Cinta yang Sederhana

By teru_teru_bozu

188K 23.4K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... More

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

Sebelas

3.8K 1K 209
By teru_teru_bozu

Setiba di depan rumah Mas Budi, Mbak Anggi menyambutnya dengan senyum ramah.

"Tumben mampir, Rin," sapa wanita itu sambil cipika-cipiki dengan Jerini.

"Aku akhir-akhir ini agak sibuk lembur, Mbak."

"Yo ngono, lembur sing akeh ben duite numpuk," (Ya gitu, lembur yang banyak biar duitnya numpuk) canda istri Mas Budi.

"Aku aminkan aja deh. Siapa sih yang mau nolak duit?" Jerini terkekeh. "Mana Menik?"

"Itu, lagi ngambek di dalam," kata Mbak Anggi sambil menunjuk ke ruang tamu kontrakan yang sempit.

Terlihat gadis cilik yang belum genap dua tahun sedang berguling-guling di lantai. Lucu sekali. Karena meskipun mulutnya merengek, mata si Menik sama sekali kering tanpa air mata. Dasar! Jerini seketika ngakak dibuatnya.

"Aku samperin Menik ya, Mbak?"

"Iya, samperin aja. Tolong bujuken, bek-bek e iso meneng –tolong kamu bujuk siapa tahu bisa diam. Kesel aku seharian karena dia rewel banget."

Jerini tertawa sambil mendekati si bocah. "Lho, Menik, kenapa kok nangis? Lihat ini, bedakmu luntur karena nangis. Jelek jadinya."

Dasar Menik, dengar kata "jelek" seketika diam. "Aku yo, nggak nangis. Yo, nggak ada aiy matanya," ucapnya dengan suara cadel khas anak-anak, sambil mengusap pipi serta menunjukkan tangannya yang kering kepada Jerini. "Aku nggak jeyek, Tante Yinyin. Mama yang jeyek."

"Yo kamu yang jelek, Nik," balas Mbak Anggi yang masih keki oleh kelakuan anaknya. "Rewel dari tadi. Pegel kuping Mama denger kamu nangis terus."

"Tante Yinyin, Mama yo, jeyek. Mayah-mayah teyus!"

"Noh, ngadu ya, sama Tante Rinrin! Kamu ntar tak kasih orang lho, lek rewel terus."

"Dikasih ke Tante Yinyin, Ma?" tanya Menik dengan sorot mata penuh harap.

"Yo enggak. Dikasih ke pemulung sana! Keenakan kamu dikasih Tante Rinrin. Manja!"

Tangis Menik seketika pecah lagi. Membuat Jerini semakin ngakak. Nggak anaknya nggak ibunya, sama aja kalau lagi capek. "Memang kenapa sih, Mbak? Kok rewel begini?"

"Seharian rewel banget, Rin. Minta jajan di Indomaret," kata istri Mas Budi sambil nyengir. "Lha gimana? Kemarin sudah jajan ke sana habis 50 ribu. Emboh opo ae sing dituku—entah apa saja yang dibeli. Mosok yo sekarang minta jajan ke sana lagi. Bangkrut bandare. Ayahe bisa plontos botak rambute rontok nuruti njajane anak!"

Kemeriahan di keluarga kecil ini membuat Jerini betah.

"Mbak, kalau nanti aku jadi keluar, boleh nggak aku ngajak Menik? Tak jajanin juga, apa boleh?"

"Boleh, tapi jangan terlalu dimanja. Ben nggak tuman. Dikiro nanti semua mau dia dituruti."

"Yo wes, aku pulang dulu. Nanti kalau jadi keluar, Menik tak samperin."

Jarak kontrakan Jerini hanya empat rumah jauhnya. Makanya dia segera bergegas pulang dan segera membersihkan dirinya yang lengket oleh keringat di kamar mandi. Hawa Surabaya yang di luar dugaan jauh lebih panas dari Jakarta memang membuatnya cukup tersiksa di awal kepindahannya. Apalagi dia juga ngontrak di rumah yang tidak memungkinkan untuk memasang AC. Kadang kalau dikatakan Jerini cari penyakit dengan menyiksa diri sendiri memang tidak ada salahnya kok. Nyatanya semua itu dia niatkan sendiri.

