That's OkA!

By Camamello

1.5K 1K 1.1K

[Jangan lupa follow dulu sebelum membaca] _____ "Ini diluar kendaliku, aku hanya bisa menunggu dan melepaskan... More

[Chapter 1] Cowok dan Coach
[Chapter 2] Muka Kamu Tuh!
[Chapter 3] Dibawah Pohon Ameline
[Chapter 4] Lovey Dovey dan HTS
[Chapter 5] Ke Tempat Kak Jo
[Chapter 6] Bimantara dan Oka
[Chapter 7] Kamu Masih Marah?
[Chapter 8] Gavarato
[Chapter 9] Masalah Orang-orang Brengsek

[Chapter 10] Laptop, Sekolah, Busuk?

36 12 30
By Camamello

Oka baru saja memarkirkan motor Cafe Racer-nya itu di garasi rumah yang berada di samping rumahnya.

Rumah besar dengan konsep Mediteranian itu terlihat begitu kokoh namun juga seolah rapuh dari dalam karena suasana yang begitu sepi mengarah pada sendu.

"Aku pulang ..." ujar Oka seraya masuk dari pintu samping rumahnya yang langsung mengarah ke ruang keluarga.

Didalam ruang keluarga yang dipenuhi barang-barang antik itu, ada sesosok pria yang duduk di meja makan dan ber-snelli atau yang kita ketahui sebagai jas dokter—sedang melakukan zoom meeting dari laptopnya dan menjelaskan sesuatu mengenai kesehatan jantung. Pada jas tersebut masih lengkap dengan nametag betuliskan 'Dr. Iwan B. Sp. JP'.

Sementara itu di sudut ruangan lainnya—tepatnya di meja depan televisi—ada seorang wanita berambut pendek dengan dress selutut yang sedang membaca sesuatu di ponselnya.

"Ma, Papa ada seminar lagi?" tanya Oka sambil menghampiri Sang Ibu dan mencium tangannya.

"Iya itu ..."

Oka mengangguk lalu berjalan kearah anak tangga menuju lantai dua yang berada tak jauh dari tempat ayahnya.

"Dek!"

Oka langsung berbalik saat ayahnya berbisik memanggilnya sambil mengisyaratkan tangannya dari bawah agar tak terlihat dari kamera bahwa ayah Oka sedang memanggil Oka.

"What?"

"Kopi ..."

Oka mengeriyit bingung saat ayahnya berbisik. "Me?"

"Iya kamu pesenin online aja ... Kopi mama nggak enak ..."

Seketika Oka langsung melotot dan mengisyaratkan bahwa ia akan segera mengadu pada Ibunya perihal kopi buatan ibunya itu. Namun, ayah Oka dengan segera langsung menggeleng dan mengepalkan tangannya kearah Oka sebagai isyarat bahwa Oka tak boleh memberitahukan pada ibunya soal ini.

"Iya iya ..."

"Jangan sampai ketahuan."

"Iyaa ..."

Sambil membuka aplikasi pemesanan makanan online, Oka berjalan menuju kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan begitu hati-hati agar tak mengeluarkan suara sedikitpun.

Kamar berkonsep nokturnal dengan kursi gaming berwarna hitam di sudut ruangan dan PC 8Pack OrionX yang senada dengan warna lampu LED di kamarnya—membuatnya langsung melemparkan tasnya di ranjang dan berbaring sembari meletakkan tangannya diatas kepala.

Pintu kamar Oka itu berderit secara tiba-tiba saat seseorang mencoba membuka pintu itu dengan memutar kenop pintunya. Karena pintu itu tak kunjung terbuka, terdengarlah suara 'tok tok tok' dengan tempo cepat seolah pengetuk itu begitu terburu-buru.

Dengan malas, Oka berjalan menuju pintu dan membukakan kunci pintu kamarnya.

Saat melihat ibunya yang keluar dari balik pintu, Oka dengan bersemangat bersiap menuju ibunya. Namun ibunya mengangkat tangannya untuk mengisyaratkan agar Oka tak usah beranjak dari ranjang.

"Gimana sama Papanya Ladora?" Ibu Oka masuk dan kembali menutup pintu kamar Oka sembari berjalan ke arah jendela untuk membuka tirai setinggi dua setengah meter itu.

"Oka udah bilang nggak usah, Ma ... Kalau ngotot, paling besok Oka mintain nomernya ..."

"Yah ... Kok lama banget sih, dek?" keluh Ibu Oka sambil duduk bersama di ranjang Oka.

"Ya gimana, Ma. Belum ada timing, soalnya kalau sama Oka anaknya bahas yang lain mulu." Oka dengan malas menghindari tangan ibunya yang mencoba membelai kepalanya itu.

"Ya kamu itu gimana, Dek! Dikasih jalan Mama sama Papa kamu malah uring-uringan!" Ibu Oka langsung berdiri dan menatap Oka dengan kesal. "Kamu itu mama masih jalan buat kembali sekolah ke Taruna Bangsa sebelum lulus, lagian kemarin siapa yang kemarin mutusin keluar dari sekolah paling bergengsi itu?!"

