Figuran Wife [Republish]

By imtinkerlose

740K 69.1K 5.1K

Transmigration Story. Cheryl Aubie, gadis yang baru saja lulus SMA itu tiba-tiba saja terbangun dalam raga an... More

Prolog
01. Dunia Novel?
02. I'm Sorry
03. Memulai Semuanya
04. Kencan?
05. Alasan
06. Bertemu
07. Still Be Mine
08. Cupcake
09. Tidur Bareng
10. Miss You
11. Makin Sayang
12. Pemulung dan Pemilik barang bekas
13. Don't leave Me
14. Bayangan Menyakitkan
15. Roti Sobek
16. Gosip
18. Yang Pertama
19. Perasaan Egois
20. Yakin
21. A Challenge
22. Cerita Syakira
23. Sisi Sagara yang Lain
24. Kebohongan dan Rasa bersalah
25. Tujuan yang kini Tercapai
26. Selalu Sagara
27. Permintaan

17. Unknown Number

20.7K 2.2K 268
By imtinkerlose

Hai apa kabar? Sehat selalu ya!


Sudah vote? Kalau belum, vote dulu yuk! Terimakasih banyak!

Siap meramaikan kolom komentar? Fighting!

Satu kata untuk Figuran Wife!

Happy reading! Sorry for typo.
Enjoy <3

Chapter 17. Unknown Number

"Lo bisa nggak, jangan ceroboh sekali aja?" Liam melirik Gabby yang berada di gendongan punggungnya dengan sinis. "Udah tahu punya penyakit lambung tuh, makan yang teratur."

"Iam, ih! Jangan marah-marah mulu! Tambah sakit nih perut gue!" Gabby berdecak sambil mengeratkan pelukannya pada leher Liam, takut Liam menjatuhkannya begitu saja setelah menjawab demikian.

Liam mendengkus. "Ada ya bawahan ngasih perintah ke atasan nya?"

"Ada! Nih, gue! Mau apa lo?!" Gabby melongok ke samping wajah Liam, membuat Liam tersentak dan langsung menoleh ke arah lain.

Sialan! Deket banget. Ujar Liam dalam hati. Cowok itu kemudian berdecak. Kenapa jantungnya tiba-tiba berdebar kencang sih?!

"Jauh-jauh lo!" bentak Liam.

"Ih, kenapa?! Deg-degan ya lo, lihat muka cantik gue dari deket?!" Walaupun sedang sakit perut, tidak mengurungkan niat Gabby untuk menggoda Liam.

"Rambut lo bau."

Gabby merengut dalam gendongan Liam, membuat Liam yang sedang menaiki anak tangga rumah Gabby terhayung. Liam berdesis kesal. Kalau saja dia tidak bisa mengendalikan diri, mungkin keduanya akan jatuh terguling ke bawah.

"Bisa diam nggak, lo?!"

"Rambut gue nggak bau, Iam! Orang setiap hari pake sampo kok!"

"Gue nggak nanya,"

"Ngasih tahu!"

"Oh,"

"NYEBELIN, AH!" teriak Gabby tepat di telinga Liam.

Liam memejamkan mata sabar. Gendang telinganya hampir di buat pecah oleh Gabby. Sialan, belum pernah Liam bertemu perempuan seberisik Gabby. Liam memilih tak menjawab. Gabby semakin diladeni akan semakin menjadi. Jadi lebih baik ia mengalah.

"Maaf Iam kalau gue ngerepotin lo mulu,"

Liam tak menjawab.

Gabby menaruh wajahnya di tengkuk Liam sambil memejamkan mata. Raut wajah nya kini terlihat lelah. "Karena, cuma lo yang mau merhatiin gue, Iam. Mama udah nggak ada, Papa sibuk sama keluarga barunya. Nggak ada yang ngasih perhatian lagi ke gue selain lo, Iam. Jadi, jangan berhenti buat peduli ya, sama gue?"

