Hi, Bye Papa!

由 litsparklings

562 127 22

Dito gak butuh banyak hal di dunia ini, asal Dito masih bisa lihat Papa. Karena, Dito hidup buat Papa. 更多

Prolog : Namanya Dito
Anak Papa
Mimpi
Tante Cantika
Permintaan Maaf
Kantin yang Berisik
Dito dan Gara
Bom Waktu
Hancur belum Runtuh
Perpustakaan
Papa Sekala
Sagita
Danila.
Sebuah Harapan
Papa Marah

Si Cantik Purnama

17 5 1
由 litsparklings

****

"Halo, kita ketemu lagi."

Suara itu, suara yang sering kali hadir di mimpi nya setiap kali ia merasa dunia nya sedang tidak baik-baik saja. Suara itu akan ada di sepanjang pendengaran nya, tetapi dirinya tetap tidak bisa menemukan atau minimal melihat siapa orang di balik suara lembut dan menenangkan tersebut.

Kalau di ibaratkan, suara nya itu benar-benar selembut permen kapas yang apabila kita masukkan ke dalam mulut melebur bersamaan dengan rasa manis yang menguar memenuhi seluruh rongga mulut sampai kerongkongan.

Suara yang entah mengapa diam-diam mengisi kekosongan pada rumpang paling dasar di hati Dito. Suara yang entah mengapa mampu menghapus kepingan-kepingan rindu di sudut lemari masa kecil nya.

"Kamu pasti kecapekan lagi, ya?"

Bahkan saat tangan lembut itu mulai menyentuh dan membelai surai nya, Dito tetap tidak memberikan perlawanan. Normal nya, manusia akan menepis atau paling tidak menjauh jika di dekati dengan orang asing yang tidak mereka kenali sama sekali, tapi tidak tau bagaimana Dito merasa sangat dekat dengan wanita ini. Dekat namun tetap tidak tergapai.

"Jangan kecapekan lagi, ya? Kamu perlu istirahat yang cukup. Belum waktu nya kamu secapek ini, Dito. Masih banyak hal bahagia yang harus kamu cecapi."

Dito lelah itu sebuah kebenaran. Tapi apa yang wanita ini ucapkan adalah sebenar-benarnya kebenaran yang selalu Dito harapkan di dalam hati. Bagaimana ia mencoba untuk melupakan penat nya agar mampu menikmati bahagia, selalu menjadi amin paling serius di penghujung doa nya setiap malam.

Yang membuat nya menangis lagi, hari ini. Menangisi kenapa dunia kadang bisa setidak adil ini pada makhluk nya. Menangisi kenapa semesta bahkan enggan memberi empati secara sukarela untuk anak laki-laki yang terlalu lelah menghadapi diri sendiri.

"Gapapa kok kalau kamu butuh waktu istirahat yang lama. Itu jauh lebih baik daripada kamu memaksa dan bersikap seolah-olah semua nya baik-baik saja."

"Don't do that, you must to stay alive, Dito."

Bahkan untuk beberapa detik setelah nya Dito mematung, karena kata-kata itu selalu menjadi alarm bagi nya setiap kali dirinya mencoba untuk menyerah. Alarm yang selalu mengingatkan dirinya pada bagaimana langkah-langkah Papa yang begitu tertatih agar dirinya berhasil hidup tanpa cacat sedikitpun.

Don't do that, you must to stay alive, Dito.

Setidaknya sampai beberapa detik kemudian, wanita yang wangi nya tidak pernah berubah itu perlahan-lahan mengambil langkah mundur setelah mengusap pelan pipi nya. Gaun nya masih sama, putih berenda. Sepatu nya masih sama, senada dengan gaun.

Tapi dirinya tetap sama, tidak bisa melihat siapa wanita yang selalu hadir di titik terendah hidup nya. Untuk beberapa waktu selanjutnya, ketika dirinya sadar kalau lagi dan lagi, ia hanya bermimpi untuk yang kesekian kali.

•••

Sagita tidak pernah memprediksi hal-hal apa yang akan terjadi pada dirinya. Sagita bahkan tidak pernah repot-repot memikirkan teka-teki apa yang akan dirinya lalui.

