk protes, nggak dipeluk juga protes!"

"Ya kamu yang mulai. Yang diinget cuma mami, papi nya nggak,"

Hanum sedikit melonggarkan pelukannya pada sang ayah lantas menatap Gita.

"Mi, papi nih!"

"Papi," tegur Gita pada Hardan.

"Kok aku sih sayang, anak kamu nih,"

"Heh bukan anak aku doang ya, anak kamu juga ini, anak kita!" ucap Gita mengoreksi dan Hardan meringis mendengarnya.

Sementara itu Hanum sibuk menangis. Tidak peduli sama sekali dengan perdebatan kecil diantara kedua orang tuanya. Pelukannya kembali mengerat pada tubuh Hardan dan dengan senang hati papi satu itu membalas pelukan sang putri.

Hari-harinya memang diwarnai dengan perdebatan kecil antara dirinya dan Hanum. Namun bukan berarti mereka berdua sama sekali tidak menjalin kerukunan. Hanum itu sangat manja pada Hardan, meskipun ya, tidak jarang pula dibuat kesal oleh ayahnya itu.

"Mami, Hanum laper,"

Kali ini Hanum sungguhan melepas pelukannya. Sisa-sisa jejak air matanya masih menempel pada permukaan kulitnya yang seputih susu. Ia menyelesaikan kegiatan menangisnya kemudian meninggalkan papinya yang tengah menatapnya cengo. Apa maksudnya ini?. Putri kecilnya itu benar-benar memeluknya untuk menumpahkan kesedihan saja? Tidak disertai dengan cerita sesuatu begitu?.

Kepalang kesal, Hardan menyusul sang putri menuju ruang makan. Gita tengah memanaskan makanan melalui microwave sedangkan Hanum duduk di kursi sembari bertopang dagu. Pandangannya kosong dengan seragam sekolah yang masih terpakai rapi membalut tubuhnya yang mungil.

Melihat penampakan sang putri yang tidak biasanya, membuat Hardan seketika mengurungkan niat untuk bertanya. Entah mengapa Hanum erlihat sangat sendu sekali hari ini. Hardan menjadi tidak tega untuk melontar banyak tanya, padanya.

"Ini sayang, ayo dimakan," Gita memberikan nampan berisi makanan dan segelas minuman pada Hanum.

Gadis remaja itu menerimanya sembari tersenyum tipis lalu mengecup pipi maminya sebagai ucapan terimakasih. Lantas mengangkat nampannya sebelum berlalu dari ruang makan meninggalkan kedua orang tuanya.

"Hei ini papi nggak dapet cium pipi juga?Hanum! Kamu denger papi nggak sih?" teriak Hardan protes. Yang seketika berhenti karena Gita membekap mulutnya dengan sigap.

"Sayang, kamu apaan sih? Kenapa mulut aku ditutup segala?"

"Kamu tuh jangan teriak-teriak begitu. Anaknya lagi sedih kok diteriakin mulu," ucap Gita seraya menggelengkan kepalanya tanda tak setuju.

"Anak kamu kenapa sih sebenernya?"

"Har, sekali lagi kamu bilang dia anak aku doang aku marah nih ya,"

Hardan panik, "Eh nggak maaf, maksud aku anak kita,"

Ia membawa Gita kembali ke ruang tengah. Duduk di sofa depan televisi seraya berbagi cerita tentang Hanum. Hardan mendengarkan dengan saksama kalimat demi kalimat yang ia dengar dari sang istri.

"Hanum itu lagi suka sama seseorang. Tapi dia nggak tau orang yang dia suka punya perasaan yang sama atau nggak. Dan alasan kenapa dia bisa nangis kayak tadi pasti ada kaitannya sama anak laki-laki itu Har,"

Hardan hanya diam saja. Tak segera memberikan respon meskipun sudah bersitatap dengan sang istri. Otaknya perlu waktu untuk memproses cerita ini. Sebuah perasaan timbul di dalam hatinya kala mendengar putri semata wayangnya telah mengalami sebuah fenomena yang bernama jatuh cinta.

Ia bahagia, namun disatu sisi lainnya ada rasa tak terima mengapa waktu berjalan begitu cepat dan putrinya memang sudah sebesar itu sekarang.

"Putrimu yang satu lagi sepertinya juga suka sama anak laki-laki itu,"

"Maksud kamu, Kaia?"

"Iya,"

"Jadi maksudnya mereka bertiga ... "

"Aku juga mengira seperti itu, Har. Kamu juga punya pendapat yang sama?"

