MAJNUN NISKALA✔

By zazah_ya

582 211 149

"Pada majnun niskala ini kita akan meramu nirmala. Atau sanggupkah engkau dengan nirwana?" . . Jika boleh ber... More

ATTENTION
PROLOG
BINTANG MENDATANGI PENYAIR
TANGAN-TANGAN KEMBOJA
BAIT-BAIT UNTUK SANG SENIMAN
MENGABADIKAN FANA
LANGIT UNTUK BINTANG
TANTANGAN PENGABADIAN
GALERI LUKISAN
LANGIT TANPA GEMINTANG
BINTANG REDUP
TERSESAT PADA KELAM
RENJANA DAN KEPULANGANNYA
KUNANG-KUNANG DAN KEPERGIANNYA
SISA-SISA RENJANA
SEBARIS MEMORI DAN SEMBILU NGILU
HANYA BAYANG YANG TERSELIP NYALANG
KOLABORASI DUA JIWA
KEMBALI
EPILOG

NABASTALA DAN NISKALA NIRWANA

3 3 0
By zazah_ya

HAPPY READING

Senja telah kembali hadir dengan lembayung indahnya. Angin berembus pelan membawa pesan-pesan singkat sebagai penyejuk jiwa. Bahkan sang baskara tengah menghadiahkan momen terindah untuk menghapus titik-titik luka. Juga kawanan burung di luasnya nabastala terbang berbaris menuju rumah-rumah mereka untuk menghempas penat yang dirasa. Singkat saja, waktu senja hadir seolah memang diciptakan sebagai obat penenang sukma.

Suasana nan damai itu menjadi hiburan tersendiri untuk pemuda dengan jas dokternya yang kini tengah berjalan santai di alun-alun kota untuk menghilangkan penat. Hari ini ia banyak bertemu dengan pasien. Mendengar cerita-cerita mereka layaknya teman curhat dan memberikan motivasi-motivasi pembangkit jiwa sudah menjadi tugasnya.

Dengan langkah santainya ia menelusuri jalan setapak di sekeliling air mancur yang lumayan besar. Sontak berhenti kala korneanya yang menangkap sosok seorang gadis yang tengah menangis tersedu di hadapan air mancur tersebut dengan berjongkok. Ia menghampiri gadis itu dan ikut berjongkok di sampingnya.

“Nirwana,” sapanya pelan. Namun, tak ada tanggapan dari gadis dua puluh satu tahun itu. “Nirwana.” Ia kembali memanggil. Namun, masih sama. Tak ada balasan. Hingga ia menepuk pundak gadis itu pelan.

Ia mengangkat wajahnya. Dengan mata sembab yang masih mengucurkan air mata, ia memandang Kivandra dengan tatapan bertanya. “Kamu siapa?”

“Saya Nana. Anda tidak ingat?” Pertanyaan dari Kivandra ditanggapi dengan gelengan oleh Niskala.

“Baiklah, siapa nama anda?” Kivandra mengulurkan tangan.

Dengan takut-takut, Niskala balas menjabat tangan Kivandra. “Nabastala.” Ia menyebut sebaris nama yang tak asing di telinga Kivandra. Ialah nama kecil dari seorang Niskala Nirwana. “Kamu seorang dokter?” gadis itu melanjut dengan pertanyaan.

“Iya, saya seorang dokter,” jawab Kivandra sembari mengangguk. “Mengapa anda bersedih?”

"Kamu datang terlambat,” jawabnya singkat. “Ia sudah pergi meninggalkan aku sendirian. Harusnya kamu datang lebih awal.”

"Siapa yang tengah anda bicarakan?”

"Bintang yang menghiasi nabastala. Sekarang Tala kesepian. Tala nggak punya teman untuk membicarakan bayak hal tentang puisi-puisi uang baru saja Tala buat.” Niskala yang menyebut dirinya dengan panggilan Tala kembali menangis sesenggukan. “Bintang telah lenyap, ia meninggalkan Nabastalanya.”

Dan tepat dengan berakhirnya kalimat yang telah diucapkan oleh Niskala, sedu sedan gadis berpipi tembam itu berganti dengan raungan kesakitan. Tangannya dengan kuat menekan tengkuk demi menahan rasa sakit yang menyerang kepalanya. Rasanya seolah ada palu yang tengah mengentak-entak otaknya hingga membuatnya menjerit kesakitan.

"Nirwana, anda tidak apa?” seruan kekhawatiran itu meluncur dari bibir indah Kivandra. Ia memegang pundak Nirwana dengan sedikit guncangan.

Sesaat kemudian, Niskala telah melepaskan tangan dari kepalanya. Ia menoleh pada Kivandra dengan terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini? Lepaskan tanganmu dariku!”

Dengan cepat Kivandra menarik kembali tangannya. “Anda baik-baik saja?”

"Seperti yang kau lihat, aku tidak kurang suatu apa pun,” sinisnya.