Tetapi untuk yang satu ini, Sagita nyaris termenung setengah mati. Lagi dan lagi dirinya berjumpa dengan laki-laki yang mempunyai warna kulit putih kemerahan semulus bayi, yang kalau dirinya tidak salah ingat namanya adalah Dito.

Dito yang mempunyai lesung pipi paling manis sepanjang Pelita Jaya. Dito yang kulit tangan nya semulus model iklan body lotion. Dito yang baru Sagita sadari, mempunyai rambut sehalus Anggun C Sasmi pada iklan P*ntene. Oke, Sagita rasa ingatan nya kali ini cukup menggelikan.

Namun bagian yang ia sebutkan di atas bukanlah sebuah kebohongan. Kalau dirinya boleh jujur, Dito adalah sebaik-baiknya manusia paling tampan yang pernah Sagita jumpai. Nomor satu.

"Ini dia tidur apa gimana? Literally ketiduran di coffeeshop? Dia di perlakukan nggak baik kah sama keluarga nya? Masa tidur di rumah nggak boleh sih anjir? Kasian banget tidur di kafe gini.."

Cukup. Sagita rasa dirinya cukup berlebihan. Tidak mungkin juga pikiran nya itu 100% benar, 100% salah mungkin juga.

Dan sekarang yang menjadi beban pikiran Sagita adalah, bagaimana bisa laki-laki ini tidur dengan damai di dalam kafe yang cukup ramai, masih mengenakan jaket seragam, dan hari sudah mulai gelap?! Ini kalau orang-orang salah paham, mungkin mereka akan menganggap Sagita adalah gadis jahat yang akan menculik seorang laki-laki muda dan tampan. Stop.

"Ini gimana cara bangunin nya anjir.. Gue mau kerja jadi bingung sendiri.."

Coffeeshop yang tidak jauh dari Pelita Jaya tersebut adalah satu dari sekian banyak mata pencaharian yang Sagita tekuni. Menurut kalian bisa mendapat beasiswa di Pelita Jaya, akan menjamin seluruh biaya disana kah? Oh tentu tidak. Terlebih untuk mulut-mulut orang gila harta dan kasta di sepanjang koridor kelas, menjadi siswa dengan prestasi tinggi tidak akan cukup kalau tidak punya privilege yang bisa di banggakan.

Sejati nya memang Pelita Jaya adalah sekolah muka dua.

"Duh, gimana yaa..?"

Masih bertanya pada angin semu yang jelas akan semakin membuang waktu nya dan kemungkinan besar dirinya akan di omeli Bang Sandi untuk kesekian kali, pada akhir nya Sagita memilih untuk menepuk-nepuk lengan laki-laki tersebut.

"Hei.. bangun please.. ini lo ketiduran di tempat umum.. bangun dulu dong."

Menyerah. Demi kebaikan bersama kali ini tepukan nya ia pindahkan pada pipi mulus tidak berdosa tersebut.

Tepukan pertama. "Hei, bangun.."

Tepukan kedua. "Jangan tidur disini, ini bukan kasur lo anjir.."

Tepukan ketiga. "Dito, bangun.." Dan berhasil.

Kelopak mata dengan bulu mata yang cukup lentik tersebut perlahan-lahan bergerak. Tanpa diminta dan dengan kesadaran diri, Sagita bergerak mundur masih melihat bagaimana Dito yang mulai mengumpulkan nyawa nya yang mungkin barusan menyebar ke seluruh penghujung dunia.

Dito belum sadar sepenuhnya, mata laki-laki itu masih sibuk mengerjap. Salah satu tangan nya mengucek mata sebelah kiri yang benar-benar sialan tidak tertahan, Dito terlihat sangat menggemaskan.

Sagita cukup mati-matian menahan rasa gemas nya seraya menggenggam erat nampan coklat yang ada di genggaman nya. Dito ini kenapa begini ya aslinya? GEMES BANGET SIALAN.

"Sorry sorry, gue ketidur—"

"Hai..?"

•••

Ada begitu banyak spekulasi dalam kepala nya yang bekerja dua kali lipat malam ini.

Tentang dirinya yang bisa-bisa nya ketiduran di coffeeshop. Tentang sudah berapa lama dirinya tidur disini. Dan tentang Sagita yang kenapa bisa ada disini? Dan pakaian yang gadis itu gunakan adalah—

"Hai..?"

