30 Days

Peetarii

776 56 9

Usaha Ellia yang berniat menghapus benih-benih cinta pada sahabatnya kembali gagal total ketika ia diputuskan... Еще

PROLOG
BAB 1 •Aku, Kamu dan Cinta
BAB 1.2
BAB 1.3
BAB 2 •Lebih Dari Sekadar Sahabat
BAB 2.2
BAB 2.3
BAB 3 •Tantangan Tiga Puluh Hari
BAB 3.2
BAB 3.3
BAB 4 •Perubahan Sikap Alga
BAB 4.3
BAB 5 •Debaran Palsu
BAB 5.2
BAB 5.3
BAB 6 •Cemburu
BAB 6.2
BAB 6.3
BAB 7 •Gagal Lagi

BAB 4.2

26 4 2
Peetarii

Jika ada suara yang lebih indah dari sekadar lagu-lagu favoritku, maka itu adalah suara tawamu.

***

Segala macam teori yang memaksa kepala Ellia terus memikirkannya sejak semalam masih belum juga reda. Ellia sampai tidak bisa tidur dibuatnya dan berakhir membuat ia bangun kesiangan. Sedangkan Alga sudah menunggu di depan rumahnya. Ellia pun buru-buru mengambil tasnya dan berlari menuju pintu, tapi tiba-tiba ia kembali berbalik. Mengambil lip tint di meja rias dan memakainya. Merapikan rambut panjangnya yang sudah diikat menjadi satu. Menepuk kedua pipi, kemudian menarik garis senyum. Setelahnya, Ellia pun langsung bergegas keluar kamar.

“Ellia berangkat!” seru Ellia saat melihat pintu kamar Flora sedikit terbuka.

“Bekalnya kakak taro di meja makan, El!” balas Flora dari dalam kamar.

Setelah berhasil menuruni tangga, Ellia mengambil bekal yang sudah disiapkan oleh Flora. Ia mengambil bag lunch berisi dua kotak bekal di meja makan. Ellia pun memasukkannya ke dalam tas, kemudian bergegas menuju pintu utama.

Tepat setelah keluar dari rumah, netra Ellia langsung tertuju pada sosok Alga yang sedang bersandar pada motornya.

Menyadari kehadiran Ellia, Alga pun menoleh.

“Lama ya?” tanya Ellia seraya menghampiri Alga, lalu mengambil helm yang disodorkan pria itu.

“Lumayan.”

Ellia mendengus atas jawaban tanpa penyangkalan itu, tapi tidak bisa dipungkiri jika senyumnya kian lebar karenanya. Ia mengenakan helmnya dengan sorot mata yang terus tertuju pada Alga. Gerakan Alga yang naik ke atas motor hingga memasang helm, semua itu tak luput dari pandangannya.

Pikirannya terus saja berkelana bahkan setelah motor sudah melaju di jalan raya. Entah karena sugesti dari ucapan Sitha yang menyatakan bahwa Alga mulai menyukainya atau bukan, tapi Ellia jelas mulai menyadari perubahan sikap Alga. Tentang ajakan berangkat bareng yang biasanya tidak pernah ia dapatkan. Dan kejadian tadi malam, saat Ellia baru pulang, lalu bertemu Alga di depan pintu rumah.

“Nganterin kue.”

Juga ucapan kakaknya.

“Kok, dari Alga? Itu kakak yang beli tadi sore buat kamu.”

Kedua hal itu terus terngiang di pikiran Ellia. Dan kedua hal itu pula yang berhasil membuatnya browsing di Internet sampai jam 1 malam. Mencari tahu tentang tanda-tanda orang jatuh cinta. Walaupun hasil pencariannya tidak mengecewakan dan sedikit membuat Ellia senang, tapi ia tidak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Karena mengambil kesimpulan terlalu dini tanpa bukti konkret adalah bencana yang akan membuatnya kembali terseret pada jurang patah hati. Mungkin dia bisa bersikap baik, tapi kebaikan itu bukanlah landasan untuk menjadikannya tolok ukur kata cinta. Ah, hati manusia itu memang rumit, ya. Andai Ellia punya kemampuan untuk membaca pikiran dan isi hati seseorang, mungkin ia tidak perlu bersusah payah menerka-nerka perubahan pria itu seperti ini.

