Cinta yang Sederhana

By teru_teru_bozu

188K 23.4K 1.9K

Bukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentan... More

Pada Sebuah Kisah
Cinta yang Sederhana
satu
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Cinta Yang Sederhana
Menjelang Pre Order Cinta Yang Sederhana
Open Pre Order Cinta Yang Sederhana

Dua

5.3K 1.1K 71
By teru_teru_bozu

Dua minggu sebelumnya.

"Jadi fixed ya, Cabang Tangerang harus dievaluasi," Fattah Rahardja, orang nomor satu di Rahardja Industrial Estate menatap para bawahannya.

Sore ini Jerini menemani Cakra dan Bima menghadiri rapat para manajer bersama CEO. Dan alangkah terkejutnya Jerini ketika yang dibahas adalah Cabang Tangerang. Laporan produktivitas yang buruk dan penjualan tidak memenuhi target adalah kartu mati yang membuat cabang bersangkutan berisiko ditutup.

Dan sekarang giliran cabang yang dikelola Gandhi yang akan dieksekusi.

Gandhi memang berpotensi untuk menghancurkan kariernya sendiri. Itu sudah Jerini duga sejak lama. Meskipun butuh waktu dua tahun bagi perusahaan ini untuk membuktikannya.

Pada saat huru-hara pernikahan mereka terjadi, yang menyebabkan keduanya pisah rumah meskipun belum bercerai, Jerini memang menghadap ke bagian personalia. Tujuan awalnya adalah untuk meminta mutasi. Di antara semua masalah yang membuatnya hampir gila, dia tidak ingin satu kantor dengan Gandhi. Tidak tahan.

Namun Pak Syafril, manajer personalia saat itu, meminta Jerini untuk bersabar dan menjamin kalau mutasi bagi mereka berdua pasti terjadi. Pria paruh baya itu bersimpati pada masalah yang menimpanya dan berbaik hati membocorkan rahasia perusahaan yang sedang dalam masa kritis karena akan dibeli oleh perusahaan besar yang berkantor pusat di Surabaya.

"Nggak lama lagi kantor pusat ini hanya akan jadi kantor cabang. Cabang Jakarta. Beberapa orang yang bagus akan dimutasi ke kantor pusat di Surabaya sana bila bersedia," kata Pak Syafril dengan sabar. "Apa kamu mau saya masukkan ke dalam daftar itu? Karena kamu bagus, Rin. Semua manajer merekomendasikan kamu. Berbeda dengan suamimu yang setelah ini akan dimutasi ke Tangerang karena hasil evaluasi kerjanya kurang."

Tentu saja Jerini menerima tanpa pikir dua kali. Dan begitulah semua itu terjadi. Setelah Gandhi dimutasi ke Tangerang, Jerini pun bertolak ke Surabaya. Mereka hanya berpisah tanpa bercerai, meski saling menutup jalur komunikasi.

Hingga sekarang. Dua tahun kemudian.

"Rin," bisik Bima yang duduk di sebelahnya. "Udah kamu catat semua kan?"

Jerini tergagap. Terlalu larut dalam pikirannya sendiri membuatnya lupa pada tugas utamanya. "Maaf—"

"Aman. Nih," Bima mengerling sambil tersenyum, menyodorkan catatan di jurnalnya. "Aku bukan berbaik hati ya. Aku cuma males aja dengerin kalau nanti Cakra marah-marah," canda sang deputi CSO, mengomentari atasan mereka dengan suara berbisik.

Cakra memang bukan atasan yang cerewet dan pemarah. Malah lebih terkesan pendiam. Namun saat terjadi konflik, jangan tanya bagaimana kemarahannya. Biarpun kata-kata yang dilontarkan hanya sedikit, namun tak mengurangi ketajamannya yang bisa bikin merah telinga.

"Thanks, Bim." Jerini tersenyum geli sambil mulai membaca catatan Bima. Sampai dia tiba di kesimpulan akhir. Mendatangi kantor Cabang Tangerang!

Ha?

