Diana, Sang Pemburu Badai

Av Winnyraca

143K 33.5K 2.5K

Tamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak ma... Mer

1. Permulaan
2. Anak Kunci
3. Tyo
4. Penjelasan
5. Yang Bisa Dia Percaya
6. Sang Wartawati Genit
7. Pria Dari Jauh
8. Ponsel Ibu
9. The Escort Lady
10. Ada Apa Dengan Saskia?
11. Deposit Box
12. Penjelasan Ibu
13. Target
14. Tyo dan Yoyo
15. Puber Kedua
16. Diincar
17. Begundal Tampan
18. Penguntit
19. Tyo Yang Berdedikasi
20. Apakah Dia Ditolak?
21. Saya Yang Lebih Dulu Jatuh Cinta
22. Preman Kegelian
24. Teman Yang Galak
25. Teruslah Bersamaku Apa Pun Situasinya
26. Membantu Menenangkan
27. Politisi Yang Tidak Sebersih Itu
28. Memeriksa Fakta
29. Motif Hadi Tanusubroto
30. Menyingkirkan Keraguan
31. Alasan Sebenarnya
32. Kebimbangan Sisa Mas Lalu
33. Agenda Rahasia Hadi Tanusubroto
34. Mertua Berto
35. Pacar Terkeren
36. Kekecewaan Tyo
37. Sikap Tyo Yang Aneh
38. Kekasih Yang Cerdas
39. Berhadapan Dengan Bram
40. Benang Kusut
41. Rencana Utomo
42. Delapan Tahun Lalu
43. Keamananmu Prioritasku
45. Lena
46. Genting
47. Saran Lena
48. Mewawancara Herman Bulaeng
49. Tindakan Bram
50. Pembunuh
51. Pengorbanan Tyo
52. Hanya Tiga Mayat
53. Selamat
54. Siapa Yang Menolong Tyo?
55. Bambang
56. Membaca Taktik Hadi
57. Gue Marah, Jo!
58. Rencana Utomo
59. Informasi Yang Menimbulkan Harapan
60. Memancing Di Air Keruh
61. Diana Dalam Bahaya!
62. Bumerang
63. Diana-Pemburu Badai
64. Mengungkap Tabir Kekuasaan
Akhir Kisah-Awal Baru

44. Kekasih Yang Mengenalnya Dengan Baik

1.6K 396 29
Av Winnyraca

Met malem Senin, selamat lebaran buat mantemans eike, umat Islam. Mohon maaf lahir batin ya.

So, Diana dan Mas Tyo indehaus, siap nemenin kamu yang lagi liburan ataupun lagi kena macet di jalan. Daripada kesel, cuss, ikutin aja petualang couple jagoan ini.

Oh ... bentar lagi udah mau mulai, yak. Eike bakal mendongeng buat kalian di podcast punya Wattpad dan Spotify di Spotify. Dongengnya cerita baluùuuuu!

Tungguin, ya. Sekarang, enjoy.

BAGIAN EMPAT PULUH EMPAT: KEKASIH YANG MENGENALNYA DENGAN BAIK

“Ibu oke, aku sementara tinggal di rumah kalian dulu?” tanya Tyo sambil menempelkan kapas antiseptik di lukanya melalui leher kemeja. Dia baru selesai mandi dan sedikit kesulitan untuk mengganti perban.

Diana mendekat dan mengambil alih perban dan gunting dari tangannya. Dengan cekatan dia mencopot lebih banyak kancing kemeja Tyo, lalu menyibak pakaian pria itu untuk mempermudah membalut lukanya, tapi Tyo langsung menahan tangannya.

“Kamu mau apa, Di?” tanyanya, waspada.

Diana membelalak. “Bawel! Mau perban luka aja pake nyelipin tangan ke leher baju, buka sekalian! Kayak perawan aja pake malu-malu,” omelnya. Dia menarik kemeja Tyo, menurunkannya hingga memampangkan bahu kekar pria itu yang terluka.

