My Lovely Ghost | SELESAI

By rsdtnnisa

4.6K 228 0

Banyak orang berkata, tidak ada yang abadi di dunia. Apakah cinta juga termasuk dalam sesuatu yang akan sirn... More

Part 1 : Rumah Oma
Part 2 : Hari baru
Part 3 : Gangguan
Part 4 : Siapa kamu?
Part 5 : Di sini
Part 6 : Teman
Part 7 : Dekat
Part 8 : Danau
Part 9 : Rindu
Part 10 : Kedatangan
Part 11 : Setelah datang
Part 12 : Hadir
Part 13 : Bunga Ilalang
Part 14 : Pasar
Part 15 : Cerita danau
Part 16 : Rasa?
Part 17 : Bolos
Part 18 : Foto
Part 19 : Cerita?
Part 20 : Kilas balik
Part 21 : Cemburu
Part 22 : Teman lama
Part 23 : Sinar bulan
Part 24 : Bu Hana
Part 26 : Foto yang sama
Part 27 : Kecewa
Part 28 : Chandra dan Liam
Part 29 : Pernyataan
Part 30 : Kilas balik (2)
Part 31 : Pergi?
Part 32 : Menjadi bulan
Part 33 : Extra : Awal yang baru

Part 25 : Rumah

83 6 0
By rsdtnnisa

- • Happy Reading • -

Liam menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi tempatnya duduk, mengistirahatkan punggung dan bahunya yang terasa pegal.

"Gak enak badan?" tanya Aditya menghampiri Liam dengan membawa dua nasi bungkus dan roti serta air mineral.

Liam menggeleng, "Lo gak kerja, Mas?".

"Ambil cuti" jawab Aditya, "Kalau Mas kerja, yang jagain Ibu siapa?".

"Makanya, cariin Bu Hana mantu dong" sahut Liam sehingga ia mendapat jitakan di kepalanya oleh Aditya.

"Yang katanya sahabat lo tuh pacarin" balas Aditya, "Deket doang, gak jadian".

Sejak sang Ibu mendidik secara khusus kepribadian dua siswa pilihannya, Aditya juga ikut membantu dan berperan seolah menjadi Kakak yang peduli dengan Adik-adiknya.

Mereka pun semakin dekat sampai hilang rasa canggung pada Liam, berbeda dengan Aesa yang masih bersikap baik dan sopan.

"Bentar lagi ulangan kan? Terus kenaikan kelas, belajar belum lo?".

Liam meletakkan sendoknya, "Ganti topik obrolan ya, Mas, pusing gue".

"Mas cuma ngingetin" balas Aditya kembali mengunyah makanannya.

"Tenang, Mas" Liam menegakkan tubuhnya percaya diri, "Gue udah punya cara buat dapetin nilai bagus".

Aditya menggelengkan kepalanya tak habis pikir, "Terserah deh".

***

"Waktu itu saya lagi dalam perasaan yang emang gak enak banget, Bu" Aesa mulai bicara setelah Bu Hana membujuknya.

"Di sekolah, saya malu" lanjut gadis itu, "Saya banyak jadi bahan omongan gara-gara temen sama Liam, terus ada kita jadi agak jauh".

"Sampai rumah gak ada orang, Bunda pergi reuni" Aesa memainkan jari-jari membuat Bu Hana menggenggam tangan gadis itu, "Rumah berantakan karena Ayah cari kunci mobil".

"Saya bantu cari tapi gak ketemu juga, Ayah marah terus bilang kalau saya ini gak berguna, katanya jadi perempuan itu harus sama kayak Ibunya sedangkan saya enggak".

"Kamu marah juga?" tanya Bu Hana.

"Pasti dong, Bu" sahut Aesa, "Saya bilang kalau Ayah cuma bisa marah-marah aja, gak pernah apa-apa sendiri dan pasti minta tolong Bunda, beda sama saya yang mandiri sampai sakit pun gak ada orang rumah yang tau, beda sama Ayah yang pusing dikit langsung marah ke semua orang rumah".

Aesa mendengus sebal, "Saya tau itu salah, Bu, tapi saya kebawa emosi waktu itu".

"Sekarang kamu menyesal?" tanya Bu Hana halus.

Dengan ragu Aesa mengangguk, Bu Hana menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Ibu juga punya penyesalan, dan belum sempat untuk sekedar mengucap permintaan maaf".

"Gunakan kesempatan ini untuk mencoba perbaiki semuanya ya" pinta Bu Hana pada Aesa yang menganggukkan kepalanya.

Aesa melepas pelukannya, "Nanti saya coba, Bu" ucap gadis itu diam-diam mengusap air matanya.