Liam memilih tak menjawab apa-apa. Ia menyuruh Gabby turun saat sampai di kamar perempuan itu, membuat Gabby cepat-cepat rebahan di kasur karena sudah tidak kuat menahan sakit di perutnya.

Liam menarik laci nakas dan mengeluarkan kotak obat. Cowok itu mengambil obat lambung, membukanya dan memberikannya pada Gabby.

"Cepet minum," decak Liam saat Gabby hanya menggenggam obat itu saja.

"Iya, ish! Yang lembut dikit kenapa?! Orang pacarnya lagi sakit juga!"

"Di mimpi lo," Liam memutar bola matanya malas.

Gabby berdecak. "Ambilin minumnya!"

"Ngelunjak lo ya," Liam mendengkus dengan wajah menahan kesal.

"Ambilin, Iaaaaaaammmm."

Liam menghela napas. Cowok itu berjalan ke arah meja rias Gabby. Terdapat gelas dan juga teko kaca disana. Setelah menuangkan air ke dalam gelas, Liam memberikannya pada Gabby.

Gabby cengengesan saat Liam menatapnya datar. Dia cepat-cepat meminum obatnya tidak mau Liam semakin kesal padanya.

"Gue mau balik ke kantor," kata Liam.

"Hah?! Ih, nanti dulu! Temenin gue disini!" ujar Gabby dengan raut panik.

"Nggak."

"Iaaamm, ih! Temenin!" rengek Gabby. Ia meraih lengan Liam dan menariknya agar duduk di sebelahnya. "Temenin, sampe gue tidur aja."

Liam berdecak pelan. "Yaudah cepet tidur."

Setelah memastikan Gabby benar-benar tertidur, Liam baru keluar dari kamar perempuan itu. Ia berjalan menuruni anak tangga dan berpapasan dengan ART perempuan di rumah Gabby.

"Bi, nanti tolong buatin Gabby bubur. Terus suruh dia langsung makan kalau udah bangun," pesan Liam pada ART tersebut.

"Eh? Non Gabby nya kenapa, Den?" tanya ART.

"Maag nya kambuh. Kalo gitu saya pergi, Bi." tutup Liam sebelum meninggalkan rumah Gabby.

Dalam perjalanan nya menuju kantor, Laim melihat perempuan yang begitu ia kenali bahkan hanya melihat punggungnya saja. Ziva? Ngapain sendirian di pinggir jalan? pikir Liam.

Liam sempat membunyikan klakson mobil sebelum berhenti. Perempuan yang ternyata Ziva itu menoleh terkejut. Liam turun dari mobil sambil menatap heran kearah Ziva. "Heh, kerdil! Abis ngegembel dimana lo?! Berantakan amat itu rambut!"

Ziva merengut. "Apaan sih, Bang?! Datang-datang udah ngatain!"

Liam tidak mendengarkan gerutuan Ziva. Dia memperhatikan Ziva yang tidak mau menatapnya dengan intens. Satu alisnya terangkat saat menatap Ziva. "Abis nangis lo?"

"N-nggak! Nggak usah sok tahu deh, lo! Tadi ngatain, sekarang malah nuduh! Nggak jelas!"

"Nggak usah bohong. Mata lo merah," balas Liam datar.

"M-merah? Oh, ini mata gue kemasukan batu, makanya jadi merah," Ziva mengusap matanya, mencoba meyakinkan Liam.

Liam mendengkus mendengar jawaban tak masuk akal Ziva. "Sekarang lagi panas-panasnya. Ngapain lo malah jalan-jalan sendirian disini? Lo bisa pusing nantinya,"

"Ya, emangnya kenapa kalau gue jalan-jalan disini? Lagian cuma pusing, nggak bakal sampe buat gue mening--"

"Ziva. Mulut lo!"

"M-maaf," kata Ziva takut.

Liam menghela napas, merasa bersalah saat melihat Ziva nampak ketakutan. "Masuk mobil, gue anter pulang."

