Pacaran [TAMAT]

By Lulathana

310K 42K 3.4K

Dari kecil Bella itu sangat suka bela diri, berbagai jenis dia pelajari. Namun, karena tragedi ditolak cinta... More

Pacaran
...
1. Drama
2. Tawuran
3. Takdir yang Tak Diinginkan
4. Cowok Seblak
5. Dia Kembali
6. Rumination
7. Semangat
8. Sandera
9. Percaya Diri
10. MTNI
11. Keluarga
12. Kedua Kalinya
13. Bengkel Bang Jo
14. Banyak Sisi
15. Malming
16. Drama
18. Teman Billa
19. Teman Billa (2)
20. Tanda
21. Cantik dan Anggun
22. Jola
23. Serangan Tak Terduga
24. Rumah Gavin
25. Kanapa?
26. Sakit
27. Sakit (2)
28. Bimbang
29. Penculikan
30. Tidak Ingin
31. Bazar
32. Photobox
33. Sosok yang Sama
34. Dia Sebenarnya
35. Menggemaskan
36. Tidak Sungkan
37. Myth
38. Melarikan Diri
39. Optimis
40. Dua Arah
41. Terungkap
uwu
42. Mulai Membaik(?)
43. Konsekuensi
44. Garis Memulai
45. Tembok Penghalang
46. Β‘Maldito seas!
47. Β‘MALDICIΓ“N!
48. Sederhana
49. Pacaran (Tamat)

17. Pertemuan

5.2K 825 45
By Lulathana

"Saya benar-benar minta maaf karena nggak bisa jaga Bella dengan benar Om, Tante, Bang."

Gavin terlihat menunduk penuh rasa bersalah. Apalagi ketiga orang di hadapannya masih setia dengan wajah tidak menyangka lengkap dengan bibir yang sedikit  terbuka.

Gavin merasa sangat buruk, ia sudah melukai harta keluarga ini. Gavin pun sudah pasrah jika pulang dari sini dirinya masuk rumah sakit.

"Eu, ini kejadiannya seperti apa?" Dhika yang lebih dulu pulih dari kekagetannya pun mengeluarkan suara.

"Bella diserang preman. Katanya ada yang bantuin tadi, tapi saya benar-benar minta maaf karena telat hingga akhirnya Bella harus mengalami hal ini."

Venni melirik Bella. Dalam sorot matanya terlukis binar bahagia. Bella sedikit melotot, memberi peringatan agar ibunya tidak terlalu menunjukkan respon yang sangat tidak wajar untuk ibu-ibu pada umumnya itu.

"Kondisi premannya gimana?" tanya Dhika.

"Mereka kabur, tapi saya janji saya bakal nemuin mereka dan kasih balasan setimpal."

Dhika menyentuh bahu Gavin yang membuat cowok itu sedikit terkaget, ia pun mulai menyiapkan diri untuk menjadi samsak Dhika.

"Santai aja, nggak perlu formal kayak gitu," ucap Dhika yang diikuti kekehan.

Kening Gavin berkerut.

"Terus di sisi adek gue ya."

Bibir Gavin terbuka, tidak salah dengar ini?

"Kamu mungkin gagal melindungi Bella, tapi melihat seberapa besar asa kamu terhadap Bella, saya terharu. Semoga kamu bisa terus di sisi Bella ya," jelas Yuda yang kini menampilkan senyuman ramah.

Gavin tidak ingin men-judge keluarga Bella aneh, tapi ini memang aneh 'kan, bre?

"Eu, lo sebaiknya pulang aja, Vin," ucap Bella menengahi situasi yang sudah mulai rancu.

"Makasih ya, udah nganterin gue," tambahnya diikuti senyuman manis.

"Eu, oke. Kalo gitu saya permisi ya Om, Tante, Bang."

"Iya. Hati-hati di jalannya ya, Gavin," Venni melambaikan tangan.