Hardan mengangguk tanpa ragu. Meskipun disatu sisi merasa sendu setelah mengetahui fakta dibalik mengapa putrinya dilanda kesedihan semacam itu.

"Dalam kasus ini, ayo kita lebih dekatkan diri kita pada Hanum. Kurangi tingkah jahil kamu ke dia. Dia lagi butuh kita, papi dan maminya,"

"Iya, aku setuju."


○○○


Reine menoleh kala menyadari tak ada respon sama sekali dari Kaia-yang tengah duduk di sebelahnya. Mereka berada dalam perjalanan menuju sebuah tempat yang sudah lama sekali tidak dikunjungi. Di depan ada papa dan bunda yang juga sama-sama melirik ke belakang untuk memastikan putri sulung mereka baik-baik saja.

"Kay?" panggil Jendra namun tak mendapatkan tanggapan yang baik.

Menyadari Kaia tidak mendengar panggilan dari papa, Reine bergerak untuk memukul pelan lengan sang kakak. Seketika itu Kaia tersadar dari lamunan panjangnya kemudian mengalihkan pandangan dari jendela. Kedua matanya membulat sempurna ketika menyadari semua orang di dalam mobil tengah menatapnya khawatir-saat lampu merah.

"Mbak, kamu kenapa? Ada yang sakit hm?" tanya Kalyana lembut. Kaia menggeleng pelan.

"Gapapa, bunda. Kaia baik-baik aja,"

Namun tetap saja jawaban sederhana dari Kaia tidak berhasil membuat Kalyana dan Jendra merasa tenang. Begitupula dengan Reine yang masih menatap sang kakak dari samping. Diraihnya telapak tangan sang kakak untuk ia genggam, membuat Kaia menoleh ke arahnya dengan pandangan terkejut.

"Aku tau kok mbak lagi bohong," bisik Reine kemudian, Kaia menatapnya datar.

Kemudian ia berdecak, "Sok tau itu namanya,"

"Hehe tenang aja mbak, aku nggak bakalan cepu ... " Reine mengambil jeda sebelum membuka tutup botol teh pucuknya.

" .... but by the way, mbak nggak lagi ngelamunin mas Haidan kan barusan?"

Kaia mengalihkan pandang, mengabaikan pertanyaan dari adiknya. Dengan sengaja pula memilih memandang keluar jendela mobil. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tebakan Reine memang akurat seratus persen.

Entahlah, hanya saja pikirannya melayang pada kejadian tadi siang. Dimana dirinya, Hanum dan Haidan bertemu di kantin sekolah kemudian berbincang bersama. Ucapan Haidan masih terngiang jelas dalam benaknya-tentang bagaimana lelaki itu menganggap Hanum dan dirinya sama. Hanya sebagai adik, tidak lebih.

"Nggak kok, cuma agak pusing aja," ujar Kaia bohong. Namun siapa sangka pula jika ucapannya justru mengundang tatapan khawatir dari Kalyana.

"Kamu pusing nak?" tanyanya, Kaia pun panik.

"ng-ggak kok, bun. Maksudnya sedikit pusing, bukan pusing banget," sahut Kaia.

Percakapan diantara ibu dan anak tersebut tentu terdengar juga oleh Jendra. Entah mendapat inisiatif darimana, Jendra segera menepikan mobilnya sejenak. Pandangannya beralih pada Kalya-yang tengah menatapnya bingung. Namun tak lama kemudian kode mata yang diberikan oleh Jendra berhasil ia tangkap dengan baik, sehingga ibu muda tersebut segera berpindah ke jok belakang-bertukar sebentar dengan Reine yang kini pindah duduk ke jok depan disebelah sang papa.

"Ih bunda, dibilang Kaia gapapa juga," keluh Kaia kala melihat bundanya berganti tempat duduk dengan Reine.

"Lagipula Kaia udah gede. Udah bisa atasin rasa sakit yang Kaia rasain," sambungnya mengomel, namun Kalya tidak peduli sama sekali.

Ditariknya pelan lengan Kaia hingga sisi kepala kiri anaknya bersandar nyaman pada bahu kanannya. Dipeluknya tubuh itu dari samping seraya membelai surai hitam legam berkilau milik putrinya tersebut.

"Kamu tuh bawel banget ya," ucapnya yang membuat Kaia mengerucutkan bibir saat mendengarnya.