Ziva menurut. Dia masuk dengan bibir yang mengerucut. Ziva menatap Liam yang mulai menjalankan mobilnya dengan heran. Cowok itu masih menggunakan setelan kantornya. Tapi kenapa bisa Liam ada di sekitar sini saat masih jam kerja? Ya, Ziva tahu Liam bisa pergi kemana saja di jam kerja karena Liam adalah bos nya, tapi Liam tidak akan keluar dari kantornya jika tidak ada hal penting.

"Abis dari mana, Bang?" tanya Ziva.

"Nganter Gabby pulang,"

Ziva mengerutkan keningnya. "Emangnya Gabby kenapa?"

"Sakit."

"Sakit apa? Parah nggak?"

"Cuma sakit perut."

"Cuma sakit perut kok lo anterin sih, Bang?" Ziva menatap Liam curiga. Hm, pasti ada bakwan di balik udang nih! pikirnya.

"Dia karyawan gue. Jadi gue anter,"

Ziva mengangguk dengan ekspresi seolah sudah percaya. "Berarti kalau karyawan lo yang lain sakit perut, lo anter pulang juga?"

Liam terdiam, membuat Ziva langsung menyunggingkan senyum licik. Kena lo!

"Bang, kok diem sih?! Jawab dong!" desak Ziva.

Liam melirik Ziva sekilas sambil berdecak pelan. "Berisik lo, cerewet."

Ziva mendengkus. "Lagian tinggal jawab doang apa susahnya, sih?!"

"Lagian tinggal duduk diem nggak usah banyak tanya apa susahnya?"

"IHHH! Kok lo balikin omongan gue?!" Ziva memukul tangan Liam kesal.

Liam menghela napas. "Udah makan?" tanya Liam mengalihkan pembicaraan.

"Udah. Tapi gue pengen pasta, Bang."

Liam mengangguk. Dia memutuskan putar arah untuk mampir ke sebuah Kafe yang ada di sekitar sana. Setelah beberapa menit, akhirnya mobil Liam terparkir juga di sebuah Kafe yang cukup ramai oleh pengunjung pada siang itu.

Ziva langsung turun dengan semangat. Selain karena ingin pasta, dia juga haus. Berjalan tak tentu arah membuat energinya sedikit terkuras juga.

Pesanan datang beberapa saat setelah keduanya duduk. Ziva memesan pasta carbonara dan milkshake strawberry untuk minumnya. Sementara Liam hanya memesan muffin cokelat dan caramel maciatto.

Liam memperhatikan Ziva seraya melahap muffin cokelat nya. Ia terkekeh geli melihat ada noda bumbu pasta di ujung bibir Ziva dan perempuan itu langsung mengelapnya dengan cepat. Hal itu terjadi sampai tiga kali. Membuat Liam masih merasa tidak menyangka kalau adik perempuan satu-satunya sudah dewasa. Dari kecil hingga sekarang Ziva masih suka belepotan jika sedang makan.

Ziva memandang aneh kearah Liam yang kini tengah menatapnya gemas sesekali terkekeh. Dih? "Ngapain lo ketawa-ketawa?!"

"Lo udah gede tapi makan masih belepotan," balas Liam.

Ziva mendengkus. "Manusiawi, Bang. Daripada lo, udah 8 tahun tapi masih nge dot. Jadi, lebih parah gue, atau elo?"

Liam tidak langsung menjawab pertanyaan Ziva. Dia malah tertegun, menatap Ziva dengan rumit. "Lo... Tau dari mana gue umur segitu masih nge dot?"

Ziva menatap Liam dengan kedua alis terangkat. Ekspresinya nampak terkejut. "Jadi bener umur segitu lo masih nge dot?!" Ziva lantas tertawa. "Gue insting doang padahal,"

Liam mendengkus. Cowok itu menyesap maciatto nya dengan perasaan kecewa yang tidak Ziva ketahui alasannya.

