Mei's Oneshoot Story

Galing kay Meiyyangu

28 7 0

Cuma sekumpulan ide yang mendadak muncul dan sayang banget kalo nggak direalisasiin. Higit pa

Find Me In Your Memory (1)

Find Me In Your Memory (2)

11 3 0
Galing kay Meiyyangu

Denting jam mengisi keheningan malam. Tak ada suara lain, hanya pewaktu yang menempel di dinding terus bersuara hingga menimbulkan kesan menakutkan, apalagi seisi apartemen gelap gulita lantaran sang pemilik masih terlelap di alam bawah sadar.

Perlahan tapi pasti jemari lentik yang menggantung di pinggir sofa itu bergerak. Semakin lama semakin membuat saraf motoriknya bekerja hingga kedua kelopak mata itu terbuka. Ia mengerjap pelan-pelan, mencoba beradaptasi dengan pesekitaran yang tak ada penerangan.

"Eh, jam berapa ini?"

Ia pun bangkit mengumpulkan nyawa, menatap sekeliling linglung untuk kemudian bergerak menuju sakelar lampu, berniat menyalakan penerangan ruangan.

Saat keadaan berubah dari gelap ke terang, sebuah ingatan abstrak tiba-tiba terlintas di pikirannya.

"Apa yang ia lakukan selama ini?"

"Tuan Muda Eghan hanya membantu Nyonya Jenneva berkebun, Pangeran Mahkota."

Bocah remaja dengan mata biru laut itu terkekeh pelan sambil meletakkan kuas ke meja. "Terus awasi dia, jika kalian melihat hal mencurigakan, segera laporkan padaku. Aku harus mengantisipasi apapun meski itu hal terkecil sekalipun."

"Baik, Pangeran Mahkota."

Hah ....

Seketika mata bulat milik Leansy terbuka lebar, itu tadi apa? Yang melintas di kepalanya itu apa? Ia ingat bahwa tadi sempat bermimpi aneh, tapi langsung ditepis dengan dalih tak sempat membersihkan diri, maka mimpi jelek berani mendekat. Tapi, ini ... Ia sedang dalam keadaan sadar loh, bukan sedang tidur.

Kenapa bocah remaja dalam ingatannya itu persis seperti Arsh Oliviri dalam mimpinya tadi, bedanya ia terlihat lebih dewasa dari pada sebelumnya. Apakah ia masih di alam mimpi? tapi lengannya terasa sakit kok ketika dicubit. Berarti ia sadar, kan.

Masih dalam keadaan bingung Leansy melihat jam dinding, pukul delapan malam. Agaknya ia sudah tidur terlalu lama tadi. Mungkin dengan mandi bisa menyegarkan pikirannya yang kusut akibat mimpi tadi, ya semoga saja.

🏰

Seusai menyantap makan malam berupa nasi dan omlette, Leansy kini bersantai-santai ria di atas tempat tidur sembari membuka naskah pekerjaannya. Ia akan mengecek ulang sambil menunggu kantuk datang.

Membaca chapter keempat dimana para tokoh sudah memasuki usia remaja, Leansy mendapati sebuah hal menarik di salah satu halaman naskah. Di sana tertera bahwa Arsh selama ini selalu mengirim mata-mata untuk mengawasi Eghan yang hidup di luar istana. Bahkan pernah mencoba mengirim penjahat untuk melukainya.

Dan itu semua menambah keterkejutan Leansy dengan dialog antara Arsh bersama pengawal pribadinya. Di sana jelas sekali percakapan keduanya sama persis seperti ingatan yang ia terima saat menyalakan lampu tadi. Ini aneh, ia bahkan belum membaca bagian ini sejak menerima naskah tadi pagi, tapi ia sudah tahu lebih dulu, seolah ingatan itu bak spoiler film atau drama yang bertebaran di media sosial.

Deru kereta kuda perlahan melambat saat sudah tiba di lereng gunung. Jendela pada kereta itu perlahan terbuka, sosok gadis berambut hitam panjang nampak mengamati sebuah rumah yang berada di sekitar lereng tersebut.