Pandangan Ellia terus terpaku pada sosok Alga dari kaca spion. Beberapa luka memar di wajah Alga masih masih tampak jelas dan kini berubah menjadi berwarna kebiruan. Hal itu membuat Ellia kembali merenung dengan isi kepalanya sendiri hingga akhirnya mereka sampai di parkiran sekolah.

“Al,” panggil Ellia sesaat setelah ia turun dari boncengan Alga. “Maaf, ya.”

“Kenapa?” tanya Alga seraya membuka helmnya.

Ellia menghela napas sejenak dan menatap Alga dengan raut serius. “Gue tau memar di wajah lo gara-gara berantem sama Antonio.”

Alga tampak diam. Mungkin sedikit terkejut karena Ellia mengetahuinya. Pria itu pun melarikan pandangan, menghindari tatapan Ellia. “Bukan salah lo, kok,” ujarnya kemudian.

Tidak bisa dipungkiri, Alga memang selalu punya cara tersendiri untuk melindunginya. Ellia tahu, walaupun sikapnya terkesan cuek dan acuh, tapi Alga adalah sosok pria yang mempunyai kepedulian yang tinggi terutama pada orang-orang terdekatnya.

“Sakit ya?”

Alga menoleh dengan kedua alis terangkat. “Apa?”

“Ini. Ini. Ini. Ini.” Ellia menunjuk semua luka memar yang ada di wajah Alga. “Sakit nggak?”

“Harus banget gue jawab?”

Ellia menonjok salah satu memar di wajah Alga dengan telunjuknya sehingga membuat pria itu meringis pelan.

“Kalo sakit kenapa nggak diobatin?”

Dengan tampang tak acuhnya, Alga turun dari atas motor seraya menjawab, “Nanti juga sembuh sendiri.”

“Kebiasaan,” gumam Ellia, lalu ia mengeluarkan sesuatu dari  saku roknya. “Nih. Dipake, biar memarnya cepet ilang.”

Dengan senyum geli di bibirnya, Alga memandang obat topikal di tangan Ellia, lalu beralih menatap gadis itu. “Jadi ini salah satu trik lo untuk bikin jantung gue berdebar?”

Ellia menarik lengan Alga tidak sabaran dan menaruh obat itu di telapak tangan Alga. “Terlepas dari tantangan lo itu, ini adalah bentuk kepedulian gue sama lo. Gue nggak suka lo berantem cuma gara-gara gue. Jadi, lain kali jangan diulangi lagi.”

“Gue nggak akan diem aja liat sahabat gue diperlakukan kurang ajar sama cowok kayak dia.”

“Dan gue pastiin hal itu nggak akan terjadi lagi. Kan, ada lo.” Ellia tersenyum lebar. “Calon pacar gue. Otomatis lo harus jagain gue.”

“Lo harus bisa jaga diri sendiri.”

Ellia berdecak pelan. “Kan, kalo ada apa-apa gue bisa langsung telepon lo.”

“Gue nggak akan bisa selalu ada di samping lo.”

Kedua bola mata Ellia menyipit. “Maksudnya lo mau jauhin gue lagi kayak yang kemarin-kemarin?”

“Kapan gue jauhin lo?”

Ellia memutar bola matanya malas. “Kapan gue jauhin lo,” ujarnya meniru kata-kata Alga dengan tampang mengejek. “Udah, ah. Gue mau ke kelas.” Ellia pun bergegas meninggalkan Alga lebih dulu, karena percuma berdebat dengan Alga, pasti pria itu akan selalu menyangkal. Terlebih lagi ada tugas yang belum dikerjakannya yang akan dikumpulkan pada jam pelajaran kedua.

“El!”

Ellia menghentikan langkah dan berbalik. “Apa?”

Senyum yang tercetak di wajah Alga membuat Ellia mengernyit.

“Jangan bilang lo mau nganterin gue ke kelas.”

“Helm lo lepas dulu.”

Senyum menggoda yang sempat dilemparkan Ellia luntur. Secepat kilat ia memegang kepalanya. Aish, sial!



***

💬Alga Calon Pacarnya Ellia💬

Mau ke kantin bareng?

Tumben
Ada angin apa nih ngajakin gue ke kantin bareng?

Ini hari pertama lo

Hari pertama apa?

Hari pertama bikin gue jatuh cinta
Gue cuma berbaik hati nawarin diri

💬💬💬

“Kayaknya ada yang lagi seneng nih,” celetuk Sitha dari bangkunya seraya melirik Ellia yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas sambil cengengesan.