"Mau kamu udah gede, beranjak dewasa kayak gini, kamu dan Reine itu tetap anak kecil dimata bunda dan papa. Iya kan, Pa?" Kalya menyambung ucapannya, yang disambut anggukan setuju dari Jendra.

"Tapi kan ... Kaia mau belajar mengatasi masalah sendiri. Nggak bergantung terus sama bunda dan papa," sahut Kaia.

"Iya, iya bunda tau. Bilangnya gitu tapi masih suka tidur di kamar bunda itu apa namanya?"

"Ih bunda! Apa sih malah mengungkit itu?"

Kalya tertawa disusul Jendra yang juga tertawa tak kalah keras. Kedua putri mereka memang tumbuh menjadi dua remaja yang cantik. Namun tetap saja, dimata mereka, Kaia dan Reine tetaplah dua anak kecil yang telah menemani hari-hari mereka selama ini. Meskipun sering menyebut diri mereka sudah dewasa, faktanya dua anak gadis ini masih sering bertingkah manja pada Jendra dan Kalya, terutama Kaia.

Si sulung satu itu memang terlalu lengket dengan Kalya. Kemanapun ia pergi, ia tidak bisa tenang jika Kalya tidak ada disampingnya. Sebagai ayah tiri, Jendra tentu memaklumi tingkah Kaia yang lebih cenderung dekat dengan Kalya. Menjadi saksi pahitnya masa lalu Kalyana membuatnya berjanji akan selalu menjaga Kaia dan istrinya tersebut sampai akhir hayatnya. Ia ingin menjadi kepala keluarga yang baik dan seorang papa yang bijaksana untuk kedua putrinya.

"Kok nggak ada suaranya?" celetuk Jendra seraya melirik sekilas ke arah spion di atas kepalanya.

"Tidur ini Pa, anaknya," sahut Kalya.

"Kebiasaan dia memang. Sekalinya kamu peluk selalu ketiduran," sahut Jendra seraya terkekeh kecil. Ia menoleh sebentar untuk meraih sabuk pengaman yang dikenakan oleh Reine dan mengencangkannya sedikit.

Sama seperti kakaknya, Reine sudah terlelap setelah tukar tempat duduk dengan sang bunda. Memang dua putri Abirama ini terlalu sehati. Kelakuan mereka pun hampir mirip, termasuk ketiduran ini juga.

Pandangan Kalya beralih dari jendela mobil menuju sebuah ponsel yang tergeletak di atas pangkuan Kaia. Sebuah nomor asing baru saja mengirimkan sebuah pesan singkat. Kendati tak ingin terlalu penasaran, namun isi pesan itu sudah terbaca lewat notifikasi. Membuat Kalya terpaksa mengecek ponsel milik Kaia untuk sekedar melihat siapa gerangan yang baru saja mengirim pesan.

"Jen,"

"Iya sayang?"

"Kita puter balik aja,"

"Hm? Ini udah separuh jalan lho sayang, kamu yakin?"

"Yakin!"

"Aya, ada apa sih? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Jendra khawatir.

"Dia balik Jen. Aku nggak mau Kaia ketemu sama dia,"

Jendra mengerutkan kening, menyatukan dua alisnya kemudian terdiam sejenak. Siapa yang dimaksud oleh Kalya? Dan mengapa seseorang itu tidak boleh bertemu dengan Kaia?.

"Maksud kamu dia itu ... "

Kalya tidak menjawab. Seketika Jendra yang baru saja teringat akan sesuatu memutar balik kemudi menuju jalan pulang. Perjalanan sore mereka yang cerah dan damai itu pun harus tertunda begitu saja. Sebab Kalyana tidak akan pernah membiarkan orang itu berhasil memasuki ranah kehidupan barunya yang tenang. Tidak akan pernah, sampai kapanpun.


○○○


"Nggak jadi ke Semarang?"

Pertanyaan dari Hardan yang kebetulan sedang membuang sampah di depan komplek pun mendapat sambutan berupa gelengan kepala dari Kalyana. Disusul Jendra yang keluar dari mobil seraya menggendong Reine yang ketiduran. Lelaki itu mendekat pada Hardan kemudian ikut menggelengkan kepala.

"Sayang aku bawa masuk Reine dulu, nanti aku balik lagi gantian gendong Kaia,"

"Gausah, dibangunin kan bisa,"

"Gapapa, dia kan lagi sakit,"

"Kamu tuh kebiasaan ya, manjain mereka mulu!"