"Sagita..?"

Yang dipanggil mengangguk sebanyak dua kali lantas memunculkan kurva manis pada bibir merah muda nya. Senyum menenangkan Papa kalah kali ini.

"Lo ngapa—oh maaf ya gue ketiduran disini tadi."

"Gapapa kok, lo kan udah bangun ini. Dan ya, gue kerja disini."

Ada begitu banyak pertanyaan di benak Dito sekarang. Lo ngapain kerja disini? Sejak kapan lo kerja disini? Lo udah lama ya jadi pegawai sini? Lo nanti pulang gimana?

Oke untuk yang terakhir bisa di abaikan saja karena sumpah bahkan Dito sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa memiliki pertanyaan semacam itu. Namun, dari sekian banyak pertanyaan nya itu, tidak ada satupun yang keluar dari bibir tipis nya.

Dirinya hanya bisa mengangkat kedua alis dengan lengkungan yang sempurna. Dan di detik berikutnya, Sagita mulai kembali pada pekerjaan nya. Membersihkan banyak meja kotor, dan semua nya. Sampai-sampai, entah mengapa dirinya dan mulut asal ceplos nya ini mengucapkan kata-kata yang sumpah demi apapun menjadi kebodohan nya yang paling bodoh hari ini.

"Sagita, rumah lo deket sini? Nanti pulang nya bareng sama gue, mau nggak?"

Dan tidak tau mengapa Sagita mau-mau saja menerima ajakan nya yang membuat kedua nya berakhir pulang bersama malam ini, tentu nya jalan kaki.

Sagita bilang rumah nya hanya berjarak sekitar 10 meter dari coffeeshop dan Pelita Jaya.

"Harus nya lo gausah repot-repot anterin gue."

Dito hanya diam menanggapi ucapan Sagita, karena memang benar seharusnya ia tidak perlu repot-repot melakukan hal semacam ini pada gadis yang bahkan tidak memiliki kepentingan apapun dengan nya. Gadis yang baru bertemu dengan nya sebanyak 3 kali—4 kali dengan hari ini.

"Sagita Purnama. Itu nama lengkap lo, ya?"

Gadis yang sedikit lebih pendek menoleh terkejut pada nya, memberikan tatapan penuh tanya. "Kok lo tau?"

"Nama lo nomor satu di daftar hadir perpus bulan kemarin."

"Ah.."

"Lo suka baca buku di perpus?"

Lama. Sagita membiarkan pertanyaan nya tanpa jawaban sebelum akhirnya gadis itu mengambil beberapa langkah di depan nya. Membuat Dito mampu merasakan wangi melon dan juga kopi dalam satu waktu. Kalau di perhatikan lagi, ternyata rambut Sagita cukup panjang dan lebat. Seperti nya dari sana wangi melon tiba-tiba menguar memenuhi penciuman nya.

"Engga. Gue nggak suka baca buku." Gadis itu sedikit menunduk lalu berucap lirih. "Gue benci baca buku."

Dito jelas tidak tau harus melakukan apa selain tetap berjalan dalam radius 3 meter di belakang Sagita. Tidak ingin bersisihan dan juga tidak ingin menanyakan alasan lebih lanjut tentang kenapa nama Sagita bisa menjadi nomor satu pada daftar hadir bulan kemarin, menyalip dirinya.

"Gue butuh persembunyian. Karena sejujurnya, gue takut. Gue takut sama Gara dan segala macam dunia nya."

Langkah nya yang dibuat sepelan mungkin agar tidak menyalip Sagita, ikut berhenti saat gadis di depan nya menghentikan langkah.

"Gue takut banget berurusan sama dia. Akan lebih baik kalau tiba-tiba gue di keluarin aja dari sekolah setelah ribut sama dia, daripada dia diem tanpa melakukan apa-apa kayak gini."

Lalu dengan gerak yang tiba-tiba Sagita memutar tubuh nya menghadap persis di depan nya dengan jarak 3 meter. Dari jarak ini, Dito bisa melihat bagaimana hidung mancung Sagita yang merah di ujung nya. Dan mata coklat bening itu yang menahan genangan kristal agar tidak meluncur bebas pada pipi tembam nya.

