My Lovely Ghost | SELESAI

rsdtnnisa

4.5K 228 0

Banyak orang berkata, tidak ada yang abadi di dunia. Apakah cinta juga termasuk dalam sesuatu yang akan sirn... Еще

Part 1 : Rumah Oma
Part 2 : Hari baru
Part 3 : Gangguan
Part 4 : Siapa kamu?
Part 5 : Di sini
Part 6 : Teman
Part 7 : Dekat
Part 8 : Danau
Part 9 : Rindu
Part 10 : Kedatangan
Part 11 : Setelah datang
Part 12 : Hadir
Part 13 : Bunga Ilalang
Part 14 : Pasar
Part 15 : Cerita danau
Part 16 : Rasa?
Part 17 : Bolos
Part 18 : Foto
Part 19 : Cerita?
Part 20 : Kilas balik
Part 21 : Cemburu
Part 22 : Teman lama
Part 23 : Sinar bulan
Part 24 : Bu Hana
Part 25 : Rumah
Part 26 : Foto yang sama
Part 27 : Kecewa
Part 28 : Chandra dan Liam
Part 29 : Pernyataan
Part 31 : Pergi?
Part 32 : Menjadi bulan
Part 33 : Extra : Awal yang baru

Part 30 : Kilas balik (2)

102 6 0
rsdtnnisa

- • Happy Reading • -

Pemandangan pagi hari yang tidak seperti biasanya kini ia lihat di depan mata.

Mungkin hal ini akan menjadi berita mengejutkan bagi kelas mereka yaitu, Alya dan Bagas resmi berpacaran.

Diam-diam mereka merahasiakan hubungan sejak kemarin karena takut menjadi bahan omongan teman-teman, tapi sepertinya rahasia mereka tidak bertahan lama.

Pasangan baru itu tidak terlalu menampakkan keromantisan, hanya saja Bagas yang terus menempel pada Alya yang sedang mengerjakan PR.

Hari ini Aesa mengalah dan membiarkan Bagas duduk di bangkunya karena tak ingin mengganggu masa kasmaran mereka.

Alya merasa tidak enak pada Aesa namun gadis itu mengangguk saja berusaha meyakinkan.

Sebenarnya Aesa tak masalah dengan itu malahan dia bisa tidur sepanjang hari jika duduk di bangku Bagas yang ada di pojok belakang.

Kebetulan sekali Aesa duduk sendiri tanpa adanya teman sebangku Bagas. Suasana di bangku belakang terasa berbeda, tapi Aesa yakin dia akan menikmatinya.

Toh, cuma sehari. Jika besok Bagas masih saja duduk di bangkunya, maka akan dia usir pemuda itu.

Gadis itu melihat ke luar jendela yang mengarah ke area parkir sepeda dan motor siswa, merenung sambil memikirkan tentang Indah yang kini seperti menjauhinya.

Sejak kembali dari danau, Indah berubah. Aesa saja berangkat sendiri pagi ini karena Indah sudah lebih dulu berada di sekolah, begitu juga sebaliknya.

Semoga saja Alya tahu sesuatu sehingga ia bisa menanyakannya pada Alya, Aesa berharap tak ada masalah diantaranya dan Indah.

Nyaring suara bel sekolah berbunyi tanda jam pelajaran pertama akan dimulai. Tidak banyak materi yang disampaikan pada hari ini, hanya latihan soal dan beberapa PR untuk persiapan ulangan minggu depan.

Tak terasa sudah setengah tahun Aesa berada di desa ini. Selama itu juga dia banyak mendapatkan pengalaman baru dari teman-teman dan orang terdekat, juga dari sesosok hantu baik yang berhasil membuat Aesa jatuh hati.

Mengingat tentangnya membuat Aesa harus segera menghapus perasaan ini, perasaan yang muncul tanpa sadar diantaranya dan Chandra.