Namun Jendra sama sekali tidak mengindahkan omelan dari sang istri. Baginya tidak masalah selama itu berkaitan dengan kedua putrinya.

"Ngomong cepet, ini ada apaan?"

Hardan belum menyerah. Ia kembali bertanya pada Kalya yang tengah mengembuskan napas kasar.

"Har, kamu harus bantuin aku," ucap Kalya.

"Bantuin apa?"

"Dia disini Har, di Indo,"

Sepersekian detik kemudian Hardan hanya mampu terdiam. Otaknya sedang mencerna perkataan Kalyana yang belum sepenuhnya ia mengerti maksudnya. Siapa yang kembali? Mengapa Kalya terlihat begitu resah karenanya?.

"Siapa?"

"Kamu nggak mungkin nggak tau,"

"Jangan bilang kalau-"

"Please Har, aku nggak mau dia ambil Kaia dari aku,"

Kalya mulai meneteskan airmata, bertepatan dengan itu Jendra kembali ke depan untuk menjemput Kaia dan menggendongnya. Lelaki itu sempat berhenti sebentar untuk memastikan keadaan Kalya. Melihat bulir bening jatuh membasahi pipi istrinya, ia pun berubah panik.

"Jen, bawa istri lo masuk,"

"Tapi Har, kan lagi ngobrol sama lo,"

"Udah selesai. Aya, kamu masuk gih. Gausah khawatir aku pasti bantu kamu,"

"Makasih ya Har, aku masuk dulu,"

Jendra merangkul leher sang istri dengan menggunakan tangannya kanannya yang bebas. Sedangkan yang kiri ia pergunakan untuk menopang tubuh Kaia yang tertidur dalam gendongannya.

Setelah mengantar Kaia ke kamar, Jendra kembali ke kamarnya sendiri dan melihat Kalya masih setia duduk di tepian ranjang. Wanita itu masih terisak sejak menyelesaikan percakapan singkatnya dengan Hardan tadi. Jendra menghampirinya kemudian membawa tubuh sang istri untuk ia dekap erat. Sebelum melayangkan sebuah kecupan hangat di pucuk kepala Kalya berulang kali.

"Jen, aku masih takut,"

"Nggak usah takut oke? Aku disini sama kamu dan anak-anak. Aku bakal pastiin nggak akan ada yang berani menyentuh kalian sampai kapanpun,"

"Iya aku paham, tapi dia udah berhasil dapat nomor hapenya Kaia. Mereka udah beberapa kali bertukar pesan. Dia berusaha bujuk Kaia biar mau ketemu sama dia. Kalau Kaia luluh dan akhirnya nekat ketemu dia gimana Jen?"

"Kamu tenang dulu hm? Besok biar aku yang ngomong sama Kaia ya? Untuk sementara kita blok nomor itu dari hapenya dia,"

Kalya mengangguk, "Makasih ya Jen, aku jadi ngerepotin kamu,"

"Kamu kok ngomong gitu? Nggak ada yang ngerepotin kalau ini soal kamu dan anak-anak,"

Kalya menampakkan senyumannya sebelum masuk ke dalam pelukan Jendra. Hatinya menghangat mendengar kalimat yang dituturkan oleh sang suami kepadanya. Entahlah, ia hanya tidak tahu apa jadinya apabila dirinya tidak memulai lembaran baru dengan lelaki yang telah menjadi suaminya ini.

Andaikan saat itu ia tidak menurukan sedikit ego dalam dirinya, maka ia tidak akan bersama-sama meniti kerasnya kehidupan dan drama-dramanya dalam genggaman tangan seorang Jendra Abirama. Ia tidak yakin akan kuat melalui badai-badai itu jika bukan bersama dengan lelaki ini.

"Semuanya akan baik-baik saja, Kalya. Aku janji tidak akan ada lagi yang berani menyakiti keluarga kita," ucap Jendra disela-sela pelukan tersebut.

"Hm, terimakasih Jendra."


○○○


Hanum membuka kedua matanya kala mendengar suara nyaring sebuah alarm-yang tergeletak di atas nakas samping ranjang tidurnya. Keningnya mengerut dengan kedua kelopak mata menyipit. Sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar yang tertutup gorden putih tulang. Belum juga ia memejamkan kedua matanya untuk tidur kembali, sebuah suara ketukan pintu mengacaukan niatnya. Ia mengembuskan napas pelan sebelum membawa kedua tungkainya menuju pintu. Dengan separuh nyawa terkumpul, ia membuka pintu itu malas-malasan. Senyum secerah sinar matahari milik seorang gadis remaja yang lebih muda darinya-menyapa manik matanya, pagi itu.

