Cahaya Negeri

By romanceholic

17.3K 3.9K 1.4K

💙 Cryptic Ops. Vol. 3 Sejak dulu Kristal sudah tahu kalau seumur hidup dirinya hanya akan mencintai satu lel... More

Blurb
Prolog
Bagian 2 : -Surreptitious Affair-
Bagian 3 : -Dirty Tricks-
Bagian 4 : -Malicious Tactics-
Bagian 5 : -Lone Wolf-
Bagian 6 : -Reconnaissance-
Bagian 7 : -Bajradaka-
Bagian 8 : -Source Of Distress-
Bagian 9 : -Omega-
Bagian 10 : -Rumah Danau-
Bagian 11 : -Naivete-
Bagian 12 : -Machiavellianism-
Bagian 13 : -Ad Libitum-
Bagian 14 : -Perburuan-
Bagian 15 : -Pelindung Cahaya-

Bagian 1 : -Kebenaran Pahit-

1K 268 213
By romanceholic


Saat usianya menginjak sepuluh tahun, Kristal sama sekali tidak menyangka kalau ia akan mengalami sesuatu yang membuat kehidupannya berubah arah. Lagi.

Kali ini penyebabnya adalah seorang lelaki bernama Sakti Senapati Negeri. Waktu itu Andara harus pergi cukup lama karena masalah pekerjaan sehingga menitipkan Kristal pada Indira.

Indira membawa Kristal ke rumah wanita itu. Sebuah mansion besar yang megah. Di sanalah ia bertemu Sakti, seorang pemuda gagah beraura gelap, bertampang sangar, dan berperawakan tinggi tegap dengan rambut gondrong lebat yang diikat asal-asalan.

"Kenalkan, ini teman kecilku, Kristal." Indira memperkenalkannya pada Sakti begitu saja, kemudian sibuk menerima panggilan sambil membuka-buka berkas yang menumpuk di ruang kerjanya.

Kristal diam-diam melirik Sakti yang kala itu mengenakan celana jins sobek, jaket kulit hitam yang sudah sangat sering dipakai, tato tribal yang mengintip di pergelangan tangan, serta beberapa tindikan di telinga, hidung, bibir, dan alis mata.

Kendati terlihat seperti gangster dan membuat Kristal nyaris pingsan karena tatapan tajamnya, tetapi wajah pemuda dua puluh tahun itu berubah seratus delapan puluh derajat saat berjongkok dan menyapa Kristal yang bersembunyi di balik meja kerja Indira.

"Halo, Manis," sapa Sakti ramah. "Katanya namamu Kristal. Benar?" Senyuman Sakti membuat Kristal terpana, tiba-tiba saja jantungnya mulai berdetak sangat cepat.

"A-a-apa k-kau orang jahat?" Kristal memperhatikan dengan gelisah mata yang sangat gelap hingga nyaris hitam itu balas menatapnya.

"Benar. Aku orang jahat." Sakti tersenyum miring. "Apa kau takut?"

Kristal menggeleng. Sungguh tidak adil, pikirnya. Bagaimana mungkin seorang penjahat memiliki senyuman seindah itu? Bahkan gigi-giginya sangat rapi dan bersih, meskipun tindikan di lidah pemuda itu tampak mengganggu.

"Apa kejahatanmu?"

"Entahlah." Sakti mengangkat bahu seraya mengulurkan tangan besarnya, lalu menunggu sampai Kristal mengulurkan tangannya sendiri. "Mungkin membuat gadis kecil sepertimu menyukaiku," ujar pemuda itu seraya meraih jemari kecil Kristal.

Untuk pertama kalinya setelah tiga tahun pasca kehilangan ibunya, Kristal merasakan sudut bibirnya terangkat. Ia bahkan tergelak geli saat bibir Sakti menciumi punggung tangannya bertubi-tubi. Kristal buru-buru menarik tangannya ketika melihat pemuda itu seolah-olah akan menjilat tangannya layaknya permen.

"Seberapa akurat tembakanmu?" tanya Kristal kemudian ketika sudut matanya menangkap sebentuk senjata api yang terselip di pinggang Sakti.

"Apa maksudmu?"