Namun sekarang dia sudah bisa menerima kondisi ini dengan lebih baik. Tidak keberatan meskipun di kontrakan hanya bermodal kipas angin yang dia pasang di setiap penjuru ruangan. Juga mulai nyaman meskipun apa yang dia miliki sekarang jauh di bawah standar hidupnya dulu. Dan itu bukan karena dia tak mampu. Jerini hanya tidak mau!

Lalu, ketika meletakkan gayung di tepi bak mandi, tiba-tiba Jerini membayangkan nikmatnya tinggal di apartemen yang menyediakan bak mandi serta ruangan full AC. Asem! Baru juga bebas jadi janda, kebiasaan lamanya sudah muncul saja. Apa lagi kalau bukan boros demi kenyamanan? Kadang kalau dipikir-pikir, sebenarnya dia dan Gandhi sama saja borosnya. Hanya saja Jerini sedikiiit lebih punya rem dan jauuh lebih banyak punya uang.

Mumpung lagi semangat dan suasana hatinya sedang enak banget, Jerini bergegas keluar kamar mandi dan berganti pakaian. Sekalian pula di browsing apartemen atau hunian yang lebih layak buatnya. Sampai iklan satu bangunan menarik minatnya. Sebuah kompleks apartemen yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor, dan fasilitas yang ditawarkan juga menggiurkan. Selain jogging track, toko swalayan, juga ada terdapat kafe serta restoran yang dari franchise kenamaan. Hm ... lumayan.

Ketika mengecek range harga sewa di tempat itu, Jerini semakin terkesan. Memang pricey. Namun dengan fasilitas bath tub bahkan di unit yang hanya satu kamar, benar-benar oke dan sesuai kebutuhannya. Jerini membayangkan pulang kerja, badan capek dan gerah, bisa berendam di air hangat yang harum semerbak. Sedikit memanjakan diri tidak ada salahnya kan?

Kayaknya perlu disamperin sekarang aja deh. Minimal jalan-jalan buat belanja jajanin si Menik sambil nyoba restonya buat makan malam. Tekad Jerini. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Dia tidak ada kewajiban apa-apa setelah ini. Dan tidak ada orang yang menunggunya, juga tidak ada orang kepada siapa dia meminta izin. Hal ini membuatnya bebas pergi ke mana dia suka.

Puas dengan keputusannya, tak lama kemudian Jerini sudah tiba kembali di depan kontrakan Mas Budi. Jerini yakin kalau penampilannya cukup oke dengan celana jeans yang dipadankan kemeja polos warna kuning cantik. Tak lupa makeup natural yang membuat tampilannya sesuai usianya. Aku memang janda, tapi aku belum 30!

"Menik aku bawa jalan agak jauh, Mbak," katanya pada Mbak Anggi.

"Boleh banget. Lama juga nggak apa-apa. Biar aku bisa pacaran sama Mas Budi," sahut Mbak Anggi ngakak. "Tapi mending kamu bawa stroller, Rin. Naik taksi kan?"

"Iya, Mbak. Kasihan Menik kalau aku ngojek."

"Ya wes, bawa stroller aja. Menik kadang rewel dan minta gendong terus. Bisa bengkak lenganmu kalau gendong buntelan segede Menik ini."

"Mbak Anggi lho, anak sendiri dikatain buntelan," kata Jerini sambil meraih Menik serta mendandaninya dengan jaket yang cukup nyaman di udara sepanas ini.

Kalau dipikir-pikir, kebanyakan pakaian Menik adalah pemberian Jerini yang sering tidak tahan melihat kelucuan yang terpampang di toko pakaian anak. Bahkan stroller ini pun dia yang beli sebagai hadiah kelahiran buat Mbak Anggi. Berkualitas bagus dengan model klasik yang bakal tetap cocok dipakai sampai ke adik-adik Menik nanti.

Sementara harapan Jerini untuk membeli stroller bagi anak sendiri kini sudah musnah tak bersisa. Dia harus bersyukur masih bisa menikmatinya meskipun dengan anak orang lain.