Oka lagi-lagi hanya diam. Ibunya tidak salah, Memang Oka lah yang keluar dari sekolah itu setelah masuk kesana dengan susah payah.

"Udah dibilangin, deketin Ladora ... Kakeknya itu petinggi di Sekolah Taruna Bangsa ... Setidaknya kalau kamu Deket sama Ladora, kamu bakal kembali ke sekolah itu dengan mudah!"

Dahi Oka mengkerut ... Bagaimanapun sebenarnya Oka juga merindukan sekolah itu dan ia tak bisa bohong jika ia lebih menyukai Sekolah Taruna Bangsa itu daripada SMANATARA yang sekarang berisi teman-teman Oka. Entahlah ... Mungkin bukan Oka yang menyukai itu—tetapi keluarga Oka.

"Atau kamu juga udah mama suruh cari keponakannya Om Ari! Om Ari itu mayor di tempatnya, jadi gampang buat dia rekomendasiin kamu ke Sekolah Taruna Bangsa!" Lagi-lagi ibu Oka itu menggerutu sambil memijit pelipisnya. "Tapi sampai sekarang kamu ngakunya belum nemu keponakannya yang mana."

"Anak tiri emang selalu bikin susah begini ya?"

"Udahlah Ma, lagian kita juga bahkan nggak tahu keponakan Om Ari itu cowok atau cewek."

Tiba-tiba munculah seorang cewek berusia sekitar dua puluhan yang datang dan memegang bahu Ibu Oka untuk menenangkannya. "Kita cuma dikasih tahu kalau namanya itu Eril ... Dan Oka juga udah berteman itu sama Felix."

"Kakak juga udah dapet laporan kalau Oka udah temenan baik sama Felix kok ..."

"Ya Felix emang biasa dipanggil Eril di rumah, tapi bahkan kita belum tahu Felix itu keponakannya Om Ari atau bukan!"

"Oka nyari keponakannya Om Ari aja nggak becus kayak gitu ... Udah bontot, cowok sendiri, emang dasarnya dia nggak bisa apa-apa," ujar cewek lain yang tiba-tiba datang sambil ikut duduk bergabung dengan Ibu Oka. "Atau Lo sengaja ya? Dia kan males sekolah di Taruna Bangsa lagi, Ma."

"Naza!" tegur Kakak perempuan Oka yang tadi membela Oka.

"Apa, Kak Eva? Emang Oka sengaja kan?"

"Kalau sengaja emang kenapa?" Oka beranjak dari berbaring di ranjangnya dan langsung duduk sambil menatap tajam kakak perempuannya itu.

Jujur, Oka selalu sakit hati dengan semua yang keluar dari mulut Kak Naza.

"Emangnya Lo, yang nggak punya pendirian dan sampai umur dua puluh tahun hidup Lo masih di 'setirin' mama papa?" ledek Oka dengan sarkas dan seringai yang membuat Kak Naza kesal. "Lo bahkan masuk Taruna Bangsa dulu karena dipaksa Papa, nilai Lo juga kurang dan fisik Lo menye-menye sampai harus nyogok."

"Lo bandingin sama gue yang masuk murni lewat tes dan nilai?"

"Cukup Oka!" Tangan Ibu Oka itu hanya tinggal sedikit lagi menyentuh pipi putranya itu.

Namun, ibunya—Catherine Citradana—langsung berhenti saat melihat wajah serius Oka yang benar-benar terlihat tegas jika Oka sudah siap menerima tamparan ibunya.

Bahkan Oka terlihat seperti sudah siap melawan keluarganya.

"Cukup!" Suara Eva naik satu oktaf sambil mengerling pada Oka. "Kalau Papa denger, bisa habis kita semua."

Dengan isi kepala yang berisik dan emosi yang bisa meledak kapan saja, Oka beranjak dari tempat tidurnya lalu mengambil sebuah kunci mobil yang ada diatas meja PC nya. Ia mengambil hoodienya yang ia gantung didekat lemari yang berada tak jauh dari meja PC nya lalu segera mengenakan itu dengan asal.

Tatapannya tajam, nafasnya begitu tenang namun menderu, dadanya mengencang, memang tak ada kerutan dikeningnya—tetapi tangannya mengepal untuk meredam emosinya saat mengingat wanita-wanita didepan Oka tetaplah keluarga mereka.

Meskipun bukan ibu dan saudari kandungnya.

"Aku nggak pernah nyesel keluar dari sekolah busuk itu, Ma."

***

"Arghh ... Laptop busuk!"

Berryl memukul-mukul keyboard laptop nya itu dengan kesal. Nafasnya menderu tak beraturan seiring dengan emosinya yang sudah sampai di ubun-ubun Berryl saat laptop tua nya itu lagi-lagi menjadi rewel dan lemot.

Berkali-kali Berryl mengetik sesuatu pada file proposalnnya dan berkali-kali pula tidak muncul apapun di layar laptopnya. Meskipun sudah ia pukul, otak-atik, dan doakan berkali-kali, tetapi hasilnya tetap nihil.

