Hi, Bye Papa!

By litsparklings

562 127 22

Dito gak butuh banyak hal di dunia ini, asal Dito masih bisa lihat Papa. Karena, Dito hidup buat Papa. More

Prolog : Namanya Dito
Anak Papa
Mimpi
Tante Cantika
Permintaan Maaf
Kantin yang Berisik
Dito dan Gara
Bom Waktu
Hancur belum Runtuh
Papa Sekala
Sagita
Si Cantik Purnama
Danila.
Sebuah Harapan
Papa Marah

Perpustakaan

19 6 1
By litsparklings

****

Untuk beberapa saat fokus nya hilang digantikan dengan dengusan kecil mengingat obrolan nya dengan Papa semalam tentang bagaimana kedua orang tua nya itu bertemu dan berakhir menjadi pasangan sejati.

Tentang Mama yang riuh dan selalu berhasil membuat dunia berotasi untuk nya dan tentang Papa yang damai namun selalu berhasil menarik dunia dengan segala keheningan yang Papa punya.

Alis nya terus menukik tajam padahal bacaan nya siang ini bukanlah tentang detektif yang mencari seorang pembunuh. Bahkan bukan soal Kimia yang harus di pecahkan dengan berbagai rumus.

Bacaan nya hanya berisi tentang bagaimana menjadi seorang manusia yang baik.

Tetapi ternyata kisah antara Mama dan Papa selalu berhasil merenggut kasar pikiran nya.

"Mama kamu itu dulu 180 derajat berbanding terbalik sama Papa."

Dito tidak tau sudah gelas ke berapa yang Papa minum malam ini, tetapi cerita nya tetap mengalir tanpa mau berhenti. Dito pun tidak mau menghentikan nya.

"Mama itu ramai, hidup Mama penuh sama harapan. Dunia yang berotasi untuk Mama bukan Mama yang mengejar dunia."

Hening sejenak sebelum tanya menguar ke permukaan. "Kalo Papa gimana?"

Sedikit tertawa entah apa yang lucu namun Dito yakin hal itu jelas kontras dengan kehidupan Mama.

"Papa itu sepi. Hampa. Tapi Papa juga gak ngerti kenapa dunia bisa tertarik sama Papa."

"Dunia Mama yang ramai, selalu penasaran sama Papa yang sepi."

Helaan nafas kembali ia luncurkan untuk setelah nya kembali membaca kumpulan frasa yang akan menenangkan nya siang ini. Raga sedang sibuk dengan club fotografi jadi dengan segala rasa hormat dia tidak akan mengganggu hari-hari pemuda tersebut.

Tetapi bacaan nya harus terpaksa berhenti lagi setelah mendengar sayup-sayup tarikan nafas di sebelah nya. Di sebelah sekat yang membatasi kedua nya.

Dito tidak mau peduli pada awal nya, tetapi tarikan nafas tersebut berhasil mencuri perhatian nya. Dia menarik nafas seolah dunia nya akan selesai hari ini.

"Lo gapapa?"

Yang setelah nya berhasil membuat Dito memutuskan untuk bertanya, walaupun sejujurnya Dito sendiri merasa ini adalah tindakan ilegal. Bagaimana kalau seseorang di sebelah nya ini justru merasa terganggu dengan pertanyaan nya? Bagaimana kalau ternyata sosok di balik lelah nya tarikan nafas tersebut hanya butuh waktu sendiri?

Namun jawaban yang tercipta setelah hening dari pertanyaan nya menguar, membuat Dito bernafas lega.

"Gapapa."

Oke. Cukup sampai disana saja. Sebaiknya Dito tidak bertanya lebih lanjut atau berusaha sok peduli dengan orang yang bahkan tidak dia ketahui identitas nya, meski ia yakin kalau dia adalah seorang perempuan.

"Udah makan?"

Baik. Itu adalah pertanyaan bodoh. Untuk beberapa detik Dito merasa kalau mulut nya tidak pernah sinkron dengan otak dan hati nya, untuk beberapa waktu Dito mengutuk dirinya sendiri. Orang gila.

Masih hening dan kali ini Dito sudah akan beranjak dari sana mengembalikan bacaan nya setelah bertindak bodoh, melewati batas. Sebelum akhirnya suara yang tidak selembut Tante Cantika tapi sedalam mariana tersebut mengalun dalam rungu nya.

"Gue kenapa harus sekolah disini."

Itu bukan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan nya. Bukan jawaban yang pas dengan apa yang ia tanyakan, tetapi, berhasil membuat langkah Dito tertahan beberapa saat.

Bukan jawaban yang menjadi fokus nya tetapi gurat nada lelah yang gadis itu ungkapkan menciptakan rasa tidak nyaman di dalam hati Dito. Dirinya seperti melihat Dito di masa lalu pada gadis ini.

"Karena lo gak bisa melawan takdir."

Dengan begitu pandangan mereka bertemu, netra coklat bening itu bertemu dengan netra legam berkilau milik Dito. Sesaat mereka berdua sama-sama menahan napas hanya untuk saling menyelami nayanika masing-masing.

Mengukur seberapa dalam tatapan tersebut, mencoba untuk saling mencari tau sudah sebanyak apa rasa sakit yang netra tersebut lihat dan hadapi.

Dan untuk membuat kedua nya sama-sama sadar lalu memutus kontak mata dengan cepat. Dalam keterkejutan yang belum selesai Dito baru sadar, gadis yang duduk di balik sekat itu adalah gadis yang sama yang beradu argumen dengan Gara, tempo hari.