Selama pelajaran berlangsung, beberapa kali Aesa melirik bangku kosong di sampingnya. Teringat saat Chandra datang mengejutkannya dengan tiba-tiba duduk bersamanya.

Namun, sekarang tidak. Aesa berganti melirik Indah yang sama sekali tidak melihatnya sejak pagi tadi, gadis itu seperti tak acuh seolah tidak pernah mengenal Aesa.

"Es? Aesa!".

Matanya berkedip tersadar dari lamunan saat suara nyaring Pak Dio mengundang seisi kelas menatap kearahnya.

"I-iya, Pak?".

"Golongan 1A itu apa saja?" Pak Dio mengulang pertanyaannya, "Coba sebutkan tiga".

"Hidrogen, Natrium" dahi Aesa mengernyit mengingat-ingat isi buku yang dia baca semalam, "Kalium".

Pak Dio menjentikkan jarinya, "Bagus!".

Aesa tersenyum lega, Pak guru dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kembali melanjutkan sesi bicaranya.

Karena sudah berhasil menjawab pertanyaan mendadak dari Pak Dio, Aesa memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak.

***

Entah mengapa hari ini kantin sangat ramai sampai tak sedikit gerombolan siswa yang berdiri di dekat pintu masuk karena menunggu untuk bergantian meja.

Aesa yang tadinya datang bersama Alya dan Anis lantas mengurungkan niatnya, melihat orang sebanyak itu makan membuatnya ikut kenyang.

"Aku mau ke kelas" ujar Aesa, "Kalian masih mau di sini?" tanyanya pada Alya dan Anis.

"Ke koperasi aja yuk!" ajak Anis, "Cuma dapet roti juga gak apa-apa, udah laper nih".

"Melu, Es?" tanya Alya.

Aesa menggeleng, "Kalian aja, duluan ya" ia berjalan lebih dulu meninggalkan kantin.

Gadis itu berjalan sendiri menyusuri lorong menuju ke kelas, Aesa tersenyum melihat keadaan kelas dari balik kaca jendela sudah ada Indah di dalam sana.

Aesa masuk dan menyapa tapi Indah hanya melirik tanpa bicara. Hal itu membuat Aesa geram, "Lo kenapa sih, Ndah?!" marahnya saat itu juga.

"Cara bicara kamu itu, di sini kurang sopan" balas Indah.

"Yang gak sopan itu lo!" sahut Aesa.

Kedua tangan Aesa yang ada di atas meja mengepal, "Kalau ada masalah tuh ngomong! Lo kok jadi beda kayak gini sih?".

"Indah yang gue kenal gak pernah mengabaikan orang lain" tekan Aesa bicara tepat di depan wajah si empu.

Indah menggeleng, "Aku gak mau berurusan sama kamu dan teman-teman hantu kamu itu".

"Teman-teman hantu?" beo Aesa bingung.

"Karena mereka kamu jadi suka ke taman belakang" ujar Indah, "Aku tau, Es".

Indah berdiri merogoh saku rok abu-abunya lalu mengeluarkan ponsel untuk menunjukkan sesuatu pada Aesa.

Ponsel dengan layar yang menunjukkan gambar dimana Aesa duduk memeluk sesuatu yang tak nampak itu Indah perlihatkan langsung pada gadis di depannya ini.

"Itu, bukan-".

"Bukan apa? Bukan hantu?!" potong Indah, "Hampir semua siswa di sini tuh tau kalau taman belakang tuh aneh, angker".

"Dan kamu betah ada di sana" lanjutnya.

"Kamu gak tau apa-apa, Ndah" balas Aesa tajam.

"Dia gak kayak yang kamu pikirin".

"Terus apa yang kamu pikirin? Bisa-bisa kamu berhubungan sama makhluk tak kasat mata yang jelas-jelas berbahaya!" Indah meninggikan nada bicaranya, "Sadar, Es! Kurang iman kamu itu".

