Sahabat yang Merebut Suamiku

By DewiMuliyawan

2K 7 0

Persahabatan Letisha dan Mutiara hancur karena perselingkuhan. Letisha tidak pernah menyangka jika Mutiara te... More

Arti Sahabat
Mutiara Kembali
Curiga
Menjenguk
Pergi Berdua?
Curhat Sahabat
Rencana
Kabur
Awal Mula

Dinas Luar Kota

210 0 0
By DewiMuliyawan

“Ella enggak sakit kok Tante,” jawab bocah cantik itu dengan wajah serius. “Ella sehat dan kuat…” dia mengangkat tangannya seperti atlet binaraga yang sedang memamerkan otot.

“Ooo… bagus dong kalau Ella sehat dan kuat,” ujarku sembari menepis rasa bingung. Ini siapa yang benar ya… Kata Tia tadi Ella sakit. “Ini Tante bawa kue untuk Ella dan Ello.”

“Horeee….! Terima kasih Tante Tisah…” Ella bersorak lalu menerima bingkisan dari tanganku. Agak keberatan dia membawa kue-kue itu ke dalam. “Mama… kita dikasih kue nih sama Tante Tisha…”

“Eh, Tisha, sory ya, aku sedang di kamar mandi…” Mendadak Mutiara muncul dari ruangan dalam. Rambutnya yang masih basah digelung di puncak kepala dan dijepit. Ada titik-titik air tersisa di leher dan pipinya. Wajahnya tampak cantik dan segar sekali. Mungkin kalau Mutiara mengaku masih single, banyak orang akan percaya.

Diam-diam aku melirik Janu. Pria di sampingku ini bagaikan sedang tersihir pesona Mutiara. Dia menatap penuh arti ke arah sahabatku itu. Kusentuh pelan pinggangnya dengan siku tanganku. Spontan Janu gelagapan.

“Eh… oh… ada apa, Sha?” tanyanya pelan. Matanya kini memandangku lekat. Tentu saja tanpa sorot mendamba seperti tadi.

“Ngapain sih ngeliatin Tia kayak gitu?” aku melotot. Mumpung Mutiara sedang mengurus kue-kue yang dibawa Ella, aku jadi bisa langsung menegur Janu.

“Ngeliatin seperti apa? Aku biasa aja kok… Kamu ini terlalu sensitif,” Janu mengelak dengan luwes.

Melihat Mutiara sudah datang menyongson kami, aku segera menghentikan perdebatan. Tapi sempat aku melemparkan sorot protes pada Janu. Lihat saja kalau dia masih melihat Mutiara seperti kucing memandang ikan, nanti malam aku akan membahas masalah ini habis-habisan.

Untungnya selama bertamu Janu bersikap normal. Seperti ingin menghindari konflik, dia lebih banyak bermain dengan Ello dan Ella di atas karpet. Sementara aku dan Mutiara mengobrol di sofa.

“Ella sakit apa, Tia?”

“Mmm… hanya demam sedikit. Tadi sudah kuberi obat dan panasnya langsung turun.”

“Syukurlah… mungkin karena cepat sembuh, tadi Ella bilang dia sehat dan kuat…” ucapku sambil tertawa mengingat gaya Ella yang menggemaskan.

“Yah anaknya memang begitu, Tish. Paling tidak mau dibilang sakit. Saat kurang sehat saja dia sering masih ngotot ingin sekolah dan main.” Pandangan Mutiara menerawang ke arah Ella dan Ello yang sedang tertawa-tawa dengan Janu. Ada sesuatu yang sulit digambarkan pada sorot matanya. Seperti kerinduan pada sosok suami dan ayah anak-anaknya?

Benarkah begitu? Atau aku yang cemburu pada keriaan Janu dengan anak-anak Mutiara? Sesuatu yang sampai saat ini belum bisa kuberikan untuk Janu. Mendadak dadaku terasa sesak karena menginginkan anak-anak seperti Ella dan Ello.

“Eh, sori ya, Tia. Aku baru ingat ada janji menelepon temanku. Enggak bisa lama-lama nih. Aku pamit dulu…” Lalu aku mengeraskan suaraku agar Janu mendengar dengan jelas. “Sayang… aku ada perlu nih. Kita pulang dulu ya…”

“Yaah… kok sebentar sekali berkunjungnya, Tish? Anak-anak baru asik main tuh…” ucap Mutiara seakan menyesaliku karena menghentikan saat-saat menyenangkan bagi Ela dan Elo.

