≿━━━━༺❀༻━━━━≾
Matanya membulat sempurna kala melihat hal yang tak terduga. Ia sontak berbalik, meremas kedua tangannya dengan raut wajah shock.
Tidak. Apa yang dilihatnya?!
Joanna mencoba untuk menjernihkan pikiran dengan menghela napas. Pada titik itu, ia mencoba untuk memastikan lebih lanjut terhadap apa yang dilihatnya.
Kembali ia berbalik. Ia melihat pada celah pintu yang menunjukkan sosok Javiero dengan Isalynne di dalam ruangan tersebut.
Isalynne tampak mendorong Javiero. Wajahnya terlihat kaku. Hal tersebut membuat Joanna merasa tak senang.
Ia tak mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun, kala ia kembali membuka celah pintu tersebut. Ia mendengar suara Javiero di sana.
"Aku akan membuatmu terbebas dari Duke."
Joanna kembali membulatkan mata dan mengatupkan bibir rapat.
༻✧༺
"Saya tidak mengerti apa yang sedang Anda bicarakan ini," ujar Isalynne dengan mata yang memicing tajam.
Sesuatu dalam diri Isalynne seakan tersulut oleh ucapan Javiero. Hal yang membuat Isalynne tak habis pikir pada sifat itu.
Javiero tampak sedih. "Aku serius. Aku akan membantumu. Kalian menikah politik tanpa dasar cinta."
Itu benar. Isalynne tak menyanggahnya. Namun, untuk berpikir mengakhiri hubungan itu, Isalynne tidak menginginkannya.
"Saya tidak mau."
"Berarti kau mencintainya?"
Isalynne terdiam sesaat.
Mencintai?
Isalynne hanya merasa baik saat bersama Theroz.
Ia merasa aman.
Bahkan, kini ia merindukan ocehan serta godaan dari Theroz.
Ia ingin Theroz di sisinya.
"Yang Mulia, sebenarnya kenapa Anda bersikap seperti ini?" alih Isalynne. Matanya tampak menyelidik gelagat Javiero.
Javiero memandang dengan mata sayu. "Aku hanya ingin membantumu. Aku ...."
"Tolong, saya ingin pulang," potong Isalynne, "saya harus membicarakan sesuatu pada suami saya."
"Biar aku bantu sampaikan pada suamimu."
"Yang Mulia ini bukanlah sesuatu yang perlu Anda ketahui."
"Tapi—"
"Ini bukan urusan Anda," tegas Isalynne membuat Javiero terdiam. "Jika Anda berusaha untuk membantu saya, maka inilah saatnya. Biarkan saya mengurus masalah saya."
Javiero merunduk. Ia tampak enggan untuk menyetujui Isalynne.
Di mata Isalynne, Javiero terlihat putus asa.
Apa yang membuatnya begini?"
"Diamlah di sini dulu," ujar Javiero. Ia bersiap untuk berbalik pergi.
"Yang Mul—"
"Kak Theroz di istana. Tunggulah dengan tenang!"
Isalynne terkejut. Ia termundur selangkah ketika melihat wajah merah dengan luapan amarah itu.
"B-baik, saya akan menunggu."
༻✧༺
Theroz dengan Jake didampingi oleh seorang utusan untuk pergi menemui Amber.
Hal yang terlintas dalam benak Theroz setelah tak kunjung mendapatkan persetujuan Kaisar untuk pergi ke istana Putra Mahkota adalah menghubungi Amber.
Meski harus menunggu beberapa jam untuk mendapatkan balasan dari Amber.
Amber menyetujui pertemuan di taman istana milik Amber. Seperti dahulu jika ingin bertemu, maka mereka akan bertemu di taman.
Sesampai di sana, Theroz mendapati sikap pengabaian dari Amber. Amber tak kunjung menyambutnya meski ia memberikan salam hormatnya. Bahkan tak kunjung menatapnya selain menatap bunga-bunga yang bermekaran.
Namun kini Theroz sangat tidak sabar. Ia mendekati Amber dan berdiri di samping Amber.
"Bunganya tidak berubah."
"Sama seperti kita."
Theroz hanya diam oleh balasan Amber. Amber lantas menoleh dengan raut datarnya.