Ia berdecak lirih sebelum mempersilahkan gadis itu masuk ke dalam kamarnya bahkan gelendotan di tubuh mungilnya tanpa sungkan. Heana sama sekali tidak memberontak ataupun merasa risih dengan perlakuan gadis tersebut kepadanya. Baginya ini sudah terbiasa terjadi dalam hari-harinya dan tidak ada alasan untuk menolaknya sama sekali.

"Mbak siap-siap yuk! Kita sepedaan bareng diluar. Mumpung cuacanya bagus nih!" ajak gadis tadi. Kireina Abirama.

"Nggak ah, lagi males keluar. Lagian ngomong-ngomong bukannya kamu kemarin ke Semarang ya?"

"Iya emang kesana, tapi puter balik lagi kesini,"

"Kenapa?" Hanum menatap penasaran ke arah Reine setelah mengecek ponselnya sebentar dan meletakkannya kembali di atas ranjang.

"Nggak tau, aku belum nanya sama papa dan bunda,"

Hanum mengangguk kemudian mengikat surai hitam legamnya yang tidak seberapa panjang itu. Sebelum berjalan ke arah kamar mandi dalam kamarnya untuk sekedar membasuh wajah dan menggosok gigi.

"Mbak aku tunggu di bawah ya? Cepetan nyusul pokoknya!"

"ih dibilang nggak mau ikut!"

"Bubur ayam Pak Surya enak nih kayaknya,"

"Oke tunggu 10 menit!"

Reine tersenyum puas mendengar jawaban Hanum. Ia berlalu dari kamar kakak sepupunya itu kemudian kembali ke lantai bawah. Ketika melewati dapur, netranya tidak sengaja menemukan Gita yang tengah memanggang roti tawar. Diiringi sebuah senyuman lebar, Reine masuk ke dalam dapur menghampiri Gita yang sama sekali belum menyadari keberadaanya.

"Selamat pagi Mami!" ujar Reine seraya memeluk Gita dari belakang.

"Selamat pagi juga. Ih kamu nih ngagetin Mami aja ih!" balas Gita.

"Maaf Mi, itu lagi manggang roti ya?"

"Iya, kamu mau?" tanya Gita yang disambut anggukan setuju dari Reine.

"Mauuu, eh tapi masih mau keluar dulu,"

"Pergi sepedaan kan sama mbak Hanum? Gapapa makan aja dulu sini rotinya, ajak mbak Kaia sekalian ya,"

Reine mengangguk, Gita tersenyum sebelum menyisihkan roti yang telah selesai dipanggang ke atas piring bersih yang masih kosong. Ada dua tiga potong yang ia taruh disana sebelum menyimpannya di atas meja dan menutupnya dengan tudung saji berukuran kecil.

"Tuh mami taruh atas meja, nanti ambil sendiri ya?"

"Hm makasih ya, mami emang mami ter- the best di dunia!"

Gita tertawa seraya menjulurkan telapak tangan kanannya untuk mencubit pelan pipi gembil milik Reine. Yang disambut gelak tawa kecil oleh gadis itu.

"Oi Reine! Kok masih disitu aja? Jadi nggak nih?" seru Hanum.

"Oh iya, tunggu sebentar mbak! Mi, Reine sama mbak Hanum berangkat dulu ya?" pamit Reine kemudian mencium punggung telapak tangan kanan milik Gita, disusul Hanum di belakangnya.

"Lho ini rotinya nggak dimakan dulu? Haduh, yaudah deh, hati-hati ya nak!"

Dua gadis remaja berbeda usia dua tahun tersebut-membalas dengan lambaian tangan disertai senyum sumringah seraya berlarian kecil keluar rumah menuju halaman depan. Disana ada Hardan yang tengah mencuci mobil secara mandiri. Berbekal sebuah spon sedikit tebal-lelaki paruh baya tersebut menggosokkan benda empuk itu ke permukaan bodi mobil dengan hati-hati. Kaos oblong warna abu nya sudah sedikit basah karena terkena cipratan air, tampilan rambutnya pun acak-acakan karena berulang kali tertiup angin. Senantiasa tersenyum kala netranya menangkap kehadiran Reine dan Hanum di halaman depan.

