MAJNUN NISKALA✔

By zazah_ya

580 211 149

"Pada majnun niskala ini kita akan meramu nirmala. Atau sanggupkah engkau dengan nirwana?" . . Jika boleh ber... More

ATTENTION
PROLOG
BINTANG MENDATANGI PENYAIR
TANGAN-TANGAN KEMBOJA
BAIT-BAIT UNTUK SANG SENIMAN
MENGABADIKAN FANA
LANGIT UNTUK BINTANG
TANTANGAN PENGABADIAN
GALERI LUKISAN
LANGIT TANPA GEMINTANG
BINTANG REDUP
TERSESAT PADA KELAM
RENJANA DAN KEPULANGANNYA
KUNANG-KUNANG DAN KEPERGIANNYA
SISA-SISA RENJANA
NABASTALA DAN NISKALA NIRWANA
HANYA BAYANG YANG TERSELIP NYALANG
KOLABORASI DUA JIWA
KEMBALI
EPILOG

SEBARIS MEMORI DAN SEMBILU NGILU

6 3 1
By zazah_ya

HAPPY READING

Kivandra tengah menyantap makan siangnya di kantin rumah sakit milik Pamannya. Setelah tadi malam berjumpa dan membicarakan perihal pasien barunya, ia akhirnya memutuskan untuk menemui Ibu dari gadis yang dibicarakan Andra. Setelah ini ia akan mengunjungi gadis itu selepas makan siang.

Pemuda tampan dengan kulit putih bersih dan rambut kecokelatannya yang tampak ringan itu menyuap salad miliknya dengan cepat. Setelah menghabiskannya, ia beralih pada jus tomatnya yang tersisa separuh gelas, meneguknya hingga tandas. Setelahnya ia pergi keluar dari rumah sakit itu, menyeberang jalan dan memasuki swalayan. Beberapa menit kemudian, pemuda itu kembali dengan membawah sekeranjang penuh buah-buahan segar.

Dengan langkah mantapnya, Kivandra berjalan menuju salah satu ruang inap VIP di lantai dua rumah sakit, di mana Niskala telah dipindahkan dari IGD ke ruangan tersebut. Beberapa saat ia berdiri di hadapan pintu tanpa melakukan apa pun. Setelah beberapa menit berlalu, barulah Kivandra mengetuk pintu. Ia akan menjalankan misinya.

Seorang wanita paruh baya yang ia kenali sebagai Ibu dari Niskala membukakan pintu, mempersilakannya masuk. Dilihatnya, gadis berasma Niskala Nirwana itu tengah merenung di hadapan jendela yang menghadap langsung ke jalanan kota Jakarta yang macet.

“Niskala,” panggilnya.

Gadis itu menoleh. Memandang Kivandra begitu lama dengan tatapan sendunya. “Kavi?”

Kivandra menghela napas. “Siapa Kavi? Kamu tidak mengenalku? Aku temanmu.”

Niskala menggeleng, ia tidak mengenal pemuda di hadapannya. Begitu pula dengan Kavi, ia juga tidak mengenalnya. Hanya saja, nama itu terasa sangat akrab seolah benar-benar tersimpan pada relung hatinya. Membuat ia berusaha untuk mencari tahu perihal lelaki berasma Auriga Kavi.

“Apa aku perlu mengulangi perkenalan kita?” Kivandra memecah khayalan seorang Niskala.

Gadis itu menatap Kivandra cukup lama, hingga ia membuang muka. “Aku tidak berkenalan dengan orang asing.”

“Namaku Kivandra Ananta.” Kivandra tidak memedulikan rasa enggan yang diutarakan Niskala.

“Sudah kukatakan, aku tidak berkenalan dengan orang asing!” Ia menekan setiap kata yang ia ucapkan. “Lagi pula, namamu terlalu rumit untuk kuingat! Ah, sudahlah. Kupanggil kamu Nana saja.” Akhirnya ia mengalah, meski perkataannya diikuti dengan mengembuskan napas kesal dan memberengut.

Kivandra tersenyum mendapati jawaban gadis itu. Nana katanya? Dapat dari mana panggilan itu? Lucu sekali. Ia berjalan mendekati Niskala dan duduk di sampingnya. “Kalau begitu aku akan memanggilmu Nirwana.”