"Itu Kimber tactical pro, bukan?" Kristal menunjuk ke arah benda yang dimaksud.

"Wow," Sakti terbelalak takjub, "bagaimana mungkin gadis manis sepertimu bisa tahu? Kau sangat menakjubkan, Manis!"

Kristal tersenyum senang. "Aku suka senjata api. Terutama senjata khusus sniper. Jadi aku mencari tahu hal-hal semacam itu."

"Benarkah? Kau bahkan lebih menakjubkan lagi." Sakti semakin terbelalak. "Tapi apa kau tau kalau senjata itu bukan mainan? Benda-benda itu sangat berbahaya dan bisa membunuhmu."

"Aku tahu, kok." Kristal mengangguk antusias. "Aku hanya akan menggunakannya untuk membunuh penjahat yang membunuh ibuku."

Sejenak Sakti hanya terdiam sambil menatapnya tajam. "Ibumu? Andara?"

"Maksudku bukan Mama Andara, tapi ibu kandungku," jelas Kristal. "Sekarang aku belum tahu siapa pembunuhnya, tapi nanti Mama dan Tante Indira akan memberitahuku semuanya."

"Itu rencana yang sangat berbahaya tahu." Sakti memperingatkan seraya bersedekap.

"Tidak berbahaya kalau aku tahu cara berkelahi dan menembak."

"Memangnya kau tahu caranya?"

"Aku bisa mempelajarinya sendiri. Hal-hal semacam itu sekarang mudah dicari di internet."

"Berlatih sendiri itu berbahaya karena tidak ada orang yang mengawasimu."

"Kalau begitu maukah kau mengajariku caranya berkelahi dan menembak?"

Sakti terdiam dan tampak sedang berpikir keras. Kali ini cukup lama sampai Kristal mengira pemuda itu sudah berubah jadi patung.

"Kau pasti tidak mau ya?"  Kristal memberengut. "

"Bukan begitu, Manis...."

"Tidak masalah. Aku bisa belajar sendiri. Lihat, sekarang aku sudah punya pistolnya." Kristal mengangkat sepucuk senjata api dan memutar-mutarnya bak seorang penembak profesional.

"Tunggu!" Sakti tersentak kaget, saat tidak menemukan Kimber di pinggangnya, kemudian merebut senjata api tersebut dari tangan Kristal secepat kilat. "Bagaimana kau melakukannya, gadis nakal?"

"Aku mempelajarinya dari pencopet profesional di internet."

"Astaga." Sakti menepuk dahi. "Kau benar-benar penuh kejutan."

"Tidak lama lagi aku juga bakal bisa menembak."

"Jangan sekali-kali berani mencobanya tanpa pengawasan."

"Kalau begitu bagaimana kau saja yang mengawasiku?"

"Tidak."

"Oke, tidak masalah." Kristal tersenyum sangat lebar hingga membuat Sakti mengerang pasrah.

"Baiklah, dengan satu syarat...," Sakti bergerak maju dan membisikkan sesuatu di telinga Kristal. "jangan sampai ada orang yang tahu kalau aku yang mengajarimu, aku masih belum mau mati. Ini antara kita berdua saja, oke?"

Kristal mengangguk antusias, sementara Sakti mengedipkan sebelah matanya penuh rahasia, sebelum kembali berbicara pada Indira.

"Ma'am, berapa lama gadis ma-nis ini tinggal di sini?"

"Enam bulan." Indira mengerang putus asa seraya menepuk dahinya. "Astaga, aku belum sempat mencari orang untuk menjaganya selama aku bekerja. Aku tidak mau dia ditinggalkan sendirian tanpa pengawasan. Kau tahu, bulan lalu dia membuat dapur rumah kakakku hangus terbakar dan minggu lalu dia berhasil mengutil barang di toko perhiasan tanpa terdeteksi."

Sakti mengangkat sebelah alisnya, lalu menatap Kristal. "Gadis nakal," ujarnya tanpa suara dengan ekspresi marah yang dibuat-buat sampai membuat Kristal terkikik geli.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku saja yang menjaganya selama kau bekerja? Lagipula belum ada pekerjaan untukku dalam waktu dekat kan?" Sakti menawarkan diri.