Di tengah makannya, Ziva bertanya pada Liam. "Bang. Menurut lo... Gue malu-maluin nggak buat Sagara?"

"Maksud lo?" Liam menatap Ziva bingung. Tidak mengerti apa maksud ucapan perempuan itu.

"Y-ya. Gue kan... Ya lo pasti tau maksud gue!"

"Kenapa? Karena lo pernah berbuat bejat dan sekarang lagi ngandung anak dari laki-laki lain?" tanya Liam tepat.

Ziva menunduk. Dia mengangguk pelan seraya mengaduk-aduk pastanya. "I-iya, Bang. Gue takut Sagara malu punya gue,"

Liam menghela napas. Apakah ini alasan Ziva menangis di jalan? pikir Liam. Meski Liam tidak tahu apa sebab yang membuat Ziva berpikir demikian, namun Liam yakin alasan itu yang membuat Ziva menangis.

"Kalo menurut gue, dia nggak akan malu." ujar Liam membuat Ziva mendongak menatapnya. "Ya lo pikir aja sendiri. Kalau Sagara malu, ngapain dia nikahin lo? Kalau Sagara memang malu, mungkin dia bakal memandang rendah ke arah lo sekarang,"

Ziva terdiam.

"Va. Gue tau, Sagara rela ngelakuin apa aja buat lo karena dia cinta sama lo. Dan menurut gue, cinta bukan cuma sekedar tentang perasaan, tapi bisa menerima semua kekurangan yang ada dalam diri pasangan masing-masing. Kalau Sagara mau nikahin lo, naruh perasaan cinta sama lo, itu artinya dia udah bisa nerima semua yang ada dalam diri lo sekalipun itu sebuah kekurangan."

"Jadi lo nggak perlu merasa khawatir. Gue yakin Sagara bisa nerima lo apa adanya. Cukup lakuin yang terbaik buat Sagara. Nggak usah mikir yang nggak-nggak."

Tepat pukul dua siang, mereka selesai makan. Dalam perjalanan, Ziva tidak banyak bicara. Perempuan itu hanya termenung menatap jalanan. Meski Liam sudah menjelaskan demikian padanya. Namun, hati Ziva belum juga bisa tenang.

***

Pagi itu, entah kenapa Sagara merasa suasana meja makan begitu sepi. Ia menatap Ziva yang makan dengan raut wajah tidak nafsu. Ya, ia rasa penyebabnya adalah seseorang yang sering mengoceh tentang hal tidak jelas kini sedang dalam mode silent.

Sejak kemarin sore, Sagara memang merasa ada yang aneh pada Ziva. Perempuan itu terlihat murung dan seperti banyak pikiran. Meski Ziva mencoba menutupinya, namun Sagara tetap bisa merasakan kalau banyak yang sedang Ziva pikiran.

"Kenapa cuma di aduk-aduk doang makanannya?" tanya Sagara.

Ziva mendongak, kemudian dia menggeleng. "Dimakan, kok. Hehe." Ziva lantas memakan nasi gorengnya seraya menatap ke arah lain.

"Nggak mau cerita?"

"Maksud kamu?" Ziva menatap Sagara bingung. Lebih tepatnya pura-pura bingung. Apa cowok itu tahu? Pikirnya.

"Aku tau kamu lagi mikirin sesuatu." ujar Sagara, membuat Ziva gelagapan.

Ziva berdeham sebelum tersenyum. "Aku nggak mikirin apapun kok."

Sagara menatap Ziva dengan intens. "Kamu nggak bohong, 'kan?"

Ziva mengangguk.

Sagara menghela napas. Lengannya terangkat untuk mengelus punggung tangan Ziva yang bebas dari apapun dengan ibu jarinya. "Va. Aku tahu nggak semua orang suka cerita tentang masalahnya, dan nggak semua masalah harus di ceritain. Tapi, sekarang aku suami kamu. Aku mau kita saling terbuka dan nggak saling menutupi,"

"Aku tahu, kamu lagi pikirin sesuatu. Tapi kalau kamu udah mau cerita, aku siap dengerin,"

Ziva tersenyum. Lihat? Meski cuek dalam menanggapi pembicaraan, Sagara adalah seseorang yang baik dan juga begitu pengertian. Dan hal itu, benar-benar membuat Ziva seolah tertampar kalau dia bukan yang terbaik untuk Sagara.