“Terserah kau saja.” Namun, ada sekelebat ingatan yang lewat, membuatnya merasakan rasa sakit yang hebat pada bagian kepala sehingga membuatnya berseru kesakitan. Bukan hanya dengan nama Nirwana, saat ia menyebut nama Nana tadi, gadis itu merasa dejavu. Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi dalam kehidupannya selama sebulan terakhir?

Kivandra hanya memerhatikan gadis di hadapannya. Ia tahu hal semacam itu akan sering terjadi. “Bagaimana keadaanmu?”

Sakit pada kepala Niskala berangsur mereda. Ia balik menatap Kivandra dengan tajam. “Kau bukan temanku. Kau seorang dokter,” ucapnya dingin.

“Oh, baiklah. Tapi, karena kita sudah berkenalan, sekarang kita menjadi teman.” Usaha penyamaran Kivandra gagal. Padahal ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk tampil berbeda dari dirinya sendiri, seolah ia adalah teman yang telah gadis itu lupakan. Bahkan ia sudah berusaha keras berlatih untuk tidak bicara menggunakan bahasa formal, karena Kivandra tidak terbiasa menggunakan bahasa informal kepada selain Pamannya, apalagi kepada pasiennya. Itu merupakan hal sulit baginya, tapi sekarang ia sudah gagal.

“Kata siapa seorang yang berkenalan akan menjadi teman? Buktinya, aku selalu memperkenalkan diri saat presentasi atau maju ke depan kelas, tapi aku tetap tak punya teman.”

“Karena itulah, saya akan menjadi teman anda.” Bahasa Kivandra langsung berubah, lagi pula buat apa lagi ia berpura-pura jika Niskala sudah mengetahui identitas dirinya yang sesungguhnya.

“Perkenalan kita terlalu buruk untuk dianggap sebagai awal mula pertemanan. Bahkan kau membohongiku.” Ia mulai melunak. Ucapannya tidak terdengar sedingin dan setajam sebelumnya.

Kivandra menghela napas. “Baiklah, mari kita ulangi perkenalan. Nama saya Kivandra Ananta, saya tidak berbohong soal itu-

“Ya, aku tau itu memang namamu. Kamu masih menggunakan name tag.” Gadis itu menyelanya.

Kivandra melirik bajunya pada bagian dada kanan. Pantas saja Niskala mengetahui ia sebagai dokter. Pada nam tag itu tertulis ‘Dr. Kivandra Ananta, Sp. KJ’.

“Dan apakah kalian menganggap aku telah gila sehingga mengirim psikiater?” lanjut Niskala dengan sedikit berseru.

“Siapa bilang psikiater hanya mengobati orang gila?”

Niskala terdiam. Sebenarnya ia juga tidak tahu profesi seperti apakah psikiater itu. Dulu ia pernah ingin mengambil jurusan kedokteran, tapi sebelum ia mendaftar kuliah pada fakultas kedokteran ia sudah dibuat pusing hanya dengan melihat gambar anatomi tubuh manusia beserta penjelasannya. Jadilah, ia mundur sebelum berperang dan mengambil jurusan bahasa dan sastra yang sesuai dengan hobinya.

“Anda belum menjawab pertanyaan saya, bagaimana keadaan anda?” Kivandra mengulangi pertanyaan sebelumnya sembari membuka kancing lengan kemejanya dan menggulungnya sebanyak tiga kali lipatan, ia merasa gerah.

“Aku baik-baik saja.”

Kivandra menoleh pada Niskala. “Tidak ada yang baik-baik saja pasca koma, apalagi dia kehilangan sebagian ingatannya.”

Niskala memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas sofa dan menghadap Kivandra. “Apakah kamu sedang mengeruk sebanyak mungkin informasi tentangku?”

“Itu pekerjaanku.”

Lagu-lagi Niskala menghela napas. “Aku sudah terbiasa dengan hilang ingatan.”

Tercipta kerut di dahi Kivandra. “Maksud anda?”