"Kenapa kau mau menjaganya?" Indira menyipitkan mata curiga. "Apa kau bisa dipercaya?"

"Tentu saja. Aku sudah tobat."

Indira mengangkat alisnya, sangsi. Tatapan wanita itu perlahan jatuh pada setiap tindikan di wajah pemuda itu, kemudian beralih ke tato yang mengintip di bawah tangan.

"Aku bisa melepas semua tindikanku atau menghapus tato-tatoku kalau kau berpikir itu akan memberi pengaruh buruk padanya."

"Tentu saja kau harus. Aku pasti sudah gila kalau mempercayakan gadis kecil polos ini kepada preman sepertimu!"

"Ayolah, Ma'am, jangan begitu. Aku sangat suka gadis kecil."

"Apa maksudmu?" Indira melotot.

"M-maksudku aku suka bermain dengan gadis kecil."

"Itu menjijikan, Wolf!" kecam Indira.

"Astaga, Ma'am. Kau tahu maksudku bukan itu," sahut Sakti panik, lalu menatap Kristal dalam-dalam seraya tersenyum lembut. Hal kecil tersebut sontak membuat jantung Kristal bertambah cepat. "Aku berjanji akan menjaganya... sepenuh hati."

Indira menatap ponselnya yang berdering, lalu menatap Sakti bergantian. Sepertinya wanita itu tidak punya pilihan lain. "Pokoknya jangan aneh-aneh kalau kau masih sayang nyawamu!" ancam Indira.

"Siap, Ma'am."

"Kalau begitu, terima kasih, Wolf," sahut Indira lega, lalu menatap sebal pada ponselnya yang masih berdering. "Aku harus segera menjawab ini."

"Wolf?" tanya Kristal penasaran setelah Indira menghilang ke ruangan lain untuk menjawab telepon.

Sakti melirik Kristal yang saat itu mengenakan celana jeans sederhana dan hoodie berwarna merah. "Ya, aku Wolf. Jadi, berhati-hatilah padaku, gadis kecil ber-hoodie merah. Kecuali kalau kau ingin aku memakanmu," ujarnya geli seraya menggelitik Kristal tanpa ampun.

"Light." Kristal tersentak kaget saat seseorang menepuk punggungnya sehingga tanpa sadar membuatnya melempar minuman kaleng yang sudah kosong di tangannya.

"Apa, Wolf?" sahut Kristal berang. "Kau mengagetkanku!"

Lelaki itu menatapnya geli, kemudian duduk di kursi kosong di samping kursinya seraya tersenyum lebar.

Astaga, bahkan efek senyuman menakjubkan itu sampai saat ini masih membuat jantung Kristal serasa diremas-remas.

Mengapa makhluk ini tidak bertambah jelek sedikit pun? pikir Kristal muram.  Tak jarang Kristal berharap seiring berjalannya waktu lelaki itu bertambah tua dan tubuhnya berubah keriput agar Kristal bisa segera melupakan perasaannya. Namun, semakin ke sini garis wajah lelaki itu semakin maskulin sementara tubuhnya semakin prima.

"Kau melamun. Apa kau masih memikirkan bajingan yang kau tembak tadi?" Wolf menyugar rambut gondrongnya, lalu menatap Kristal dalam-dalam. Tatapan yang tidak pernah berubah selama empat belas tahun Kristal mengenal lelaki itu.

Kristal mendengkus kasar. Berusaha keras agar terlihat terganggu ketimbang terpesona. "Bukan urusanmu!" ujarnya ketus seraya membuang muka.

"Oke, oke. Itu bukan urusanku. Maaf, Manis." Wolf angkat tangan. "Hei, apa kau punya pereda nyeri?"

"Pereda nyeri?" Kristal kembali menatap Wolf cemas. "Kau terluka? Di mana? Apa bom itu mengenaimu?" Kristal mulai memeriksa tanda-tanda vital Wolf.

Mereka dan tiga prajurit CO tim Alpha A lainnya baru saja kembali dari misi mengamankan selusin para napiter atau narapidana teroris yang kabur.

