会いたい (I want to meet you) | n...

By pitike17

2.2K 219 30

Semua orang sepertinya tahu betapa kayanya keluarga Mikage dan Nagi Seishiro beruntung bisa bekerja di kediam... More

i ;
ii ;
iv ;
v ;

iii ;

352 40 2
By pitike17

Ketika terjaga dari tidur, Nagi menemukan dirinya sendiri berada di bangsal asing. Ia tidak pulang ke apartemennya semalam, melainkan tetap tinggal di hunian besar itu setelah menghabiskan makanan sang tuan muda. Lelaki berambut ungu hanya diam dan menatapnya tanpa bicara sepatah katapun.

Nagi anggap itu sebagai persetujuan (untuk menghabiskan makan malamnya).

Tiba-tiba suara telepon mengusik indra pendengaran. Sang kepala pelayan semalam juga menjelaskan bahwa suara telepon adalah tanda bahwa ia harus segera bertugas.

Nagi tidak punya banyak waktu setelah mengangkat panggilan yang menyuruhnya pergi ke gedung berkubah. Buru-buru ia mengganti baju tidur (yang didapat secara gratis) dengan seragam formal.

Lelaki itu berlari ke kamar mandi dan mencari-cari sesuatu untuk membuat tubuhnya cukup wangi sebelum berkeliaran sepanjang hari. Ia berhasil menemukan parfum. Nagi memakai beberapa semprot di ketiak sebelum bergegas keluar.

Mereka menyediakan peta kenampakan kompleks besar ini di sebelah pintu luar bangsal karyawan. Semalam Nagi memutuskan untuk berdiri di depan sana selama beberapa menit untuk menghafal semuanya.

Dan itu sangat berguna sekarang.

"Selamat pagi," sapa sang tuan muda begitu Nagi tiba di gedung berkubah.

Lelaki bersurai ungu tengah duduk di meja makan sembari menikmati sarapan. Ia menatap lamat-lamat dengan sorot yang entah apa artinya. Tangannya lalu menepuk-nepuk kursi kosong di sebelah.

"Temani aku makan."

Nagi tidak berpikir dua kali untuk mengiyakan perintah barusan. Ia langsung duduk di sebelah Mikage Reo tanpa takut akan apapun. Lagipula kenapa pula lelaki itu harus menolak sarapan gratis?

Koki dapur menghidangkan bubur dengan kaldu ayam dan telur yang diaduk lembut. Cocok untuk orang sakit, namun enak untuk orang sehat. Hangat dan cukup mengisi perut (walaupun tidak dalam waktu lama).

"Kau tidak takut kalau buburnya beracun?"

Nagi yang sedang mengangkat sendok ketiga tiba-tiba berhenti. Manik kelabu melirik ke samping, seolah bertanya apa kalimat tadi benar adanya.

Tapi yang ia dapat hanya kekeh pelan.

Dan pandangan terkejut semua orang di sekeliling ruangan.

"Tidak perlu takut," imbuh Reo kemudian tersenyum, "lagipula tidak ada yang berniat meracunimu di sini."

Sendok ketiga tadi langsung dihantar masuk ke dalam mulut. Nagi melanjutkan makan siang sambil menerima fakta bahwa Tuan Muda Mikage sudah menerima kehadirannya.

;

Nenek sihir berkata tuan muda mereka jarang sekali tertawa. Itu menjelaskan mengapa semua orang terkejut di ruang makan pada sarapan tempo hari. Nagi seratus persen yakin sosok di sebelahnya masihlah tuan muda yang pernah menjatuhkan diri dari atap gedung. Namun sekarang raut sedih itu sudah berubah lebih cerah. Sedikit.

Entah bagaimana rupanya ketika si surai putih kembali ke bangsal pelayan. Tapi setiap telepon berdering dan ia datang, Mikage Reo selalu tersenyum. Mungkin ini saatnya lelaki itu berperan sebagai teman asli.

Walaupun semua ini atas dasar gaji.

"Nagi-kun," panggil sang tuan muda ketika mereka sedang berjalan-jalan di taman. Bukan yang ada di depan mansion, melainkan area di sekeliling gedung berkubah.

Nagi tidak bisa mengelak juga bahwa setiap sudut tempat ini ditata dengan begitu estetik. Seharusnya memandang setiap hari bisa membuat hati merasa damai. Tapi mungkin menikmati hal indah yang sama selama bertahun-tahun juga dapat membuat seseorang makin tertekan.

"Ya?" Lelaki itu menyahut pelan. Mereka bersandar di pagar pembatas, memandang langit sore yang penuh dengan warna.

"Apa kau punya sesuatu yang sangat kau inginkan?"

Huh? Nagi tidak pernah mendamba sesuatu. Bila ada hal yang ingin ia lakukan sekarang, paling-paling itu adalah ponsel dan gim di dalamnya.

"Aku ingin memegang ponselku lagi," jawabnya, "aku rindu bermain gim."

"Kalau aku mengajakmu bermain gim dengan game console, apa kau akan tetap senang?"

Sepasang manik kelabu terbelalak. Selama ini ia hanya bermain gim dengan gawai seadanya. Bila diberi kesempatan untuk bermain dengan alat khusus, tidak ada alasan untuk menolak.

"Tentu saja."

Senyum lebar menghiasi wajah sosok berambut ungu.

"Kalau begitu temani aku bermain."

"Oke."

;

Kalau dipikir-pikir, pekerjaan ini terasa aneh. Untuk Nagi sendiri, rebahan di dalam kamar adalah sebuah passion. Tapi tidak sedikit orang yang mengejek atau menyuruhnya keluar sesekali. Isagi salah satunya. Setiap mengantar makanan, ia selalu memberi pesan untuk tetap berhubungan dengan dunia luar.