"Anda baru saja meraung-raung di hadapan saya. Mengatakan bahwa saya terlambat datang. Bintang telah pergi dari nabastalanya.” Kivandra mencoba menceritakan adegan yang baru saja terjadi meski dengan sedikit dilebih-lebihkan, karena memang Niskala tidak meranung.

“Benarkah?”

"Apa aku tampak sedang berbohong?”

Niskala memperhatikan raut wajah Kivandra. Pahatan romannya yang rupawan tidak tampak seperti sedang berbohong. Kivandra tengah menatap serius tepat pada netranya.

Hari telah gelap. Baskara telah digantikan oleh sang candra yang dengan anggun menyabit pada singgasananya ditemani oleh ribuan formasi gemintang. Tak lupa dengan angin malam yang berembus pelan tengah menggelitik pori-pori dengan bulu-bulu kedinginan. Kivandra beranjak berdiri di samping Niskala. “Mari kita makan. Anda perlu meminum obat.” Ia mengulurkan tangannya pada Niskala.

"Aku tidak membawa uang apalagi obat.” Gadis itu masih saja bersifat dingin pada Kivandra.

"Saya yang traktir.” Dan dengan sigap ia menangkap pergelangan tangan Niskala dan menarik berdiri gadis itu. Ia menggandeng tangannya sehingga Niskala tidak memiliki pilihan selain mengikuti Kivandra.

Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak alun-alun kota. Kivandra mengajak Niskala makan di salah satu warung terdekat yang menjual pecel lele. Lelaki itu kenal dekat dengan penjualnya karena memang sering mampir ke warung ini. Ia menyapa pemilik warung dan memesan dua porsi pecel lele beserta teh hangat, lantas mengajak Niskala duduk di salah satu bangku.

“Pecel lele di sini sangat enak. Anda harus mencobanya,” ujar Kivandra memberi tahu.

“Apakah lebih enak dari yang dijual di restoran?” Niskala menimpali dengan tanya, yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Kivandra.

Keduanya terdiam sembari menunggu pesanan datang. Niskala yang melamun tengah menatap jauh keluar sana. Sedang Kivandra menggunakan kesempatan itu untuk mencuri pandang. Ia memerhatikan pahatan elok dari wajah seorang Niskala Nirwana. Netranya yang bulat tampak sendu seperti biasa, dengan pipi tembamnya yang berpadu dengan gigi kelinci yang tampak menggemaskan kala mulutnya sedikit terbuka seperti sekarang. Apalagi ditambah dengan rambut sebahunya yang menambah kesan tersendiri yang tak dapat ia jelaskan.

Sejenak kemudian, pesanan mereka datang. Namun, tak ada respons dari gadis manis di hadapannya. Ia masih saja melamun seperti sebelumnya. Kivandra mengibas-kibaskan tangan kirinya di depan wajah Niskala, namun tak mengubah apa pun. Beberapa kali pula ia menyebut nama Nirwana maupun Nabastala. Hingga sebait nama meluncur dari mulut gadis itu. “Kavi.” Asma itu diucapkannya dengan teramat lirih. Pandangannya telah menoleh seolah menatap ke samping Kivandra. Tapi anehnya, tak ada siapa pun di sana.

“Ke mana saja kau, Tuan. Aku merindukanmu,” lirihnya sekali lagi. Ia beranjak berdiri. “Nabastala tengah menantikan Auriganya, sedang Nirwana sudah merindukan kegilaannya.”

Tangan gadis itu terangkat, seolah ada seseorang di hadapannya yang tak dapat dilihat oleh Kivandra. Bahkan psikiater itu beberapa kali mengucek matanya, khawatir ada yang salah dengan penglihatannya. Dan pada saat selanjutnya, ia melihat Niskala seolah ingin memeluk orang di hadapannya yang ia sebut sebagai Kavi. Tapi, ia hampir terjatuh jika saja Kivandra tidak memeganginya. Sebab di hadapan gadis itu hanya ada meja dan udara kosong. Bukan sesosok laki-laki berasma Auriga Kavi.

“Anda baik-baik saja?” tanyanya setelah dirasa Niskala telah sadar dari ilusinya.

Gadis itu tak menjawab pertanyaannya. Ia kembali terduduk dan menatap pecel lele miliknya tanpa menyentuhnya. Dan pada detik selanjutnya ia telah menangis sejadi-jadinya.

***

“Maaf karena telah mengganggu waktu anda malam-malam seperti ini.” Itulah kalimat pembuka yang diucapkan Kivandra pada sambungan telepon pada Mira setelah sapaan selamat malam. “Saya ingin memberitahukan perihal keadaan anak Ibu.”

Mira melirik sekilas pada putrinya yang telah tertidur. Menghela napas berat lantas mengangguk sebagai jawaban, meski ia tahu Kivandra tentu tak akan dapat melihatnya.