"Kau hanya datang jika itu tentang istrimu."
Theroz merunduk. "Anda sudah mendengar rupanya."
"Tentu saja. Telingaku sangat sensitif," sahut Amber dan menjauh menuju meja teh. "Aku sudah bertemu istrimu tadi. Dia baik-baik saja, tapi dia tampak kurang sehat."
Theroz mengernyit. "Akhir-akhir ini istri saya memang dalam kondisi yang kurang baik."
"Kau begitu keras kepala ingin menikahinya, tapi tidak bisa menjaganya."
Theroz tertegun. Hatinya mencelos mendengar hal yang sangat menohoknya.
Amber tersenyum sinis melihar raut wajah Theroz. "Tidak ada yang bisa kubantu. Kedudukanku di bawah Putra Mahkota, Kaisar sudah terlalu lemah untuk mengendalikan Putra Mahkota yang sudah bisa menunjukkan sikap berkuasanya."
"Namun." Amber memicing. "Tindakanmu sudah benar. Guncangan sosial akan membuat Putra Mahkota kesulitan. Sekarang orang-orang di sekitarnya pasti sudah menekannya. Aku juga sudah bicara dengan Putri Mahkota, beliau pasti sedang berbicara dengan Putra Mahkota."
"Terimakasih."
"Aku tidak membantu banyak." Amber meminum tehnya dengan mata yang menyelidik pada Theroz.
"Kau terlihat lemah."
Theroz bergeming.
"Semenjak kau memutuskan untuk menyerahkan tahta, kau sudah menyimpang dari pendidikanku," kata Amber lagi. Raut wajahnya memang datar, tetapi matanya menunjukkan kekecewaan.
Theroz hanya diam. Ia tidak akan berbicara jika Amber membahas hal yang sudah pasti. Amber membencinya karena keputusan sepihak itu, Theroz mengetahuinya dan Theroz tidak akan minta maaf.
"Saya akan pergi," kata Theroz membuat Amber mendengus kesal.
"Toh percuma saja aku berbicara banyak," hardik Amber, "jangan temui aku lagi meski itu adalah hal yang genting."
Theroz tersenyum kecil. "Terimakasih sudah menjaga Isalynne," ucapnya seraya merunduk hormat.
Amber hanya menatap. Ia mengalihkan wajah kemudian.
"Yang Mulia."
Amber melihat pada seorang ksatria yang baru saja datang. Pelayannya mendekati setelah membicarakan sesuatu dengan ksatria tersebut.
Sang pelayan berbisik singkat pada Amber. Detik kemudian Amber menoleh pada Theroz.
"Pergilah ke istana Putra Mahkota. Beliau berencana mengantar Duchess pulang."
༻✧༺
Theroz menunggu dengan gelisah. Pandangannya tak henti menatap pada pintu utama istana Putra Mahkota. Ia sangat mengharapkan sosok Isalynne datang dan pulang bersamanya.
Jake yang berada di dekatnya hanya memperhatikan dengan tenang. Ia tidak bisa berbicara apapun karena hal itu justru akan membuat Theroz kesal.
Meski ia merasa agak risih dengan pandangan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Tampaknya mereka memperhatikan tuannya dengan seksama karena gosip yang telah menyebar luas.
Beberapa menit kemudian, pintu besar itu terbuka. Theroz sontak menegakkan punggung. Ia matanya menyelidik mencari sosok Isalynne di antara ksatria dan pelayan di sana.
Sosok Javiero terlihat. Hal tersebut membuat Theroz merasa terprovokasi. Kemudian, sosok Isalynne terlihat di belakang Javiero. Isalynne terlihat mencari-cari setelah melewati pintu tersebut.
Theroz lantas mendekat cepat. Detik itu, matanya bertemu pandang dengan Isalynne.
"Duke ...!"
Isalynne berjalan cepat. Ia melewati Javiero untuk menghampiri Theroz. Detik kemudian, tangannya melingkar erat pada tubuh Theroz.
"Kau baik-baik saja?" cemas Theroz. Ia memeluk Isalynne erat. Isalynne mengangguk tanpa suara.
