My Lovely Ghost | SELESAI

By rsdtnnisa

6.8K 357 8

Banyak orang berkata, tidak ada yang abadi di dunia. Apakah cinta juga termasuk dalam sesuatu yang akan sirn... More

Part 1 : Rumah Oma
Part 2 : Hari baru
Part 3 : Gangguan
Part 4 : Siapa kamu?
Part 5 : Di sini
Part 6 : Teman
Part 7 : Dekat
Part 8 : Danau
Part 9 : Rindu
Part 10 : Kedatangan
Part 11 : Setelah datang
Part 12 : Hadir
Part 13 : Bunga Ilalang
Part 14 : Pasar
Part 15 : Cerita danau
Part 16 : Rasa?
Part 17 : Bolos
Part 18 : Foto
Part 19 : Cerita?
Part 20 : Kilas balik
Part 21 : Cemburu
Part 22 : Teman lama
Part 23 : Sinar bulan
Part 24 : Bu Hana
Part 25 : Rumah
Part 26 : Foto yang sama
Part 27 : Kecewa
Part 28 : Chandra dan Liam
Part 30 : Kilas balik (2)
Part 31 : Pergi?
Part 32 : Menjadi bulan
Part 33 : Extra : Awal yang baru

Part 29 : Pernyataan

141 8 0
By rsdtnnisa

- • Happy Reading • -

"Liam jadi mirip kayak kamu" ujar Aesa pada Chandra dalam diri Liam yang sedang melihat tangan dari tubuh yang sedang dia singgahi ini.

"Tubuhnya lemah" gumam Chandra.

"Kalau gini, Liam bisa bantu kamu komunikasi sama Bu Hana" ucap Aesa.

"Saya keluar saja, dia kayanya lelah" sahut Chandra kemudian.

Liam terbatuk beberapa kali kemudian memuntahkan kepulan asap hitam dari mulutnya. Pemuda itu lemas tak berdaya membuat Aesa langsung menariknya dalam pelukan.

Asap hitam tadi berubah menjadi bayangan hitam yang kemudian mengubah bentuk menjadi sosok Chandra.

"Sepertinya rencana ini gak akan berhasil" ucap Chandra, "Saya sudah bisa menampakkan diri ke dua orang, mungkin saya juga bisa menampakkan diri ke Ibu saya".

Chandra murung, "Saya mau ke danau" pamitnya kemudian pergi menghilang.

Aesa sedih dibuatnya, ternyata rencana asal-asalan ini gagal. Ia mengusap punggung pemuda yang sedang dia peluk itu untuk ditenangkan.

"Maafin gue, Liam" gadis itu terisak, ia memeluk Liam yang sedari tadi hanya diam dengan erat.

Akhir-akhir ini Aesa banyak menangis, hatinya tidak tenang membuatnya sering mengeluarkan air mata.

Dia sadar sudah banyak merepotkan Liam, pemuda itu rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk Aesa.

"Liam, gue minta maaf" ucapnya lagi, "Harusnya gue gak nyuruh lo dateng".

"Lo pasti benci sama gue setelah ini" Aesa berhenti terisak saat menyadari Liam masih saja terdiam, "Liam?".

Gadis itu melepas pelukannya susah payah dan betapa terkejutnya ia melihat Liam menutup mata dengan darah mengalir keluar dari hidungnya.

"LIAM!".

***

Kedua tangan Aesa setia menggenggam salah satu tangan Liam yang terbebas dari infus sambil terus menerus bergumam memanjatkan do'a untuk sahabat itu.

Hari sudah mulai pagi dan Liam tak kunjung membuka matanya, Aesa sangat khawatir.

Gadis itu menyalahkan semua yang terjadi pada dirinya, Aesa benar-benar menyesal.

Tangannya bergerak mengusap dahi Liam merasakan suhu tubuh pemuda itu yang sudah menurun dan tidak seperti malam tadi.