Ellia menunjukkan layar ponselnya yang berisi percakapan dengan Alga. “Alga ngajakin ke kantin bareng.”

Sitha mengangguk, turut senang atas progres Ellia. “Semoga lancar deh kencan makan siangnya.”

Indah mendekat ke arah mereka dengan sebungkus camilan yang diam-diam dia sembunyikan di bawah meja sejak jam pelajaran berlangsung tadi.

Guys.” Indah sedikit bersandar pada meja Ellia, sedangkan tatapannya tertuju pada Tiwi yang baru saja keluar dari kelas. “Kalian berdua ngerasa ada yang aneh nggak sih sama Tiwi?”

“Aneh gimana?” tanya Sitha.

“Lo nggak liat tadi dia langsung keluar kelas tanpa ngajak-ngajak kita.”

“Mau ke toilet kali.”

Di tengah-tengah percakapan kedua temannya, ponsel Ellia tiba-tiba bergetar.

💬Alga Calon Pacarnya Ellia💬

Gue di depan kelas lo

💬💬💬

Ellia terkesiap dan bergegas mengambil bag lunch di atas mejanya. “Guys, gue duluan ya.”

“Iya, deh, yang mau lunch sama gebetan.”

“Tolong kaum jomlo nggak usah ngiri.”

Indah seketika melotot menatap Ellia yang sudah menuju pintu. “Dih, rese!”

Ellia hanya tertawa sambil menjulurkan lidahnya, mengejek. Kemudian berlari keluar kelas dan menghampiri Alga yang memang sudah ada di depan kelasnya. Ellia menyambut Alga dengan senyum lebar. Berasa lagi dijemput pacar deh. Hehe.

“Kok, lo udah di sini aja sih?”

“Iya.”

“Udah lama?”

“Barusan.”

Ellia mengangguk dan langsung menarik Alga saat menyadari Sitha dan Indah yang diam-diam sedang mengintip dari jendela. “Nggak usah ke kantin ya. Kita cari tempat lain aja.”

“Kemana?”

“Udah ikut aja.”

“Bener nggak mau ke kantin?”

“Nggak.”

“Emang lo nggak laper?”

Ellia menghentikan langkah dan berbalik pada Alga. Ia mengangkat tas yang dibawanya. “Gue bawa bekal. Gue yakin seratus persen yang ini enak. Jadi, lo nggak perlu khawatir bakal keasinan.”

“Nasi goreng?”

“Bukan, dong. Karena hari ini hari spesial, jadi gue bawa sandwich telur kesukaan lo.”

“Lo yang masak?”

“Bukan.”

“Kak Flora?”

“Tepat.”

“Ayo.” Ellia kembali menarik lengan Alga menuju halaman belakang sekolah. Kemudian mengajak pria itu duduk di salah satu meja kayu bundar dengan kursi yang mengelilinginya. Lalu Ellia mengeluarkan dua kotak bekal dari tas dan menyodorkan salah satunya pada Alga. “Kak Flora bikin ini buat lo sebagai ucapan terimakasih. Walaupun nggak seberapa sih.”

“Ucapan terima kasih?”

Ellia mengangguk. “Karena selalu ngerepotin lo buat jagain gue. Tapi, ngomong-ngomong lo nggak ngerasa direpotin, kan?”

“Menurut lo?”

Dengan jari yang mengetuk-ngetuk dagu bergaya seolah sedang berpikir, Ellia akhirnya menjawab, “Setelah gue pikir-pikir sih, kayaknya nggak. Oke, nggak perlu dijawab karena gue udah tau jawabannya.”

Alga hanya menggeleng pelan menanggapi ucapan Ellia dan membuka kotak bekal yang berisi sandwich telur panggang, sosis goreng yang dipotong seperti bunga, dan juga brokoli. Namun kemudian Ellia tersadar bahwa ia belum menyiapkan minumannya. Ellia pun bergegas kembali bangkit dan meminta Alga untuk menunggu sebentar di sana sebelum akhirnya ia mengambil ancang-ancang dan lari menuju kantin tanpa memberi kesempatan pada Alga untuk berbicara maupun bertanya.