Meski sempat terjebak dalam adu tembak yang cukup intens selama hampir dua jam, tetapi akhirnya Kristal yang bersembunyi di atas pohon berhasil menembak mati napi terakhir yang paling sulit ditangkap. Napi itu sempat melemparkan bom ke arah timnya. Untungnya tidak ada korban jiwa dari pihak mereka, tetapi ada selusin mayat napiter berbahaya yang harus dievakuasi.

Setelah semua urusan selesai pada dini hari, mereka kembali ke sebuah rumah terpencil di pinggir hutan yang selama dua minggu terakhir ini berubah menjadi markas dan tempat istirahat sambil menunggu jemputan tiba.

"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa." Wolf mengunci kedua pergelangan tangan Kristal agar berhenti memeriksanya. "Aku hanya butuh pil pereda nyeri karena aku tidak bisa menemukan pil sialan itu di mana pun. Oke, Manis?"

Kristal berdecak sebal. "Baiklah, aku akan mencarinya untukmu," ujarnya seraya bergegas pergi.

"Kurasa kau harus berhenti, Wolf." Bear, lelaki bijak yang memimpin misi malam ini angkat bicara setelah memastikan sosok Kristal menghilang ke ruangan lain.

"Berhenti apa?" Wolf mengernyit bingung.

"Memberi harapan pada Light."

"Aku setuju dengan Bear." Fox ikut bersuara.

"Apa yang kau setujui, rubah? Kau bahkan tak tahu apa yang Bear maksud."

"Aku tahu kok. Bahkan Snake yang bodoh ini pun tahu ini tentang apa."

"Omong kosong! Secara data aku lebih pintar lima puluh persen darimu, Fox. Keunggulanmu hanya di tampang dan aku bahkan tidak peduli soal itu." Snake memprotes, tapi Fox mengabaikannya.

"Jangan pura-pura bodoh, Wolf. Kita semua tahu kalau Light memiliki perasaan terhadapmu. Dan kau selalu bertindak seolah-olah memberinya harapan," sahut Bear telak. Semua orang terdiam menyetujui, seolah itu adalah sebuah kebenaran mutlak.

"Ck. jangan konyol, aku tidak memberinya harapan," bantah Wolf. "Aku hanya bersikap seperti biasanya.

"Kalau begitu, menjauhlah darinya," timpal Bear tegas.

"Hei, aku sudah mengasuh Light sejak umurnya sepuluh tahun. Tidak mungkin aku asal menjauhinya begitu saja." Wolf menghela napas panjang dan menguap.

"Dia bisa salah paham dengan sikapmu, Wolf.," Ujar Bear serius, "bisa dibilang kalian sudah lama bersama. Mungkin dulu sikapmu padanya bukan masalah, tapi sekarang Light bertambah dewasa. Perasaannya terhadapmu sudah berubah."

"Perasaan Light bukan urusanku," tukas Wolf acuh tak acuh, "dan aku tidak pernah melihat Light sebagai wanita yang bisa kukencani."

"Kenapa tidak?" Kali ini Fox yang bertanya.

Wolf berdecak. "Karena dia terlalu muda bagik―"

"Menurut undang-undang usianya sudah masuk usia dewasa. Umurnya 24 tahun," sela Snake.

"Dan aku 34!"

"Cuma beda sepuluh tahun."

"Coba kalian bayangkan, Light masih empat tahun saat aku sibuk mencium pacar-pacarku. Light berumur lima tahun saat aku sudah menjadi pecandu narkoba, dan Light berumur enam tahun saat aku menjadi pembunuh bayaran. Intinya, aku tidak tertarik menjalin hubungan  dengan wanita yang usianya berbeda satu dekade denganku," sergah Wolf sebal.

"Meski berbeda satu dekade, secara mental dia lebih dewasa darimu," sindir Fox.

"Berengsek! Dengar ya, di sini aku yang paling tua diantara kalian dan Light paling muda di antara istri-istri kalian. Jadi, kalau suatu saat nanti aku mulai tertarik menjalin hubungan serius, aku hanya akan mencari wanita yang lebih tua dari istri-istri kalian."

"Aku tidak punya istri!" protes Snake tak terima.

"Ya kau punya, kau sudah mengabaikannya bertahun-tahun" balas Fox.