Bu Hana tertawa ringan begitu juga dengan Aesa. Di tengah tawa mereka, pintu ruangan terbuka menampakkan dua pemuda yang kembali setelah mengisi perut mereka.

Liam memberikan plastik putih berisi martabak manis yang tadi dia pesan.

"Makasih" ucap Aesa kemudian berdiri, "Pulang, yuk".

"Buru-buru banget" ujar Aditya yang baru saja akan duduk di bangku dekat ranjang yang tadi dia tinggalkan.

"Udah malem, Mas" balas Aesa, "Kasian Liam".

Aditya tersenyum mendengarnya, "Biar Mas antar sampai lobby".

Setelah berpamitan dengan Bu Hana, mereka mengikuti langkah Aditya yang berbaik hati mengantar.

"Kira-kira kapan Bu Hana bisa pulang ke rumah?" tanya Aesa.

"Sebenarnya hari ini Mas sudah urus surat dan administrasinya, jadi kemungkinan besok Ibu sudah bisa pulang" jawab Aditya.

Aesa berencana pergi ke rumah Bu Hana besok, bersama Liam tentunya. Keduanya meninggalkan area rumah sakit dan kembali ke jalan raya untuk pulang ke rumah masing-masing.

Liam mengantarkan Aesa kembali ke rumahnya lebih dulu, di tengah perjalanan gadis itu hanya diam dan tidak banyak mengoceh seperti saat sore tadi.

Bisa Liam rasakan tangan Aesa bukan lagi berpegang namun mencengkram kuat jaketnya, apa gadis ini takut?.

"Lo udah bilang kalau mau ke rumah?" tanya Liam.

Aesa hanya menggeleng, Liam bisa melihatnya dari spion motor walau penglihatannya kini mulai sedikit kabur. Beberapa kali Liam mengusap matanya untuk kembali menajamkan pandangan.

"Lo nanti langsung pulang aja ya, istirahat" pesan Aesa pada Liam.

Pemuda itu mengurangi jalu motornya saat memasuki jalan menuju ke rumah Aesa. Bangunan dua lantai sederhana itu terlihat sepi dan hanya lampu teras yang menyala, motor Liam berhenti di depan gerbang setinggi dada itu.

Aesa turun dari motor kemudian melambai pada Liam, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut pemuda itu membuat Aesa tak enak hati.

Ia buka gerbang yang sudah lama tidak dia sentuh itu, tidak bohong Aesa jika dia merindukan rumah ini.

Dengan penuh keberanian ia mengangkat tangan kemudian mengetuk pintu beberapa kali. Suara seorang wanita dari dalam sana membuat Aesa semakin gugup, setelah pintu terbuka mereka sama-sama terdiam menatap satu sama lain.

Di ambang pintu berdiri Elisa dengan mata yang berkaca-kaca, dia tarik anak gadisnya itu ke dalam pelukan.

Aesa memejamkan matanya nyaman dalam pelukan sang Ibunda membuat air matanya turun begitu saja.

"Siapa?".

Pelukan mereka terlepas saat seorang pria datang, Aesa benar-benar ketakutan saat ini sampai perlahan mulai melangkah mundur.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Satrio pada anaknya.

"Es dateng buat jenguk Bu Hana" jawab Aesa berusaha untuk tidak takut.

"Gimana kalau kita ngobrol sambil duduk aja? Bunda buatin teh hangat" saran Elisa, dia membawa anak serta suaminya untuk duduk di sofa ruang tamu.

Aesa melepas tas dan jaketnya, Satrio hanya diam tidak membuka suara hanya untuk sekedar bertanya kabar.

"Sudah Ayah duga kamu memang gak akan betah tinggal di sana" celetuk Satrio, "Makanya kamu jangan sok bener, gini kan jadinya".

Elisa kembali membawa dua gelas teh hangat yang masih mengeluarkan asap tipis, dia duduk di ujung sofa panjang dekat sofa yang Aesa duduki.

"Es baik?" tanya Elisa. Aesa mengangguk, "Baik, Bun" jawabnya, "Es rindu Bunda".

Satrio beranjak dari tempat duduknya pergi kembali ke dalam kamar. Aesa menunduk kembali memainkan jari-jarinya, dia berpikir saran dari Bu Hana untuk meminta maaf pada Ayahnya pasti tidak akan berhasil.

Elisa menghela nafas, "Bunda minta maaf ya, Es" ucapnya menahan tangis, "Ini semua salah Bunda".

Aesa menggenggam tangan sang Ibunda sembari menggeleng, "Enggak, Bun, Es yang salah".

"Harusnya Bunda gak egois" Elisa mulai menitikkan air mata, "Bunda minta maaf ya".

Aesa mengusap air mata Ibunya, "Apa ada hubungannya sama Oma, Bun?".