“Entahlah, aku sering merasa sakit kepala hebat sejak usia tujuh tahun. Dan setelahnya aku baru menyadari diriku berada di tempat atau keadaan yang tidak kuingat. Seperti ada suatu kejadian yang telah aku lalui tapi terekam dalam memoriku.” Niskala mulai menjelaskan.

“Bisa berikan contohnya?” Kivandra mengeluarkan notes kecil dan pena dari sakunya. Ia mulai mencatat.

“Saat kuliah, tiba-tiba aku merasakan rasa sakit pada kepalaku, rasanya saki sekali. Dan saat aku telah sadar, langit telah gelap, sudah sekitar jam sebelas malam, dan aku tengah berada di pelataran rumah, menangis sesenggukan dengan membawa buku diary yang telah kumiliki sejak kecil. Tentu saja aku bingung dengan apa yang terjadi, karena aku tidak mengingat apa pun. Seperti melompati waktu dari siang hari langsung menuju malam hari.” Ia mengambil salah satu buah apel dari keranjang buah yang dibawakan Kivandra, dan mulai melahapnya. “Jadi, aku sudah terbiasa dengan hilang ingatan. Bahkan aku tak memiliki kenangan masa kecil.”

“Siapa nama Ayah anda?” Kivandra kembali melontarkan pertanyaan yang berbeda untuk memancing Niskala agar bercerita lebih jauh.

“Ayah? Aku bahkan bertanya apakah aku punya Ayah.” Ia tertawa hambar

Kivandra ikut tertawa. “Tentu saja anda punya. Anda tidak akan ada di dunia ini tanpa Ayah.” Tidak ada jawaban dari Niskala. “Baik, pertanyaan selanjutnya. Siapa itu Kavi?”

Detak jantung Niskala seolah berpacu dua kali lebih cepat saat mendengar nama itu. Ia mencoba menetralkannya terlebih dahulu dengan kembali memakan apel yang dibawanya sebelum menjawab pertanyaan dari psikiater itu. “Mana kutahu,” jawabnya dengan mengangkat kedua pundak. “Mungkin dia orang gila yang dengan kurang ajarnya membuat aku ikut gila.”

“Anda mengaku gila?” Kivandra mencoba bergurau dengan mengatakan hal itu seolah mengejek. Padahal gadis itu tak terima dengan keberadaannya karena seolah orang lain menganggapnya gila, bukan?

Kivandra menangkapnya saat ia mendapat lemparan kesal dari Niskala berupa buah jeruk yang tadi ia bawa sebagai buah tangan. “Terima kasih, bagaimana anda tahu kalau saya suka jeruk?”

“Itu bukan untukmu!”

“Sudah anda lempar pada saya, jadi milik saya.” Kivandra tertawa renyah, memperhatikan pasiennya yang tampak kesal. “Baiklah, kita lanjut. Siapa itu Nabastala?”

“Nama kutahu.” Jawabannya masih sama dengan sebelumnya. Gadis itu mengunyah apel dan menelannya. “Kamu tidak membeli alpukat? Aku suka alpukat.

“Mana saya tahu jika anda suka alpukat. Harusnya anda mengatakannya sebelum saya kemari.”

“Hei, dari mana aku tahu jika kamu akan kemari. Bahkan aku tidak mengenalmu,” serunya kesal.

“Anda suka menulis?”

“Anggap saja aku penyair amatiran.”

Kivandra tertawa. “Bagaimana saya dapat menganggap anda amatiran, jika puisi anda yang berjudul ‘Tenggelam Legam, Terseret Pasang kini telah menjadi perbincangan para penggiat sastra. Bahkan masuk dalam Top Ten dalam nominasi puisi modern.”

Tenggelam Legam, Terseret Pasang? Apakah aku pernah menulis puisi itu? Aku tidak ingat.”

“Mungkin anda menulisnya pada rentan sebulan terakhir. Jadi, anda tidak mengingatnya.”

“Bisa jadi.”

“saya suka membaca puisi ini. Terhitung saya sudah membacanya tiga kali pagi ini.”

Niskala menoleh. “Untuk apa seorang dokter membaca puisi?” tanyannya.