Sedikit tersipu malu, Tyo melihat ke arah lain. “Aku kan enggak enak kalau Ibu lihat aku setengah telanjang, Di,” kilahnya.

Dia mendengkus. “Cuma pundak, Tyo, itungannya belum telanjang. Lagian, kamu telanjang enggak boleh di sini, di kamarku aja. Aw!”

Sebuah ketukan di kepalanya membuat Diana menoleh. Tatapannya langsung bertemu pelototan ibunya. Meringis, dia mengusap kepalanya yang terasa lumayan sakit bekas jemari keras Marini.

“Saru! Anak gadis kok kegatelan kayak gitu!” tegur sang ibu.

Diana langsung merengut. “Bercanda, Bu,” kilahnya. Dia mengoleskan antiseptik di luka Tyo yang tertunduk sambil menelan ludah, takut, lalu membebatnya rapi dengan perban. Setelah selesai, dimasukkannya semua peralatan pengobatan ke dalam sebuah kantong, dan diambilnya pil yang diberikan dokter, disodorkannya kepada Tyo.

“Diminum sekarang,” perintahnya, tegas.

Tyo menggeleng. “Aku harus jaga-jaga, Di. Takut ngantuk,” tolaknya.

Diana membelalak. “Ngantuk ya tidur, masih ada satpam di depan kalau soal jaga, enggak sembarangan juga mereka menyerbu ke sini kayak waktu itu, semua pintu kan ada pengaman ganda?” katanya.

“Diminum, Mas. Jangan sampai semaput karena infeksi, nanti kamu diapa-apakan Didi, mau?” sela Bu Marini, yang membuat Tyo dan Diana terbatuk bersamaan.

“ibu!” Diana berseru, tak terima, tapi tangannya bergerak usil dan mencubit dada Tyo yang terlonjak kegelian. Ibunya langsung memutar mata.

Mau tak mau Tyo mengambil pil itu dan meminumnya, meski sebetulnya dia tidak ingin. Wajahnya merah padam karena malu, sementara Diana misah misuh sendiri, pura-pura. Padahal jelas sekali di wajahnya, dia mendadak bersemangat mendengar omongan sang ibu yang menimbulkan sebuah ide kreatif.

Sepertinya, mengganggu Tyo saat sedang tidur atau pingsan akan sangat seru!

“Ibu nih, kayak aku gatel banget gimana,” gerutunya, sok tersinggung.

“Memang iya, tho?” sindir ibunya. Beliau mengambil segelas air hangat, lalu duduk di hadapan Tyo dan menatapnya. “Kamu tidak masalah kalau harus melindungi kami juga, Mas? Tugas kamu sendiri berbahaya, lho?” tanyanya khawatir.

Tyo mengangguk tegas. “Saya sudah janji pada Bapak, juga kakak saya, untuk melindungi keluarga Bapak sampai kapan pun selama saya bisa,” jawabnya. “Apalagi, sekarang saya punya alasan yang lebih kuat, Bu.” Sambil mengatakan itu dia memandang Diana dan tersenyum, membuat Diana merasakan kepak sayap kupu-kupu di perutnya.

Astaga … kenapa harus senyum begitu, sih? Jadi deg-degan, kan? Tanpa sadar, Diana menggigit bibir. Tangannya bergerak menyentuh dada, merasakan debar jantungnya yang berubah cepat.

Marini tersenyum tipis. Ada sedikit kelegaan di wajahnya, meski sorot mata khawatir tetap memancar. Dia menyerahkan air hangatnya kepada Tyo dan menepuk punggung tangannya. “Tetap saja, Ibu berharap kamu jangan terlalu menantang bahaya, ya, Mas. Jangan mau diseret Didi, kamu justru harus mengontrol sedikit lajunya Didi karena dia betul-betul enggak punya rasa takut. Ibu yang takut.”