"Liam, gue minta maaf" lirih Aesa memeluk lengan dari tangan Liam yang dia genggam.

Suara decit pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Aesa, ia menoleh melihat seorang wanita yang berdiri di ambang pintu.

"Keluar sebentar yuk, Nduk" ajak wanita itu, "Sama Budhe".

Aesa melepas genggaman tangannya pada Liam kemudian beranjak meninggalkan ruangan serba putih itu.

Gadis itu terus menunduk, merasa bersalah dan tak berani mengangkat wajahnya.

Budhenya membawa Aesa duduk di bangku taman tak jauh dari ruangan tempat Liam berada.

"Sudah pernah Budhe bilang, gak baik anak perempuan sama laki-laki ada di satu atap tanpa adanya hubungan yang jelas di antara mereka" ujar Asih, "Dan ini bukan pertama kalinya terjadi sama kamu kan?".

Aesa menganggukkan kepalanya takut. "Budhe juga ikut berperan jadi orang tua kamu, Budhe yang jaga dan ngawasin kamu selama kamu ada di sini" lanjut Asih mulai meninggikan nada bicaranya.

"Es minta maaf, Budhe" sahut Aesa dengan suaranya yang bergetar, "Es cuma-".

"Cuma apa?" potong Asih, "Bicara sama Budhe biar Budhe tau, ayo jujur! Budhe gak suka Es sembunyi-sembunyi kayak gini".

"Ada hantu di rumah Oma" ucap gadis itu.

Asih mengerutkan dahinya tak mengerti arah pembicaraan Aesa, "Hantu?".

"Namanya Chandra" ujar Aesa mulai berani menatap Asih, "Budhe pasti tau kan?".

"Dia sudah me-".

"Es tau, Budhe" potong Aesa, "Dia ada di rumah Oma karena masih ingin ketemu sama Ibunya".

"Anak itu, Budhe ingat dia pertama kali datang dengan keadaan kacau" Asih mencoba mengingat-ingat, "Bajunya kotor dan basah karena hujan malam itu".

Asih kembali menatap Aesa, "Sudah sejauh apa kamu sama dia?" tanyanya.

"Chandra cuma temen ngobrol, kalau gak ada dia mungkin Es bakal susah tidur karena takut di rumah sendiri" jawab Aesa.

"Dia bukan manusia" tekan Asih, "Budhe gak nyangka kamu bisa berteman sama makhluk seperti itu".

"Es juga gak ngerti, Budhe" balas Aesa.

"Teman kamu yang dari kota itu juga terlibat?" tanya Asih, "Sampe pingsan kayak gitu kamu apain?".

Dengan ragu bercampur rasa ketakutannya untuk jujur kepada Asih, akhirnya Aesa menceritakan semuanya. Terkecuali bagian-bagian kedekatan mereka yang jika tak sengaja terucap maka akan membuat Asih semakin marah.

"Baguslah kamu bantu dia agar bisa kembali bertemu keluarganya untuk terakhir kali" ucap Asih sambil menggenggam tangan gadis di sampingnya ini.

"Budhe gak bermaksud marahin kamu, Nduk, Budhe cuma khawatir" lanjut Asih dengan lembut.

"Selesaikan masalah kamu itu baik-baik, jangan libatkan siapapun kalau sekiranya hal itu mencelakai seseorang".

Aesa mengangguk paham, "Es minta maaf, Budhe" ucap gadis itu.

Asih memeluk Aesa singkat dan menerima permintaan maaf dari gadis seumuran anaknya itu, "Budhe tinggal cari makan dulu ya, kalian berdua jangan aneh-aneh".

Sepeninggal Asih, gadis itu kembali masuk ke dalam ruangan. Ia duduk di kursi dekat ranjang seperti semula sambil menggenggam tangan Liam.

Aesa hanya diam menatap ke luar jendela yang mengarah langsung ke area parkir sepeda milik para pekerja di pusat kesehatan masyarakat ini.