"Kamu tau dari mana?" tanya Elisa terkejut.

"Es ngerasa aneh keluarga kita jarang bareng ke rumah Oma" jawab gadis itu, "Jadi Es pikir mungkin Oma ada masalah sama kita".

Elisa melirik sekitar memastikan bahwa suaminya tidak diam-diam mendengarkan obrolan mereka, "Mau Bunda cerita?".

Dengan antusias Aesa mengangguk. Elisa menggenggam tangan anaknya kemudian mengingat-ingat kejadian beberapa tahun yang lalu tepat setelah Elisa lulus dari kampus impiannya.

"Bunda pulang ke rumah bareng sama Ayah sekalian minta restu Oma kamu untuk menikah".

"Tapi, Oma melarang" Elisa terlihat sedih karena mengingat kejadian itu, "Akhirnya kita tetap menikah juga tanpa restu dari Oma".

"Karena masih menyimpan rasa kesal itu, membuat Ayah kamu tidak ingin menemui Oma"

Aesa sedikit terkejut mendengarnya, ia mendengarkan dengan seksama karena cerita belum selesai.

"Beliau bilang, silahkan saja kalian menikah tapi jaga anak semata wayang kalian dengan baik" Elisa ingat betul perkataan Ibunya yang diucapkan dengan lembut tanpa terselip kemarahan.

Seorang Ibu yang berusaha untuk menuruti setiap kemauan sang anak, melepasnya menuntut ilmu sampai merelakannya pergi bersama pasangan pilihannya sendiri.

"Setelah kamu lahir, Ayah dan Bunda sangat bahagia" Elisa menemukan kembali senyumannya, "Kamu tumbuh jadi gadis kecil yang ceria, namun keras kepala dan sulit untuk menyesuaikan diri pada lingkungan".

"Awalnya Bunda tidak mengkhawatirkan apapun, sampai Ayah kamu mulai bersikap keras" Elisa menatap dalam mata Aesa, "Ingat?".

Aesa mengangguk, ia ingat saat sang Ayah yang ringan tangan itu membuat sekujur tubuh kecilnya perih dan merah karena geram melihat Aesa yang tak kunjung mandi saat hari sudah sore.

"Di mata orang, mungkin masalahnya memang sepele tapi mereka tidak tau apa yang kita rasakan" Elisa menghela nafas, "Kata Oma, Es dan Ayahnya punya kepribadian yang nyaris mirip sehingga salah satu dari mereka harus ada yang mengalah jika tidak ingin rumah tangga ini pecah".

"Sejak itu Bunda takut" Elisa semakin erat menggenggam tangan putrinya, "Bunda berusaha untuk mendidik kamu menjadi wanita dengan hati yang lembut".

"Bunda berhasil" sela Aesa mengangguk sembari tersenyum.

"Ayah sebenarnya juga sayang sama Es, tapi egonya masih besar dan harus Es yang menampakkan rasa sayang Es itu kepada Ayah".

"Es sayang sama Ayah?".

Bukan Elisa yang bertanya melainkan sebuah suara dari seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.

Elisa menutup mulutnya terkejut dengan kedatangan suaminya, apakah pria itu sedari tadi mendengarkan ceritanya?.

Satrio membuka lengan mengisyaratkan pada Aesa untuk memeluknya. Gadis itu beranjak kemudian mendaratkan pelukan pada Ayahnya.

Satrio tidak menyangka anaknya bisa menerima segala yang pernah dia lakukan, istrinya benar-benar berhasil membentuk anak gadis mereka menjadi pribadi yang berlapang dada.

"Ayah minta maaf ya, Es".

Aesa menggeleng, "Es yang salah, Yah".

Elisa bangkit ikut dalam pelukan, keluarga kecil seperti inilah yang Elisa inginkan sejak dulu.

Rumah yang Aesa kira akan sama saat ia meninggalkannya kini ternyata berbeda. Kembali ia mendapat kehangatan dalam tempat yang disebutnya sebagai rumah. Bukan hanya tempat berlindung tapi juga tempat menuangkan cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga.

Bisa Aesa katakan, ia senang pulang ke rumah.

***

Jemarinya lincah mengetik pada ponsel mengirim pesan berisi surat ijin pada Wali kelas, tak lupa mengabari Indah kalau hari ini dan besok dia tidak berangkat ke sekolah.

Indah

/Padahal hari ini Alya masuk kelas
/Menang dia, kayak biasanya

Biarin\
Hehe\

/Ya udah, aku mau berangkat

Hati-hati\

Aesa kembali berbaring di kasurnya, dia rindu menghirup udara kamarnya ini. Langit-langit kamar bergambar bintang dan planet-planet yang dia lukis sendiri berperan seolah menemaninya saat tidur.