“Apakah tidak boleh? Lagi pula saya punya pekerjaan sampingan sebagai editor naskah. Tidak ada hubungannya dengan dunia kedokteran, tapi saya menyukai dunia literasi sejak sekolah menengah pertama. Jadi, saya putuskan untuk mengejar kedua cita-cita saya. Saya ingin jadi psikiater dan penulis. Tapi karena saya tak punya cukup waktu untuk menulis di waktu senggang saya, jadi saya memutuskan untuk melamar pekerjaan di salah satu penerbit sebagai seorang editor.”

“Kamu hebat. Bisakah kamu membantuku?”

“Tentu saja. Ngomong-ngomong, kapan anda akan pulang dari sini?”

“Besok sore.”

“Baiklah, sampai jumpa esok saat senja menjadi latar cerita.

***

Malam ini, langit tertutup mendung. Udara dingin berembus dengan tenang menggoyangkan rerumputan tebal di taman rumah sakit. Niskala duduk di salah satu bangku. Ia memutuskan untuk mencari udara segar setelah kepalanya terus saja berdenyut.

Suatu fakta yang baru saja ia ketahui membuatnya berpikir keras sehingga membuat sakit kepalanya semakin menusuk-nusuk. Sekarang ia ingat siapa itu Auriga Kavi, seorang lelaki yang berhasil membuat malam-malam gadis berasma Niskala Nirwana menjadi malam-malam panjang penuh getaran memabukkan. Seorang pemuda dengan kulit tak terlalu cerah dan lesung pipitnya yang menawan, telah membuat seorang Niskala hanyut dalam kegilaannya. Dia adalah seorang seniman gila yang dengan kurang ajarnya masuk ke dalam hidup gadis berpipi tembam dan mengajaknya untuk berdansa di atas lantai mahligai yang mampu mencabut kewarasannya.

Ia ingat sekarang, bagaimana laki-laki itu menyihirnya hanya dengan kata-kata, bagaimana ia terjun dari lantai dua demi bertemu dengannya, juga bagaimana pemuda itu membuatnya tenggelam dalam renjana saat ia mengaku tersesat dan tak tahu jalan pulang menuju langitnya. Ingatan itu berkelebat begitu saja saat gadis tersebut bangun dari tidurnya tadi sore. Dan terus saja hilir mudik dalam kepalanya hingga kini.

Gadis itu telah mengingat setiap detail kejadian tersebut. Kawanan kunang-kunang yang mengelilinginya menjadi pemandangan tersendiri dengan ekor bersinar. Sosok yang bercerita dengan sendu kembali menyayat hati Niskala Nirwana. Saat Kavi bercerita perihal rumah, Ia bersedia menjadi rumah untuk pemuda itu. Namun, kenapa laki-laki itu sekarang tak kunjung pulang? Tidakkah ia merindu langitnya? Tapi, semua ingatan yang berkelebat terkalahkan oleh cahaya menyilaukan yang menyeretnya masuk dan melahap habis tubuhnya. Bahkan, meski dalam pikirannya saja cahaya itu masih saja menyilaukan.

Sebenarnya, ingatan terakhir itulah yang membuat Niskala berpikir keras hingga membuat kepalanya seolah akan pecah. Peristiwa itu sungguh tidak masuk akal! Hal itulah yang membuat Niskala berpikir bahwa semua itu hanyalah ilusinya semata.

Ia menghela napas panjang. Kepalanya semakin berdenyut tidak menyenangkan. Ia terdiam menatap tanah sembari berusaha mengurangi rasa sakitnya dengan menekankan tangan kanan pada tengkuk. Dan ketika ia mendongak menatap ke depan, begitu terkejutnya gadis itu mendapati sesosok laki-laki dengan kulit tidak terlalu cerah dan lesung pipitnya yang tetap terlihat samar tanpa ia tersenyum. Sosok itu menatap tepat ke arahnya dengan mata sendunya.

Niskala berdiri dari duduknya. Ia ingin berlari menuju laki-laki dengan gelang berliontin bintang tersebut. Ia ingin tenggelam dalam pelukan hangatnya yang dapat meluruhkan segala gundah. Tapi, entah mengapa ia merasa tak mampu. Ia hanya dapat membisikkan namanya pada angin yang berembus pelan menerpa wajahnya. “Auriga Kavi.”