***

Gedung apartemen ini ternyata jauh di luar ekspektasi Jerini karena jauh lebih bagus ketika dikunjungi secara langsung. Membuat semangat Jerini berkobar saat mendorong stroller Menik menuju lantai tempat lobi dan langsung ke bagian aneka restoran serta kafe.

"Ntar kalau Tante ada rezeki dan bisa tinggal di sini, kamu boleh nginep sama Tante Rinrin ya, Nik," katanya mengajak bocah kecil itu ngobrol.

"Menik beyi jajan, Tante Yinyin," celoteh si bocah.

"Iya, ntar kita beli jajan. Sekarang maem dulu, ya," kata Jerini sambil mendorong si bocah ke restoran yang menyediakan aneka roti, es krim, selain beberapa menu western seperti spageti, piza, serta steak. "Kita makan di sini aja yuk!" ajak Jerini penuh semangat.

"Meni mau es cim, Tante," Menik mulai heboh menunjuk-nunjuk es krim.

Waduh, Jerini belum minta izin ke Mbak Anggi nih. Khawatir nggak boleh makan es krim malam-malam begini. "Itu es krim rasa kopi. Menik mau?" Jerini putar otak untuk mencegah si bocah minta es krim.

"Topi?"

"Iya. Rasa kopi, kayak minumannya ayah."

"Topi itam?"

"Iya, es krimnya rasa kopi hitam."

"Hiiyyy.... Menik gak mau! Menik mau es cim stobeyi!"

"Yang stroberi adanya jus. Mau? Jus stroberi?" Jerini mulai bisa lega karena menghindarkan si bocah dari es krim yang belum tentu dibolehin orangtuanya.

"Mau! Jus stobeyi!" sorak Menik dengan gembira.

Jerini pun segera memilih tempat duduk di bagian tengah yang lega serta memiliki pencahayaan paling terang. Setelah meletakkan Menik di kursi khusus untuk anak-anak, dia pun mulai memilih menu.

"Je?"

Jerini terkejut ketika mendengar namanya dipanggil. Memang di tempat ini ada gitu, orang yang namanya sama dengannya? Atau kaget saja kalau ada yang kenal dia di sini. Karena dia orang baru di Surabaya.

"Je! Jerini, kan?"

Nah, iya bener. Ternyata iya. Sambil menengok dia kini langsung berhadapan the one and only Cakra. Iya, CAKRA yang ITU! "Pak Cakra?" tanyanya sambil membelalak.

Namun ekspresi kaget Jerini tidak ada apa-apanya dibanding keterkejutan di wajah Cakra. "Ini anakmu?" tanyanya sambil mengambil posisi duduk di seberang meja Jerini.

Dari semua tempat di dunia, kenapa dia malah ketemu Cakra di sini sih?

"Pak Cakra—"

"Saya biasa makan di sini," potong pria itu seolah memahami keheranan Jerini.

Rasanya terlalu berlebihan kalau dalam sehari sampai dua kali makan bersama Cakra. Namun dia tidak bisa menolak ketika pria itu memutuskan bergabung di meja yang sama.

"Oh—"

"Saya tinggal di sini, Je. Dan restoran ini langganan saya kalau lagi males makan di tempat lain."

Ah iya. Bujangan mah, makan selalu beli. Jerini ingat apartemen Cakra di Jakarta yang kulkasnya kosong melompong itu.

But wait! Jadi Cakra tinggal di sini? TINGGAL DI APARTEMEN INI? Jangan-jangan mahal sewanya. Karena kadang harga yang tertera di web seringkali berbeda dengan harga saat didatangi sendiri. Faktor penambahnya banyak bener! Belum apa-apa Jerini jadi ragu untuk pindah ke sini. Kalau tidak terjangkau olehnya bagaimana? Gaji Cakra kan bukan lawan yang imbang dengannya.

"Ini anaknya Mas Budi dari bagian perlengkapan, Pak. Menik namanya. Lucu kan, Pak?" Jerini mencoba berkomunikasi secara normal dengan membahas sesuatu yang lebih netral.