Tiba-tiba Jerini merasa dadanya sesak. Setelah sekian lama, Gandhi ternyata masih memberinya efek yang seperti ini. Waktu dua tahun ternyata tak cukup untuk membuatnya kebal dengan masa lalu beserta rentetannya ini. Membuatnya sadar kalau luka hatinya memang belum sembuh.

Mungkin memang there's always one person that left too much memories in your life and you can't just erase it. Nggak semudah itu!

Dua minggu kemudian, setelah berhari-hari kepalanya terasa sakit karena memikirkan segala kemungkinan yang terjadi saat harus bertemu kembali dengan Gandhi, serta malam-malam panjang yang dia lalui dengan kualitas tidur yang buruk akibat mimpi buruk, perjalanan ke Cabang Tangerang itu akhirnya harus dia lakukan juga.

Kini, di tengah lalu lalang orang pada area pintu kedatangan tempat mereka menunggu jemputan, Cakra berdiri menjulang di sebelah Jerini.

"Jadi Gandhi yang selama ini kita bahas itu ternyata suamimu," gumam Cakra dengan ekspresi datar seperti biasa.

"Iya, Pak," Jerini mengangguk.

"I see," ucap Cakra sambil mengangguk singkat.

Untuk orang yang selama seminggu ini entah sudah berapa kali melontarkan sumpah serapah pada hasil kinerja Gandhi di Cabang Tangerang, Cakra terlihat biasa saja. Datar tanpa ekspresi sebagaimana pembawaannya sehari-hari.

Emang kamu mau ngapain, Rin? Pengin Cakra minta maaf atau merasa nggak enak karena sudah maki-maki kebodohan kepala cabang yang masih berstatus suamimu itu? Halu!

"Tapi, Pak, apa pun yang terjadi antara saya sama Gandhi, saya jamin hubungan itu tidak akan mempengaruhi profesionalitas saya." Jerini memberi klarifikasi. "Saya bahkan sudah memblokir nomor HP Gandhi. Itulah kenapa dia hanya bisa menghubungi Pak Cakra."

Cakra tidak berkomentar. Tatapannya tertuju ke depan, entah untuk melihat apa.

"Jadi Saya juga berani menjamin kerahasiaan informasi resmi terkait keputusan Pak Cakra terkait Cabang Tangerang," tambah wanita itu.

"Bukankah memang seharusnya begitu, Je?" Kali ini Cakra sedikit menunduk sehingga mereka bisa saling menatap.

Iya. Seharusnya memang begitu.

***

Cakra tahu kalau pernikahan memang bisa menjadi seburuk itu. Begitu buruk dan mengerikan sampai-sampai dia juga percaya kalau gambaran neraka yang sesungguhnya ada dalam pernikahan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena seumur hidup dia telah menjadi saksi dari sebuah hubungan mengerikan antara ibu dan ayah kandungnya.

"So, you're not divorcee, then?" Pertanyaan itu terucap begitu saja sebelum Cakra menyadarinya. Damn you, Cakra! Karena staf wanitanya pasti akan sangat tidak nyaman kalau dia mengorek-ngorek alasan kenapa tinggal terpisah dengan pria bernama Gandhi ini. LDM—Long Distance Marriage? Sepertinya tidak.

Alih-alih menghindar, Jerini justru mengangguk. "Kami berpisah dua tahun. Tapi tidak bercerai."

"It's kinda weird."

Cakra! You asshole! Your mama will rise from the grave and drag your hair!

"Weird apanya?" tanya Jerini dengan ekspresi penasaran yang lugu.

Salah satu kebiasaan Jerini yang tidak dia sukai adalah membalas pertanyaan dengan pertanyaan dengan cara mengulangnya seperti barusan. Come on. She's not so dumb!

"Kalau saya menjadi suami, pasti keberatan pisah domisili begini. Satu di Tangerang, satu di Surabaya."

Jerini mengangguk. "Karena tidak semua pernikahan berjalan ideal, Pak."

"I know," Cakra mengangguk. Banyak urusan dan banyak alasan yang tidak mungkin dipahami orang seperti dirinya. Termasuk keputusan pisah tanpa bercerai.

