Rasanya sudah hampir 2 minggu lamanya. Sikap devina masih dingin dan acuh kepada arsen. Teman - temannya juga merasakan perubahan drastis sikap devina. Meski mereka sudah tau apa yang telah dialami devina.
Teman - temannya seperti tidak percaya seperti william, iskak dan wikan. Bagaimana bisa devina bisa sekuat ini menghadapi traumanya sendirian.
Psikis devina yang mereka lihat seolah baik - baik saja.
Namun ternyata dibalik senyuman yang selalu devina ukir setiap hari hanyalah senyum kepalsuan. Agar mereka percaya bahwa devina menjalani hidup dengan bahagia dan tanpa adanya beban.
Arsen yang selalu sabar menunggu devina yang dulu kembali, tidak berhenti begitu saja. Ia terus menemani devina dimanapun dan kapanpun saat devina merasa butuh maupun tidak butuh.
Arsen juga sempat mengantarkan devina untuk psikoterapi 3 hari yang lalu. Namun sampai saat ini ia masih belum mendapat senyuman indah lagi dari devina. Padahal ia sangat merindukan senyuman yang selalu membuat candu arsen.
Hari ini devina sudah kembali masuk ke kampus dan berkumpul lagi bersama teman - temannya. Namun tetap saja, teman - temannya merasa sulit untuk mengajak bercanda devina.
"Dev, nanti ke tongkrongan baru kita yuk". Ujar wikan yang kini duduk di taman yang selalu devina tempati setelah pulang untuk mengerjakan tugas - tugasnya.
"Gue lagi gak mood pergi kan".
"Lo belum tau rumah iskak yang baru juga kan?".
"Gue lagi males pergi wikan". Devina semakin memperjelas lagi perkataannya.
"Nanti gue beliin kura - kura deh dev". Ujar william mencoba mengajak becanda devina.
"Gue gaksuka kura - kura yam".
"Terus sukanya apa dong?". Tanya william lagi.
"Pasti aku ya". Sahut arsen sambil menatap wajah devina dari samping.
"Dih PD amat lu jamur pohon". Ujar william seenaknya mengatai arsen.
"Ya kan bener yam sirik aja lo lalat sapi". Arsen mengatai william balik. Namun tetap saja devina masih tidak bisa terssenyum maupun tertawa.
Tatapannya beberapa kali masih terlihat kosong dan melamun. Namun teman - temannnya selalu menghiburnya mesti tetap saja tak ada respon apa - apa dari devina.
"Mau balik jam berapa kita?". Tanya devina yang memecah keheningan.
"Tumben banget lo dev ngajak balik duluan". Ujar iskak.
"Gue mau pulang kak, gatau tiba - tiba capek banget".
"Yaudah yuk aku antar kamu pulang".
Devina hanya mengangguk aja merima tawaran arsen. Masih seperti biasa, arsen selalu antar jemput devina seperti sebelumnya. Kini tinggal wikan, william dan iskak yang ada disana.
"Gue sekarang tau, gak mudah jadi devina". Ujar wikan dengan menatap kepergian devina dan arsen.
"Iya kan. Apalagi udah nyangkut kondisi psikisnya". Jawab iskak yang juga menatap kepergian devina juga arsen.
"Semoga devina cepet membaik ya kondisinya. Masag iya kita ketawa dia diem aja kek psikopet".
"Lo bener yam. Gue takut kalo devina jadi pendiem kek gini tadi". Ujar wikan.
Sesampainya dirumah devina, tak disangka di depan gerbangnya sudah banyak wartawan yang membawa kamera sambil berteriak memanggil nama devina.
Melihat pak rahmat, rio dan ketiga pembantunya kewalahan untuk mengusir mereka. Apalagi security komplek juga sampai kewalahan karena wartawan yang datang terlalu banyak. Banyak wartawan yang menggebrak - gebrak gerbang rumah rio, ada juga menggoyang - goyangkan gerbang tinggi tersebut. Akhirnya arsen meminta devina untuk tetap didalam mobil saja sampai kondisi benar - benar sudah kondusif.
"Halo bun, ini kenapa jadi banyak wartawan gini sih?".
"Bunda juga gatau ri, tapi ini bunda nonton liputan di televisi kantor". Ujar friska yang menjawab telefon dari rio dan menyaksikan halaman rumahnya terekspos dan masuk televisi. Friska juga menonton bersama karyawan - karyawannya.
"Ini terus gimana bun? Rio gak tau harus gimana".
"Bunda jug gatau ri, devina sekarang dimana?".
"Belum pulang bun".
"Takutnya kalo devina pulang langsung dikerumuni para wartawan. Kasihan dia, masih proses pemulihan juga".