"Jenderal Zavion!"

"Iya, Tuan Puteri."

"Benarkah ini rumah Pangeran Eghan dan Bibi Jenneva?"

"Benar, Tuan Puteri. Karena hamba sendiri yang membawa mereka kemari."

Gadis yang dipanggil tuan puteri itu mengangguk puas. Jika Jendral Zavion sudah berkata demikian, maka memang faktanya benar begitu.

"Tapi, kenapa sepi sekali, Jenderal?"

Pasalnya ia lihat rumah itu seperti tak berpenghuni meskipun nampak asri dan terawat. Apakah si pemilik sedang pergi?

"Mungkin Pangeran Eghan dan Nyonya Jenneva sedang berkebun di dekat lereng sana, Tuan Puteri." Tak lupa Jenderal Zavion menunjuk pada sebuah lereng gunung yang jika dilihat mata sangat jauh sekali dari tempat mereka saat ini.

"Apakah mereka ada yang melindungi selama berkebun?"

Jenderal Zavion tak lekas menjawab, ia nampak berpikir sejenak sebelum menjawab dengan sedikit keraguan.

"Hamba kurang tahu, Tuan Puteri. Tapi, saat hamba mengantar mereka kemari, mereka juga dibekali beberapa perajurit sebagai pelindung di sini."

Mata biru langit itu menyorot tajam rumah tempat kakak sepupunya dan bibinya tinggali. Ia merasa sangat kesal dengan pembicaraan yang tak sengaja didengar antara Arsh dengan Castelloㅡpengawalnya.

"Jenderal, dengarkan aku. Ini adalah perintah bagimu. Kirimkan seorang anak buahmu yang handal untuk melindungi mereka. Perintahkan ia untuk membasmi apapun yang menurutnya mencurigakan. Seperti halnya rencana melukai Pangeran Eghan atau bibi Jenneva."

"Tapi, Tuan Puteri. Itu akan melanggar peraturan istana, membunuh tanpa bukti dan menambahkan perajurit harus melapor dulu pada kaisar. Hamba tidak bisa berbuat seperti itu."

Gadis itu berdecak malas melihat sikap Jenderal Zavion yang terlalu menaati peraturan istana. Ia pun tak segan mengeluarkan kepala ke luar jendela demi melihat Jenderal Zavion dengan penuh intimidasi.

"Lakukan saja apa yang aku perintahkan, Jenderal. Tugasmu adalah mengabdi pada kami, jadi sekali aku mengatakan ini kau harus menuruti. Tidak ada alasan untuk membantah atau menolak!"

"Maafkan hamba, Tuan Puteri. Hamba akan melakukan apa yang Tuan Puteri perintahkan."

Gadis itu tak kuasa untuk menghela napas lega melihat Jenderal Zavion mau di ajak bekerja sama. Ia pun merubah mimik wajahnya dari penuh intimidasi menjadi datar namun lelah.

"Suatu saat kau akan tahu mengapa aku berbuat demikian, Jenderal. Jadi, aku mohon pastikan mereka berdua selamat."

"Baik, Tuan Puteri Elean."

Napas Lensy memburu, ia mengerjap bingung sambil meraba dada yang berdetak kencang. Baru saja kejadian aneh itu ia alami lagi, kali ini lebih aneh karena tidak sedang tidur, melainkan masih di posisi sama saat ia membaca naskah tadi. Duduk menyender dengan ekspresi ... melamun?

Jadi, apakah ia mengalami hal tersebut karena sering melamun? Jika diingat lagi, kejadian pertama karena ia tertidur, yang kedua karena ia masih baru bangun dan linglung, dan sekarang melamun. Apakah semua terjadi saat ia tidak berada dalam kawasan alam sadar?

Layaknya mendapat ide cemerlang yang langsung menyalakan lampu di atas kepala dalam komik-komik. Leansy menyadari bahwa potongan cerita yang ia dapat tadi memang seperti spoiler, lantas ia membuka naskah lagi, membacanya teliti untuk mengetahui letak adegan itu dimana.

