Diana, Sang Pemburu Badai

By Winnyraca

143K 33.5K 2.5K

Tamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak ma... More

1. Permulaan
2. Anak Kunci
3. Tyo
4. Penjelasan
5. Yang Bisa Dia Percaya
6. Sang Wartawati Genit
7. Pria Dari Jauh
8. Ponsel Ibu
9. The Escort Lady
10. Ada Apa Dengan Saskia?
11. Deposit Box
12. Penjelasan Ibu
13. Target
14. Tyo dan Yoyo
15. Puber Kedua
16. Diincar
17. Begundal Tampan
18. Penguntit
19. Tyo Yang Berdedikasi
20. Apakah Dia Ditolak?
21. Saya Yang Lebih Dulu Jatuh Cinta
22. Preman Kegelian
24. Teman Yang Galak
25. Teruslah Bersamaku Apa Pun Situasinya
26. Membantu Menenangkan
27. Politisi Yang Tidak Sebersih Itu
28. Memeriksa Fakta
29. Motif Hadi Tanusubroto
30. Menyingkirkan Keraguan
31. Alasan Sebenarnya
32. Kebimbangan Sisa Mas Lalu
33. Agenda Rahasia Hadi Tanusubroto
34. Mertua Berto
35. Pacar Terkeren
36. Kekecewaan Tyo
37. Sikap Tyo Yang Aneh
38. Kekasih Yang Cerdas
39. Berhadapan Dengan Bram
40. Benang Kusut
41. Rencana Utomo
42. Delapan Tahun Lalu
43. Keamananmu Prioritasku
44. Kekasih Yang Mengenalnya Dengan Baik
45. Lena
46. Genting
47. Saran Lena
48. Mewawancara Herman Bulaeng
49. Tindakan Bram
50. Pembunuh
51. Pengorbanan Tyo
53. Selamat
54. Siapa Yang Menolong Tyo?
55. Bambang
56. Membaca Taktik Hadi
57. Gue Marah, Jo!
58. Rencana Utomo
59. Informasi Yang Menimbulkan Harapan
60. Memancing Di Air Keruh
61. Diana Dalam Bahaya!
62. Bumerang
63. Diana-Pemburu Badai
64. Mengungkap Tabir Kekuasaan
Akhir Kisah-Awal Baru

52. Hanya Tiga Mayat

1.4K 431 32
By Winnyraca

Met Rabu siang!

Ada yang deg-degan nunggu kabar Tyo, Didi, dan Bejo? Tadinya eike iseng mau apdet tengah malem nanti aja, heheheh. Gak jadi deh.

So, cekidot.

BAGIAN LIMA PULUH DUA: HANYA TIGA MAYAT

Diana membuka pintu mobil untuk Bejo yang dengan hati-hati menaruh tubuh Marini yang terkulai. Setelah yakin Marini aman, Bejo beralih menopang tubuh Diana yang mendadak terjatuh karena lemas.

“Didi, bangun. Kita harus pergi,” kata Bejo, gemetaran. Hidungnya bisa mencium bau kencingnya sendiri dan sebetulnya dia malu, tapi untunglah otaknya masih bekerja. Dia sadar, saat ini bahaya sedang mengincar, tidak boleh berlambat-lambat.

Diana menggeleng lemah. “Tyo, Jo,” bisiknya sambil menangis. “Tunggu Tyo.”

“Tyo suruh kita pergi, Di,” sahut Bejo.

Diana terus menggeleng dan melihat ke arah pintu rumah besar di atas sana. Tatapannya bertemu dengan Ferdy yang berdiri ragu, memandangnya dengan sorot mata dingin yang aneh. Tangis Diana pun pecah. Dia tahu, sesuatu telah terjadi kepada Tyo, karena pembunuh itu sendirian.

“Didi, ayo!” Bejo menguatkan hati dan mendorong Diana masuk. Dia sendiri berlari dengan perasaan tegang menuju kursi pengemudi, lalu menyalakan mesin mobil dan membawa mereka pergi dari situ.

*****

Diana menggigit bibir hingga berdarah, setengah mati menahan tangis dalam diam, sementara Bejo mengemudi dengan pikiran kacau. Mereka saling membisu, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kita ke rumah sakit terdekat dulu, ya, Di? Ibu perlu dokter,” kata Bejo, memecah kebekuan.

Diana mengangguk. “Iya.” Dia menoleh kepada sahabatnya dan berusaha bicara tenang dalam usaha menahan tangisnya. “Makasih udah nyelametin Ibu, ya, Jo. Makasih karena lo enggak ninggalin gue.”

Bejo menyeka air mata yang mengalir. “Jangan ngomong gitu. Gue temen lo, kan?” Dia melirik ke spion, memeriksa apakah ada yang mengikuti. “Gue minta maaf karena enggak bisa nunggu Tyo, ya, Di. Gue takut, dan enggak ada yang bisa kita kerjain selain nambah beban dia kalo tetap di sana.”

Tangis Diana pecah. Dia menutup wajahnya dan sesenggukan. “Tyooo!” panggilnya, sedih.