Ada apakah kalian para wanita? Kenapa takut sekali pada status janda?

Bahkan ibunya sendiri memilih menolak bercerai hingga akhir hayatnya. Meskipun seumur hidup Cakra, dia dan ibunya diabaikan dan dianggap tidak ada oleh ayah biologisnya. Hidup dalam kesulitan dan di bawah belas kasihan orang. Sementara pria yang katanya adalah ayah kandungnya itu lebih sibuk dengan pernikahan-pernikahannya yang lain dengan banyak wanita. Juga wanita-wanita yang hanya dinikahi secara siri, bersama selingkuhannya yang tersebar di mana-mana.

What kind of life! So terrible. Dan Cakra tetap tidak mengerti apa alasan para wanita itu untuk tetap bertahan dalam status itu. Konyol.

Mereka saling berdiam diri untuk beberapa saat sampai HP Cakra kembali berbunyi. Dari Gandhi Respati tentu saja, kepala cabang yang sebentar lagi akan dia sidang untuk keputusan-keputusan bisnisnya yang luar biasa buruk ini.

Dengan kata-kata manis serta entah berapa kali mengucap "maaf", Gandhi memberi ancar-ancar di mana mereka akan dijemput.

"Ya, kami sudah menunggu di sini," sahut Cakra setelah menyadari kalau lokasi yang dimaksud memang tempatnya berdiri bersama Jerini saat ini. "Saya tunggu," lanjutnya sebelum menutup obrolan.

Tak lama kemudian, sosok dengan ciri-ciri yang telah disebutkan oleh sang penelepon itu akhirnya muncul juga dari kejauhan. Hm ... jadi inilah Gandhi Respati.

Cakra melirik Jerini sekilas. Sebagai staf, wanita ini menarik perhatian Cakra sejak pertemuan mereka yang pertama. Kesan yang diberikan Jerini sebagai seorang karyawan sangat baik dan profesional. Waktu itu dia menghadiri rapat bersama para manajer dan Jerini juga hadir untuk mendampingi atasannya dari bagian marketing.

Jerini terlihat efisien dan rapi saat menjelaskan bagian-bagian khusus yang diminta oleh atasannya. Sopan, tidak genit, bahkan dia seperti sangat berhati-hati untuk menjaga gesture-nya agar tetap profesional. Saat itu pula akhirnya Cakra mantap untuk meminta Jerini bergabung menjadi stafnya bersama Bima.

Dalam pengalamannya selama bertahun-tahun bekerja bersama lawan jenis, Cakra sangat mengandalkan insting serta respons fisiknya. Dia akan menghindari lawan jenis yang memiliki aura menggoda. Dia juga akan otomatis menjaga jarak bila mendapati ada perempuan yang menjadi teman kerjanya menunjukkan gelagat tidak normal saat berdekatan. Hidupnya sudah terlalu rumit untuk ditambah lagi dengan percikan asmara di tempat kerja.

Dan Jerini wanita yang benar-benar berbeda. Dari obrolan singkat saja Cakra sudah bisa menyimpulkan kalau wanita ini akan bisa bekerja bersamanya dengan aman. Dan dijamin tidak akan ada flirting-flirting tak jelas seperti yang selama ini dia temukan. Sekarang barulah Cakra mengetahui alasannya. Tentu saja karena Jerini sudah menikah.

Dari jarak yang tak lagi terlalu jauh, Cakra bisa melihat kalau Gandhi pria yang tampan dan modis. Namun dari hasil evaluasi kinerjanya, dari caranya menulis pesan, dan dari caranya berbicara di telepon, Cakra menyimpulkan kalau Gandhi tipe penjilat menyebalkan. Hm .... Selera Jerini pada laki-laki ternyata tidak cocok sama sekali dengan karakternya yang sekuat kelihatannya. Ibunya juga wanita kuat yang memilih laki-laki bangsat sebagai pasangan. Kalian kenapa sih? Woman!