Gadis itu bangkit membuka kaca besar di samping kamar yang menghubungkan langsung pada balkon. Ia rindu suasana ini, melihat keadaan sekitar rumah dari atas ataupun berdiam menatap langit malam.

"Es! Turun, makan!".

"Iya, Bun".

Gadis itu segera beranjak dengan senang hati, dia juga merindukan suara Ibunya yang memanggil ia untuk makan.

Keluarga kecil ini semakin membaik setelah kejadian malam tadi, Bunda membuat tempat seperti rak kecil untuk meletakkan barang-barang Ayah sehingga tidak perlu lagi marah saat mencari sesuatu.

"Ayah udah berangkat?" tanya Aesa yang tidak melihat sang Ayah ada di meja makan.

"Baru aja, kamu turun terus Ayah berangkat" jawab Elisa.

Aesa duduk di kursinya, mengambil nasi serta lauk yang Elisa masak untuknya.

"Hari ini kamu pergi? Atau di rumah aja sama Bunda?" tanya Elisa setelah duduk di seberang anaknya.

"Di rumah aja, tapi nanti sore pergi sama Liam" jawab Aesa, "Ke rumah Bu Hana".

"Sayang banget kamu sama Bu Hana" Elisa mulai penasaran, "Coba dong cerita sama Bunda".

"Bu Hana satu-satunya guru yang gak pernah marah, beliau punya sudut pandang sendiri dalam melihat anak-anak bandel" ujar Aesa, "Sebab Bu Hana juga Es sama Liam gak pernah terlambat ke sekolah lagi".

"Kalau sekarang Es udah pindah, jadi gak tau Liam masih terlambat lagi atau enggak" lanjut Aesa.

Elisa tersenyum, "Kamu mau satu sekolah lagi sama Liam?".

Pertanyaan itu membuat Aesa hampir tersedak, "Enggak usah, Bun".

"Di sana Aesa punya banyak temen, pemandangannya cantik, ada gunung sama danau".

"Danau?" Elisa mengernyit, "Kamu kok tau danau itu? Pergi ke sana sama Indah ya".

Aesa berpikir sepertinya dia salah bicara. Jika gadis itu mengangguk maka Ibunya mungkin akan mencari kebenaran dari Indah, jika ia menggeleng pasti akan muncul pertanyaan, dengan siapa Aesa pergi?.

"Dulu Bunda sering pergi ke danau buat main dan belajar, ada pohon besar rindang yang cocok banget buat ngadem".

Gadis itu mengangguk, penggambaran sang Ibu masih sama dengan yang dia lihat.

"Bunda" Aesa meletakkan sendoknya, "Es mau ngomong sesuatu tapi takut".

"Ngomong aja, sayang" Elisa beranjak berganti tempat duduk di samping putrinya, "Ada apa?".

"Waktu di rumah Oma, Es sempat sakit" ucap Aesa, "Tapi gak parah kok, Bun, udah diobatin sama Mbah Dah bilangnya cuma kaget sama meriang".

"Es gak nyaman ya tinggal di rumah Oma?" tanya Elisa khawatir.

Aesa menggeleng, "Es nyaman kok, cuma waktu itu Mbah Dah bilang ada energi kuat yang berinteraksi sama Es".

"Tapi kamu gak punya keistimewaan itu Es" sahut Elisa.

"Es tau" Aesa berusaha menenangkan Ibunya, "Es udah coba ngomong dan dia baik kok, Bun".

"Baik?" Elisa menggeleng, "Dia bukan bagian dari kita, Es, dia bukan manusia!".

"Sekarang Es gak kenapa-kenapa kok, Bun, malahan dia yang nemenin Es di rumah Oma" Aesa mengeratkan genggaman tangan Ibunya, "Gak apa-apa kan, Bun?".

"Bunda khawatir, Es" Elisa sedih, "Kamu di rumah aja ya".

***

- • To be continued • -

Makin seru gak sih?

Thanks for the vote and comment

Continue Reading

You'll Also Like

7.8K 773 42
Soraya Aufarina, gadis berusia 24 tahun yang bekerja disebuah kantor majalah yang ada dikotanya. diusianya yang masih terbilang muda, Rita ibu dari R...
115K 8.3K 34
'I Need a Mate!' Aiden Grimshaw a Werewolf Mateless 25 y.o *Mari merambah kedunia per-Werewolf-an ✌ β–ͺ︎foto2 dari koleksi pribadi dan google, yg kuam...
1.1M 44.8K 15
Selama tiga bulan mendatang, Miya Gantari harus tinggal serumah dengan empat pria tampan, sebagai pembantu rumah tangga mereka. Kira-kira kejadian ap...
6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...