“Oh, kalau Janu sedang senggang, biar dia di sini saja dulu, main dengan Ela dan Elo…” tawarku walau hatiku tidak rela. Ada rasa bersalah menyusup di hatiku. Merasa egois karena tidak mau memberikan sedikit waktu Janu untuk Ela dan Elo. Kasihan kan mereka, telah lama kehilangan figur seorang ayah. Tapi bagaimana dong? Sesuatu dalam hatiku berbisik untuk tidak membiarkan Janu terlalu lama berada di rumah ini bersama Mutiara.

“Aduh, sory Tia. Aku juga ada kerjaan nih. Kapan-kapan Om mampir ke sini lagi ya…” Janu ikutan pamit yang langsung disambut dua bocah itu dengan seruaan yaaa… dengan nada kecewa.

***

Hari masih pagi tapi kepalaku sudah pening sekali. Ada masalah di salah satu cabang klinik kecantikanku di kota Bandung. Penjualan merosot jauh sementara biaya operasional naik. Kondisi keuangan klinik terancam nombok. Kalau dibiarkan tentu saja bisa-bisa cabang yang satu ini jadi bangkrut. Aku tidak mau ini terjadi. Harus ada yang mengawasi kegiatan di cabang itu. Aku sendiri tidak mungkin berangkat langsung ke sana. Cabang-cabang klinik yang lain juga perlu diperhatikan. Aku harus mengirimkan seseorang yang bisa dipercaya.

“Aku saja yang berangkat ke sana…” Mutiara mengajukan diri tanpa ragu saat aku membicarakan tentang masalah cabang Bandung ini.

“Serius kamu mau tugas ke sana? Anak-anak bagaimana?”

“Tenang aja, Tisha. Kan aku sudah punya asisten rumah yang terpercaya. Ella dan Ello sudah lengket dengan Atik, pengasuhnya. Jadi aku bisa kerja dengan nyaman.”

“Hmmm… kalau begitu aku juga oke deh,” kataku lega. Tia memang kandidat terbaik yang bisa aku kirimkan ke Bandung. Dia salah satu rekan kerjaku yang paling terpercaya (iyalah, mengingat persahabatan kami yang sudah berlangsung bertahun-tahun), dia juga sudah banyak belajar selama bekerja di bawahku.

“Berapa lama aku harus mengawasi di sana?” wajah Mutiara tampak berbinar. Sepertinya dia senang sekali mendapat kesempatan untuk pergi keluar kota. Memang selama bekerja di klinik dia belum pernah bepergian sama sekali. Kecuali jalan-jalan di tempat wisata dekat rumah bersama anak-anaknya.

“Tiga atau empat hari kukira cukup. Paling lama seminggu. Tapi akan kita usahakan tidak sampai selama itu. Kasihan anak-anak kalau ditinggal terlalu lama.”

“Enggak pa-pa. Tish. Please beri kesempatan aku untuk bekerja secara profesional. Percayalah anak-anak akan baik-baik saja.”

Aku jadi tidak enak hati mendengar ucapan Tia. Seakan aku menghalanginya untuk membuktikan kemampuan kerjanya. Padahal aku hanya bermaksud baik. Ella dan Ello sudah kehilangan sosok ayahnya. Jangan sampai mereka harus mencari-cari perhatian ibunya yang terlalu sibuk bekerja. Tapi yah kalau Tia yakin bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga dengan baik, tentu saja aku senang memberinya kesempatan.

“Baiklah kalau menurut kamu anak-anak akan baik-baik saja. Besok kamu bisa berangkat ke Bandung. Hari ini kita persiapkan data apa saja yang perlu kamu perhatikan di sana. Selanjutnya kita akan komunikasi lagi untuk menentukan tindakan-tindakan yang bisa diambil untuk memperbaiki cabang di sana.”

“Siiip… thanks …” Tia memelukku kegirangan.

Dia segera kembali ke ruangannya. Aku sedang meneruskan pekerjaan saat ponselku berdering. Nama Janu muncul di layar.

“Halo sayang… mau ngajak aku lunch bareng ya…” tuduhku ceria.

“Kok kamu tahu sih. Aku sudah di bawah nih. Kita makan di luar yuk.”

Kedatangan Janu bagaikan obat yang paling ampuh. Mendadak peningku nyaris menghilang. Cepat kusambar tas tanganku. Bagaikan terbang aku segera menuju tempat parkir.