Bejo ikut terisak. Tidak mampu membayangkan bagaimana nasib pria seram yang selalu melindunginya dan Diana itu. Pembunuh tadi benar-benar mengerikan, bahkan Tyo pun terlihat kesulitan melawannya.

“Tyo pasti selamat, Di. Dia hebat,” hiburnya, juga kepada diri sendiri, sambil menangis.

Tangis Diana makin keras. Mulutnya terus memanggil nama Tyo dengan putus asa, membuat Bejo semakin merasa sesal menindih benaknya. Dia tidak punya pilihan.

******

Bagaimana keadaan Tyo sekarang? Apakah dia … ah, memikirkan ke arah sana Diana sudah tidak mampu. Apalagi, saat ini pikiran dan perhatiannya terbagi dengan sang ibu, yang sedang berjuang antara hidup dan mati di ruang operasi. Membuatnya semakin merasa tersiksa karena harus menunggu dalam ketidakpastian.

Diana duduk di ranjang rumah sakit dengan benak kalut. Setengah mati berusaha mengumpulkan segenap serpihan dirinya. Rasanya dia tidak utuh, hancur lebur menjadi beberapa bagian, dan sulit untuk menyatukan dirinya kembali. Rasa kehilangan, ketakutan, kesedihan, dan kemarahan yang entah harus dilampiaskan kepada siapa, membuat seseolah-olah ada lubang menganga di benaknya. Dia putus asa. Tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, dia ingin segera mengetahui bagaimana nasib Tyo, sedangkan di sisi lain, dia juga tidak ingin sampai melewatkan sesuatu tentang kondisi ibunya.

Sempat tertangkap telinganya, di tengah kekalutan, seorang nakes mengatakan kalau terlambat sedikit saja, maka Marini tidak akan selamat. Beliau dalam kondisi overdosis obat terlarang, luka di kepala akibat benda tumpul juga dalam kondisi sangat buruk. Marini banyak kehilangan darah, dan harus menjalani transfusi beberapa kantong darah. Membuat Diana tahu, dia memang tidak punya pilihan.

Kondisinya sendiri tidak kalah buruk. Beberapa luka di tubuhnya memerlukan pengobatan bahkan jahitan. Untunglah tidak ada tulang patah meski pembunuh tadi sempat melemparkannya sampai tiga kali. Sempat histeris karena kesedihan luar biasa, Diana akhirnya bisa tenang setelah perawat memberinya penenang. Meski, dia menolak untuk tidur dan memilih duduk sambil termenung dengan hati hancur.

Bejo sudah pergi ke kantor polisi usai mengganti pakaiannya yang berbau pesing, meninggalkannya dalam kesendirian dan sesal yang terasa begitu berat. Kenapa sejak awal dia harus mencari gara-gara dengan mereka yang terlalu berkuasa? Bukankah ayahnya saja gagal? Apakah dia sudah bersikap begitu arogan sehingga akhirnya ibu dan kekasihnya jadi korban?

“Di, kamu enggak pa-pa?”

Pertanyaan dari suara yang dikenalnya, membuat Diana mendongak. Matanya mendapati seraut wajah yang dikenalnya, dan tangis kembali pecah. “Ora!” panggilnya dengan suara serak.

Ora meraihnya ke dalam pelukan, sedikit membungkuk dengan susah payah karena perutnya yang mulai menyembul oleh kehamilan. Di belakang Ora, suaminya yang merupakan perwira polisi, mengusap punggung sang istri, lalu menepuk bahu Diana untuk menunjukkan simpati. Kemudian, pria gagah itu sedikit memberikan ruang kepada mereka berdua, sambil meneruskan percakapan yang kelihatan penting di telepon. Beberapa kali dia menyebutkan nama Diana kepada lawan bicaranya, tapi yang punya nama sama sekali tidak menyadari.

Beberapa saat Diana menangis dalam pelukan satu dari sedikit teman yang dianggapnya sahabat, sampai akhirnya dia lelah sendiri dan mulai kembali termenung. Ora duduk di depannya. Menunggu dengan sabar sampai Diana siap untuk bercerita.

“Mereka menyiksa Ibu sampai begitu, Ra. Apa mereka enggak punya ibu? Di mana otak mereka? Enggak pada punya perasaan, gitu?” Keluhan akhirnya keluar dari mulut Diana.

Ora menggenggam tangannya, menghiburnya meski tidak mengatakan apa pun.

“Apa aku salah, karena enggak bersimpati sedikit pun waktu mereka dibantai?” Kembali, Diana bicara. Kali ini dengan nada penuh dendam.

Ora menepuk punggung telapak tangannya. “Mereka mendapatkan hukuman mereka langsung, Di,” sahutnya.

Diana tertawa kecil, pahit. “Tapi kamu pasti berpikir, bukan mereka otak dari kejadian ini, jadi hukuman yang mereka terima terlalu berat dibanding yang memberikan perintah, kan? Kamu pengacara, dan banyak dari mereka yang kamu bela, adalah orang jahat.”