"Chandra gak jahat!".

Suara nyaring bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi, seluruh siswa kembali kelas masing-masing.

"Aku tau ini salah, Ndah" ucap Aesa pelan, "Coba tanya Budhe, jangan salah paham kayak gini".

Gadis itu kemudian berjalan kembali ke bangkunya seiring dengan kelas yang mulai ramai.

Indah duduk kembali lalu menoleh ke belakang menatap Aesa yang sudah meletakkan kepalanya di atas meja dan menyembunyikan wajahnya pada lipatan lengan.

Ia sebenarnya takut, Indah sangat tidak menyukai 'mereka' dan saat melihat Aesa berbicara sendiri di taman belakang membuatnya langsung ketakutan, tak ingin terlibat sehingga perlahan Indah mulai menjauhi Aesa.

Sang surya telah sampai di ufuk barat mengubah cahayanya menjadi merah jingga yang terlukis di kanvas langit membuat terlihat indah.

Sepasang sepatu hitam itu membawa kaki seorang gadis berjalan kembali ke rumah, rasanya lelah setelah seharian menghabiskan waktunya untuk di sekolah.

Andai saja dia tidak menjauhi Aesa, pasti kini dia tidak berjalan sendiri. Indah merasa bersalah, mungkin tak seharusnya dia kasar terhadap sahabatnya itu.

Ia bergegas pulang sebelum hari mulai gelap, pintu rumahnya di ketuk sembari mengucap salam.

"Lagi mantuk, Nduk?" Asih membuka pintu lebar untuk anaknya yang sedang duduk di teras sambil melepas sepatu.

"Enggeh" balas Indah lalu bangkit dan menyalami Ibunya, "Bu, Indah mau ngomong sesuatu".

"Mau ngomong apa?" tanya Asih penasaran.

"Mangkeh" jawab anak itu kemudian berlalu masuk ke dalam rumah, "Indah mau mandi dulu".

"Cepat ya, Ndah" seru Asih, "Keburu magrib".

Ibu satu anak itu kemudian masuk ke dalam rumah setelah merapikan rak sepatu. Asih melanjutkan kegiatannya melipat baju di ruang tengah sambil menunggu adzan magrib berkumandang.

Cahaya jingga perlahan mulai memudar seiring dengan munculnya sang rembulan yang mengubah langit menjadi gelap berkelip bertaburkan bintang-bintang.

Indah melipat mukenanya dengan rapi dan memasukkannya kembali ke dalam lemari, ia duduk di tepi ranjang lalu meraih ponsel yang ada di atas bantal.

Tak ada satu pesan pun dari Aesa, sebelum kejadian tadi gadis itu berusaha menghubunginya sekedar memastikan bahwa pesannya telah sampai.

Indah beranjak meletakkan ponselnya di atas meja belajar kemudian keluar dari kamar, "Bu!" panggil gadis itu.

"Rene loh! Nonton TV sama Ibu!" sahut Asih dari ruang tengah.

Indah menuju ke sumber suara dimana sang Ibu sedang duduk bersandar pada dinding sambil menonton sinetron kesukaannya.

Asih berdecak saat televisi menayangkan iklan, "Tadi mau ngomong apa?" tanyanya pada Indah yang sudah duduk di sampingnya.

Indah mengambil bantal kecil untuk diletakkan di atas lipatan kakinya memberi kenyamanan, "Indah takut Ibu marah".

"Memang Ibu pernah marah sama kamu?".

Dengan polosnya Indah mengangguk, Asih kesal dibuatnya lalu melayangkan tamparan kecil pada lengan anak gadisnya itu.

Indah meringis singkat, "Ibu kenal Chandra?".

Mimik wajah Asih yang awalnya kesal berubah terkejut mendengar pertanyaan Indah, "Reti soko ngendi loh, Nduk?".

"Aesa" jawab Indah ragu.