"Sumpah Lo pengen banget gue jual tapi bahkan kalau laku pun harga Lo nggak nyampe ceban ..." keluh Berryl sambil mencoba menangis meskipun selalu gagal.

"Sshh!"

Berryl terkejut dan langsung mengecilkan keluhannya sambil menunduk saat ditegur orang didepannya.

Kini Berryl berada di bilik baca perpustakaan daerah di kotanya. Bilik baca disekitar Berryl begitu sepi dan dibuat berjejer memanjang dan saling berhadapan-tak lupa dengan sekat pemisah berwarna putih yang serupa seperti milik bilik suara pada pencoblosan untuk menjaga ketenangan saat menbaca.

Berryl sengaja datang kesana untuk mencari suasana baru sepulang sekolah agar tidak gila saat mengerjakan proposal itu.

Berryl menekan keyboard laptopnya itu dengan hati-hati saat akan menekan tombol 'Ctrl+s' itu. Namun, laptopnya langsung padam dan mengeluarkan suara mesin yang cukup nyaring hingga membuat Berryl melotot.

"Arghhhh! Filenya nggak kesimpan?!"

"Sshh!"

Orang didepan Berryl itu berdiri dan melotot saat melihat jika cewek gila yang terus berteriak di perpustakaan daerah ialah Berryl—cewek yang ia bentak tadi pagi.

"Ryl?"

Berryl sama terkejutnya saat ia melihat kepala Oka yang terbit dari balik bilik baca yang berseberangan dengannya.

"Who?" tanya Berryl dengan sinis sambil melirik ke arah lain.

Oka sedikit kecewa saat Berryl bersikap begitu acuh padanya. Lagipula Berryl berhak melakukan itu setelah apa yang Oka lakukan.

"Ayolah ... I'm not some random man on the street," Oka menatap mata Berryl dan bersandar kedepan dengan tangannya yang bertumpu pada bilik baca. "Jangan bertingkah seolah Lo nggak tahu."

"Terkenal itu ada dua." Berryl menyuguhkan dua jari membentuk peace tepat didepan wajah Oka.

Oka sedikit memundurkan kepalanya saat cewek itu begitu agresif dengan gerakan tangannya hingga tangan cewek itu hampir mengenai hidung mancung Oka yang sudah seperti perosotan itu.

"Pertama, karena emang bagus citranya. Kedua, karena citranya ancur ga nanggung-nanggung."

Oka terkekeh. Siku tangannya masih bersandar di bilik baca sedangkan tangan kanannya mengambil bukunya dan memukulkan bukunya dengan lembut ke dahi Berryl yang selebar lapangan bola itu.

"Aduh!"

"Gue dua-duanya, gimana dong?"

Berryl mengeriyit lalu memutar bola matanya dengan kesal seraya kembali duduk ke kursinya.

Ini parah. Oka tak suka diabaikan. Cowok itu berdiri dan pergi ke ujung meja—memutari meja itu keseberang meja lainnya—tempat Berryl sedang duduk dan mengerjakan proposalnya.

"Kenapa sama laptop Lo?"

"Rusak."

Oka hanya tersenyum sambil menatap Berryl yang juga menatap laptopnya sendiri dengan kesal. Oka memiliki ide licik, tetapi ini tak ada salahnya untuk dicoba.

"Cafe yuk? Gue pinjemin laptop."

"Nggak bawa dompet."

Oka terkekeh saat mendengar jawaban Berryl yang terkesan ingin membohongi dan mengusir Oka.

"Gue talangin semua."

"Proposal gue belum selesai."

"Yakin bisa selesai pakai laptop Lo?"

Berryl menjadi sedikit goyah. Matanya menatap ke sisi lainnya dengan gelisah saat menimang jawaban Oka.

"Jangan kasih gue omong kosong itu, Lo nggak ngelakuin banyak hal selain belajar ... Apalagi ini weekend Jumat malam." Oka berkata dengan mantap.

Oka benar-benar serius saat mengajak Berryl ke cafe itu. Ia membuat penegasan yang jelas bahwa ia ingin jawaban jelas dari Berryl.

"Sampai proposalnya kelar aja kok, Ryl."

Continue Reading

You'll Also Like

271K 9.9K 50
a very talkative girl named kahmyla came all the way from new jersey & moves to philadelphia. she has no friends but she finds interest in this one g...
105K 3.2K 30
[ONGOING 🔞] #8 insanity :- Wed, May 15, 2024. #2 yanderefanfic :- Sat, May 18, 2024. After y/n became an orphan, she had to do everything by herself...
169K 1K 34
spoiler "Berani main-main sama gue iya? Gimana kalau gue ajak lo main bareng diranjang, hm? " ucap kilian sambil menujukan smirk nya. Sontak hal ter...
17.1M 656K 64
Bitmiş nefesi, biraz kırılgan sesi, Mavilikleri buz tutmuş, Elleri nasırlı, Gözleri gözlerime kenetli; "İyi ki girdin hayatıma." Diyor. Ellerim eller...