"Tapi tenang aja bun ada arsen kan tadi devina berangkat bareng dia".
"Syukur kalo gitu. Coba kamu hubungi om adit saja ri buat ngusir wartawan - wartawan tersebut".
"Yaudah bun, rio coba hubungin om adit sekarang".
Rio memutuskan panggilan begitu saja dengan friska, karena sudah tidak tau harus bagaimana lagi. Akhirnya rio menelefon adit.
"Halo om".
"Iya ri ada apa?".
"Ini di depan rumah banyak bet wartawan om. Rio gatau harus ngusir pake cara apa".
"Ini pasti gegara sudah menyebar luas ri, apalagi friska juga cukup terkenal di dunia perbisnisan".
"Ini terus gimana om, rio minta tolong sama om adit bisa gak kesini ngusir nih wartawan ribet amat om".
"Baik ri, sebentar lagi om akan kesana".
"Makasih om".
Rio mematikan panggilan dari adit. Dan adit segera bergegas menujuk ke rumah ponakkannya tersebut.
"Halo bang kenapa?".
"Ini gue lihat di siaran TV emang itu betul rumah kita ri?".
"Iya bang, bused gue sampai gatau ngusir mereka pake cara apa. Akhirnya tadi gue telfon om adit".
"Terus sekarang devina dimana?".
"Belum pulang bang. Tapi tenang dia sama arsen kok".
Tak lama suara sirine mobil polisi datang masuk ke komplek rumah friska. Beberapa polisi dengan gercep langsung membubarkan para wartawan tersebut. Wartawan juga ada yang sempat mewawancarai adit namun adit tidak ada waktu untuk menjawab. Akhirnya lumayan cukup lama wartawan tersebut sudah berhasil di bubarkan.
"Om makasih ya om". Ujar rio sambil membuka pintu gerbang rumahnya dibantu dengan pak rahmat.
"Sama - sama ri, bundamu kemana? Kamu dirumah sendirian?".
"Iya om cuma sama bi iyem, bi yanti dan bi sarah dan pak rahmat".
Kemudian mobil arsen memasuki halaman rumah devina. Devina dan arsen juga segera turun dari mobil arsen. Kemudian mengampiri adit dan juga rio.
"Dev, maaf kemarin om belum bisa jenguk kamu". Ujar adit sambil melepas salaman dari devina.
"Gapapa om, devina makasih berkat om juga devina bisa kembali ke rumah".
"Sama - sama dev. Rio, devina. Om sama teman - teman om balik ke kantor dulu ya. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan lagi".
"Baik om".
Adit dan teman - temannya segera masuk ke mobil mobil polisi tersebut. Pak rahmat pun juga segera menutup kembali pintu gerbang tersebut.
"Ya ampun dev, bisa - bisa lo sekarang viral". Ujar rio merebahkan tubuhnya di kursi depan teras rumahnya.
"Mana ada, lo doang yang masuk TV gue mah kagak". Ujar devina duduk di depan rio bersama arsen.
"Gue yakin nanti atau besok pasti bakal dateng lagi tuh wartawan. Rumah ini harus ada satpam lagi. Kalo perlu bodyguard".
"Siapa yang mau bayar ri?".
"Tenang dev semua bisa diatur. Yang penting lo aman".
"Bang rio, devina. Saya pamit pulang dulu ya kalo begitu".
"Buru - buru banget sen".
"Yaaa, biar devina bisa istirahat juga bang".
"Yaudah, hati - hati ya sen".
"Iya bang".
Arsen kembali menyalakan mesin mobilnya dan mobil tersebut sudah hilang dibalik gerbang rumah devina. Devina juga kemudian masuk ke rumah, namun rio masih berada di teras dan sibuk dengan hp di tangannya.
"Bagaimana jika arsen tau dengan kejadian tempo hari?. Apakah dia akan marah?, atau dia akan menghukumku. Atau malah akan meninggalkanku. Aku tidak tau harus bercerita semua ini darimana. Rasanya tidak ada yang tau bagaimana isi hati ku selama ini. Aku tersiksa, raga ku seperti terkurung untuk tidur yang cukup panjang. Aku tidak tau mengapa sulit untuk mengatakan semuanya. Devina butuh bang angga, tapi dia tidak ada disini. Harus ke siapa lagi devina bercerita. Seperti sudah tidak ada tempat untukku". Devina setiap hari terus berbicara dengan dirinya sendiri. Karena ia tidak tau harus seperti apa lagi agar emosinya tersalurkan.
Psikoterapi juga sudah 2 minggu dilakukan. Namun devina belum kunjung membaik. Kadang lupa ia meminum obatnya, dan terbangun di tengah malam karena mimpi buruknya.