Asih menghela nafas lega, "Kamu ingin tau tentang dia?".

Indah menceritakan secara singkat kejadian di sekolah tentang pertengkaran kecilnya dengan Aesa yang menjalar sampai membawa sosok bernama Chandra.

"Gak ada yang benar atau salah diantara kalian" ujar Asih setelah mendengar cerita anaknya, "Soal Chandra, mungkin bisa Ibu ceritakan sedikit".

Malam itu turun hujan, anginnya mengamuk bersama gemuruh yang saling bersahutan di atas sana.

Asih berdiri di ambang pintu menunggu dengan cemas sang Ibu yang tak kunjung pulang ke rumah.

Saat hendak menyusul ke gapura desa, dari kejauhan terlihat seorang wanita yang mirip Ibunya tengah berjalan di tengah derasnya hujan bersama seseorang yang tertutup oleh payung.

"Ibu!" Asih menyambut kedatangan sang Ibu dengan gembira, lega rasanya setelah khawatir sejak pagi tadi.

"Carikan baju buat anak ini ya" pinta Oma Sari pada putrinya sulungnya.

Asih menatap laki-laki yang menundukkan kepalanya sambil meremas tas sekolah yang dia jinjing.

"Ayo masuk" ajaknya.

Anak laki-laki itu basah kuyup dan masih lengkap mengenakan seragam sekolahnya, bagaimana dia bisa datang bersama dengan Ibunya?.

"Cepat mandi, biar gak masuk angin".

Laki-laki itu menurut saja, Asih meninggalkannya untuk mencarikan baju.

Keluar dari kamar, Asih menghampiri sang Ibu yang duduk di kursi teras sekedar untuk bertanya.

"Anake sinten niku, Bu?" tanya Asih, "Kok iso sampai sini bareng sama Ibu?".

"Nanti saja Ibu ceritakan" jawab Oma Sari, "Sudah mandi dia?".

Asih hanya mengangguk kemudian kembali masuk ke dalam rumah, ia menyampaikan pada laki-laki yang masih di kamar mandi bahwa baju ganti sudah Asih gantung di gagang pintu.

Hujan mulai mereda disusul awan yang kembali memutih dan langit yang semakin cerah. Di rumah sederhana kini dia berada, makan bersama orang asing yang belum dia kenal dengan baik.

"Ini Asih, putri Oma" Oma Sari memperkenalkan anaknya, "Walaupun bukan Oma yang melahirkannya, tapi dia tetap putri Oma".

Oma Sari melihat ke arah Asih lalu kembali menatap anak laki-laki di sampingnya, "Ini Chandra".

"Dia ingin tinggal di desa bersama Oma, jauh dari hiruk-pikuk kota dan polusi udara"

"Gimana kalau orang-orang tau?" tanya Asih.

"Bilang aja Chandra ini adik atau ponakan kamu" jawab Oma Sari enteng, "Bapak kan istrinya banyak, jadi gak ada yang curiga".

Chandra sedikit terkejut dan hampir tersedak saat mendengarnya, untung ia segera mengambil air dan meminumnya.

"Panggil saja anak Oma ini, Budhe" ucap Oma Sari pada Chandra yang hanya diangguki saja oleh anak itu.

"Sekarang kamu istirahat di kamar sebelah kiri, Oma juga mau tidur".

Chandra yakin akan betah berada di sini, mereka semua orang-orang baik.

Sejak itu Chandra mulai membiasakan diri hidup di desa, dia sering diajak berangkat ke sekolah bersama oleh seorang laki-laki yang dua tingkat di bawahnya.

Terkadang mereka menghabiskan waktu bersama karena hanya dia satu-satunya teman Chandra sampai Oma Sari memutuskan untuk Chandra masuk ke asrama.

"Siapa temen Chandra itu, Bu?" Indah memotong cerita Ibunya tiba-tiba dengan pertanyaan.