“Setelah apa yang saya lihat dari kondisinya pada tiga hari terakhir, saya memiliki keyakinan kuat bahwa Nirwana menderita Dissociative Identity Disorder atau yang biasa disebut dengan kepribadian ganda. Ia memiliki dua kepribadian, yang pertama adalah Niskala Nirwana yang kita ketahui memang dialah yang lebih sering menguasai Nirwana. Dan yang kedua adalah Nabastala.”

Kalimat terakhir dari Kivandra membuatnya tercengang. “Nabastala?”

“Benar, Bu. Seperti yang kita tahu, Nabastala adalah kepribadian aslinya. Dan kemudian muncullah Niskala Nirwana sejak ia berusia tujuh tahun.”

“Tapi, apa yang membuatnya sampai seperti ini, Dok?” tanya Mira sembari berjalan mendekati jendela kamar Niskala. Ia memandangi langit di luar sana yang tampak mendung sedari dua jam yang lalu, namun hujan tak kunjung turun.

“Hal ini banyak terjadi karena trauma. Setelah saya meneliti kasus Niskala, ada suatu tragedi yang saya yakini sebagai pemicu terbentuknya kepribadian baru.” Kivandra menjelaskan dengan perlahan.

Mira kembali menghela napas panjang. “Apakah itu?”

“Kematian Ayahnya yang bernama Bintang. Menurut saya, itulah pemicunya. Seperti yang anda katakan, bahwa Niskala sangat dekat dengan Ayahnya. Kematian beliau membuat Nirwana merasa kehilangan dan amat terluka. Putri anda tidak dapat menerima hal itu, sehingga terciptalah kepribadian lain untuk menutup kisah menyedihkan tersebut. Kisah itu milik Nabastala. Niskala Nirwana hadir untuk menyimpan rapat-rapat tragedi menyakitkan itu bersama Nabastala.”

Setetes bulir bening lolos dari pelupuk matanya. Dengan segera Mira menghapus butiran sendu itu. Kematian suaminya memang benar-benar melekat dalam diri Mira hingga membuatnya sempat depresi. Kehilangan suaminya menciptakan luka yang teramat dalam pada hati Mira. Jika ia saja yang telah dewasa dapat mengalami kondisi seperti itu, bagaimana dengan putrinya yang pada waktu itu masih berusia tujuh tahun? Ini pasti terlalu berat untuk ditanggung oleh putri kecilnya seorang diri, sedang ia baru menyadarinya sekarang. Dalam hatinya ia menanggung perasaan bersalah, ia merasa gagal menjadi Ibu yang baik untuk putrinya.

Ternyata, isak tangisnya terdengar dari ujung sana. Dengan cepat Kivandra berkata, “Anda tenang saja. Saya berjanji akan terus mendampingi hingga Nirwana sembuh. Ini janji saya sebagai dokter dan teman untuknya. Saya akan melakukan psikoterapi secara perlahan untuk menyadarkannya, dan membantunya untuk ikhlas.”

Tanpa ia sadari, Mira mengangguk dan menghapus air matanya. “Terima kasih. Terima kasih sudah mau bekerja keras untuk kesembuhan anak saya.”

“Sudah menjadi tugas saya.”

“Sepertinya sudah terlalu larut. Jika sudah selesai, saya izin menutup telepon.”

“Sebentar.” Kivandra mencegah dengan cepat. “Ada lagi yang ingin saya sampaikan kepada anda.”

Mira terdiam, urung memutuskan sambungan. Ia menunggu Kivandra melanjutkan pembicaraannya.

“Apakah anda mengenal Auriga Kavi?”

Ia tampak berpikir sejenak. “Sebenarnya tidak. Tapi, saya pernah membaca nama itu dalam cerita novel yang ditulis oleh Niskala.”

“Nirwana juga menulis novel? Ia pernah mengatakan pada saya bahwa ia hanya menulis puisi.”

“Sebenarnya dulu, iya. Tapi, sejak satu bulan yang lalu ia mulai menulis novel. Apakah itu penting, Dok? Jika memang dibutuhkan saya akan carikan file cerita tersebut dan mengirimnya kepada Dokter.”

Beberapa saat hening, tidak ada balasan dari ujung sana. Sepertinya, Kivandra tengah berpikir. “Ah, seperti itu rupanya. Boleh, jika tidak merepotkan anda.”

“Baik, Dok. Setelah ini akan segera saya kirimkan.”

“Baik. Maaf telah mengganggu waktu anda malam-malam seperti ini. Dan terima kasih atas informasi yang telah anda berikan.” Kivandra mulai menggiring menuju akhir percakapan.

“Seharusnya saya yang berterima kasih. Terima kasih banyak, Dok.”

“Baiklah, sampai jumpa dan selamat Malam.”

TO BE CONTINUED

Continue Reading

You'll Also Like

1M 154K 50
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
3.8M 55.6K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
3.9M 43.2K 33
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
704 255 20
Sudah terbit di Penerbit MUMTAZ, Cirebon. Perjodohan yang dilakukan karena balas budi oleh Bapak membuat Ina kembali bertemu dengan musuhnya-Tri Sap...