"Pak—"

Cakra terkejut ketika tahu-tahu Jerini menyentuh lengannya. Sentuhan pertama di antara mereka setelah sekian lama.

"Saya," wanita itu terdengar grogi. "Setelah ini saya berniat untuk bercerai. Jadi tolong bantu saya mengatasi kecanggungan ini."

Suara Jerini terdengar seperti permohonan yang membuat Cakra tertegun. Sementara di depan sana, Gandhi yang berjalan sambil tersenyum lebar ke arah mereka berdua, kian mendekat. Dan seperti refleks yang telah terlatih dengan baik karena seumur hidup dia telah menjadi tameng pelindung bagi ibunya, Cakra maju selangkah. Menempatkan Jerini tepat di belakang tubuhnya saat menyambut kedatangan Gandhi.

***

Jerini mengamati Cakra dengan saksama ketika pria itu menerima telepon yang kemungkinan besar berasal dari Gandhi. Sampai tiba-tiba tatapan matanya tertumbuk pada sosok pria di kejauhan sana. Pria yang sangat familier baginya. Pria yang sekarang berjalan menuju ke arah mereka dengan senyum lebar terukir di wajah tampannya.

Gandhi.

Menyebut nama itu kembali di depannya membuat Jerini berdebar tak nyaman. Karena Gandhi terlihat masih setampan dan segagah dulu. Dan jantungnya berpacu lebih cepat seiring langkah Gandhi yang semakin mendekat.

"Pak," tanpa sadar Jerini menyentuh lengan Cakra. "Saya ...," Jerini menelan ludah dengan susah payah. "Setelah ini saya berniat untuk bercerai. Jadi tolong bantu saya mengatasi kecanggungan ini."

Jerini tak sempat lagi menganalisis logikanya. Serangan panik akibat kemunculan Gandhi telah melumpuhkan akal sehatnya. Dan keputusasaan yang sekian lama tidak dia sadari keberadaannya kini keluar tanpa terkontrol, membuatnya nekat untuk meminta tolong pada pria sekaku Cakra.

Jerini bersyukur karena sepertinya Cakra mengerti. Tanpa kata, pria itu maju sehingga dia terlindungi dengan aman di belakang sosoknya yang tinggi. Membuatnya sedikit lebih tenang meskipun Gandhi tinggal beberapa langkah lagi dari posisi mereka sekarang.

"Halo, selamat siang—"

"Kenalkan saya Cakra." Cakra memotong ucapan Gandhi sambil mengulurkan tangan. "Seperti saya bilang sebelumnya, saya datang bersama staf saya, Bu Jerini."

Jerini bergerak ke samping sehingga kini dia bisa menatap Gandhi dengan perasaan yang lebih terkendali.

"Ah, Bu Jerini," Gandhi tersenyum sambil mengangguk ke arahnya. "Apa kabar?"

Jerini membalasnya dengan anggukan. Meskipun ingin berteriak, MENURUT LO? Namun yang keluar dari bibirnya malah, "Kabar baik."

Dan sebelum kecanggungan itu terjadi lebih lama, seseorang muncul di antara mereka.

"Bu Rini, apa kabar? Saya benar-benar nggak nyangka bakal ketemu lagi." Sapaan ramah itu dilontarkan Pak Ikhsan. "Tadi pagi Pak Ghandi pribadi yang nyamperin saya dan minta tolong diantar ke bandara. Kata Pak Ghandi, Bu Rini pasti senang ketemu saya."

Jerini tersenyum saat menjabat tangan sopir kantor tersebut serta tak lupa mengenalkannya pada Cakra. Seraya menahan geram karena ternyata Ghandi masih suka menempatkannya pada posisi tak nyaman seperti ini. Seperti yang dulu sering terjadi, sengaja menjebaknya dalam situasi yang tak mampu Jerini tolak. Tak mungkin kan dia bersikap dingin pada Pak Ikhsan yang telah lama dia kenal?

"Nggak hanya nebeng kantornya untuk pertemuan, bahkan driver pun harus pinjam dari Cabang Jakarta ya, untuk urusan Tangerang?" tanya Jerini sinis.