Asih tertawa kecil, "Kamu pasti tidak menduganya".

"Siapa, Bu?" Indah merengek.

"Mas Joko" jawab Asih.

Asih melanjutkan ceritanya mengabaikan keterkejutan Indah. Ia juga berpesan pada Indah untuk bicara saja pada Aesa tentang cerita ini jika semisal gadis itu bertanya.

Kehidupan Chandra berangsur membaik, dia nyaman berada di asrama bersama teman-teman seangkatannya yang terkadang menghasut untuk ikut melompati tembok hanya sekedar untuk makan di warung tempat biasa mereka nongkrong di belakang sekolah.

Masa SMA yang menyenangkan, tanpa adanya bully-an seperti di sekolahnya dulu.

Sampai di suatu hari, Chandra meminta pada Oma Sari untuk mengantarnya kembali ke kota.

Sang Ibu menghubunginya mendesak Chandra untuk segera pulang, pemuda itu murung dan tidak pergi ke sekolah selama beberapa hari.

Asih masuk ke dalam kamar untuk memeriksa keadaan Chandra, tubuh anak itu terasa dingin tapi juga panas.

Oma Sari menatap khawatir dari ambang pintu karena semalaman Chandra mengeluh sakit pada kepala dan perutnya.

Dan sekarang pemuda itu terbaring tak berdaya di atas kasur sambil terus meringis menahan sakit.

Oma Sari menghubungi keluarga Chandra tanpa meminta mereka untuk datang sesuai keinginan anak laki-laki itu.

"Setelah itu, Oma yang rawat Chandra" ujar Asih menoleh pada putrinya yang masih menyimak, "Ibu jadi bisa lebih sering nengok kamu di puskesmas".

Indah menunjuk dirinya sendiri, "Indah? Di puskesmas?".

Asih mengangguk, "Saat itu kamu juga sakit, demam berdarah".

"Terus, Bu?" Indah penasaran dengan kelanjutan cerita Ibunya.

Asih mengingat-ingat, "Sehari sebelum ujian kelulusan, Chandra pergi".

Indah sedih mendengarnya. "Ibu juga kaget pulang dari puskesmas langsung lihat Oma nangis" lanjut Asih membuatnya berkaca-kaca.

"Seminggu setelahnya, keluarga Chandra datang ingin mengambil jasad anaknya" Asih menghapus air matanya, "Tapi Oma melarang dan membuat palang di dekat danau agar tidak ada yang mengacau peristirahatan Chandra".

PRANGG!

Suara yang berasal dari sebuah benda yang terjatuh itu berhasil mengejutkan keduanya. Mereka menoleh mendapati seorang gadis yang menangis sambil menutup wajahnya.

"Es!".

***

- • To be continued • -

Melu
(Ikut).
Lagi mantuk
(Baru pulang).
Enggeh
(Iya).
Mangkeh
(Nanti).
Rene
(Sini).
Reti soko ngendi
(Tahu dari mana).
Anake sinten niku
(Anaknya siapa itu).
Kok iso
(Kok bisa).

Thanks for the vote and comment

Продолжить чтение

Вам также понравится

ARGALA 𝑵𝑨𝑻𝑨✨

Подростковая литература

6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
866K 32.4K 14
Anjani, ketua Komunitas Hewan Melata ini dinyatakan hamil 13 minggu oleh dokter kandungan, padahal ia merasa masih perawan dan belum perhubungan bada...
NISKALA [ on going ] kala

Подростковая литература

142 97 17
Tepat setelah kata "sah" di serukan para tamu, Agni Priyanka dan Tirta Abigail resmi menjadi sepasang suami istri. menyisakan sesak di hati seorang g...
121K 13.5K 53
Dia berasal dari Pulau Sirenum Scopuli, Italia. Parasnya ayu bak dewi Yunani. Namun tak ada yang tau, apakah hatinya seindah wajahnya, ataukah tidak...