Sebagai penutup, Gavin membungkuk kecil lalu berjalan keluar dengan ditemani Bella.

Bella menunggu di ambang pintu sampai mobil Gavin pergi dari sana. Raut Bella seketika berubah, tatapannya terlihat kesal. Ia menatap keluarganya dengan tangan terlipat.

"Bisa nggak sih, seenggaknya di depan orang senyumnya itu ditahan? Kalian udah mirip psycho tau nggak," protes Bella dengan kesal. Kesabarannya tentang keluarga ini benar-bener diuji.

"Kebahagiaan itu nggak bisa ditutupi. Orang sedih bisa pura-pura bahagia, tapi orang yang bahagia nggak bisa pura-pura sedih," cetus Dhika

"Sayang...." Venni menghampiri Bella lalu memeluk lengan cewek itu.

"Kamu ketemu Gavin di mana? Rumah dia di mana? Satu sekolah sama kamu?"

"Ma, kalo Gavin denger dia pasti merinding."

"Merinding apa? Mama cuma penasaran sama seluk-beluk cowok keren kayak dia."

Bella melirik Venni, tatapannya seolah berkata "Keren dari mananya?"

"Semakin dewasa kamu nanti bakal ngerti, cowok keren itu bukan sekedar muka yang ganteng atau style yang oke, tapi cowok yang nggak nuntut apa-apa dari kamu dan bikin kamu jadi diri kamu sendiri."

Untuk masyarakat negeri yang normal, ucapan Venni sangat benar. Namun, apa perlu Bella perjelas jika di situasi sekarang yang Venni maksud itu tak lain seperti "Cowok keren adalah cowok ya bikin lo dibonyokin orang dan lo juga bonyok."

Ganti keluarga, gimana caranya sih?

"Aaa ... sayang, Mama seneng banget tau nggak." Venni memeluk tubuh Bella dengan penuh antusias. Venni bahkan sampai membawa tubuh Bella untuk bergoyang.

"Papa restuin kamu sama Gavin. Dia punya dampak yang bagus buat personality kamu."

"Pa, jangan ikutan, selama ini aku nganggep Papa yang paling waras di sini."

Yuda mengernyit. "Papa dukung hubungan kamu kok, ada yang salah emang?"

"Bella sama Gavin tuh cuma pura-pura," jelas Bella dengan raut lelah. Padahal tadi dirinya sudah mengatakan itu.

"Bella cuma bantu Gavin biar nggak terus dideketin sama cewek yang ngejar-ngejar dia. Kalo cewek itu berhenti, Bella nggak bakal berurusan sama Gavin lagi."

"Loh cuma pura-pura?" ucap Dhika.

Bella melotot galak, minta ditusuk sekali telinga abangnya ini.

"Berarti gini, Pa," ucap Dhika menghadap Yuda, rautnya berubah serius untuk mengajak diskusi.

"Kita harus jebak Gavin."

Bella menghela napas kasar seraya mendongakkan wajahnya. Keluarganya memang stress.

oOo

"Billa hari ini jadi 'kan?"

Bella menutup matanya dengan tangan, menghalau sinar yang membuatnya perih karena baru saja bangun tidur.

"Ini masih pagi banget, ngapain nelpon?"

"Ngingetin, siapa tau Billa lupa." Tawa Zara terdengar renyah dari seberang sana.

"Kurang-kurangin sifat annoying lo."

"Iya bener banget Billa, sekarang udah parah sih. Jadi kapan Billa kasih gue pendidikan lagi?"

"Lu kata gua guru kepribadian."

"Wah, bahasa pasar Billa keluar. Kangen banget."

Bella menutup mulutnya dalam hati dia mengumpat. Ia pun memilih mematikan sambungan teleponnya sebelum pikirannya semakin terkontaminasi jauh.