Sayang, langkahku terhenti saat melihat Janu berdiri bersandar di pintu mobilnya. Dia sedang berbincang akrab dengan Mutiara. Tanpa sadar aku menghentikan langkah dan memperhatikan mereka yang belum menyadari kedatanganku.

Senyum Janu tampak berbalas tawa merdu Mutiara. Hatiku merasa tidak nyaman melihat pemandangan itu. Apakah aku yang terlalu cemburu? Sebenarnya wajar saja kan Janu dan Mutiara bicara dan bercanda. Mereka cukup akrab sebagai orang-orang di lingkaran terdekatku.

“Hai…” seruku untuk memutus percakapan mereka. Benar saja, tawa Mutiara segera terhenti. Berganti senyum yang kurasa sedikit terpaksa.

“Halo sayang, mau lunch di mana kita?” Janu segera menghampiri dan melingkarkan tangannya ke pinggangku. Apakah aku tidak salah lihat? Sesaat ada sorot tidak suka memancar di mata Mutiara. Hanya sekejap saja, dan matanya kembali memancarkan sorot persahabatan seperti biasa.

“Di resto steak langganan kita aja ya… Yuk ikut Tia. Kamu juga belum makan siang kan?” ajakku atas nama kesopanan. Sungkan rasanya kalau tidak mengajak Mutiara, sementara dia tahu kami akan pergi makan siang.

“Iya, Tia. Ikut saja. Makin ramai kan jadi lebih seru.” Janu setuju.

“Enggak deh, makasih, Tish. Tapi aku harus menyelesaikan persiapan untuk ke Bandung besok.”

“Serius nih? Kamu masih bisa membereskannya setelah makan siang nanti.”

“Serius, aku enggak mau ada yang tertinggal atau kurang. Lebih baik aku makan di kantor saja, untuk menghemat waktu.”

‘Oke deh kalau begitu…” Aku dan Janu segera masuk ke mobil dan melambaikan tangan lewat kaca jendela yang masih terbuka.

Haii… silakan baca juga cerita yang lain di kbm app  ya…

Cinta Rahasia Suamiku

Suami Perebut Warisan

Pembalasan Isteri Setelah Dipenjara

Happy Reading…

Continue Reading

You'll Also Like

472K 37.7K 18
Indian Chronicles Book III My Husband, My Tyrant. When Peace Becomes Suffocation. Jahnvi Khanna has everything in her life, a supporting family, a hi...
690K 57.9K 32
"Excuse me!! How dare you to talk to me like this?? Do you know who I am?" He roared at Vanika in loud voice pointing his index finger towards her. "...
745K 19.1K 56
"Real lifeแ€™แ€พแ€ฌ แ€…แ€€แ€ฑแ€ธแ€€แ€ผแ€™แ€บแ€ธแ€œแ€ฝแ€”แ€บแ€ธแ€แ€ฒแ€ท แ€…แ€”แ€ญแ€ฏแ€€แ€บแ€€แ€ผแ€ฑแ€ฌแ€บแ€†แ€ญแ€ฏแ€แ€ฌแ€™แ€›แ€พแ€ญแ€˜แ€ฐแ€ธ แ€•แ€ปแ€ฑแ€ฌแ€บแ€แ€„แ€บแ€žแ€ฝแ€ฌแ€ธแ€แ€ฒแ€ทแ€šแ€ฑแ€ฌแ€€แ€ปแ€ฌแ€บแ€ธแ€†แ€ญแ€ฏแ€แ€ฌแ€•แ€ฒแ€›แ€พแ€ญแ€แ€šแ€บ" "แ€แ€ฑแ€ซแ€„แ€บแ€ธแ€œแ€ฑแ€ธแ€•แ€ฒแ€Šแ€ญแ€แ€บแ€•แ€ฑแ€ธ Bae แ€™แ€„แ€บแ€ธแ€„แ€ผแ€ฎแ€ธแ€„แ€ฝแ€ฑแ€ทแ€›แ€œแ€ฑแ€ฌแ€€แ€บแ€กแ€ฑแ€ฌแ€„แ€บแ€กแ€‘แ€ญ แ€„แ€ซแ€แ€ป...
377K 1.1K 10
Fun wlw sex. Different kinks and stuff, all about trying things. May even include potential plot lines and will definitely include some form after ca...