"Wih pada mau kemana nih anak-anaknya papi hm?" tanya Hardan seraya menghentikan pekerjaannya sebentar.

"Kita mau sepedaan bareng pi," jawab Reine, sedangkan Hanum sibuk memakai sepatunya.

"Lah tumben? Apalagi itu tuh yang lagi pakai sepatu, tumben banget mau diajakin keluar rumah pagi-pagi?" ledek Hardan pada Hanum yang sudah selesai dengan urusan sepatu.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Merasa kesal karena sang ayah sudah berulah lagi pagi-pagi seperti ini. Membuatnya enggan menjawab dan memilih berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya mirip anak kecil yang tengah merajuk. Reine mengembuskan napas kasar. Drama saling menjahili antara ayahnya dengan Hanum telah dimulai. Dan ia sudah tidak terkejut lagi mendapati fakta satu ini.

Baru saja Reine hendak membuka mulut, ia disuguhkan dengan pemandangan yang membuat kedua bola matanya melotot sempurna. Hanum berlarian kecil masuk kembali ke halaman disusul dengan Kaia di belakangnya. Posisinya dua gadis seumuran itu tengah kejar-kejaran, entah karena apa.

Hardan yang turut menyaksikan kejadian itu akhirnya turun tangan. Bapak bapak satu itu segera meninggalkan pekerjaannya untuk menangkap tubuh mungil Hanum sebelum berhasil masuk ke dalam rumah. Sedangkan Reine bertugas menangkap lengan Kaia-yang seketika membuat si gadis lebih tua daripadanya tersebut berhenti mengejar Hanum.

"Papi lepas!" ucap Hanum seraya menggeliat kecil memohon agar sang ayah melepaskan dekapan dan ia bisa pergi.

"Kamu mau kemana? Ada sepupunya disini malah main pergi aja," sahut Hardan. Tidak peduli dengan tubuh sang putri yang memberontak dalam dekapannya.

"Hanum nggak mau ketemu sama dia. Titik!"

"Kenapa nggak mau? Salah aku apa?" Kaia bertanya dengan nada suara sendu.

Pasalnya setelah pertemuan keduanya dengan Haidan tempo hari, gerak gerik Hanum menjadi sangat aneh. Mereka tidak lagi pergi ke sekolah bersama, tidak saling sapa, tidak pernah pergi keluar main bersama lagi. Dan semua perubahan itu tentu mengganggu sekali bagi Kaia.

"Nggak mau ngasih tau," desis Hanum.

"Kalian ada apa sih? Coba papi mau denger cerita dari kalian, boleh?"

"Ini semua gara-gara mas Haidan pasti," celetuk Reine tiba-tiba.

Kening Hardan berkerut. Nama yang baru saja disebutkan oleh Reine adalah sebuah nama yang asing. Siapa itu Haidan? Dan apa kaitannya dengan Hanum dan Kaia?.

"Siapa itu?" tanya Hardan. Ia menatap Kaia kemudian beralih pandang menatap putrinya yang masih berada dalam dekapan.

"Ceritanya panjang pi," sahut Kaia.

"Kamu mendingan nggak usah cerita apa-apa sama papi," balas Hanum.

"Han, kok kamu ngomongnya kasar sama Kaia?"

"Kenapa? Papi mau bela dia? Silahkan bela dia aja kalau papi maunya gitu,"

"HANUM!"

Dengan sekali sentakan kuat, Hanum berhasil terlepas dari dekapan papinya. Ia segera berlari masuk ke dalam rumah. Tidak peduli dengan ketiga orang yang tengah berdiri di halaman rumah sembari menatapnya penuh dengan rasa kecewa.

"Maafin Hanum ya nak?"

"Gapapa kok pi, Kaia sama Reine pulang dulu ya?"

"Iya nak, sekali lagi maaf ya? Papi janji bakalan ngomong sama Hanum. Semuanya akan baik-baik saja, oke?"

Kaia mengangguk saja, sebelum menggandeng lengan Reine kemudian mengajaknya pergi dari kediaman Adimasatya.













Continue Reading

You'll Also Like

188K 18.5K 70
Freen G!P/Futa โ€ข peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
55.4K 5.1K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinshipโ€ผ๏ธ โฅSequel Dream House โฅNOT BXB โš ๏ธ โฅBaca Dream House terlebih dahulu๐Ÿพ Satu atap yang mempe...
65K 9.7K 22
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
69.6K 6.4K 74
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...