"Aku tidak―"

"Oh, diamlah, Snake! Kali ini ceritanya bukan tentangmu!" Fox melemparkan kaleng bekas minuman ke arah Snake, tetapi Snake berhasil menangkapnya tanpa melihat, lalu mengembalikan kaleng itu pada Fox.

Namun, di tengah perjalanan, Bear dengan cepat melempar pisau KA-BAR nya  hingga menembus kaleng yang sudah penyok itu sampai akhirnya menancap di dinding.

"Wolf, sebelum kau menyesal aku hanya ingin memberitahumu kalau kau tidak bisa memilih dengan siapa kau jatuh cinta. Hatimu yang memutuskan," ujar Bear dengan tenang seolah sebelumnya lelaki itu tidak melakukan aksi yang membuat Snake dan Fox terbelalak kaget, mengingat pisau itu terbang di celah antara pipi-pipi mereka sebelum menancap di dinding di belakang mereka.

"Yang pasti bukan Light." Wolf meremas minuman kaleng yang sudah habis dalam genggamannya, kemudian melemparkannya dengan asal ke arah belakang. Ajaibnya, setelah membentur beberapa titik dinding, kaleng itu berhasil mendarat di tong sampah ruangan sebelah. Snake dan Fox kembali terbelalak karena kaleng itu nyaris mengenai kepala mereka berdua.

"Light hanyalah adik kecilku yang berharga." Wolf berhenti sejenak untuk mengambil kaleng soda yang baru kemudian menarik pembukanya dan menyesapnya perlahan-lahan. "Aku pernah melihatnya nyaris mati dan rasa kemanusiaanku membuatku merasa harus melindunginya dan memastikan gadis itu tetap hidup untuk waktu yang lama. Itu saja, tidak lebih."

"Dia bahkan bukan adikmu. Kalian tidak memiliki hubungan darah." Snake menanggapi.

"Jujur saja, kejadian akhir-akhir ini membuatku muak dengan Light," ujar Wolf ngeri. "Dia semakin sensitif dan tidak kompeten. Suasana hatinya tidak bisa ditebak. Dia juga semakin serampangan, gegabah, dan manja. Light sulit dihubungi berhari-hari setelah menembak lebih banyak orang dari yang direncanakan. Terkadang aku sangat benci ketika dia memperlakukanku seperti bayi setiap kali aku terluka. Aku bahkan pernah menemukannya tidur di lantai kamarku saat aku demam. Demi tuhan, itu hanya demam biasa, tapi dia berlagak seolah aku sedang sekarat."

"Itu karena dia mencintaimu, Wolf. Istriku melakukan hal yang sama saat aku tertembak. Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian karena takut napasku tiba-tiba berhenti. Aku merasa lebih tenang saat istriku berada di dekatku."

"Kau mencintai istrimu, Fox, sedangkan aku tidak," tegas Wolf, kemudian mengalihkan tatapannya pada Bear. "Kita harus berhenti menempatkan Light di garis tembak. Kita bisa mengganti posisi Light dengan Bolt dan Storm. Bolt penembak jitu yang menjanjikan dan Storm bisa merawat merawat luka akibat pertempuran dengan baik. Lebih dari itu, mereka berdua bisa menjaga dirinya sendiri. Bagaimana menurutmu, Bear?"

"Tidak efisien. Light bisa melakukan semua keahlian tersebut sekaligus. Selain itu, dia satu-satunya anggota yang tidak pernah terluka."

"Aku tidak meminta pendapatmu, Snake," dengkus Wolf jengkel. "Dia tidak pernah terluka karena kita semua yang harus terkena getahnya. Coba kalian pikir, berapa kali kalian terluka demi melindungi Light?"

"Sejujurnya," Bear berdeham, "Light cukup pandai melindungi diri. Aku tidak pernah terluka karena dia."

"Aku juga tidak," sahut Snake.

"Aku juga tidak." Fox mengangkat alis dan menatap Wolf lurus-lurus. "Artinya di sini hanya kau yang sering terluka karena melindungi Light. Tidak heran kenapa Light selalu mencemaskan mu. Dia pasti sebal karena merasa berutang nyawa padamu."