Ora berkedip lambat, perubahan pada ekspresinya membuat Diana langsung menyesal telah menjadikan perempuan dingin dan jutek meski baik hati  itu sebagai pelampiasan frustrasinya.

Sorry. Enggak seharusnya aku ….”

“Hei, enggak masalah,” sela Ora. “Aku ngerti, oke?”

Diana membisikkan terima kasih, dan menyeka air matanya yang berlinang. Beberapa saat dia terdiam sebelum kemudian kembali bicara dengan suara tersendat. “Aku … aku dan Bejo … kami ninggalin Tyo di sana. Mungkin … Tyo … Tyo … udah ….”

Ora bangkit dan kembali memeluknya, tangis kembali pecah. Diana menumpahkan segenap rasa sesak di dalam pelukan sahabatnya. Waktu berlalu, cukup lama sampai Ora merasakan kakinya pegal, tapi tak tega menghentikan tangis Diana. Akhirnya, Diana sendiri yang menyadari kalau sudah membuat Ora lelah. Dia melepaskan diri dari pelukan Ora sambil melirihkan maaf.

Keheningan kembali menggantung, Diana tenggelam dalam pikirannya sendiri, sementara Ora tahu kalau kehadirannya dibutuhkan meski dalam keadaan diam. Menit berlalu, Diana pun mulai merasa tenang karena kehadiran Ora dan suaminya. Otaknya mulai kembali jernih dan bisa mengingat kembali kejadian yang baru dialaminya dengan lebih jelas. Sesuatu melintas dalam pikirannya, dan dia mengerutkan kening, bingung. Dia meremas jemarinya sendiri dan memandang Ora.

“Ada yang bikin aku enggak habis pikir, Ra,” katanya ragu.

“Apa?” tanya Ora.

“Itu. Kenapa laki-laki yang datang belakangan itu bukan cuma membunuh bajingan-bajingan yang nyulik Ibu, tapi dia juga ingin membunuh Ibu, aku, Bejo. Kalau aja Tyo enggak datang, kami mungkin udah mati. Siapa orang itu?”

“Ehem!” Deham suami Ora, yang sejak tadi berdiri dalam kesunyian, membuat Diana dan Ora menoleh. Perwira tampan dan gagah itu mendekat dan memandang Diana. “Kalau saya menanyakan beberapa hal pada Mbak Diana, apakah sudah bisa?” tanyanya, tenang dan peduli.

Diana mengerjap. “Tanya apa?” Dia balik bertanya.

AKBP Bayu, nama suami Ora, mengambil bangku lain dan duduk. Sejenak menimbang apa saja yang harus ditanyakan. “Mbak Diana bilang, ada seseorang bernama Tyo, yang melawan pembunuh misterius, berarti total korban kira-kira ada lima orang, betul?”

Diana mengingat sejenak. “Yang saya lihat betul-betul terkapar berlumuran darah itu ada tiga orang, Pak Kapolres, lalu Tyo juga terluka parah, tapi terakhir dia masih melawan pembunuh itu. Kemudian, ada satu orang terluka di kamar sebelah tempat ibu saya disekap. Tapi, yang melukai orang itu, saya, dan dia masih hidup terakhir kami tinggalkan tubuhnya.”

Bayu mengangguk-angguk. “Berarti betul-betul lima seharusnya.”

“Memangnya kenapa, Pak Kapolres?” tanya Diana, heran.

Bayu menatapnya. “Polisi yang datang ke TKP hanya menemukan empat orang di sana. Tiga orang tewas, dan satu orang dalam keadaan syok. Tapi korban satunya, yang Mbak Diana dan Mas Rizky identifikasi sebagai ‘Tyo’ tidak ditemukan. Makanya, tadi pihak reskrim menghubungi saya karena tahu saya akan menemui Mbak Diana bersama istri.”

Diana termangu. Tyo hilang? Apakah dia tewas, atau … diculik? Tak sadar dia mulai gemetaran, tapi dengan sigap, Ora memeluknya.

“Jangan berpikiran negatif dulu,” bisik Ora. “Tetap positif dan berharap.”

Tetap positif dan berharap? Diana tertawa pahit, lalu perlahan, tawanya berubah histeris. Kesedihan kembali menyerangnya.

Bersambung.

Gimana kelanjutannya? Tunggu Senin depan yak. Buat yang keburu gemes, ada tuh di Karyakarsa.  Udah ampe tamat, malah.

Sampe ketemu di episode berikutnya, maacih udah mampir.

Winny
Tajurhalang Bogor 17 Mei 2023

Continue Reading

You'll Also Like

517K 3.5K 74
Beberapa cerita yang aku rekomendasiin buat referensi kalian
261K 2.4K 5
[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN] [...
911K 23.9K 6
[DIHAPUS - Bisa dibaca lengkap di aplikasi Dreame/Innovel] Ketika sistem kekebalan hati Rizkan menolak sesuatu yang dianggap berbahaya walaupun seben...
628K 46.5K 36
[15+] Apa jadinya jika bad boy bisa dipesan lewat aplikasi? Aku Erza Miller Pambudi yang luar biasa menawan dan menarik hati. Literally, sexy! Sebaga...