Bella bangkit dari kasur, lalu menghampiri cermin full body yang ada di samping lemari. Bella mendengkus begitu melihat pipinya yang masih berwarna biru. Dia sudah mengoleskan salep sebelum tidur, tapi ternyata tidak bisa bereaksi secepat itu.

Mata Bella beralih pada tubuhnya. Ia mencoba berjalan dan berakhir mengumpat ketika langkahnya tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Langkah terlalu kasar, seolah mengejek nightie manis yang dirinya kenakan.

Hanya pandangan Bella saja, sebenarnya langkahnya masih normal-normal saja dan feminin.

Bella membuka lemari, ia mengambil sebuah dress santai yang cantik, tapi sayangnya begitu ia bercermin, ia merasa mengkontaminasi dress itu. Bella betdecak dirinya benar-benar harus berlatih berjalan lagi.

Bella menyimpan dress itu lagi. Kemudian hanya mengambil asal kaos dan celana baggy. Percuma dia mengambil baju bagus, karena yang perlu diperbaiki adalah personality-nya dulu.

Mandi, memakai baju lalu mulai make over wajahnya yang belang itu. Untuk menyamarkan warna dari memar, Bella bisa sendiri tanpa minta bantuan ke Jeya. Luka di pelipisnya sudah sembuh, hanya perlu menunggu sampai kulitnya benar-benar kembali normal lagi.

Bella mengikat tinggi rambutnya, lalu memakai topi. Brim-nya sengaja ia tekan lebih rendah agar bisa menutupi wajah. Tidak boleh ada yang tahu bahwa Bella berpenampilan tidak feminin seperti ini.

"Ke mana, Dek?"

"Jalan."

"Sama Gavin."

"Pengen banget lo liat gue bonyok lagi," sahut Bella dengan nada yang ketus.

Dhika mengusap kepala Bella dengan gemas. "Suudzon banget lo. Gue semringah karena seneng adek gue pacaran."

"Emang yang paling bener aih, Dek. Lo lupain masa lalu. Nggak usah dipikirin lagi, sekarang di depan mata loh udah ada yang jauh lebih baik dari si brengsek itu."

Bella hanya memberikan tatapan datar. "Bang, janji sama gue bahwa lo nggak bakal nyari tau apa pun tentang Gavin."

Dhika berdecak. "Nggak seru."

"Janji."

"Iya-iya."

"Oke, gue pergi dulu."

Dhika sedikit membungkuk. Ia memasang senyum manis saat bertemu pandang dengan adiknya itu

"Have a good day," ucapnya seraya mengusap kepala Bella dengan gerakan lebih lembut.

oOo

"Kakak...."

Bella menyunggingkan senyum begitu gadis kecil berlari dan memeluknya. Penampilannya sudah jelas sangat berubah. Tubuhnya bersih, bajunya rapi. Bella berjongkok lalu mengusap pipinya.

"Siapa namanya?"

"Rena."

"Cantik."

"Billa gue enggak?" tanya Zara seraya merentangkan tangannya. Satu makhluk annoying itu terlihat menaik-naikkan alisnya.

"Udah gede lo, malu sama umur."

Zara terlihat menghentakkan kaki, tapi seaat kemudian dia menarik senyuman sebagai penetralisir kesalnya.

"Rena ini Billa. Panggilnya Billa aja, jangan pake Kak. Jangan pernah pake lo atau kamu, pokoknya kalo sama Billa harus panggil Billa. Karena itu tuh udah sama kayak gelar penghormatan."

"Nama gue Bella," ucap Bella seraya memutar bola mata.

Zara berdecak kecil. "Tapi karena sekarang dia lagi berkamuflase, jangan panggi Billa disembarang tempat."

"Lu kata gua bunglon." Setelah mengucapkan itu Bella menyentuh bibirnya dan menggerutu kecil.

"Nggak usah malu-malu deh Billa," ucap Zara seraya tertawa. Bella pun meliriknya dengan sinis.