"Itulah masalahnya, Fox," tukas Wolf tak sabar. "Dia wanita. Aku yakin kalian juga akan melindungi Light kalau aku tidak ada. Kalian akan memprioritaskan keselamatan Light karena dia satu-satunya wanita di tim ini. Jadi, bukankah lebih mudah kalau kita mengganti Light saja?"

Suasana berubah hening. Semua orang terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Apa kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu, Wolf?" Bear menyipitkan mata. "Apa kau sungguh-sungguh merasa Light mengganggu?"

"Tentu saja. Light sering membuatku nyaris mati karena mencoba menghubungiku saat aku sedang menyusup ke markas musuh. "

"Tapi kita tidak perlu sampai harus mendepak Light dari tim ini," Fox melemparkan tatapan menuduh, "Apa kau lupa, kaulah orang pertama yang mengajari Light caranya berkelahi dan menembak? Kau bahkan membujuk bos besar agar Light bisa masuk tim inti padahal saat itu dia baru dua puluh tahun."

"Ya dan aku menyesalinya sekarang," Wolf mengerang sambil mengusak rambut gondrongnya yang sudah berantakan, "aku pikir dia akan menyerah di hari pertama latihan minggu neraka kita. Aku tidak pernah menyangka dia akan bertahan sejauh ini. Empat tahun! Astaga, kenapa sih dia tidak seperti gadis normal lainnya? Kenapa dia suka bermain-main dengan senjata pembunuh massal ketimbang bersenang-senang dengan teman seumurannya?"

Sejenak kemudian, suasana kembali hening.

"Menurutku Light sudah tidak relevan lagi dengan tim ini," ujar Wolf memecah keheningan. "Dia semakin―"

"Dia semakin cantik dan tubuhnya semakin matang. Kau tak berhenti menatapnya atau memarahi semua orang yang menatapnya sejak dia muncul di hari pernikahanku dalam gaun superseksi. Ya kan?" Fox melemparkan tatapan mengejek. "Akui saja Wolf, kau tidak mau dia di tim ini karena kau mulai tertarik padanya."

"Astaga," Wolf memutar mata, "kalian tahu pacarku bahkan lebih baik ketimbang Light."

"Pacar yang mana? Terakhir kali kuingat kau memacari lima wanita sekaligus." Snake berkomentar.

"Pokoknya dibandingkan mereka, Light hanyalah gadis lugu dan polos."

"Jujur saja, sebutan lugu dan polos tidak cocok untuk wanita yang senang menempatkan peluru di kepala penjahat," sahut Fox.

"Kalau begitu dia naif, bodoh, tolol!"

Fox bersiul panjang. "Wow, kau memang benar-benar tidak tertarik padanya ya?"

"Sudah kubilang ribuan kali." Wolf menggerutu.

"Ngomong-ngomong, kenapa dia belum kembali?" Snake membuat semua orang menatap ke arah tempat Kristal menghilang , kecuali Wolf

"Biarkan saja dia. Lagi pula, lihat ini." Wolf tampak mengeluarkan bungkusan dari saku celananya, kemudian memperlihatkan bungkusan itu pada yang lain.

"Kau mengambil semua pil pereda nyeri?" Snake terbelalak.

"Ya, dan aku bertaruh gadis bodoh itu tidak akan turun sebelum berhasil menemukan benda ini untukku." Wolf tersenyum meremehkan.

"Itu jahat, Wolf," ujar Bear tampak tidak setuju. "Kau hanya akan menyakiti perasaannya."

"Aku tidak peduli, Bear. Lagi pula kau sudah tahu aku memang penjahat."

"Mantan penjahat," koreksi Bear.

"Seorang penjahat tidak bisa berhenti untuk bersikap jahat, Bear. Itu alami dan sudah mendarah daging."

"Kami tidak akan tinggal diam kalau kau menyakiti Light." Fox memperingatkan.

"Aku tidak bisa hidup tanpa menyakiti seseorang, Fox. Sekarang, biarkan aku tenang sejenak sebelum gadis tolol itu muncul dan menggangguku."