Saat sedang merenungi kesalahannya, tangan Aesa merasakan gerakan kecil dari jari-jari Liam yang dia genggam.

Gadis itu lantas bangkit dari duduknya menyambut Liam yang mulai membuka mata.

"Liam, lo bangun!".

"Ukh!" pekik pemuda itu saat mendapat pelukan tiba-tiba oleh Aesa.

Liam tersenyum tipis kemudian mengusap surai lembut Aesa sampai gadis itu melepas pelukannya.

Ia mengusap air mata yang meleleh di pipi Aesa, "Kenapa?" tanya pemuda itu lirih.

Aesa kesal dibuatnya, "Gara-gara lo! Gue khawatir, Liam!" jawab gadis itu tak santai.

"Lo khawatir?" beo cowok itu sambil tertawa kecil. Aesa hanya mengangguk sebagai jawaban sembari mengusap pipinya yang basah.

Liam berusaha bangkit dari ranjang mengubah posisinya menjadi duduk dibantu oleh Aesa, "Masih pusing?".

"Udah enggak" jawab Liam.

"Gue minta maaf ya, Liam" ucap Aesa penuh permohonan, "Gue bener-bener nyesel, harusnya gue gak bikin lo terlibat sama masalah ini".

"Maafin gue ya" pinta gadis itu.

Liam tersenyum miring, "Kalau gue gak mau?" godanya berniat menjahili Aesa.

Hal itu malah membuat Aesa semakin murung, gadis itu melepas genggaman tangannya pada Liam sembari menundukkan kepala.

"Lo tau, Es?" Liam meraih kembali tangan Aesa, "Gue juga mau minta maaf".

"Gue gak ada waktu buat lo beberapa hari sebelum lo pindah, itu juga bikin gue nyesel" ucap Liam, "Maaf ya".

"Dan gue berusaha sebisanya buat bantu lo di saat lo kesusahan berada di lingkungan baru" lanjutnya, "Gue rasa itu gak ada apa-apanya ketimbang sakit hati lo saat gue abai pas lo lagi butuh".

Aesa kembali mengangkat wajahnya melihat manik hitam Liam yang menatapnya lembut penuh kehangatan. Netra mereka saling beradu pandang, masuk ke dalam sorot mata yang tak dapat diartikan.

"I love you, Es".

Suara Liam menyadarkan Aesa membuat pandangan mereka terputus begitu saja saat gadis itu menoleh ke lain arah.

Liam menundukkan kepalanya singkat, rasanya ingin memaki dirinya sendiri karena tanpa sengaja menyatakan perasaannya.

Lain halnya dengan Aesa yang berusaha menahan senyum karena rasa berdebar di dadanya, apa ini? Dia sendiri bingung dengan perasannya. Apakah untuk Chandra? Atau untuk Liam, sahabatnya?.

"Maaf, Es" ucap Liam, "Gue gak sengaja".

Aesa kembali melihat ke arah Liam, "Gak sengaja?" beo gadis itu pelan.

Sepertinya Aesa harus mengatakan juga pada Liam tentang perasaan yang membingungkan ini.

"Sebenarnya, akhir-akhir ini gue bingung sama perasaan gue sendiri" ucap Aesa mengutarakan isi hatinya layaknya seorang sahabat pada Liam seperti biasa.

"Gue kasih lo kepastian, Es" sahut Liam, ia sudah tidak bisa menahannya lagi.

Aesa tertawa kecil, "Percaya sih".

"Jangan asing ya, Es" ucap Liam semakin erat menggenggam tangan Aesa, "Gue takut setelah pernyataan gue ini lo jadi risih".

"Ada orang yang takut kalau gue asing ternyata" balas Aesa, "Gue kira cuma gue yang khawatir tentang itu".

"Makasih ya, Liam" ucap gadis itu tulus.

"Anything for you, Es" balas Liam.