Cakra mengangguk. "Saya nggak punya experience dengan anak kecil. Tapi sekilas berdasarkan apa yang saya lihat, bocah ini cukup lucu."

Apa dikira Cakra Menik itu objek properti buat dianalisis ya? Dan Jerini terkejut melihat cara Cakra menatap Menik.

"Jangan dipelototin, Pak. Ntar nangis anak orang," tegur Jerini melihat Menik yang sudah mulai mewek di bawah tatapan Cakra.

"Saya cuma mengamati—"

"Nggak gitu juga kali, Pak, caranya mengamati," gerutu Jerini.

Untung saja pesanan sudah tiba. Gadis kecil itu sangat terhibur dengan minuman jus stroberi. Dan buat makanan si bocah, selain memesan kentang goreng tanpa garam, Jerini juga memesan steak ayam dengan bumbu minimalis tanpa lada.

"Menik maem sendiri, ya. Tante potongin ayamnya kecil-kecil," kata Jerini sambil berdiri dan menata makanan buat si kecil. "Ini sendok sama garpunya. Bisa?"

Menik mengangguk penuh semangat. "Saos, Tante Yinyin."

"Boleh, tapi nggak boleh banyak-banyak," ucap Jerini sambil meletakkan beberapa tetes saus tomat di piring Menik.

"Wah, piyingnya ada matanya!" Menik bersorak.

Memang, demi agar si kecil tidak rewel dengan meminta saus tomat lebih banyak, Jerini mengakali dengan membuat tetesan saus seperti bentuk dua mata dan mulut di piring Menik. Usaha yang membuahkan hasil sepadan melihat si kecil menjadi semangat.

"Lucu kan, Nik?" Jerini tertawa bersama si kecil.

"Makacih Tante Yinyin cantik!" Menik mengucap kalimat itu sambil berkedip-kedip lucu.

Jerini terbahak."Bisa aja lo, bocah!"

Keduanya asyik bercanda tanpa melibatkan Cakra yang hanya mengamati keduanya dengan muka datarnya itu. Yah, salah sendiri sih, Pak, asal gabung saja sama orang lain yang sedang makan. Jerini juga bingung bagaimana dia bisa beramah-tamah dengan mantan atasannya di saat ada anak yang butuh perhatiannya.

"Emang kamu sudah menikah berapa lama sih, Je?" tanya Cakra tiba-tiba.

Perhatian Jerini akhirnya teralihkan juga kepada pria itu. "Tiga tahun, Pak. Kenapa?"

"Tante Yinyin—" Menik menarik-narik tangannya. "Menik mau itu."

Jerini tersenyum kepada Menik. "Oke. Kentangnya dipegang sendiri, ya? Tante tata di sini biar gampang diambil. Oke?"

"Iya, Tante—"

"Tiga tahun itu termasuk pisah dua tahun?" Komentar Cakra menyela aktivitas Jerini dan Menik.

"Uhm—" Jerini mengernyit. Merasa aneh dengan pertanyaan Cakra.

"Tante!" lagi-lagi Menik memanggilnya.

"Cuma setahun dong, Je," lanjut Cakra tak peduli pada anak kecil yang menuntut perhatian Jerini.

Dih, nih orang nggak tenggang rasa banget sama bayik!

"Sebentar, Pak," kata Jerini akhirnya. Menyiapkan segala sesuatunya buat Menik sebelum akhirnya dia bisa duduk tenang di tempatnya dan menikmati spageti aglio e olio pesanannya. Dan melirik tanpa komentar pada Cakra yang sepertinya tidak berniat memesan makanan apa pun.

"Nggak gitu hitungannya, Pak. Nikah dan pisah total lima tahun." Jerini mengoreksi pendapat Cakra. "Jadi tujuh tahun kalau masa pacaran dua tahun di kampus dihitung juga."

"Tapi kamu nggak sampai punya anak, kan?"

Jerini menggeleng. "Belum," jawabnya pendek.