Namun, Kristal tidak muncul lagi sampai jemputan tiba beberapa jam kemudian. Kristal mengunci diri di kamar mandi, menyalakan keran sampai batas maksimum, lalu menangis sejadi-jadinya.

Ya, Kristal mendengar semua ucapan Wolf yang menyakitkan tentang dirinya saat ia hendak kembali ke ruang utama sambil membawa pil pereda nyeri dan segelas air. Pil yang sebenarnya selalu tersedia di sakunya untuk berjaga-jaga karena siapa tahu Wolf membutuhkannya. Kristal hanya perlu berpura-pura mencarinya sebentar agar ia tidak terlihat begitu memedulikan Wolf.

Akan tetapi, apa yang ia dengar kemudian membuat hatinya hancur berkeping-keping. Jatuh cinta kepada lelaki yang membencinya adalah hal terburuk yang pernah Kristal rasakan dalam hidupnya.

"Hai, Light, ke mana saja tadi? Kau menghilang." sapa Fox saat menunggu giliran menaiki pesawat Cessna jemputan mereka. Matahari mulai muncul di ufuk timur, Kristal menurunkan topi yang dikenakannya untuk menyembunyikan matanya yang bengkak.

"Tidak ke mana-mana. Hanya ketiduran." Kristal menaiki pesawat dan melihat Wolf sudah duduk di belakang dan tertidur. Kristal menghela napas panjang. Sekarang ia tahu lelaki itu mungkin hanya pura-pura tidur karena tidak ingin melihatnya.

Jika sebelumnya Kristal pasti akan memilih duduk di samping Wolf, maka kali ini berbeda. Kristal mengempaskan tubuhnya di samping Bear.

Bear tidak berkomentar apa-apa. Namun, saat pesawat mengudara, lelaki itu berbisik pelan di telinganya. "Kau baik-baik saja?"

"Tidak pernah sebaik ini." Kristal balas berbisik.

"Matamu bengkak."

"Kurang tidur."

"Kau mendengarnya ya?"

Kristal mengangkat bahu enggan membahasnya, tetapi juga tidak mampu menyembunyikan perasaannya. Jadi, ia memeluk lengan kokoh Bear dan menyembunyikan wajahnya di sana.

"Tidak apa-apa, aku tidak akan memberi tahu siapa pun. Aku bahkan mendukungmu kalau kau berniat membalasnya. Sesekali serigala congkak itu perlu dihajar."

Kristal mengangguk pelan. Terkadang ia tidak mengerti mengapa Bear sepeka itu pada perasaan wanita. Beruntung sekali Mila mendapatkan lelaki seperti Bear. Bukan lelaki yang kelihatannya baik dan peduli kepadamu, tetapi sebenarnya sangat membencimu.

Bear mengusap puncak kepalanya. "Tidurlah, Light. Kau butuh banyak istirahat sebelum memulai peperanganmu sendiri."

***

"Hei, Manis, kenapa tadi kau tidak duduk denganku?" Wolf mencegatnya begitu Kristal turun dari pesawat, lalu menunggunya mengambil ranselnya sebelum mereka berjalan beriringan.

"Kupingku panas mendengar Fox menelepon istrinya. Asal kau tahu, setengah percakapan mereka melibatkan desahan yang menjijikan. Kenapa kau tidak duduk denganku?"

"Aku asal pilih tempat duduk." Kristal menyelamati dirinya sendiri karena mampu bersikap normal dan acuh tak acuh menghadapi bajingan yang telah menghancurkan perasaannya ini.

"Asal pilih?" Wolf menghentikan langkah mereka dan menyipitkan mata. Kristal memasang wajah datar, sengaja membiarkan pertanyaan lelaki itu menggantung tak terjawab.

"Sampai nanti, Wolf," ujar Kristal begitu jipnya yang diparkir di pelataran parkir terlihat. Jaraknya sekitar seratus meter lagi.

"Kau mau aku antar pulang?" tanya Wolf. "Kita bisa singgah ke kedai eskrim dan memesan eskrim cokelat favoritmu."

Eskrim? Yang benar saja. Memangnya umurnya masih sepuluh tahun?