"Gue takut kalau dia berbuat lebih buruk dalam diam. Gue takut, dia jahatin Nenek."

Dito berani bersumpah kalau dirinya pasti akan menjadi bulan-bulanan Raga apabila laki-laki bermata rubah itu mengetahui apa yang ia lakukan saat ini. Dito tidak tau dimana akal sehat nya, tetapi, Papa selalu bilang kalau ada orang yang sedih atau takut, lakukan sesuatu.

Dito jelas tidak mengerti kenapa lakukan sesuatu dalam kamus nya adalah membawa Sagita ke dalam pelukan nya. Merengkuh gadis itu tepat di bawah bulan purnama yang bersinar begitu cantik malam ini.

Membawa si cantik purnama lebih dekat dengan nya. "Don't worry. Gara nggak akan ngelakuin apa-apa sama lo dan Nenek lo. Lo aman."

Karena target si bodoh itu, gue dan Papa, sekarang.

Yang tidak bisa di mengerti oleh Dito dengan akal sehat nya adalah, Sagita yang menerima pelukan nya. Sagita yang ikut melingkarkan kedua lengan kecil tersebut pada pinggang nya. Yang tidak bisa Dito pahami, kenapa ada sebersit perasaan aneh yang hinggap pada hati nya, malam ini.

"Maaf. Gue pinjem peluk nya bentar, ya?"

Yang membuat Dito tetap bertahan memeluk Sagita. Mendengarkan tangisan yang cukup menyakitkan untuk dirinya dengar, yang membuat nya tanpa sadar mengusap pelan kepala gadis itu dengan gerakan teratur.

Tolong besok bersikap seolah-olah kita nggak kenal. Tolong ya, Sagita.

•••

“Maaf.”

Dito mengangkat kedua alis memandang heran pada gadis yang ada di sebelah nya. Jarak 10 meter dari kafe ke rumah gadis ini rupanya lumayan menyita waktu — atau sebenernya tidak karena mereka yang harus berhenti sejenak.

“Buat?”

“Nangis dan pelukan nya.”

Dito hanya mendengus pelan yang justru lagi-lagi membuat Sagita menatap nya dengan alis yang mengernyit cukup tajam.

“Gapapa.”

“Kenapa lo mau nganterin gue pulang?”

Karena gue juga nggak tau apa alasan nya.

“Searah.”

Kedua nya kembali berjalan dengan Sagita yang masih memimpin jalan. Jawaban nya tentang pertanyaan Sagita yang searah jelas salah, rumah nya bukan ke arah sini. Bahkan Dito perlu menempuh perjalanan cukup lama dari cafe dekat Pelita Jaya ke rumah nya, minimal 15 menit menggunakan sepeda motor.

Jadi, sejujurnya Dito juga tidak mengerti kenapa ia mau repot-repot berjalan kaki menemani Sagita yang baru selesai bekerja di cafe tersebut. Dengan dirinya yang masih mengenakan jaket kelas dan menggendong tas hitam kebanggaan nya. Kalau kata Raga tas Dito itu harta karun, buku catatan dan rumus cepat Olimpiade ada disana semua nya tanpa terkecuali.

“Ini pertemuan kita yang ke berapa, ya?”

Empat.

“Emm — tiga nggak sih?” Lanjut gadis itu masih dengan mulut yang mencebik kesal seolah-olah pertemuan mereka adalah hal penting yang harus ia abadikan dalam museum ingatan nya.

“Empat.”

Sagita kembali menghentikan langkah nya untuk memandang Dito penuh. Dito yang malam ini terlihat begitu menarik dengan rambut acak nya sebab belum sempat dirapikan sejak laki-laki itu terbangun dari tidur nya. Dito dengan mata kucing nya yang sumpah terlihat begitu menggemaskan namun cukup mengintimidasi.

Dito yang ini bahkan mampu membuat debaran pada jantung Sagita berdetak dua kali lipat lebih cepat daripada saat dirinya berhadapan dengan Gara tempo hari, ketika dirinya melihat lesung pipi Dito yang diam-diam muncul.

“Kok empat? Satu nya lagi kapan?”