Sekarang Aesa tahu bahwa selama ini Liam tidak pernah bercanda tentang perasannya. Aesa sempat mengira laki-laki itu hanya bercanda dan menggodanya, tapi ternyata dia salah.

Mereka kemudian tertawa bersama, obrolan serius seperti ini tidak biasa dialami oleh mereka sehingga keduanya menjadi sedikit tegang.

"Sore ini gue pulang, besok sekolah".

Dahi Aesa mengerut, "Gak mau istirahat dulu di rumah?".

"Mama marah kalau gue kelamaan di rumah" balas Liam.

Keduanya membuat hubungan mereka erat kembali seperti dulu, Liam tak menyangka Aesa masih tetap bisa menerimanya tanpa canggung bahkan setelah ia menyatakan perasaannya.

Diam-diam dia melihat semuanya, hatinya ini bagai luka sayat yang ditaburi oleh garam kasar. Tak ada yang bisa dia lakukan, ia cukup sadar bahwa takdir tidak akan berpihak kepadanya bagaimana pun itu.

Semua ini kesalahannya sendiri, harusnya dia tidak pernah menaruh rasa pada gadis yang tengah tertawa riang bersama orang lain.

Dengan semua perbedaan yang jelas terlihat ini harusnya dapat menjadi tamparan keras baginya.

Namun, yang namanya cinta tidak pernah tahu kemana dia akan singgah dan siapa yang akan menerimanya saat sungguh.

Di atas sana hamparan luas berwarna biru kini bertukar menjadi ungu kemerahan tanda mentari akan segera menyelesaikan tugasnya dan meminta rembulan untuk menggantikannya menemani para makhluk bumi di malam hari.

Seorang gadis tengah duduk di bawah pohon besar sambil memandangi langit malam yang ramai dengan kelip bintang-bintang.

Gundukan tanah di sampingnya menjadi teman, ia berharap sosok itu akan muncul saat dia datang ke tempat peristirahatannya.

Bosan terus mendongak menatap indahnya langit malam, Aesa menyapu dedaunan kering di atas makan itu dengan tangannya.

Saat itulah dia menemukan rangkaian bunga ilalang melingkar seukuran kepala tepat di dekat salah satu bagian akar besar.

"Katanya mau buatin saya mahkota bunga ilalang lagi".

"Yang kemarin?".

"Saya simpan".

Aesa tersenyum kecil mengingatnya, Chandra benar-benar menyimpannya dengan baik. Ikatannya belum terlepas tapi bunganya sudah layu, walaupun begitu benda yang Aesa rangkai dengan tangannya sendiri masih berada di sini.

"Saya kira kamu gak akan datang ke sini lagi".

Suara itu mengalihkan perhatian Aesa, soso yang dia tunggu-tunggu kini berdiri di belakangnya.

Gadis itu bangkit, "Kangen suasana danau" balasnya kemudian melangkah meninggalkan pohon besar itu.

Chandra mengepalkan tangannya menahan sesak di dada, ia perlahan mengikuti kemana gadis itu pergi.

Aesa kembali duduk di tepi danau, telunjuknya mengukir asal pada permukaan air yang dingin.

"Es" panggil Chandra halus.

"Hm?" sahut Aesa yang masih asik bermain air.

"Kamu tau apa yang terjadi setelah saya bertemu dengan Ibu?" tanya Chandra sembari duduk di samping gadis itu.

"Aku udah berdamai sama Ayah, dan sekarang udah gak banyak yang mengganggu pikiranku" jawab Aesa, "Mungkin nanti kamu juga gitu".

Chandra mengangguk saja, sepertinya gadis ini memang tidak tahu apa-apa.

"Kamu akan tetap di sini kan?".

"Iya, saya tetap di sini".

Mereka terdiam untuk beberapa saat, duduk berdua memandang luasnya hamparan langit gelap yang ramai dengan kelip bintang serta bulan yang bersinar terang.