"Iya, Ga." Ziva menjauhkan tangannya dari jangkauan Sagara. "Aku cuma mau tanya sama kamu."

"Apa?"

"Kenapa... Kamu mau sama aku?"

Walaupun Ziva mencoba untuk tidak memikirkan semua ucapan dari karyawan Sagara, tetap saja Ziva tidak bisa membohongi diri kalau hatinya terluka atas semua yang mereka bicarakan.

Sagara mengerutkan kening samar. "Kenapa nanya kayak gitu? Bukannya aku udah pernah bilang sama kamu?"

Ziva menunduk. "Iya, aku tau, Ga. Aku cuma ngerasa nggak pantes aja jadi istri kamu,"

"Kamu itu laki-laki mapan, kamu juga baik dan bertanggung jawab. Kamu pantas dapat perempuan yang lebih-lebih baik dari aku. Sedangkan aku? Aku... Aku udah cuma bisa buat malu keluarga. Aku juga udah kotor karena mengandung anak laki-laki lain." Ziva menjeda untuk mengatur dadanya yang terasa sesak. Dia menelan ludah saat tenggorokannya terasa tercekat. "Kamu nanti pasti malu sama orang-orang, karena punya aku di hidup kamu,"

Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Ya, Ziva mengerti istilah itu. Dan mungkin, ini lah yang Ziva dapatkan atas apa yang telah dia lakukan beberapa bulan silam. Menjadi bahan gosip dan olok-olok. Ziva tidak masalah meski tidak menampik kalau ia sakit hati. Namun, Ziva begitu takut,

Pak Sagara itu ganteng, mapan, bertanggung jawab pula. Harusnya dia bisa dapat perempuan lebih baik. Kok mau-maunya ya sama Bu Ziva?

Kalo gue jadi Pak Sagara sih, bakal malu ya.

Ya, memang sepantasnya Sagara mendapat seorang istri yang lebih baik darinya. Seharusnya Sagara mendapat pendamping hidup yang sepadan dengan Sagara, baik kasta maupun harga diri.

Munafik kalau Ziva tidak merasa beruntung memiliki Sagara disisinya. Ia akan terkesan tidak tahu di untung jika seperti itu. Namun, Ziva takut kalau Sagara di permalukan karena memiliki pendamping hidup seperti ia nantinya. Ziva tidak mau jadi benalu di hidup Sagara.

"Kenapa? Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Ada yang bicara nggak baik-baik sama kamu?"

Ziva terdiam dengan kepala terus menunduk.

"Ziva. Jawab aku,"

Ziva mendongak mendengar suara dingin Sagara. Wajah cowok itu nampak keras dengan satu lengan yang mengepal di bawah meja. Ziva mencoba tersenyum meski kini hatinya sesak. "Iya. Tapi yang mereka omongin bener kok, Aku emang nggak pantas buat kamu, Ga. Aku cuma bisa buat kamu malu nantinya," Mata Ziva berkaca-kaca.

Sagara tertawa sinis. "Lancang." katanya dingin. Cowok itu memukul meja untuk melampiaskan rasa kesalnya. Tidak kuat, namun cukup membuat piring-piring yang ada di atasnya berbunyi.

"Mereka siapa bisa ngatur-ngatur aku dapat yang lebih pantas dari kamu? Kalau aku suka ya suka, nggak ada yang bisa nentang perasaan aku, termasuk kamu. Aku juga nggak peduli apa kata orang-orang tentang kamu."

"Mereka cuma bisa liat sisi buruk kamu, mereka nggak tahu apa aja yang udah kamu lalui, makanya mereka ngomong kayak gitu."