"Demi teman lama," Gandhi menjawab dengan santai. Ekspresinya ramah, seolah peristiwa dua tahun lalu tak pernah terjadi. "Apa lagi Pak Ikhsan dengan senang hati menyanggupi."

"Iya, Bu. Saya bisa ngilang sebentar dari kantor. Nggak ada yang tahu ini," Pak Ikhsan berceloteh dengan gembira.

Polos sepolos-polosnya, dengan sigap Pak Ikhsan meraih koper Cakra dan Jerini dan dengan sopan berpamitan untuk pergi duluan.

Sudut-sudut bibir Jerini terangkat meskipun dia berusaha menyembunyikan seringai puas saat mengetahui tatapan tajam Cakra yang dialamatkan kepada Ghandi. Gandhi telah sukses masuk perangkap. Kini poin minusnya bertambah banyak. Gandhi pasti tidak tahu kalau Cakra paling benci dengan perilaku tidak profesional dengan alasan teman.

"Lebih baik kita langsung berangkat," kata Cakra akhirnya, dengan nada resmi. "Mobil menunggu di mana?"

Gandhi tak bisa menolak lagi dan sebagaimana tuan rumah yang baik, dia mengarahkan mereka menuju tempat kendaraan yang sedang menunggu. Jerini sudah bergeser ke belakang untuk berlindung di balik punggung Cakra ketika Gandhi tiba-tiba melambatkan langkah untuk menjajarinya. Namun entah bagaimana caranya, tahu-tahu Cakra sudah menyelip di antara dirinya dan Gandhi. Lalu dengan lihai dia menggiring Gandhi untuk berjalan di sisinya. Sehingga Jerini kembali aman berada di belakangnya.

Jerini menunduk untuk menyembunyikan kelegaannya. Saat mengangkat muka, tanpa bisa dicegah pikirannya terfokus pada dua pria yang berjalan di depannya.

Betapa kontras mereka berdua saat berdekatan begini. Gandhi tidak setinggi Cakra. Dan meskipun mungkin beberapa tahun lebih muda, jelas terlihat stamina Gandhi lebih buruk. Karena hanya dengan menempuh jarak yang tidak terlalu jauh telah membuat napas Gandhi terengah tak beraturan. Sementara Cakra yang posturnya lebih besar melangkah dengan tenang tanpa terlihat kepayahan. Kestabilan langkahnya tecermin pada ekspresi datar di wajahnya.

Tiba di tujuan, Gandhi menyalahkan matahari yang panas menyengat siang ini. Membuatnya kepayahan dan kelelahan. Halah! Hanya mendengar keluhannya saja telah cukup membuat Jerini ikut merasa malu.

"Rin," panggil Gandhi tiba-tiba sambil mengulurkan tangan dengan semena-mena untuk menggamit siku Jerini.

Refleks Jerini berjengit menghindar. Sekian lama dia tidak pernah lagi bersentuhan dengan laki-laki. Dan tindakan Gandhi membuatnya tersengat oleh rasa tak nyaman.

Meskipun tadi dia menyentuh Cakra, hal itu tak bisa dihitung karena refleks, kan?

"Kamu duduk depan aja, biar kami para pria duduk di belakang," kata Gandhi yang tak peduli pada Jerini yang merasa terganggu oleh tindakannya. "Aku perlu ngobrol bersama Pak Cakra. Hitung-hitung pemanasan sebelum rapat betulan. Bukan begitu, Pak Cakra?"

Gandhi tersenyum pada Cakra. Dengan senyumnya yang sangat menawan. Senyum yang tujuh tahun lalu berhasil membuat Jerini mabuk kepayang.

"Sayangnya saya tidak terlalu suka mengulang pembicaraan," sahut Cakra serius. "Jadi urusan pekerjaan lebih baik kita bicarakan di forum nanti, di hadapan banyak orang sekaligus."