Chandra menoleh menatap Aesa yang kini tengah melihat pantulan langit malam dari permukaan air danau.

Gadis itu juga dapat melihat Chandra tengah menatap ke arahnya, ia menunggu sosok itu mengucap sesuatu.

"Saya mencintaimu, Es".

Si empu lantas menoleh mempertemukan kedua sorot mata untuk saling bertatapan.

Aesa terdiam tak tahu harus memberi respon seperti apa sedangkan netra Chandra sudah mulai berkaca-kaca.

Sosok itu kemudian meneteskan air matanya dan terisak, Chandra memeluk lututnya sendiri menyembunyikan wajahnya dari Aesa karena merasa malu.

"Maaf.." lirihnya, "Maafin saya".

"Saya salah, Es" suara Chandra bergetar terdengar ditengah isakan, "Harusnya saya gak menaruh rasa sama kamu, saya minta maaf".

Aesa masih terpaku di tempatnya, membiarkan Chandra menangis puas-puas untuk meluapkan segala emosinya selama ini.

"Chandra, gak apa-apa kok kalau-".

"Gak apa-apa gimana?!" potong Chandra menepis tangan Aesa yang hendak menyentuh bahunya.

"Semua ini gak ada artinya! KITA GAK AKAN BISA BERSAMA!".

Mata Aesa berkaca-kaca mendengarnya, Chandra yang dia kenal tidak pernah marah sekarang berteriak kepadanya.

"Saya bukan manusia, Es".

Aesa menunduk menahan tangis, "Mungkin aku juga punya perasaan yang sama" lirih gadis itu.

Chandra menggeleng, gara-gara dia semuanya jadi rumit seperti ini. Sebuah penyesalan dengan cinta sebagai pemanisnya berhasil mematahkan hati sampai sesakit ini.

Keduanya sama-sama menitikkan air mata seolah menjadi saksi atas kisah cinta yang seharusnya tidak pernah mereka mulai.

Punggung mereka berhadapan saling menyembunyikan kesedihan. Berkali-kali Aesa mengusap air mata yang mengalir di pipinya, begitu juga dengan Chandra yang memejamkan mata guna meredakan emosinya.

"Kamu gak salah, Chandra" ucap Aesa memecah keheningan.

"Kamu gak takut sama saya?" tanya Chandra, "Setelah kamu tau semuanya".

Aesa menggeleng walau Chandra tidak melihatnya, "Aku udah takut sama kamu dari awal, cuma karena udah biasa jadi aku pikir kamu hantu yang baik".

"Jangan mikir seperti itu, Es" balas Chandra, "Saya sama saja seperti yang lainnya".

***

- • To be continued • -

Thanks for the vote and comment

Continue Reading

You'll Also Like

759K 21.5K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
112K 5.2K 56
Dane Damarion Sherwood Werewolf? Kisah bualan yang hanya imajinasi belaka. Konyol. Di jaman yang canggih ini masih ada kisah bualan seperti itu, dan...
8.3K 1.7K 50
[๐๐š๐ซ๐ญ ๐‹๐ž๐ง๐ ๐ค๐š๐ฉ] ๐’๐ž๐ง๐š ๐Š๐ก๐š๐ฅ๐ข๐ฌ๐š ๐€๐ฅ๐ฅ๐š๐ซ๐ข๐œ ๐ฉ๐ž๐ซ๐ž๐ฆ๐ฉ๐ฎ๐š๐ง ๐œ๐š๐ง๐ญ๐ข๐ค ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ญ๐ž๐ซ๐ฉ๐š๐ค๐ฌ๐š ๐›๐ž๐ซ๐ฆ๐š๐ข๐ง ๐๐ซ๐š๐ฆ๐š...
153K 17.8K 65
Mungkin zaman sekarang memang tak ada yang percaya dengan makhluk bernama Duyung atau lebih dikenal dengan MERMAID. Namun, tanpa disangka - sangka. d...