Seniman yang kerap di sapanya Kavi itu masih bertahan memandanginya beberapa saat. Hingga pada menit berikutnya ia berpaling dan berjalan menjauh. Membuat Niskala sontak ingin berteriak, menyerukan nama laki-laki itu. Niskala ingin berlari menghampiri Kavi, namun tubuhnya tak kuasa untuk menuruti gejolak dalam hatinya. Kakinya terasa lemas seolah tulang belulang yang menyanggahnya telah melentur. Ia merasakan tubuhnya tidak seimbang dan merosot ke bawah. Sedang Kavi masih berjalan menjauhinya, tak kunjung kembali.

“Awas!” Gadis itu hampir saja terjatuh ke dalam kolam air mancur karena terpeleset pinggirannya jika tidak ada seseorang yang menangkap lengan dan menariknya menjauh. Dan tepat saat ia tersadar akan terjatuh, sosok seniman itu ikut menghilang. “Apa yang anda lakukan?” tanya seorang yang menolongnya dengan setengah berseru.

Napasnya menderu, dengan tubuh gemetar Niskala menoleh pada orang yang menolongnya. Didapatinya sosok pemuda tampan dengan jas dokternya yang ia kenali sebagai psikiaternya. Baru tadi siang mereka berbincang dan berkenalan, namun Niskala telah melupakan nama dari psikiater itu. Ah, sebut saja dia Nana seperti yang dikatakan Niskala beberapa waktu lalu.

“Mengapa anda di sini sendirian? Dengan keadaan anda saat ini, itu bisa saja berbahaya. Anda bisa terluka.” Nana menuntun Niskala menuju bangku yang tadi didudukinya.

“Aku hanya sedang mencari udara segar. Gelap, aku tidak melihat ada air mancur di sana.” Niskala mencoba mencari alasan sekenanya. Padahal taman itu dipenuhi oleh lampu-lampu kecil yang berpijar dengan cahaya kekuningannya.

“Ada hal yang sedang anda sembunyikan. Jangan mencoba untuk membohongi saya, anda tidak akan bisa.” Nana mengulurkan teh hangat yang baru saja ia buat untuk menemaninya menikmati udara dingin malam ini. Gadis itu menerimanya dan langsung meneguknya perlahan. “Anda butuh pendengar? Saya siap mendengarkan semua cerita anda.”

Niskala menatap psikiater itu sejenak. Seolah ia tengah memastikan apakah orang di hadapannya ini dapat dipercaya atau tidak. Lantas ia mengangguk dan berkata, “Aku ingat siapa itu Kavi. Aku akan ceritakan, tapi tolong percayalah. Meski akupun tak percaya dengan apa yang ingin kuceritakan.”

“Saya akan dengarkan.”

Dan cerita itu akhirnya mengalir bersama rasa sakit yang menyembilu ngilu dalam kalbunya. Niskala menceritakan segala yang telah terjadi persis seperti yang ia ingat sejak nama Auriga Kavi disebut hingga nama itu terukir membersamai jiwanya. Juga sekawanan kunang-kunang yang datang disusul cahaya menyilaukan yang menyeretnya, itulah memori terakhir dalam kepalanya yang langsung melompat pada hari di mana ia telah tersadarkan dari koma.

Tak lupa ia juga menceritakan apa yang terjadi padanya sesaat yang lalu, hingga ia hampir saja jatuh. Perihal sosok Kavi yang datang tanpa sapa apalagi kata, lantas pergi hirap tanpa pesan untuk jiwa yang digerogoti sepi.

Nana menjadi pendengar yang baik tanpa berkomentar sedikitpun saat gadis itu bercerita banyak hal. Saat gadis itu kembali meneguk teh yang diberikannya dan hanya terdiam, sepertinya ia telah berada di ujung cerita. Barulah pemuda tersebut mengungkapkan unek-uneknya. “Saya sudah berada di sini sejak beberapa menit yang lalu, memerhatikan anda yang melamun sendirian. Saya sempat heran saat anda bangkit dengan seruan tertahan. Sayangnya, saya tidak melihat ada orang lain di taman ini selain anda dan saya tentunya.”

HAPPY READING

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 89.8K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
3.1M 45.2K 31
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
3.3M 34.1K 30
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.4M 35.4K 48
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...