"Tapi, Ga--"

"Aku belum selesai." Sagara berdesis. Sialan, dia benar-benar emosi sekarang. Bisa-bisanya orang-orang asing itu membuat Ziva berpikiran demikian padanya. "Va, dengar. Jangan pernah ngerasa malu atau ngerasa kamu nggak pantas buat aku. Kita sama-sama manusia, punya sisi kekurangan dan keburukan masing-masing. Tugas kita sebagai manusia, ya saling menerima kekurangan itu untuk bisa jadi saling melengkapi."

"Mereka yang bicara tentang keburukan sesama manusia, nggak akan pernah bisa menghargai apa yang Tuhan kasih buat mereka, bahkan diri mereka sendiri."

"Aku sama sekali nggak malu punya kamu, Va. Kamu berharga buat aku,"

Detik itu juga, Ziva menangis kencang di hadapan Sagara. Kedua tangannya menutup wajah karena tidak mau Sagara melihat wajah jeleknya nanti. Hatinya lega sekaligus merasa bersalah karena telah berpikiran demikian pada Sagara. Namun, Ziva sesungguhnya hanya takut melukai Sagara. Takut membuat Sagara terlihat rendah karena dirinya.

Sagara menghela napas. Cowok itu bangun untuk menarik Ziva mendekat dan memeluknya. Membuat Ziva memeluknya sambil menangis kencang hingga bahunya bergetar.

"Maaf, Sagara. Maaf karena aku udah bersikap nggak tahu di untung berpikiran kayak gitu." kata Ziva dengan sesenggukan.

Sagara mengelus punggung Ziva berniat menenangkan."Nggak apa-apa. Udah, jangan nangis,"

Ziva mengangguk seraya meredakan tangisnya. Dia kemudian mendongak saat merasa Sagara mengelus kepalanya. "Maaf. Aku janji nggak akan kayak gitu lagi."

"Iya. Sekarang bisa kasih tahu aku, siapa yang udah ngomong kayak gitu sama kamu?"

"Karyawan kamu. Tapi mereka nggak salah kok. Akunya aja yang baperan."

Sagara mendengkus. "Aku nggak butuh karyawan tukang gosip."

Ziva mengerjap pelan. "Maksud kamu?"

"Aku mau pecat mereka."

***

Hari itu, Aurora terlihat sudah sangat rapi. Dia tersenyum menatap penampilannya di cermin full body. Setelah memakai sling bag, Aurora berjalan keluar kamar menemui Altair yang berada di ruang tamu, meminta cowok itu menemaninya belanja ke supermarket.

Aurora berjalan ke arah Altair yang sedang bermain ponsel di sofa. "Al, temenin aku yuk?"

"Kemana?" tanya Altair tanpa menatap Aurora, hal itu membuat Aurora melunturkan senyumannya.

Namun, karena tidak ingin merusak mood nya, Aurora tidak mempermasalahkan hal itu. "Ke supermarket. Aku mau beli buah-buahan, Al."

"Sendiri aja, Ra. Aku lagi males keluar," Lagi, Altair masih tetap fokus pada ponselnya.

Aurora merengut. "Tapi, Al. Nanti siapa yang bantu aku bawa belanjaan? Terus nanti aku naik apa? Aku nggak bisa nyetir, Al."

Altair menghela napas. "Kan bisa naik taksi online, Ra. Ya? Cuma hari minggu aku bisa istirahat, Ra. Dan aku, mau istirahat full di rumah,"

Aurora mendengus kesal. "Terserah kamu!'

Pagi itu, mood Aurora dibuat hancur karena Altair. Istirahat katanya? Sedaritadi Altair sibuk sekali dengan ponselnya. Ah, tidak tadi saja. Sejak Aurora memergoki Altair mengirim pesan pada Ziva, Altair selalu sibuk dengan ponselnya. Apa Altair sedang menunggu balasan dari Ziva?