Tyo mengangguk dan menatap penuh kesungguhan. “Saya juga takut, Bu, kalau urusannya menyangkut Didi. Tapi, saya dan Didi sama, kami berdua kehilangan yang kami sayang, dan kami mampu untuk membuat mereka yang menyebabkan kehilangan kami, membayar. Jadi, Ibu jangan khawatir. Mereka yang harus khawatir, karena Didi yang mengejar mereka. Bukan hanya kita yang bisa terancam, mereka juga.”

Diana menatap kekasihnya yang tampak begitu sungguh-sungguh dan kehilangan kemampuan berkata-kata, sementara ibunya tampak berkaca-kaca. Tidak menduga kalau polisi muda yang baru saja menjalin hubungan dengan putrinya itu ternyata mengenal Diana sama baik dengannya. Seperti kata Tyo, Marini pun berpikir kalau siapa saja yang dikejar oleh Diana, sudah pasti berada dalam kondisi tidak aman. Bukan hanya berani dan cerdas seperti ayahnya dulu, Diana juga jauh lebih waspada dan licin. Sepertinya, dia belajar banyak dari tragedi ayahnya dan menjelma jadi seorang jurnalis yang lebih tangguh.

Marini mengembuskan napas keras dan ikut mengangguk. “Mas Tyo benar. Didi memang berbahaya untuk siapa pun yang dikejarnya. Tapi, dia tetap anak Ibu, yang Ibu khawatirkan, dan ingin selalu Ibu jaga. Karena Mas Tyo yang lebih mampu, maka Ibu titip. Tolong, Didi dijaga. Dibantu juga semua yang saat ini sedang dia kerjakan,” pintanya tulus.

Tyo mengangguk tegas. “Pasti. Saya akan menjaga Didi sebaik-baiknya. Ibu tahu bagaimana perasaan saya pada Didi.”

“Memangnya perasaan kamu pada Didi seperti apa, Mas?” goda Marini, membuat Diana mengangguk-angguk latah sambil melebarkan matanya.

“Iya, perasaan kamu ke aku gimana Tyo?” timpalnya, penasaran.

Tyo menatap Diana lurus. Tidak ada senyum di bibirnya saat berucap, tapi sorot matanya menunjukkan isi hatinya. “Kamu lebih tahu dari siapa pun, Di. Karena perasaan itu sudah ada sejak lebih dari delapan tahun lalu.”

Hening. Diana kembali kehilangan kata, sementara ibunya menatap salut kepada pria muda yang dengan berani menyatakan perasaan kepada putrinya, di hadapannya. Menunjukkan sebesar apa kesungguhannya.

*******

“Pak Musri memberi tahu kalau orang Pak Utomo menghubunginya. Katanya, Bu Diana sudah mengambil isi kotak deposit Pak Aryo dan isinya uang sepuluh juta rupiah.” Tina memberi tahu Bramantyo yang sedang menyesap tehnya.

Bram menoleh dan mengerutkan kening. “Uang sepuluh juta?” ulangnya.

Tina mengangguk.

Bram mendengkus. “Untuk apa uang sepuluh juta dimasukkan ke dalam kotak deposit? Pak Aryo tidak sekuno itu, dia pasti tahu soal investasi atau deposito, dan bahkan delapan tahun lalu pun, sepuluh juta itu cuma uang receh. Yang betul saja!”

Tina tidak menjawab. Kesal, Bram menaruh cangkir tehnya di meja dan meminta ponsel yang dipegang asistennya. “Biar saya bicara langsung dengan Pak Musri.”

Tina menyerahkan ponselnya yang masih tersambung. Dia menunggu beberapa saat sampai sang anggota dewan selesai bicara, lalu menerima kembali ponsel darinya. Wajah Bram terlihat kesal sekaligus jengkel saat mengembalikan benda itu kepadanya.