Karena jarak dari halaman belakang bagian selatan menuju kantin cukup jauh, Ellia pun memilih untuk mengirim pesan singkat pada Alga, sekadar hanya untuk mengingatkan agar pria itu tidak kemana-mana. Hingga tiba-tiba seorang siswi tanpa sengaja menyenggolnya dari belakang dan hampir membuat ponselnya terjatuh. Ellia berdecak pelan menatap punggung siswi itu yang sudah berlalu di hadapannya, tampak terburu-buru. Disusul beberapa siswi lain yang juga terlihat berlarian dari arah belakangnya membuat Ellia cepat-cepat menyingkir untuk memberi jalan. Kening Ellia membentuk garis-garis halus saat melihat para siswi itu seperti gerombolan semut yang tiada henti berlarian menuju ke satu tempat yang ingin ditujunya, yaitu kantin.

Awalnya Ellia hanya berpikir bahwa para siswi itu buru-buru menuju kantin karena lapar. Tapi saat Ellia baru sampai di sana, semua orang tampak bergerombol membentuk satu lingkaran besar, mengelilingi sesuatu. Bahkan suara riuhnya sampai terdengar ke luar kantin.

“Kenapa sih?” Ellia mencoba melongokan kepalanya seraya berjinjit, berusaha mencari tahu sumber kehebohan yang terjadi. Karena keterbatasannya yang tidak bisa melihat situasi yang ada di tengah-tengah lingkaran, awalnya Ellia berniat untuk menghiraukan pertengkaran yang memang kadang kerap kali terjadi di kantin itu. Tapi saat mendengar suara teriakan Tiwi dari tengah-tengah kerumunan, Ellia sempat terdiam.

“HARUSNYA LO SADAR DIRI! NGACA MAKANYA! NGGAK USAH SOK SUCI JADI ORANG!!”

Stella?

Tidak salah lagi itu adalah suara Stella.

“LO YANG NGACA! NGGAK PUNYA HARGA DIRI BANGET LO JADI CEWEK BISANYA CUMA NGERUSAK HUBUNGAN ORANG!!”

Suara teriakan Tiwi kembali terdengar.

Tanpa banyak bicara Ellia langsung menerobos masuk ke dalam kerumunan hingga sampai di baris terdepan dan menemukan dua cewek itu yang sedang beradu mulut.

“HARUSNYA LO SADAR DIRI LEON PACARAN SAMA LO BUKAN KARENA CINTA!”

“BILANG AJA LO IRI KARENA PERNAH DITOLAK SAMA LEON SAMA ALGA!”

“JANGAN SEMBARANGAN LO YA!”

“KENAPA?! LO PIKIR GUE NGGAK TAU HAH?! MALU YA KARENA PAMOR LO TURUN HAH?!”

Shut up, bitch!

“Tiwi—”

Byurrr!

Suara pekikan kaget terdengar, hingga detik berikutnya berubah menjadi riuh rendah.

Ellia yang berniat memisahkan keduanya justru mendapat imbasnya. Ia menghembuskan napasnya kasar, kemudian mengerjap menatap Stella yang baru saja menyiram jus jeruk ke wajahnya—tampak terkejut atas kehadiran Ellia di tengah-tengah mereka.

Hingga tiba-tiba suasana kantin yang semula berisik berubah hening. Disusul suara ketukan langkah kaki yang terdengar mendekat, lalu kerumunan di satu sisi membelah membentuk jalan. Ketukan dari high heels yang beradu dengan lantai berhenti. Sosok wanita dengan dengan lipstik semerah darah dan wajah datar namun tatapannya penuh intimidasi menyapu pandang pada tiga siswi di tengah kerumunan itu.

Suaranya yang sedikit serak dan penuh akan penekanan pun terdengar mengisi keheningan. “Kalian bertiga. Ikut saya ke ruangan.”


***

Setelah dinyatakan tidak terlibat dengan kerusuhan yang terjadi di kantin, Ellia langsung menuju toilet untuk membersihkan wajah, rambut dan bagian seragam atasnya yang tadi terkena siraman jus jeruk. Namun, setelah membasuh seragam atasnya hal itu justru membuat Ellia mendesah kesal karena kini seragam bagian dadanya menjadi sedikit transparan, memperlihatkan siluet tank top berwarna merah. Bahkan setelah Ellia mengeringkan seragamnya dengan tissue, hal itu sama sekali tidak membantu. Dengan hembusan napas kasar ia menghempaskan tubuhnya bersandar pada tembok. Menatap dirinya yang tampak berantakan pada pantulan cermin di depan, lalu mengambil ponsel yang sejak tadi bergetar di saku roknya. Ada banyak pesan masuk beruntun dari Sitha yang menanyakan kabar tentang Tiwi maupun dirinya. Tepat setelah Ellia membalas pesan dari Sitha, tiba-tiba saja ada panggilan masuk, dari Alga.