Sialan! batin Aurora.

Emosi Aurora semakin memuncak ketika menemukan Ziva juga sedang berada di supermarket. Namun, dia tidak sendiri, ada Sagara yang menemaninya. Rasa kesal kini mulai memenuhi hatinya sekarang. Oh, lebih tepatnya Aurora merasa iri.

Diam-diam, Aurora memperhatikan Ziva. Perempuan itu terlihat sangat bahagia. Ah, seperti yang di katakan Gina, Ziva juga terlihat semakin cantik. Serta semua yang Ziva pakai harganya mahal. Aurora tahu, seperti jam tangan yang Ziva pakai. Aurora pernah melihatnya di situs web dan harganya tidak main-main. Sialan! Ini tidak boleh terjadi!

Di sisi lain, Ziva terlihat sedang memilih buah-buahan di hadapannya. Pagi-pagi sekali Sagara mengajaknya pergi ke supermarket. Ingin makan buah semangka, begitulah alasan Sagara saat Ziva bertanya ingin beli apa.

"Ga, Liat deh. Semangkanya gede banget, ya?!" Ziva menunjuk buah semangka. "Perut aku juga nanti pasti kayak gitu kalau udah 9 bulan!" lanjutnya kemudian terkekeh.

"Kamu nggak mau beli buah yang lain?" tanya Sagara.

Ziva nampak berpikir. "Aku mau beli alpuk--"

"Hai, Ziva!"

Ziva dan Sagara refleks menoleh tatkala mendengar ada suara yang menyapa Ziva. Dari arah kiri Ziva kini ada Aurora yang tengah mendorong troli ke arah mereka dengan senyum manis yang dia lemparkan pada Ziva.

Aurora menghentikan langkahnya. "Lagi beli buah, ya?"

"E-eh, iya nih!" jawab Ziva. Dia kemudian menoleh pada Sagara yang malah fokus kembali pada buah-buahan di hadapannya. Seperti tidak peduli dengan kehadiran Aurora.

"Kamu mau beli buah apa? Kamu punya rekomendasi nggak, buah yang bagus buat ibu hamil? Kebetulan aku juga mau beli buah." ujar Aurora sambil berdiri di samping Ziva.

Ziva menatap Aurora aneh. Ngapain nih panu biawak deket-deket gue?! Ziva hanya merasa aneh saja pada Aurora. Aurora tahu kalau Ziva begitu membencinya dan seharusnya dia menjauhi Ziva agar Ziva tidak melukainya. Tapi perempuan itu malah bersikap bagai seseorang yang paling dekat dengan Ziva.

Ya, wajar saja sih, Aurora adalah protagonis utama perempuan dalam novel 'My Love'. Jadi tak heran Aurora bersikap baik bahkan pada seseorang yang membecinya. Pikir Ziva.

"Jadi, menurut kamu, buah apa yang bagus buat ibu hamil?" tanya Aurora lagi.

"Eh? Durian, durian." Ziva menjawab asal. Bodo amat, dah!

"Tapi, dari yang aku baca di internet, durian nggak masuk ke dalam daftar buah bagus untuk ibu hamil. Dan yang masuk itu, jeruk, anggur, buah berry sama buah naga." kata Aurora.

Kampret! Kalau sudah tahu kenapa malah bertanya pada Ziva?! Apa Aurora berniat mempermalukan Ziva di depan Sagara?! Dasar eek kucing!

"Oh, gitu." kata Ziva dengan kikuk. Ia menoleh pada Sagara. Tidak seperti yang Ziva pikirkan, Sagara malah tengah asik memainkan ujung rambutnya, seperti seorang bocah yang tengah menunggu ibunya selesai mengobrol.

"Eh, Ziva. Aku baru sadar! Sling bag kita samaan ya?!" ujar Aurora, membuat Ziva menunduk menatap sling bag nya.

Fix kudu gue buang ini tas, batin Ziva.

"Eh, iya. Kok bisa ya? Hehe."