Namun anehnya. Sampai chapter keempat dan masuk ke chapter lima, adegan dimana Elean meminta Jendral Zavion menolong Pangeran Eghan tidak ada sama sekali. Di naskah hanya di jelaskan bahwa ada seorang pengawal bernama Ansgar Sazorous yang mendatangi Pangeran Eghan dan menyatakan diri akan mengabdi padanya. Asal usul Ansgar pun tidak dijelaskan, tiba-tiba muncul begitu saja.

"Apakah Ansgar pengawal yang dikirim Jenderal Zavion? Seharusnya jarak waktu Elean meminta pada Jenderal dengan kemunculan Ansgar tidak berselang lama."

Dalam malam itu Leansy masih kebingungan. Bagaimana bisa kejadian yang tidak ada di naskah malah muncul begitu saja di pikirannya, bahkan sangat terkait dengan rahasia plot hole di cerita ini. Seolah ingatan aneh itu ada untuk menjawab segala hal yang tersembunyi di buku tersebut.

Apakah hal itu bisa terjadi? Ataukah ia hanya terlalu banyak baper alias bawa perasaan memerankan Elean hingga terbawa halu alias berkhayal berlebihan. Ya ... itu bisa jadi. Ya ... anggap saja begitu.

🏰

"Tuan Puteri, sudah waktunya untuk makan malam."

Seorang pelayan pribadi Elean datang dengan penuh hormat. Gadis muda yang mungkin seusai tuan puteri mereka itu menunduk dalam dengan seragam maid berwarna hitam dan putih.

Sedangkan Elean yang kala itu tengah membaca sebuah buku sambil duduk di dekat jendela kamar lekas menghentikan aktivas dan beralih menatap pelayan pribadinya.

"Aku akan segera ke sana."

"Baik, Tuan Puteri."

Pelayan itu pamit undur diri, meninggalkan Elean si gadis bermata biru seorang diri di kamarnya. Setelah itu, Elean pun bangkit guna memenuhi panggilan makan malam di ruang makan istana. Dengan gaun berwarna merah putih ia berjalan anggun menuju ruang makan, tentunya diikuti pelayan pribadinya juga.

Melewati lorong istana dengan banyak pilar megah berwarna keemasan membuat aura gadis itu kian membuncah. Sorot dinginnya sangat kontras dengan mata biru secerah langit yang selalu tampak memikat nan menyegarkan. Elean memang memiliki pesona cantik yang mengintimidasi, apalagi rambut hitam legamnya seolah menjadi jimat penggoda manusia untuk selalu memuja pada parasnya.

Keadaan lorong yang penuh penjaga dan sedikit temaram itu tiba-tiba berubah mencekam, entah bagaimana suasana yang semula biasa saja menjadi menegangkan saat suara bantingan keras terdengar dari ruang makan. Elean yang sebentar lagi sampai di sana langsung terperanjat kaget, ia bahkan sempat berhenti sebelum berlari tergesa-gesa menghampiri tempat keluarganya berkumpul.

"Ayah! Ibu! Ada ap ... a."

Begitu pintu besar ruang makan terbuka, Elean dan beberapa pengawal maupun pelayan melihat hal yang menakutkan di sana. Sosok Putra Mahkota, Arsh, tengah mencekik sang kaisar dan permaisuri. Ia bahkan tertawa kegirangan namun bagi sebagian orang tawa itu terdengar mengerikan.

"Kalian semua pergi dari sini!"

"Tapi, Tuan Puteriㅡ"

"KU BILANG PERGI!"

Elean langsung menyentak sambil menghadap ke belakang. Menatap penuh amarah pada pelayan maupun pengawal yang tak mengindahkan perintahnya.

"Pergi atau kalian akan dicap penghianat setelah ini."

