The Thing Between Us

By Janeloui22

50K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[16] Monster

828 127 16
By Janeloui22

Heya, so it will have few chapter to complete.

New chapter will be unlocked whenever each chapter has at least 35 comments. Good luck!

•Monster•

Summary: Being hunted by all the realms had made Jeremy bumped into a strange woman in white. How this encounter can turn to be a story between two different kinds?

Cast:
Jung Jaehyun as Jeremy
Park Rosé as Roseanne
Cha Eunwoo as Cain

"Everyone in this world carries around their own sins, and they never go away...but that doesn't change the fact that we do what we must."
—Wolfgang Grimmer—

Napasnya terengah-engah saat ia melewati ujung terowongan di bawah jembatan dengan langkah lunglai. Tangan kanannya memegangi perut kiri—berlumuran darah yang menetes di sepanjang rute yang ia lalui. Cain dan sekelompok iblis utusan ayahnya benar-benar merepotkan. Jeremy pikir ini bukan hal yang baik; akan sangat mudah bagi Guard untuk menemukannya. Ia membutuhkan makanan—sudah terlalu lama sejak ia menyantap sesuatu dengan layak. Mungkin terdengar agak menjijikan—setidaknya bagi manusia—tapi darah anak kecil benar-benar sangat enak. Tapi pria yang biasanya tampil sangat memikat itu tidak lagi hidup di abad pertengahan; eksistensi Guard dengan segala macam teknologi yang mereka kembangkan benar-benar membuat beberapa 'daemon' kewalahan. Manusia mengembangkan banyak teknologi—hampir seluruhnya ditujukan untuk berperang. Selain itu, dalam kasus Jeremy, ia bahkan harus bertarung melawan para pembunuh dari neraka.

Sialan.

Ini waktu yang tepat untuk mengumpat habis-habisan.

"Ya Tuhan..."

Suara itu membuat Jeremy mendongak. Perempuan yang berdiri di depannya mengenakan gaun tidur berwarna merah muda. Rambut gelapnya dibiarkan tergerai—diterbangkan angin malam yang menerbangkan kabut tebal.

"Perempuan," gumamnya pelan. Jeremy benar-benar tak ingin melukai manusia di depannya, tapi rasa laparnya benar-benar sangat parah. Dia juga harus memulihkan diri. Kalau terus begini, satu kibasan dari pedang Cain pasti akan membuatnya sekarat.

"Daemon... kau pasti itu kan?"

Perempuan itu malah menghampiri Jeremy—membuatnya melangkah mundur.

"Tolong... jangan mendekat," ucap pria itu dengan suara lemah.

Seperti orang tuli yang tidak patuh, perempuan itu terus melangkah maju. "Kau kelaparan," katanya. Sebelum Jeremy bisa melarikan diri, tangannya justru menahannya pergi. Ini buruk—Jeremy tidak bisa menahan rasa lapar yang sudah dia pendam selama satu tahun terakhir.

"Aku bisa membunuhmu..."

Secara tak terduga, perempuan itu justru membalas, "Aku memang ingin mati. Kau sekarat, daemon sepertimu harus meminum darah supaya bisa hidup, kan? Siapa yang memburumu sampai seperti ini? Para guardian sialan itu benar-benar seperti pengecut. Mereka tidak pernah datang sendirian, kan? Minumlah, aku tidak keberatan."

Sepanjang hidupnya, Jeremy telah bertemu dengan banyak jenis manusia. Tapi tidak pernah ada yang sebodoh ini menawarkan dirinya untuk menjadi makanan daemon. Entah karena perempuan ini memang tidak ingin hidup atau ia memang sangat bodoh, tapi rasa lapar daemon itu bisa jadi bencana. Beberapa daemon yang sangat kuat bisa merasa cukup hanya dengan setenggak darah; tapi jumlah mereka bahkan tidak banyak. Sebagian besar daemon hanya bisa memakan manusia untuk bertahan hidup—untuk alasan itu pula mereka diburu. Tapi daemon tidak pernah membunuh sebanyak itu; meskipun tak bisa dipungkiri jika beberapa daemon tolol akan membunuh tanpa pertimbangan sehingga membuat reputasi spesies mereka buruk secara menyeluruh.

"Kau—"

"Kau tuli, ya?!" sentak perempuan itu keras. Dia menarik bajunya ke bawah—mengekspos leher putih yang jenjang. "Cepatlah, ayahku akan menemukan kita kalau kau diam terus seperti ini. Ugh, dia seorang Guard, benar-benar sangat kuat! Kau bisa dihabisi dalam sekali tebas kalau ragu-ragu seperti ini! Aku tidak akan mati, jadi cepatlah!"

Tangan kurusnya menarik tengkuk Jeremy—menempelkan bibirnya ke leher mulus tanpa luka. Dia punya aroma yang sangat harum; rasa darahnya pasti sangat enak. Jeremy tidak bisa menahan diri—terutama dalam keadaan seperti ini. Kendati demikian, meskipun dirinya dalam keadaan yang sangat rentan dan begitu mungkin kehilangan kesadaran, Jeremy hanya mengecap sedikit darah dari perempuan bodoh ini. Baginya itu sudah cukup—lagipula Jeremy bukan jenis yang dapat sepenuhnya disebut sebagai daemon.

Meskipun begini, fenomena ini sangat aneh. Kenapa dia bisa merasa cukup hanya dengan sedikit darah dari perempuan ini? Seolah perutnya sudah menampung tiga orang dewasa sekaligus, Jeremy merasa sangat cukup.