Tapi Mikage Reo, orang kaya ini tidak pernah melakukannya.

Manusia zaman sekarang tidak akan bisa bertahan tanpa memegang ponsel. Namun orang ini tidak pernah. Ia selalu menghabiskan hari dengan berdiam diri tanpa agenda, memandang langit dengan tatapan kosong. Ia bahkan tidak pernah beranjak dari mansion.

Atau mungkin tidak diperbolehkan melakukannya?

Nagi termenung di tengah pertandingan kesekian dan membiarkan Reo unggul. Mereka selalu bermain gim di waktu luang. Biasanya tuan muda akan menyeret Nagi setelah waktu makan malam.

Lelaki berambut putih itu cukup ahli bermain. Namun karena sedang sibuk berpikir, nyawanya di dalam monitor sekarang berada di ujung tanduk.

"Kenapa kau tidak membalas seranganku?" protes lelaki bersurai ungu sembari terus menerus menghunus pedang dengan joy sticknya.

"Aku mulai berpikir," balas Nagi sambil memasang perisai pada karakternya, "apa kau itu sedang dikurung?"

Reo mendadak diam. Ketika Nagi menyerang hingga nyawanya tersisa setengah, tidak ada balasan.

Apa Nagi baru saja mengatakan hal buruk?

Mungkin iya. Karena setelahnya monitor dimatikan paksa—oleh lemparan joy stick. Kacanya pecah dan berserakan di lantai.

Entah apa yang sekarang meliputi pikiran sang tuan muda. Nagi tidak tahu. Nagi juga tidak bisa menebak.

"Jangan panggil siapa-siapa," mohon Reo sembari menjambak rambutnya sendiri.

"Hei—,"

"Jangan panggil siapa-siapa," lirihnya pilu.

Hanya satu jawaban yang bisa menjelaskan perilaku tiba-tiba ini. Mungkin sang tuan muda baru saja mengingat sesuatu soal kurung-mengurung. Dan itu pasti menyakitkan.

Sungguh menyakitkan hingga ia tidak peduli akan rasa perih ketika mengambil pecahan kaca dan menyayat kulit tangannya sendiri.

Buru-buru Nagi mencengkram pergelangan lelaki itu. Ia memberontak, namun kemudian ditahan kuat-kuat. Si surai putih langsung memeluk tubuh Reo dengan erat. Pecahan kaca direbut lalu dibuang ke lantai.

Darah mengalir dari luka yang terbuka, sementara tangis ikut turun membasahi pipi. Napas Reo terasa berat dalam rengkuh, begitupun tubuhnya yang tengah gemetar hebat.

Nagi berpikir cepat untuk melakukan pertolongan pertama. Ia tidak diizinkan untuk menekan batu cincin dan memanggil siapapun. Untuk itu ia merobek kemejanya sendiri, mengikatkan kain putih kuat-kuat pada luka di tangan.

Darah merembes, membasahi, mewarnai kain hingga berubah merah. Namun lama-lama berhenti. Pula gemetar di tubuh lelaki itu dan napas beratnya. Nagi memeluk sepanjang sisa hari, membisikkan apapun ke telinga Mikage Reo. Apapun yang ia pikirkan. Apapun yang ia rasa bisa membuatnya tenang.

Nagi ingin sang tuan muda tetap baik-baik saja.

"Aku tidak akan memanggil siapa-siapa," bisiknya sambil memeluk lebih erat, mendorong Reo untuk bersandar di ceruk leher.

"Kau bisa menangis sepuasmu."

;

Ia berbohong. Pada akhirnya Nagi tetap menekan batu cincin selepas Reo terlelap di atas ranjang. Mereka sebelumnya bermain dalam kamar sang tuan muda. Jadi tidak sulit untuk mengangkat tubuhnya.

Dokter keluarga yang datang tergopoh-gopoh dan memeriksa kondisi Reo. Orang-orang lain membereskan kekacauan di kamar itu. Nagi berkutat dengan perban bersama kepala pelayan di bangsal. Ia tidak sadar telapak tangannya terluka ketika merebut pecahan kaca.

"Kenapa kau tidak langsung memanggil kami?" interogasi nenek sihir itu dengan nada geram.

Nagi tidak punya alasan lain. "Tuan muda menyuruhku untuk tidak memanggil siapapun."

"Dia selalu semaunya sendiri. Jangan menelan perkataan Tuan Muda Mikage Reo mentah-mentah," ceramah si wanita, "tetap di sini sampai telepon berdering. Pintunya akan kukunci dari luar."

Lelaki bersurai putih mendongak terkejut.

"Anggaplah ini hukuman karena membiarkan tuan muda terluka," ucap si nenek sihir sembari berjalan keluar kamar Nagi.

Apa semua orang di sini memang suka mengurung?

;

To be continued

Continue Reading

You'll Also Like

1.2K 103 9
⚠️ WARNING ⚠️ BXB Contents! Terkadang (ehemmm) Typo bertebaran! Update sesuka hati Cringe!!! Kadang oneshoot, twoshoots, or drabble. Chara hanya m...
42.4K 4.9K 37
Lahir dari rahim seorang pelacur, di jual untuk dijadikan pemuas nafsu tumbuh sebagai laki laki pembenci hujan serta memiliki haphephobia tapi siapa...
1.3K 65 2
Apakah kalian percaya dengan mitos benang merah yang disebut benang takdir kalo aku tidak mempercayai nya Ini adalah kisah dimana Rion raymood yang t...
126K 10K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...