Kedua bola mata Ellia membulat, ia lupa jika ternyata Alga masih menunggu di halaman belakang. Dengan cepat ia pun menjawab panggilan itu.

“Al, sorry—”

“Keluar.”

“Hah? Maksudnya?”

“Gue tau lo di dalam toilet.”

Tatapan Ellia beralih pada pintu toilet. Dan tanpa banyak bicara ia pun bergegas keluar tanpa memutus sambungan telepon. Ia terpaku saat menemukan sosok Alga yang bersandar di sana.

Alga menutup telepon dan memasukan ponselnya ke saku celana, kemudian menatap Ellia yang masih memegang ponsel di samping telinga. “Sisa waktu istirahat tinggal 20 menit lagi,” ujar Alga seraya menghampiri Ellia, kemudian memasangkan jaketnya yang sempat ia ambil di kelas pada gadis itu. “Pake.”

Meski sedikit bingung dengan kehadiran Alga yang tiba-tiba ada di depan toilet, tapi Ellia pun memilih untuk diam dan menurut, lalu memakai jaket kebesaran itu hingga menutupi tubuhnya sampai setengah paha. “Kok, lo tau gue ada di sini—eh, mau ke mana?” Ellia tersentak saat Alga menariknya dan membawanya pergi dari sana.

Alga menoleh sejenak, lalu mengangkat bag lunch yang dibawanya. “Masih ada waktu buat makan siang.”

Tanpa bisa menahan diri, Ellia pun mengaitkan tangannya pada jemari Alga. Hal itu rupanya mengundang senyum sekaligus dengusan geli dari pria itu. Ellia memang pandai melihat kesempatan sekecil apapun. Pada akhirnya keduanya pun berjalan beriringan sepanjang selasar koridor, mengabaikan beberapa pasang mata yang sempat menatap ke arah mereka heran.

Diam-diam Ellia mendongak, menatap Alga yang berjalan bersisian di sampingnya. Meski sejak semalam Ellia hampir mati penasaran dengan sikap Alga yang sangat berbeda sejak kemarin malam, namun tidak bisa dipungkiri, Ellia senang. Setidaknya, sikap Alga yang jauh lebih perhatian seperti ini  membuatnya yakin bahwa ia bisa membuat pria itu mencintainya. Dan bukan tidak mungkin cinta yang setelah sekian lama ia harapkan akan mudah untuk diraih.

“Kita mau makan di sini?” tanya Ellia saat Alga melepas genggaman tangan mereka dan duduk di salah satu anak tangga yang biasanya hanya digunakan untuk kepentingan perbaikan sekolah sekaligus tangga yang langsung menuju rooftop.

“Kenapa? Mau pindah tempat?”

Ellia cepat-cepat menggeleng dan langsung duduk di sebelah Alga yang tengah mengeluarkan dua kotak bekal dan satu botol air mineral. “Nggak apa-apa di manapun itu, yang penting sama lo.”

Alga tertawa pelan. Suara tawa yang sama seperti tiga tahun lalu. Suara tawa itu layaknya kekuatan magis yang bisa membuat seseorang terperangkap di dalamnya. Kata orang, untuk membuat seseorang jatuh cinta adalah dengan cara membuatnya tertawa, tapi sepertinya mereka keliru, karena entah bagaimana caranya, justru dirinya yang dibuat jatuh cinta.

Sama halnya dengan suara rintik hujan, alunan lagu-lagu favoritnya, atau seperti instrumental pengantar tidur. Tawanya begitu menenangkan. Seakan mengandung senyawa nikotin yang membuat orang yang mendengarnya menjadi candu.

“Lucu,” ujar Alga saat tawanya sudah mulai reda.

“Hah?”

“Gombalan lo. Lucu.”

Ellia mendengus pelan dan memilih untuk melahap makan siang miliknya. Di tengah keheningan yang mengisi, Ellia melirik Alga yang juga sedang memakan makanan bagiannya. Kemudian Ellia berdehem pelan. “Al.”