Jerini tidak perlu menjelaskan kalau sebenarnya betapa dia menginginkan memiliki momongan sendiri. Namun Gandhi selalu keberatan dan meminta menunda karena merasa dia belum sanggup jadi serorang ayah. Belum sanggup karena masih banyak yang ingin dia beli sebelum harus membiayai seorang anak. Ternyata waktu membuktikan kalau sebenarnya Gandhi hanya tidak sanggup jadi ayah bagi anaknya bersama Jerini. Karena pria itu lebih memilih memiliki anak bersama Putri.

Pedih.

Jerini memalingkan wajahnya saat Cakra menatapnya tajam dari seberang meja. Mungkin pria itu sedang menunggunya melanjutkan ucapannya. Membuatnya risih dan ingin menghindar. Maka dia mengalihkan pandangan ke mana saja asal tidak harus bertatapan dengan pria itu.

"Oh ya Je—"

Duh, apa lagi sih maunya Cakra Kembar tepung protein tinggi ini?

"—gimana kalau kita nggak usah formal-formalan lagi?" tanya Cakra sambil menatapnya tajam.

Jerini mengernyit heran. "Maksudnya?"

"Kita nggak usah lagi pakai panggilan saya kamu yang kaku gini."

"Terus pakai apa, Pak?" tanya Jerini masih tak mengerti.

"Cukup lo gue aja."

Anjay! Jerini hampir tersedak spageti yang baru disuapnya. Untung juga dia tidak sedang minum dan berisiko menyembur ke muka pria berwajah kaku seperti topeng ini. Beneran nih orang kesambet apaan dah? Apa ada alien yang mengganti otaknya dengan otak orang lain? Kali aja terkontaminasi otak si Bima. Jerini beneran syok dibuatnya.

"Serius lo, Pak?" tanya Jerini spontan.

Cakra mengangguk yakin. "Kan? Lo juga langsung nyambung," Cakra mencibir.

Jerini tak bisa berkata-kata. Dengan ujung matanya dia curi-curi kesempatan mengawasi Menik yang masih asyik dengan makanannya.

"Terus terang, ngobrol di luar kantor dengan gaya resmi gini bikin gue kayak sedang business trip sama elo, Je. Dan gue berasa kayak bapak-bapak banget setiap lo panggil gue Pak Cakra."

Terus gue harus sebut lo apaan, Pak? Panggil "Sayang" gitu? Agaknya si bos brondong mulai sadar diri kalau dia awet muda dan ogah dibilang tua. Yaelah.

"Nyatanya Pak Cakra kan memang atasan saya. Jadi wajarlah kalau harus bicara formal. Apalagi kita lagi di Surabaya. Kalau di Jakarta sih memang ada beberapa tempat kerja yang bolehin atasan bawahan ber-elo gue."

"Ralat, Je. Itu di kantor. Kalau di luar kan, enggak. Kita bebas mau ngomong gimana."

"Aturan dari mana, Pak? Presiden tetep presiden saya, biar saya berada di luar Indonesia juga. Samalah, atasan di kantor juga tetap atasan meskipun bertemu di luar kantor." Si brondong ada-ada aja sih? Aneh. Sepertinya Cakra beneran keras kepala kalau ada maunya.

"Gue kan udah bukan atasan lo lagi," Cakra ngeyel banget. "Dan lo pasti ngerti banget gimana rasanya harus berbicara formal di saat lo nggak bisa akrab dengan menggunakan bahasa daerah. Kagok kan?"

Jerini terpaksa mengangguk dan setuju 100% dengan kesulitan yang dia alami saat beradaptasi dengan bahasa di sini. Di Jakarta, dia ber-aku kamu hanya dengan orang dekat. Sedangkan di sini, hampir semua kalangan dengan santai membahasakan diri sebagai "aku" dan membuat pendatang seperti Jerini agak sulit menyesuaikan diri.

"Tapi gimana kalau saya merasa nggak sopan, Pak?" Jerini berusaha menghindar. Entah kenapa keakraban ini too much.

"Kenapa harus nggak sopan, sih? Berapa kali gue harus bilang kalau lo udah bukan staf gue lagi."

Nah lho!

"Tante!"

Menik memanggilnya di saat Jerini masih berpikir bagaimana cara terbaik menolak niat Cakra. Gila aja kalau kalau mereka ngobrol sebebas itu!