"Eh gue udah daftarin Rena sekolah, cuma belum beli perlengkapannya aja, Billa temenin ya?"

Bella bergumam. Ia pun bangkit lalu menggenggam tangan Rena dan berjalan ke arah toko di sekitaran sana. Toh tidak ada agenda khusus dalam pertemuan mereka ini.

Dimulai dari tas, hingga printilan kecil seperti penghapus, semua Bella yang pilihkan. Rena hanya tidak berhenti mantap dengan penuh binar. Jangankan memilih sendiri, berada di posisi ini pun mungkin belum dirinya pikirkan.

Shit, Bella tiba-tiba merasa seperti malaikat.

"Ada hal lain lagi yang lo mau?"

Rena menggeleng. "Ini udah cukup kok Kak--eh Billa."

Mereka pun pergi ke kasir. Ketika Bella hendak membuka dompet, Zara menyerahkan kartu pada kasir mendahuluinya.

"Duit gue udah banyak banget sekarang," jelas Zara dengan senyuman centil khasnya.

Bella pun hanya menghela napas dan memerhatikan Zara yang tengah berkomunikasi dengan kasir.

Dulu mungkin Bella masih seusia dengan Rena ketika pertama kali bertemu dengan Zara.
Meskipun 5 tahun di atasnya, tubuh Zara waktu itu jauh lebih kecil dari Bella. Kurus dan tidak terurus. Duduk sendiri di bawah kolong jembatan saat keadaan hujan deras. Tidak ada pilihan meskipun sungai yang tak jauh darinya sebentar lagi akan meluap. Hanya bisa menangis karena pilihan yang dipunya pun tidak ada yang lebih baik. Entah terseret arus, atau berjuang keras di jalanan. Sama saja.

Pertama kalinya Bella memahami kehampaan orang lain, bagaimana manusia putus asa. Karena sebelumnya Bella pikir semua manusia bahagia sepertinya meski dengan jalan berbeda.

Awalnya Bella hanya menggendong tubuh Zara yang menggigil untuk pergi ke tempat lain. Saat menerobos hujan, Bella pun terpikir, jika semua orang tidak mendapat bahagia sepertinya, kenapa tak Bella saja yang membuat bahagia untuk mereka?

Zara adalah titik awalnya, titik awal Bella mengurusi orang lain hingga lahir kata 'Anak Billa'.

Ujung kiri bibirnya Bella tertarik membentuk senyuman. Kenapa kepalanya malah nostalgia sejauh itu. Dirinya yang dulu bukan hebat, hanya terlalu naif.

"Billa, kesukaan Billa!" pekik Zara seraya menunjukkan lolipop yang diambil dari sisi kasir.

"Itu kesukaan lo, Maemumah," ucap Bella dengan raut datar

Zara seketika tergelak tawa. "Ternyata Billa masih inget. Kita nikah aja nggak sih."

"Yuk, malam pertama lo tinggal nama."

oOo

16 Juli 2023

Continue Reading

You'll Also Like

4K 597 39
πŸ’œ LavenderWriters Project Season 08 ||Kelompok 02|| #Tema; Ghosting Ketua : Hanifah Wakil : Dini & Lintang 🎬🎬🎬 Berawal dari kisah cinta yang t...
161K 23.6K 46
Dikeluarin dari sekolah, bolak-balik club, hura-hura manfaatin harta orang tua, bully orang lain ... Apalagi? Ayo sebutin. Bukannya diam-diam kamu ju...
23K 2K 37
Davian Marven, lelaki dengan ketampanan dan kepercayaan diri yang tinggi. Ia yang biasa di puji para kaum hawa hingga banyak yang ingin memiliki. Na...
2.5M 342K 76
#VERNANDOSERIES 4 πŸ‘ΈπŸ» Dalam hidup, Aresh tak pernah menyesali semua pilihan yang telah dipilihnya. Kalau pun salah memilih, ia pasti berusaha mengat...