“Katakan pada Pak Utomo, urus anak buahnya dengan benar, kita tidak punya waktu mengurus hal remeh seperti ini. Sekarang, jelas, gadis cerdas itu pasti tahu kalau dia dibuntuti, dan sesuatu yang ada di bank itu atas nama ayahnya yang sedang diincar. Bikin repot saja, kerja kok belepotan.”

“Baik, Pak.”

“Oh …,” Bram mendadak teringat sesuatu. “Sampaikan juga pada Pak Musri, barusan saya lupa, saya ingin dia memutuskan hubungan dengan orang yang menghubunginya itu. Ganti nomornya, dan blokir si preman itu supaya kita tidak terseret kalau ada apa-apa.”

“Baik, Pak.”

“Kamu sudah selesai mengatur ulang dokumen yang saya minta?”

“Malam ini selesai, Pak.”

“Bagus.”

“Untuk penyelidikan yang Bapak minta, kesimpulan sementara sudah saya buat.”

“Oh, bagaimana?”

“Dari tiga serangkai yang memodali kampanye Bapak, kemungkinan, Herman Bulaeng yang tidak terlibat dalam urusan Pak Aryo Seto. Beliau memiliki hubungan pribadi dengan Pak Aryo, dan saat Pak Aryo menyelidiki kasus penyerobotan beberapa perusahaan tambang di Kalimantan, justru proyeknya malah dibatalkan, kemungkinan karena hubungan tersebut.”

Bram termangu. “Herman Bulaeng punya hubungan pribadi dengan Pak Aryo?”

“Benar. Mereka hampir jadi besan. Pak Roberto Bulaeng dan Bu Diana sempat bertunangan. Berita pertunangan mereka sempat dipublikasikan.”

“Ah ….” Ekspresi Bram berubah cerah. “Apa mereka masih berhubungan? Coba kamu hubungi Roberto ini, saya ingin bertemu dengannya.”

Tina terdiam sejenak. “Uhm … sebetulnya, dia adalah salah satu orang yang tadi ingin diperkenalkan dengan Bapak oleh Pak Utomo,” jelasnya.

Bram melebarkan matanya, antusias. “Oh ya? Yang mana? Pasti yang tinggi dan ganteng dengan kemeja batik itu, kan?”

Tina mengangguk.

Bram menjentikkan jari. “Hubungi dia, rahasia, suruh temui saya. Juga Pak Herman, saya ingin bicara secara rahasia.”

“Baik, Pak.”

Bram tersenyum puas. Ini menarik. Ternyata ada salah satu konglomerat yang bisa dijadikannya sebagai sekutu tanpa harus terlibat dengan Utomo dan Rachmat yang selama ini lumayan menyusahkan. Tapi pertama-tama, dia harus memilih pion dulu untuk dipakainya mengadu domba ketiga serangkai. Roberto Bulaeng sepertinya cocok.

Bersambung.

Wokeh. Segitu dulu buat hari ini. Buat yang pengen baca langsung sampe abis, silakan ke Karyakarsa yah.

Sampe ketemu lagi, jaga diri kalian dan orang yang kalian sayang.

Winny.
Tajurhalang Bogor 24 April 2023

Fortsett å les

You'll Also Like

191K 6.7K 70
Suatu hari seorang gadis yang sedang tidur pada malam hari, ia bertemu dengan sosok yang ia rindukan muncul dalam mimpi nya. Yaitu ayah nya beliau me...
47.4K 7.7K 29
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk
911K 23.9K 6
[DIHAPUS - Bisa dibaca lengkap di aplikasi Dreame/Innovel] Ketika sistem kekebalan hati Rizkan menolak sesuatu yang dianggap berbahaya walaupun seben...
238K 15.9K 49
Dalam hidup, harus ada yang merelakan sesuatu untuk kebahagiaan orang lain. Seperti halnya Lentera. Selama hidup, banyak sekali yang ia relakan untuk...