Lalu dengan luwes Cakra mengulurkan tangan untuk menjangkau pintu belakang dan membukanya dengan tenang. "Masuk, Je. Kamu di belakang saja sama saya. Kita datang sebagai tamu."

Tentu Jerini menyambar kesempatan itu tanpa perlu bertanya lagi. Cakra menunggu sampai dia duduk dengan nyaman sebelum menutup pintu mobil. Lalu berjalan memutar menuju pintu satu lagi dan membukanya tanpa ribut dan masuk ke mobil dalam gerakan yang terlalu smooth untuk ukuran tubuhnya yang tinggi besar.

"Come on, Pak. Kita dikejar waktu," kata Cakra kalem pada Pak Ikhsan yang telah duduk di belakang kemudi.

Gandhi pun bergegas masuk melalui pintu depan dan mengempaskan diri di jok tanpa komentar lagi.

***

"Saya nggak tahu kalau Jerini sekarang jadi staf CSO," ucap Gandhi dari bangku depan.

Sebagai tuan rumah, sebenarnya sah-sah saja kalau Gandhi berusaha bersikap ramah dengan memulai obrolan. Namun bagi Jerini yang sudah dipenuhi oleh segala prasangka, mendengar basa-basi penuh kepalsuan dari bibir pria itu membuatnya sungguh muak.

"Dan struktur jabatan di perusahaan yang sekarang benar-benar berbeda dengan perusahaan lama di Jakarta," lanjut Gandhi pantang menyerah.

"Wajar. Karena Jakarta dan Surabaya berasal dari dua perusahaan yang berbeda," sahut Cakra kalem.

"Tapi implementasi aturan baru dari perusahaan induk di Surabaya terlalu sulit untuk diikuti di cabang sini, Pak. Terutama kantor cabang yang saya pimpin. Tangerang."

"Mau bagaimana lagi, kan?" balas Cakra. "Sebagai kantor cabang, salah satu kewajibannya adalah mengikuti SOP –Standar Operasional Prosedur—yang sudah distandarisasi di kantor pusat. Kalau sampai menolak, bisa dianggap membangkang atau tidak mampu beradaptasi."

Jerini melengos ke arah luar jendela demi menyembunyikan cengiran sengaknya. Basa-basi Gandhi terbukti tidak laku di depan makhluk sekaku kanebo kering bernama Cakra ini.

Sudah jadi karakter Gandhi yang selalu ingin terlihat paling ramah dan paling baik saat berhadapan dengan orang-orang yang berpotensi memberinya keuntungan. Tak heran banyak orang menganggap Gandhi baik dan menawan. Ramah dan bisa menempatkan diri. Perlu waktu selama dua tahun pacaran, tiga tahun dalam ikatan pernikahan, serta dua tahun perpisahan bagi Jerini untuk menyimpulkan betapa palsunya semua citra yang selama ini ditampilkan Gandhi di luaran.

Maka dia senang karena sekarang Gandhi mati kutu oleh balasan kata-kata dari Cakra. Juga senang karena Cakra adalah salah satu di antara sedikit orang yang bisa membaca karakter Gandhi dengan tepat hanya dari pertemuan yang teramat singkat.

Salah satu keahlian Cakra adalah membuat orang yang tidak dia inginkan merasa tidak nyaman. Karena hal yang sama terjadi pada pertemuan pertama mereka. Cakra bersikap sangat kaku dan seolah menganggapnya tidak ada. Bahkan ada sorot penolakan di mata Cakra kala mereka dikenalkan sebagai atasan dan bawahan. Waktu itu Jerini penasaran, apakah pria itu jenis atasan yang tidak nyaman bekerja bersama perempuan. Kalau memang itu masalahnya, Jerini merasa tenang. Dalam hati dia menjamin kalau tidak akan ada interaksi tidak perlu selain untuk urusan pekerjaan. Karena dia pun tidak sedang mencari perhatian pada laki-laki. Yang Jerini butuhkan hanyalah pekerjaan dengan kesibukan padat dan tuntutan tinggi sebagai tempat melarikan diri dari ruwetnya kehidupan pribadi.