Alga yang baru saja memakan potongan sosis menoleh dengan kedua alis terangkat. Karena Ellia tak kunjung membuka suara, Alga pun bertanya, “Kenapa?”

“Lo udah tau ya?”

“Tau apa?”

“Tentang kejadian di kantin tadi.”

“Kalo gue nggak tau, nggak mungkin gue bisa nyusul lo sampai ke toilet cewek.”

“Gue nggak apa-apa, kok.”

Tatapan Alga yang tampak ragu atas ucapan Ellia kini tertuju pada bagian depan rambut gadis itu yang basah.

“Al.”

Alga mengangkat kedua alisnya menatap Ellia.

“Gue mau tau satu hal dari sudut pandang lo sebagai cowok.”

“Mau tau apa?”

“Kenapa banyak cowok yang nggak cukup sama satu cewek?”

“Mungkin salah satu alasan paling kuat yaitu, karena laki-laki itu adalah makhluk visual.”

“Maksudnya?”

“Ketertarikan itu udah jadi naluri alamiah manusia yang akan selalu ada. Kalo menurut Daniel Prager, yaitu presiden Prager University di Amerika Serikat, otak laki-laki itu lebih peka terhadap segala keindahan maupun kecantikan yang bisa ditangkap oleh mata. Termasuk ketertarikan terhadap perempuan. Semua hal itu karena laki-laki punya insting kuat untuk melirik perempuan lain yang bukan pasangannya. Dan insting itu akan selalu tertanam sampai kapanpun.”

Alga menatap Ellia dengan ujung bibir yang sedikit terangkat. “Kalo kata Michele Barton, yaitu seorang psikolog kesehatan klinis di New York, melirik perempuan lain selama 5 sampai 10 detik itu merupakan hal yang wajar.”

“Wajar apanya? Itu namanya mata keranjang.”

“Melirik beda halnya dengan memandangi.”

“Jadi intinya di dunia ini nggak ada cowok yang bisa setia sama satu cewek, gitu?”

“Tergantung. Setia itu pilihan. Walaupun laki-laki punya insting untuk melirik perempuan lain, tapi semua itu nggak berarti selama dia punya pemahaman kuat tentang sebuah komitmen.”

Ellia memandang Alga, cukup puas dengan jawaban pria itu. Meski belum tahu kejelasan hubungan antara Tiwi dan Leon, tapi Ellia dapat menyimpulkan bahwa hubungan mereka yang selalu terlihat baik-baik saja rupanya di dalamnya tidak demikian. Couple goals yang mereka sandang dan selalu membuat iri ternyata hanyalah kamuflase. Kini Ellia pun mulai menyadari akan satu hal.

Perasaan cinta bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan patokan untuk mengetahui kesetiaan seseorang.

Mungkin di dalam beberapa cerita dongeng maupun film-film romantis cinta adalah syarat mutlak yang bisa membuat hidup bahagia, tapi pada kenyataannya, cinta saja tidak cukup untuk membangun sebuah hubungan dalam jangka panjang, karena cinta bisa redup seiring waktu. Cinta adalah takaran kesekian untuk kelangsungan hidup manusia. Karena takaran paling tinggi dalam sebuah hubungan adalah komitmen dan juga rasa tanggung jawab.

“Masih ada yang mau lo tanyain?”

Ellia menoleh. Ada satu hal yang sejak tadi ingin ditanyakannya. “Kalo lo?”

“Hm?”

“Apa lo termasuk salah satu laki-laki yang punya pemahaman kuat tentang sebuah komitmen?”

“Menurut lo?”

“Gue nanya.”

“Gue rasa lo udah tau sendiri jawabannya.”

T O  B E  C O N T I N U E

Selamat malam everybody👋 Terimakasih sudah membaca🥰 untuk mendukung cerita ini, jangan lupa vote dan komen yaa🤗😁

Mau tau kelanjutan kisah mereka?
Stay tuned terus yaaa.

Untuk tahu info update dan spoiler cerita terbaru, jangan lupa follow:

Instagram: @peetarii_

Продолжить чтение

Вам также понравится

Antariksa (ON GOING) bbyamaa

Подростковая литература

221K 13.3K 32
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
Monster Tyrant Nursida122004

Подростковая литература

1.1M 109K 58
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
CAMELIA Winda Larasati

Подростковая литература

311K 23.2K 34
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
MAHESA anotherfavgirl23

Подростковая литература

387K 29.7K 26
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...