"Iya, kok bisa ya? Kamu beli tas nya dimana? Kalo aku sih, dari Altair. Ini hadiah sebagai rasa syukur atas kehamilan aku. Eh, tapi, em... Maaf, Ziva. Nggak seharusnya aku ngomong gitu sama kamu," Aurora lantas menunduk sendih.

Ziva tersenyum culas. Bodo amat, Aurora! Gue mah, bodo amat! Ambil tuh si Altair! Lo pikir tas gitu doang suami gue nggak bisa beliiin?!

"Nggak pa-pa, kok. Gue nggak ngerasa seperti apa yang lo pikirin. Lagian kalau gue pengen, tinggal minta ke Sagara."

Aurora menatap Ziva sedih. "Maaf ya, Ziva. Aku nggak bermaksud kayak gitu. Ini Altair yang maksa kasih, padahal aku nggak minta."

"Iya, santai aja kali, Ra." ujar Ziva. Ia kemudian memutuskan untuk kembali memilih buah-buahan. Malas meladeni Aurora. Entah lah, rasa respect Ziva menghilang pada Aurora. Dia sekarang malah merasa sikap Aurora di buat-buat.

Ziva menyelipkan anak rambutnya ke daun telinga. Hal itu membuat Aurora menoleh. Tatapannya terfokus pada anting berbentuk pita yang Ziva pakai. Ya, anting yang Sagara berikan untuk Ziva.

Aurora memasukkan beberapa buah naga ke dalam keranjangnya. Dia kemudian menatap Ziva yang sedang tertawa kecil karena Sagara mencubit pipinya. Aurora mendengkus diam-diam.

"Ziva, aku udah selesai beli buahnya. Kalau gitu, aku duluan ya!" kata Aurora.

Ziva langsung menoleh sambil mengangguk semangat. Hush! Hush!

Aurora mendorong troli belajaannya menjauh dari tempat Ziva dan Sagara. Ketika sudah dirasa cukup jauh, Aurora mengeluarkan ponselnya dan mencari sesuatu di internet. Sesaat kemudian matanya sedikit membulat melihat harga anting yang Ziva pakai.

Sialan, harganya tidak main-main!

Aurora meremat ponselnya dengan tatapan kesal. Tidak, ia tidak boleh kalah dari Ziva, sampai kapanpun! Tatapan Aurora teralih saat ada sebuah pesan masuk di ponselnya.

Unknown number: I'm back, Selina

***

Terimakasih Sudah meluangkan waktu untuk baca seluruh chapter ini!

Bahagia selalu ya! Jaga kesehatan juga!


Share cerita ini ke teman-teman dan sosmed kalian ya! Biar Figuran Wife bisa menghibur banyak orang!

Mau next kapan?

-----------------

ADA PESAN UNTUK SAGARA?

ADA PESAN UNTUK ZIVA?

ADA PESAN UNTUK ALTAIR?

ADA PESAN UNTUK AURORA?

ADA PESAN UNTUK AUTHOR?

Terimakasih banyak atas dukungan kalian! Aku sayang kalian bgt! <3

SPAM UNTUK NEXT PART!

22 Juni 2023.

Continue Reading

You'll Also Like

23.7K 2.4K 20
Hidup gadis bernama Aletta Quency Narinda berubah 180° setelah kecelakaan yang menyebabkannya koma selama enam bulan tapi setelah bangun dari koma ia...
224K 3.5K 12
suka suka saya.
678K 67.8K 41
Ketika menjalankan misi dari sang Ayah. Kedua putra dari pimpinan mafia malah menemukan bayi polos yang baru belajar merangkak! Sepertinya sang bayi...
348K 21.1K 24
❗Follow akun sebelum membaca❗ JANGAN REPORT! INI KELANJUTAN TRASMIGRASI MOMMY GRIL TAPI DIAKUN YANG BARU! 🔫Tidak menerima Plagiat🔫 Serena penga...