Para pengawal dan pelayan tentu bimbang. Pasalnya di balik badan Elean sana ada kaisar serta permaisuri yang terancam mati ditangan putera mereka sendiri, jadi mereka sanksi Elean akan mampu meredam kegilaan putra mahkota sendirian, bisa saja putri kerajaan itu akan bernasib sama. Maka sebab itu membuat mereka nampak keras kepala di mata Elean.

"PERLU AKU ULANGI ATAU KALIAN MAU MATI DI SINI SEKARANG!" teriak Elean murka. Bebal sekali para pekerja ini. Tinggal pergi saja susah sekali.

"Kamiㅡ"

"Jika aku tidak sanggup, aku akan memanggil kalian. Anggap kalian buta, tuli dan bisu untuk kejadian ini, MENGERTI!"

"Mengerti, Tuan Puteri."

Tanpa basa-basi lagi Elean berbalik dan lekas menutup pintu itu rapat, tak membiarkan sesiapapun mengintip meski itu di celah terkecil sekalipun.

Setelah memastikan semua aman, ia lantas berbalik menghadapi kakaknya yang menggila di sana. Bagaimana tidak gila, ia bahkan tak melepas cekikan di leher orang tuanya meski wajah dua orang tua itu sudah hampir kebiruan.

"Kakak, lepaskan!" sergah Elean berani.

Arsh menoleh pelan, mata biru lautnya kini sudah tak ada. Hanya warna hitam pekat yang bertahta di sana. Jangan lupakan pula senyum mengerikan itu, bahkan hawa keberadaannya sudah mampu membuat napas Elean tercekat, sesak.

"Kau mau mati juga?" Bocah remaja itu bertanya dengan senyum mematikan, seolah sedang memberi tawaran maut pada Elean yang mirip seperti domba menghampiri kandang serigala. Menyetorkan nyawa.

Elean tentu menggeleng, gila saja ia mau mati. "Mereka ayah dan ibu kita. Lepaskan mereka, kakak!"

"Kakak? Aku bukan kakakmu bocah kecil. Hahaha!"

Tawa mengerikan itu menggelegar, Elean bahkan mulai merinding sekujur badannya. Hawa Arsh benar-benar menakutkan. Tapi, melihat ciri fisik serta gelagatnya saat ini, sepertinya dia bukan Arsh, tapi siapa? Mereka mirip, kok.

"Kau ingin tahu, Cantik?"

Elean terjengkit kaget saat jemari dingin sang kakak kini menarik kasar dagunya, keduanya bersitatap dalam jarak sangat dekat, mata hitam itu sangat menakutkan, bak lubang hitam tanpa ujung, apalagi sejak kapan Arsh di depannya? Ia tadi masih di sana mencekik kedua orang tuanya, tapi sekarang ... eh tunggu bagaimana keadaan kedua orang tuanya, ia pun mencoba melirik lewat ekor mata, mendapati kedua orang tuanya tersungkur di lantai sambil terbatuk-batuk.

"K-kak, menjauhlah."

Gadis bermata biru itu mencoba memberontak dengan memaksa cengkeraman tangan Arsh didagunya terlepas. Namun bukannya menjauh, Arsh justru kian menarik wajah sang adik untuk mendekat.

"Kau sangat cantik, wajah marahmu benar-benar candu, maukah kau menjadi permaisuriku?"

"K-kak jangan gila! Lepaskan aku!"

Elean tentu berteriak marah saat Arsh berusaha mencuri ciuman di bibirnya, tapi tidak berhasil karena ia langsung menampar wajah pucat Arsh hingga cengkeraman itu terlepas.

Mendapat kesempatan untuk lari, Elean berusaha pergi menyelamatkan ayah dan ibunya. Namun baru saja ia berlari, serangan sakit menembus badan bak menguliti manusia hidup-hidup ia rasakan.

"Uhuk ..."

Tanpa bisa dicegah darah keluar saat ia terbatuk barusan. Sekarang ia benar-benar takut, apalagi rasa sakit itu kian menyakitkan dan membuat penglihatannya memburam. Apa ia akan mati sebentar lagi? Jangan dulu, ia tidak ingin mati sekarang.