Dito mengendikkan bahu nya sekilas untuk kembali mematri langkah sebelum gelap semakin gulita. “Waktu lo berantem sama Gara.”

“Ada lo disana?”

“Kebetulan.”

Sagita juga ikut melangkahkan kaki mungil nya. Berjalan beriringan yang membuat dirinya mampu mencium wangi parfum Dito malam itu. Sandalwood. Deep, creamy sweetness with warm undertones of amber, leather and wood.

Wangi yang membuat nya nyaris pingsan, karena jelas ini wewangian mahal. Wangi melon dari parfum nya jelas kalah.

“Kebetulan?”

“Gue nggak ke kantin, biasanya.”

Kedua nya kembali hening. Pertama, karena Dito merasa sudah tidak ada lagi yang harus ia katakan. Kedua, Sagita tidak tau harus memulai kata apa karena dirinya yang terbiasa hidup dalam sepi.

Kendati begitu tidak ada masalah bagi kedua nya yang memang tidak kenal ramai. Tidak harus saling bertukar cerita di bawah purnama yang begitu cantik, karena kedua nya hanya butuh menahan debaran masing-masing. Hanya butuh menahan pertanyaan-pertanyaan konyol yang mungkin sudah siap untuk di pertanyakan.

Menahan setiap kemungkinan yang telah begitu banyak mengisi laci-laci kosong pada memori masing-masing.

Perjalanan yang menyita waktu kurang lebih 15 menit tersebut — yang seharusnya tidak sampai selama itu, akhirnya berlabuh pada tujuan. Rumah sederhana bercat biru muda yang terlihat cukup comfy itu menjadi tujuan akhir dari langkah-langkah Dito dan Sagita.

“Udah sampe. Ini rumah gue.”

Lampu-lampu dari dalam rumah yang seperti nya sudah lama di hidupkan itu membuat sesuatu di dalam hati Dito tergerak. Karena di rumah nya sendiri, tidak sebanyak itu lampu yang mereka hidupkan.

Papa tidak terlalu suka dengan cahaya yang terlampau terang. Dirinya juga yang lebih suka dengan pencahayaan remang membuat Ayah dan Anak itu setuju untuk mengganti pencahayaan di dalam rumah sedikit lebih redup. Tidak gelap hanya hangat saja.

Namun bahkan rumah Sagita yang amat terang jauh lebih terasa hangat daripada rumah nya yang sengaja di buat hangat. Rasanya ada sesuatu di dalam sana yang membuat nya ingin masuk dan mampir, setidak nya sekali.

“Makasih ya udah nganterin. Mau mampir dulu nggak? Gimanapun juga jalan dari cafe kesini kan jauh, gue juga nggak enak sama lo.”

Boleh.

“Gapapa. Gue langsung pulang aja, Papa udah nunggu di rumah.”

Sagita mengangguk lantas segera membuka pagar rumah nya. “Gue masuk ya?”

Pertanyaan tersebut hanya Dito balas dengan anggukan, sebelum akhirnya perintah bodoh dari hati nya yang tidak pernah kontras dengan otak nya menguasai seluruh tindakan Dito.

“Sagita.”

Sagita kembali menolehkan kepala nya pada panggilan yang Dito berikan. “Ya?”

Lupain kejadian hari ini. Besok bersikap biasa aja kayak sebelum kita kenal.

Namun memang hati nya tidak pernah sejalan dengan otak nya. “Mau tukaran nomor, nggak?”

****

Bersambung...

Waduh ngegas amat Dito wkwkw

继续阅读

You'll Also Like

434K 31.2K 42
ပဲပြုတ်သည်ငပြူးနဲ့ ဆိုက်ကားဆရာငလူးတို့ရဲ့ story လေးတစ်ပုဒ်
101K 1K 35
The one thing Madelyn desires most in the world is to wear diapers again, and she is prepared to do anything to make that wish come true. As inexplic...
128K 3.9K 34
Nollani is a 21 year old student, she has a big personality that only the closest know. She's very independent but very deep down wants a mommy to de...
77.8K 6.8K 64
#Book 2 Because of Nandani's condition Mamta decides to marry off her childrens, and her childrens abide by her decision. She chose her brother's dau...