"Kalian berlagak seperti telah berpisah bertahun-tahun lamanya," celetuk Javiero.
Theroz sontak menatap tajam. Ia memeluk Isalynne erat.
"Aku selalu bertanya-tanya kenapa kau bertindak seperti itu," ketus Theroz. Matanya menyalang tajam pada Javiero, berbanding terbalik dengan tangannya yang mengelus lembut punggung Isalynne.
Javiero terlihat tak menunjukkan ekspresi bersalah atau apapun. Ia terlihat tenang dan santai. Hal tersebut membuat Theroz merasa sangat terganggu.
Javiero memiringkan kepala. "Kemarin hanya sikap spontan."
"Spontanitas yang berlebihan," balas Theroz.
"Duke ...." Theroz sontak menoleh. Ia memperhatikan Isalynne dalam dekapnya.
"Ayo pulang."
Theroz mengangguk. Ia kembali menatap Javiero sebelum akhirnya membawa Isalynne pergi.
Di dalam kereta, ia memperhatikan kondisi Isalynne di pangkuannya. Isalynne tampak lemas tak bersemangat, wajahnya yang pucat serta matanya yang terpejam.
Theroz sangat khawatir.
"Apa kau disiksa di sana?"
Isalynne terkekeh kecil meski matanya terpejam. Ia bersandar nyaman pada Theroz.
"Saya hanya merindukan rumah."
"Aku juga merindukanmu."
"Ck, menyebalkan."
Theroz memandang penuh kekhawatiran. Ia mengusap pipi Isalynne lembut dan memeluknya erat.
"Maafkan aku. Aku tidak berniat untuk menyakitimu. Aku takut kau menyakiti dirimu."
Isalynne bergeming sesaat. Matanya kemudian terbuka. Meski ia tidak dapat melihat bagaimana wajah khawatir Theroz, tetapi suara suaminya membuktikannya.
"Isalynne. Aku tak masalah," ucap Theroz. Ia memejamkan mata, memberikan kecupan pada kening Isalynne.
"Tak masalah jika kita menua hanya berdua saja. Aku merasa sangat cukup," lirih Theroz, "tapi, kau harus sehat dan panjang umur."
Isalynne merasa pandangannya buram. Air mata menggenang di kelopak matanya.
"Kita mungkin akan kesepian karena tidak punya anak," lirih Isalynne.
"Aku akan sehat dan panjang umur untuk menemanimu agar tak kesepian."
"Tapi kita harus punya keturunan ...."
Theroz segera menarik diri. Ia memandang pada wajah Isalynne dan melihat air mata itu.
"Sayang ...."
"Saya juga mau punya bayi ...."
Isalynne terisak. "Tapi menginginkan bayi ternyata sulit ...."
Theroz merasa hatinya tertikam. Ia menyeka air mata itu dan kembali memeluknya. Ia tak dapat berkata apapun ketika mendengar isak tangis Isalynne.
Isalynne terus menangis sepanjang perjalanan. Theroz pun hanya dapat memeluk dan mendengarkan tangisnya. Ia merasa sangat tak berdaya atas kondisi sang istri.
Saat sampai kediaman, Theroz menggendong Isalynne karena dia telah terlelap.
Henry, Tilla, Mico dan pelayan lainnya terlihat khawatir. Mereka mengikuti Theroz yang membawa Isalynne ke kamarnya.
"Nyonya terlihat pucat. Apa perlu kita panggil dokter, Yang Mulia?" Tilla bertanya dengan raut cemas pada Theroz yang masih memperhatikan Isalynne di atas ranjang.
"Ya. Panggil dokter. Aku merasa istriku hanya tulang."
"Tolong jangan bicara begitu, Yang Mulia," isak Tilla. Entah sejak kapan ia menjadi menangis.
Theroz mendelik. "Jangan bersikap begitu, seolah istriku sakit keras."
Tilla mengangguk kencang sembari mengusap air matanya.
"Saya akan mengganti baju Nyonya."
Theriz mengangguk. "Henry, panggil dokter," titahnya.
"Henry sudah pergi untuk memanggil dokter, Tuan," sahut Tilla.
Theroz mengangguk-angguk. Ia lantas berdiri. "Tolong rawat istriku."