Namun, mau bagaimana lagi, sekeras apapun Elean mempertahankan kesadaran, pada akhirnya kegelapan tanpa batas menjemput Elean pergi, saat itu juga badannya ambruk ke lantai dan darah pun mulai menggenang di sekitar. Merubah gaunnya yang putih menjadi merah darah.

Selayaknya arwah yang mengambang dan belum menuju ke alam baka, Leansy melihat dirinya terbang mengitari kejadian tragis di bawah sana. Ia juga mendapat kesadaran penuh bahwa apa yang berlangsung saat ini berada di alam bawah sadar. Bukan lagi masuk ke raga Elean dan tak memiliki kendali atau bahkan kesadaran untuk membedakan keadaan. Kini seratus persen ia hanyalah bayangan transparan yang bertugas menjadi penonton jalannya cerita selepas kematian Elean, raga yang selama ini ia tempati saat berkelana di alam mimpi.

"ELEAN!"

"ELEAN!"

Teriakan kaisar dan permaisuri nyatanya takkan membuat Elean bangun. Pasalnya manusia mana yang akan tetap hidup saat jantungnya dilepas dari badan, yang ada dia mati dan kekal di alam baka.

Kejadian mengerikan itu hanya mampu kaisar dan permaisuri tangisi tanpa bisa berbuat apapun, menyesali kebrutalan Arsh dalam merenggut nyawa adiknya sendiri.

"Hahaha! Hahahaha!" tawa Arsh menggelegar diiringi adegan mengangkat tangan yang penuh darah, dalam telapak tangan itu ada jantung segar milik Elean yang baru saja ia cabut.

"Ku anggap tumbal kalian terbayar hari ini."

Tanpa tahu malu atau bahkan dosa, Arsh melahap jantung itu seakan organ tubuh tersebut layaknya steak panggang penuh saos tomat yang meggiurkan. Tak peduli pada raungan tangis Carlos dan Keiran melihat kekejaman Arsh pada adiknya sendiri.

Usai menyantap jantung milik sang adik, Arsh tertawa mengerikan lagi. Tawanya lama seolah itu adalah tawa terakhir. Perlahan namun pasti tawa itu mengecil berganti dengan deru napas memburu bak sesorang yang baru selamat dari maut. Ia yang semula tertawa sambil mendongak ke atas kini beralih menunduk seraya ngos-ngosan, menatap kebingungan pada orang tuanya yang menangis serta badan bersimbah darah yang tergeletak di bawahnya.

"A-apa yang terjadi?" tanya Arsh linglung. Ia semakin bingung saat mata menangkap tangannya penuh darah juga bau anyir serta lengket di sekitar mulut. Begitu diusap, ternyata darah juga.

"K-kenapa, Ayah? A-ada apa ini, Ibu?"

Namun tak ada jawaban sama sekali. Kedua orang tuanya masih enggan bersuara dan malah menambah volume tangisan mereka. Merasa tak ada yang akan menjawab pertanyaannya lagi, Arsh kemudian membungkuk guna membalik badan bersimbah darah yang tertutup rambut panjang hitam tersebut, begitu wajah mayat terlihat, Arsh shock bukan main. Elean, adik kandungnya mati dengan mengenaskan. Siapa? Siapa yang melakukan tindakan biadab ini? Siapa yang berani membunuh adiknya?

"KAU ARSH! KAU YANG SUDAH MEMBUNUH ADIKMU!"


Ponorogo, 24 Juli 2023
Meiyyangu.

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

959K 65.5K 52
Sherren bersyukur ia menjadi peran figuran yang sedikit terlibat dalam scene novel tersebut. ia bahkan sangat bersyukur bahwa tubuhnya di dunia novel...
261K 28.5K 95
Ini Hanya karya imajinasi author sendiri, ini adalah cerita tentang bagaimana kerandoman keluarga TNF saat sedang gabut atau saat sedang serius, and...
1M 8.1K 39
hanya cerita random berbau kotor KK.
163K 13.1K 17
🐇🐇🐇