"Menurut saya—" Gandhi masih mencoba menjalin obrolan.

"Kalau memang Pak Gandhi sangat ingin kita membahas pekerjaan, boleh saya tanya satu hal, Pak?" tanya Cakra yang memotong dengan luwes. "Apakah ada alasan khusus kenapa rapat kita dilakukan di kantor Cabang Jakarta? Padahal kita akan membicarakan permasalahan Cabang Tangerang?"

Jerini bersyukur karena Cakra menyampaikan rasa penasarannya sejak mereka berangkat ke Jakarta tadi pagi.

"Oh itu," Gandhi tertawa renyah. "Bukan perkara serius kok, Pak. Hanya agar mudah dijangkau saja. Lagipula kantor Cabang Jakarta lebih representatif dari kantor cabang kami. Selain nyaman, fasilitas lebih lengkap. Dan saya mengenal dengan baik kepala cabangnya sehingga beliau tidak keberatan dengan niat saya meminjam tempatnya."

Jerini pura-pura sibuk dengan tabletnya agar tidak usah mendengar alasan Gandhi. Malu banget, tahu. Kenapa sih alasan Gandhi terdengar menyedihkan seperti ini? Seperti penjilat tolol yang tidak memahami siapa orang yang sedang dia hadapi. Dengan cara begini Jerini sangat yakin kalau nasib Gandhi hanya tinggal hitungan hari di tangan algojo seperti Cakra.

"Lain kali, kalau Pak Gandhi masih berpeluang untuk ketemu saya, mungkin perlu mengingat agar lebih fokus pada masalah yang akan dibahas. Karena urusan kita nanti jauh lebih penting dari sekadar kenyamanan yang ditawarkan fasilitas Cabang Jakarta," kata Cakra dengan serius.

Jerini jadi geli. Lo kira Cakra jenis orang yang mudah disuap pakai kenyamanan, Ndhi? Ada-ada aja. Ini udah tahun berapa?. Masih saja tolol dan murahan.

"Karena saya berniat menyelesaikan semua urusan secepatnya, Pak Gandhi bawa tim lengkap kan?"

"Tim saya sudah siap, Pak Cakra. Saya memang mempersiapkan semuanya dengan istimewa. Termasuk mengerahkan tim dari Tangerang ke Jakarta hanya untuk bertemu Pak Cakra." Terdengar nada bangga dalam ucapan Gandhi. Seolah dia merasa sangat hebat dengan idenya ini.

Please, Ndhi. Berhentilah bersikap konyol begini.

"Tapi saya malah menyesalkan mobililsasi tim dari Pak Gandhi dari Tangerang ke Jakarta. Tidak efektif dan buang-buang biaya. Karena kami tetap harus melakukan peninjauan ke Cabang Tangerang juga." AlwaysCakra dengan komentar yang siap mengerutkan nyali!

"Oh." Gandhi sampai perlu menoleh ke belakang. Mungkin untuk memastikan dia tidak salah mendengar omongan Cakra.

"Oh ya, Je, instrumen yang kita butuhkan untuk evaluasi langsung ke Tangerang sudah siap, kan? Hari ini juga, kalau memungkinkan, setelah rapat selesai, kita langsung ke bertolak ke lokasi cabang yang bermasalah ini."

Tuh, bermasalah banget kan? "Siap, Pak," jawab Jerini patuh.

"Oh ya, Pak Cakra, setelah ini kita bisa mampir makan siang di—"

"Oh, nggak usah repot-repot lagi, Pak Gandhi," potong Cakra santai. "Kita langsung ke kantor dan meeting. Saya dan Jerini cukup dipesankan makanan dari kantin kantor saja."

Dengan kelempengan yang hakiki, Cakra mengempaskan sisa-sisa basa-basi ala Gandhi dan menutup semua kemungkinan pendekatan tak profesional dari pria yang duduk di sebelah pengemudi itu.


Continue Reading

You'll Also Like

141K 23.4K 27
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
231K 36.4K 49
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...
2.2M 12K 25
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
4.3M 476K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...