"Menik mau apa?" tanyanya sambil berdiri menghampiri si bocah yang melambai-lambaikan tangan pada botol air mineral. Membuat Jerini merasa mendapat alasan untuk menghindar dengan meladeni si bocah. Dan dia berlama-lama menyibukkan diri dengan membersihkan remah-remah makanan di baju Menik.

"Je—"

Ternyata si bocah gede juga nggak mau dicuekin begitu saja. "Iya, bentar, Pak. Saya urus Menik dulu."

"Je, gue serius nih. Gue nggak bohong waktu bilang kalau merasa jadi bapak-bapak banget kalau lo panggil gue Pak Cakra."

"Terus harus panggil apa?" Duile! Lama-lama ini laki gue gibeng kepalanya deh!

"Kenapa harus susah banget sih, Je? Lo enteng aja panggil Mas Budi—"

Lo minta dipanggil Mas Cakra? MAS CAKRA? "Mas Budi kan emang senior, Pak!"

"Gue juga senior lo, Je."

Jerini mengendalikan emosi dengan menarik napas panjang. "Jadi lo minta dipanggil Mas Cakra? Gitu?" tanyanya sambil membelalakkan mata. "Serius?"

Konyolnya Cakra malah memalingkan wajah saat Jerini memelototinya. Dan kenapa Jerini seperti melihat semburat merah di pipi Cakra? Apa si brondong ini lagi tersipu? Beneran nih? Kok jadi lucu sih? Dia yang kasih ide, dia pula yang malu!

"Gue nggak keberatan dipanggil nama doang."

"Ya nggak mungkinlah Pak—"

"Gue nggak mau dipanggil Pak juga!"

Dih! Ngeyel! "Ya udah, gue panggil Mas Cakra, sama kayak Mas Budi, bapaknya Menik. Puas?" Kenapa situasi jadi berbalik begini sih? Padahal baru beberapa menit lalu Cakra dengan soknya membuat Jerini mati kutu.

"Harus banget dijelasin gitu, Je?" ucapnya menggerutu.

Ingat ya, MENGGERUTU! Lama-lama Jerini jadi geregetan dan pengin jewer telinga Cakra deh. "Iya. Harus dijelasin di awal biar nggak ada yang kege-eran."

"Ge-er apanya sih, Je? Lo yang ge-er?"

"Iya, gue yang ge-er," Jerini mengangguk. "Gue yang janda, Cak. Jadi gue yang harus mikir panjang untuk urusan kayak gini."

Cakra terlihat mau mebantah. Namun dia membatalkannya dan akhirnya mengangguk dengan patuh.

"Cukup fair," ucapnya sambil menyeringai puas. Lalu tanpa diduga pria itu berdiri dan berjalan menghampiri Menik.

"Nik, mau digendong sama Om nggak? Kita beli permen di situ, yuk. Biar Tante Yinyin bisa makan tanpa diganggu." Katanya tak terduga.

"Hei!" seru Jerini panik. "Gue susah-susah ya, kondisikan dia biar nggak minta permen dan nggak minta gendong. Lo seenaknya aja ngerusak aturan," omel Jerini.

"Kan biar lo bisa makan dan nggak direcokin melulu sama bocah ini."

"Kayaknya lo yang lebih banyak ngerecokin gue deh. Lagian Cakra, kalau lo bawa dia beli permen, emaknya bisa marah besar!"

"Tenang aja, emaknya enggak tahu, kok," sahut Cakra cuek sambil mengangkat Menik dari stroller. Menik si pengkhianat terlihat menikmati banget gendongan pria itu.

"Tante, Omnya hayum!" komentar gadis kecil itu sambil tertawa lebar.

Dih! Nih bocah! "Iya. Om Cakra tadi baru mandi kembang tujuh rupa. Plus semprotin minyak aroma menyan juga kayaknya."

"Lo kira gue kuda lumping, Je?" seloroh Cakra sambil tertawa.

Lalu dengan santai pria itu Menik meninggalkan Jerini. Sehingga membuat wanita itu bisa menyelesaikan acara makannya, sekaligus membenahi sisa-sisa kehebohan Menik yang masih belajar makan dengan tertib.