"Oh, Wolf." Kristal seolah tersadar. Selama ini ia benar-benar dibutakan oleh cinta, tetapi sekarang tidak lagi. Kristal harus mulai melupakan perasaannya pada lelaki ini. "Kalau kau benar-benar mengenalku, eskrim coklat bukan favoritku, tapi favoritmu."

Cinta membuat Kristal selalu membuat pilihan yang sama dengan Wolf semata-mata agar lelaki itu melihat kalau mereka memiliki banyak kesamaan. Namun, semua kebodohan konyol itu harus segera diakhiri. Kristal sudah muak berusaha membuat Wolf melihatnya karena nyatanya lelaki itu sangat membencinya.

"Lalu eskrim apa favoritmu?" Wolf menatapnya bingung.

Haruskah Kristal berteriak kepada lelaki ini kalau ini bukan hanya soal eskrim? Wolf bahkan tidak tampak merasa bersalah sedikit pun setelah tega menjelek-jelekkannya habis-habisan.

"Aku yakin kau tidak tertarik mengetahuinya, " Kristal melambaikan tangan, "selamat tinggal,"  ujarnya lantang, kemudian lari sekencang-kencangnya sebelum akhirnya meloncat ke dalam jipnya.

"Selamat tinggal? Kenapa bukan sampai jumpa? Hei, apa maksudmu?" Wolf berteriak sembari berlari mengejarnya.

Dari kaca spion depan Kristal melihat lelaki itu sepertinya sudah mengendus sesuatu yang tidak beres. Kristal tidak ingin Wolf tahu kalau ia mendengar semua ucapan buruk lelaki itu tentangnya.

Ya. Kristal sudah memutuskan untuk membalas lelaki itu. Ia tidak terima disakiti diam-diam seperti ini. Kristal tidak pernah menyatakan cinta kepada Wolf atau bermimpi mendapatkan balasan cinta dari lelaki itu. Kristal juga tidak pernah menuntut apa pun dari Wolf dan ia tidak pernah mengeluhkan apa pun tentang hubungan mereka selama ini. Jadi, kenapa Wolf harus merasa terganggu dengan kehadirannya di tim mereka? Kenapa lelaki itu sangat ingin menyingkirkannya dari tim?

"Ya Tuhan, selamatkan aku!" gumam Kristal kala melihat jarak antara ia dan Wolf semakin dekat. Harus Kristal akui kalau lelaki itu memiliki sepasang kaki yang kokoh dan sangat cepat.

"Buka pintunya, Light!" Wolf menggedor pintu di samping Kristal.
Kristal menurunkan kaca mobil, dan untuk pertama kalinya ia menatap Wolf tanpa rasa antusias seperti yang selama ini selalu dirasakannya setiap kali melihat lelaki itu.

"Apa?"

"Beri aku tumpangan. Antarkan aku pulang ke rumahku."

Kristal mendengkus kasar. Sekarang ia tidak sebodoh itu untuk bisa diperdaya oleh lelaki ini. Yang benar saja. Wolf tidak pernah memberitahu siapa pun tentang tempat tinggalnya. Jadi, kenapa sekarang dia meminta Kristal mengantarnya sampai ke rumah lelaki itu?

"TIDAK." Kristal sengaja menstarter mobil jipnya dan membuat suara brum brum brum yang memekakkan telinga.

"Manis...."

"MUNDUR ATAU KUTABRAK KAU SAMPAI MATI!"

_____________________

Happy reading, Readers!

Gimana? Sudah mulai seru belum?

Silakan klik bintang dan tinggalkan komentar penyemangat kalian.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 278K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
2K 288 18
[I'M FALLING IN LOVE, AND THAT MAKES ME THE STUPIDEST PERSON IN THE WORLD.] Badan Saras selalu gemuk, tapi patah hati karena ditinggal nikah pacarny...
1.2M 86K 35
21+ [MPREG] [MATURE CONTENT] [EROTIC ROMANCE] BoyxBoy Aku baru mengenal dirimu yang sebenarnya. Aku berpikir bahwa itu akan sulit untukku bisa mend...
2.6K 329 5
Dalam pertemuan yang tak terduga di tempat rekreasi, gadis pemalu Michael Airendra berhasil memikat Yevan dengan sikap tenang dan cara berbicara lemb...