"Sial, taring daemon memang sangat tajam," katanya sambil memegangi leher. Wajahnya menjadi pucat—padahal dia hanya kehilangan sedikit darah. "Pusing sekali..."

Perempuan itu terjatuh ke pelukannya—kehilangan kesadaran meskipun kondisinya tidak seburuk yang dibayangkan. Jeremy memegangi tubuh rampingnya—mencium aroma harum yang terus dipancarkan tubuh muda ini. Perempuan di pelukannya tampak begitu elok dengan lekukan tubuh yang dapat membuat banyak pria jatuh cinta. Dia bilang kalau ayahnya seorang Guard yang kuat—dia mungkin berasal dari keluarga kaya. Hidup sebagai putri seorang Guard senior di akhir abad ke-19 seperti sekarang merupakan sebuah kemewahan yang diinginkan banyak orang.

Luka di tubuh Jeremy pulih seketika. Bajunya compang-camping karena pedang Cain dan beberapa Guard yang ditemuinya di sepanjang jalan pelarian; tapi lukanya sudah tertutup dan darahnya pun berhenti keluar. Ia merobek baju yang tampak seperti kain lap kotoran babi, membakar baju itu dengan api biru yang keluar dari tangannya, lalu meniupkan baju yang telah menjadi abu tersebut ke udara bebas. Jejaknya sudah menghilang jauh sebelum ia sampai ke tempat ini. Hutan belantara—apa yang sedang perempuan muda ini lakukan di hutan belantara? Dan dia hanya mengenakan gaun tipis menerawang dengan sehelai kain yang menutupi bagian atas tubuhnya.

Dengan sadar Jeremy mengecup leher perempuan itu—menyembuhkan bekas gigitan yang dia timbulkan sebelum pegi meninggalkannya di dekat rumah besar di ujung hutan. Jeremy harap mereka tidak pernah bertemu lagi; perasaannya dibuat tidak nyaman dan Jeremy membenci sensasi semacam itu.

Tapi satu minggu setelah pertemuan malam itu, Jeremy kembali bertemu dengan makhluk yang paling ingin ia hindari. Mata Jeremy memicing saat pandangan mereka bertemu. Kali ini mereka tidak bertemu di hutan gelap—mungkin lebih tepat kalau disebut taman belakang yang penuh pohon dan sedikit terlalu luas—melainkan di dekat pastry shop yang cukup terkenal di sudut kota. Jeremy menurunkan topi—membungkuk pada perempuan yang memandanginya penuh ketakjuban. Ia dapat mengenali baunya dengan baik sekarang—perempuan muda ini merupakan seorang warlock.

Baunya lebih lembut dan sangat manis; Jeremy pernah bertemu warlock dengan bau seperti ini beberapa ratus tahun lalu. Seorang gadis yang lebih muda—itu sudah lama sekali. Dan warlock itu masih berusia delapan tahun saat puluhan manusia membunuhnya dengan tombak dan batu. Sama seperti daemon, warlock merupakan makhluk immortal. Menjadi immortal bukan berarti mereka tidak dapat dibunuh. Dengan senjata yang tepat dan serangan bertubi-tubi tanpa kesempatan beregenarisasi, makhluk-makhluk ini tetap dapat dibunuh.

"Kau!" perempuan itu menutup mulut—berusaha meredam perhatian yang hampir ditujukan padanya. Dia menghampiri Jeremy, memegangi kedua tangannya, lalu melanjutkan, "Kau orang yang waktu itu, kan? Kau seorang dae—tidak! Kurasa kau bukan salah satu dari mereka!"

Senyum di wajah Jeremy terlukis tipis. "Sebagai ucapan terima kasih karena sudah menyelamatkanku, haruskah aku mentraktirmu makan siang, Nona?"

Perempuan itu mengerjapkan matanya berulang kali. Lalu dengan gegabah dia mengulurkan tangan sambil mengatakan, "Namaku Rose. Aku punya banyak waktu luang sekarang; kebetulan juga perutku sudah lapar. Mau pergi sekarang?"

"Aku mungkin memakanmu," ucap Jeremy sambil menatap Rose lamat-lamat.

"Kurasa kau tidak akan melakukannya."

"Apa yang membuatmu sangat yakin?"

Jari lentiknya menunjuk kedua mata Jeremy. "Mata daemon akan berubah merah dengan garis hitam gelap di tengah saat mereka lapar; tapi matamu berwarna biru terang. Tidak ada pengecualian untuk hal itu. Jadi pertanyaanku, kau ini sebenarnya apa?"

Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Hingga saat ini, Jeremy masih mengajukan pertanyaan serupa: aku ini apa? Tidak ada sebutan khusus untuknya. Jeremy merupakan yang pertama dan satu-satunya; sebab daemon dan malaikat tidak akan pernah bisa menghasilkan anak bersama. Tapi Tuhan menciptakannya—menjadikan Jeremy sebagai makhluk yang berdiri di tengah-tengah. Sekarang pertanyaan itu kembali mencuat; membuat Jeremy teringat masa lalu yang terkubur sejak jutaan tahun lalu.

Fin

This will be short I promise.

Thanks for coming~

💕💙💞💜❤️💚💝❣️💖🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

1M 86.3K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
336K 28K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
198K 9.8K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
51.6K 3.7K 52
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...