Tiga puluh menit kemudian barulah Cakra muncul lagi bersama Menik yang tertawa riang dengan tas plastik penuh camilan di tangannya.

"Ngomong-ngomong, Je, ngapain lo nyasar sampai ke sini?" tanya Cakra.

Menik sudah anteng kembali di stroller-nya sambil mengunyah permen jelly. Benar-benar si tepung Cakra ini buta soal pengasuhan anak. Membuat Jerini harus mengarang alasan untuk disampaikan pada Mbak Anggi nanti. Karena gigi Menik buruk sekali gara-gara konsumsi makanan manis tak terkontrol.

"Ya suka-suka orang lah. Mau ke mana," Jerini ngeles.

"Lo pengin tinggal di sini?" tebak Cakra.

"Siapa bilang?" Jerini berjengit kaget.

Membuat Cakra tertawa mengejeknya. "Pengin juga nggak apa-apa, Je. Ntar kita bisa tetanggaan."

"Apa untungnya gue tetanggaan sama elo, Cak?" bantah Jerini keki.

"Nggak ada ruginya juga kok, Je," Cakra nyengir.

Untung perdebatan mereka diakhiri oleh rengekan Menik yang mulai mengantuk. Membuat Jerini memutuskan untuk segera mengakhiri obrolan nggak jelas ini dan bergegas pulang.

"Gue anterin aja." Tahu-tahu Cakra ikut berdiri.

"Eh, nggak usah!" tolak Jerini spontan. Gila aja kalau sampai diantar Cakra.

"Tapi gue maksa, Je," kata Cakra tak mau dibantah.

Mungkin ini hari Cakra sedang bertekad untuk menjadi orang paling menyebalkan di muka bumi. Ya sudahlah, kalau dia memaksa. Ntar biar Cakra sendiri yang memberi jawaban kalau sampai Mas Budi dan Mbak Anggi bertanya-tanya kenapa sampai seorang business analyst andalan Rahardja Industrial Estate mau masuk ke perkampungan padat penduduk untuk mengantar anak salah satu staf Bagian Perlengkapan.

Dan, benar saja. Kedua orang tua Menik tidak bisa menutupi keterkejutannya melihat Cakra datang menggendong Menik sementara Jerini berjalan sambil mendorong stroller kosong di sebelahnya. Mobil Cakra harus diparkir di depan minimarket di ujung gang karena tidak bisa masuk ke jalan sempit ini.

"Pak Cakra—" Mas Budi bahkan sampai terbengong-bengong.

"Kebetulan tadi saya ketemu mereka berdua di restoran. Jadi saya menawarkan diri untuk mengantar. Satu arah kok, menuju ke tempat tinggal saya," kata Cakra dengan bahasanya yang formal.

Jiah! Cakra yang ini dan yang beberapa menit lalu bisa gitu, beda 180 derajat! Jerini benar-benar pengin ngakak. Tapi suka-suka Cakra lah yang mau kasih alasan apa pada Mas Budi dan Mbak Anggi.

Saat berpamitan pun tiba. Tahu-tahu Menik nyeletuk "Om hayum, dadah!" oceh si bocah tak terduga.

Cakra tersenyum sambil melambai. Lalu memanggil Jerini. "Je—"

Jerini paham kode ini. Jadi meskipun enggan, demi sopan santun, dia mengantar Cakra berjalan menuju ke tempat mobilnya diparkir.

"Jangan bilang lo pakai parfum buat pelet orang, Cak," bisik Jerini setelah yakin kalau Mas Budi dan Mbak Anggi tidak bisa mendengar suara mereka. "Menik udah lumer banget sama elo."

"Kalau gue bisa melet orang, tentunya bukan Menik sasarannya," balas Cakra sambil tertawa menyebalkan.

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 478K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
595K 48.1K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
264K 681 4
bocil diharap menjauh
2.2M 309K 42
(Cerita Pilihan @WattpadChicklitID Bulan Januari 2023) Afif Akelio Ramaza Hi, Sherina. Saya udah lihat profil kamu. Bisa datang wawancara ke kantor d...