"Lo—"

"Maaf kalo keganggu, bisa nggak anggep gue angin lalu aja? Maaf ya."

Berikut nya gadis itu tenggelam dalam lengan nya yang menumpuk di atas meja. Dia tidak menangis hanya diam selama beberapa menit, heran nya kenapa bisa gadis itu membuat Dito kembali duduk di sebelah nya, membiarkan waktu perlahan-lahan menggerogoti kedua nya.

Tidak ada yang salah. Tidak ada yang patut untuk di pertanyakan. Sudah jalan nya semesta mempertemukan kedua nya.

Mempertemukan kedua nya yang sama-sama sepi tetapi bergemuruh dari dalam.

"Jangan tanya apa-apa, gue mau sendirian."

Mengurungkan niat Dito untuk kembali bertanya dan membuat nya menutup mulut secara paksa. Dito bukan tipe orang yang peduli dengan hidup orang lain, tetapi, gadis ini tidak tau mengapa menjadi sebuah pengecualian.

Gadis yang tempo hari berapi-api hari ini menjadi sesunyi sepi. Gadis yang tempo hari berani menatap si problematik bahkan tidak berani menatap si tenang untuk waktu yang lama.

"Nggak masalah. Take your time."

Dito yang seharusnya bisa pergi dari sana memilih untuk diam. Menikmati keheningan yang tidak berarti, menunggu sampai gadis itu bangun dari kediaman nya lalu beranjak meninggalkan Dito seorang diri sampai bel berbunyi.

"She's not okay, but pretend to be okay."

Kayak gue. Sambung nya di dalam hati yang sial nya menusuk begitu dalam.

••••

"Anjir! Berita lo rame To di club gue tadi, pengen banget mulut nya gue sumpelin pake tutup kamera satu-satu. Berisik banget demi!"

Raga tidak bohong itu seratus persen sebuah kebenaran. Berita tentang Dito dan Gara yang adu jotos di studio tari hampir menyita waktu rapat mereka selama kurang lebih 30 menit.

Membuat darah di kepala Raga mendidih bahkan sudah siap untuk di tuang sebelum akhir nya Kevin—ketua club menghentikan ocehan mereka.

Dito hanya mengedikkan bahu nya santai, tidak peduli apa kata orang. Toh memang fakta mau di sangkal juga sudah percuma.

"Bodo amat lah, sejak kapan kita bisa bungkam mulut-mulut di Pelita Jaya?"

"Tapi ngeselin anjir! Udah kayak perkumpulan gosip aja, ck!"

Melirik sekilas sahabat nya yang sudah mirip kepiting rebus itu berhasil meloloskan kekehan yang diam-diam membuat Raga menoleh kesal.

"Bukan nya lo suka gitu-gituan?"

"Beda! Ini yang objek nya itu lo, gimana bisa gue diem aja?!"

Raga dan segala emosi yang tidak bisa di tahan itu hanya bisa membuat Dito diam sembari terus mengelus pundak laki-laki tersebut. Sebenarnya Dito lebih khawatir dengan kamera yang Raga pegang, takut kalau sewaktu-waktu kamera itu benar-benar menghantam kepala salah satu teman nya di club.

"Sabar elah udah, gue yang di gosipin ini santai aja. Lo nggak perlu emosi berlebihan."

"Ya makanya itu! Lo harus emosi juga dong, To! Jangan diem aja!"

"Lo nggak liat gue udah bikin anak donatur sekolah babak belur? Untung nggak dapet sanksi, heran juga kenapa malah berakhir damai. Paling nggak gue udah di skors harusnya ya, kan?"

"Tapi iya juga ya? Apa lagi yang mau di rencanain si bodoh itu?"

Hanya Dito dan Raga yang berani menyebut anak donatur terbesar di sekolah dengan sebutan “si bodoh” walaupun sejujurnya apa yang mereka ucapkan adalah sebuah kebenaran.

Gara memang bodoh. Berakhir di kelas IPA 2 yang berisi sebagian anak-anak unggulan pun merupakan sebuah tanda tanya, tetapi seharusnya tidak perlu ditanyakan lebih lanjut. Karena dengan uang manusia seperti mereka mampu melakukan apa saja.

Kalau dibandingkan dengan Brenda yang peringkat terakhir di IPA 1 pun, Dito dan Raga berani bertaruh kalau Gara bahkan tidak bisa menyaingi kepintaran Brenda—si preman kelas.

Jadi memang Gara patut di sebut sebagai si bodoh, satu spesies dengan Yoga dan Jergas, hanya beda level di kasta.

"Mau ngehajar gue lagi kali?"

Itu pernyataan sekaligus pertanyaan yang berhasil mengusik emosi Raga kembali.

"Kalo dia mau ngehajar lo lagi, kasih tau gue!"

"Emang lo mau apa?"

"Mau gue bantuin tonjok."

Mendengar emosi Raga yang menggebu-gebu itu tanpa sadar membuat Dito tertawa keras, cukup keras untuk membuat seisi kelas memandang Dito kagum. Seumur-umur menjadi teman sekelas Dito baru kali ini mereka melihat manusia paling tenang seangkatan IPA tersebut tertawa sekeras itu.

Menarik untuk di pandang kaum hawa. Hei, Dito itu anak nya Sekala Lazuardi yang siapapun tau bagaimana menarik nya laki-laki tersebut.

"Emang lo bisa nonjok?"

"Anjing! Lo ngeraguin gue? Mau gue tonjok lo sekarang?"

"Kalem kalem, gue tau kok lo bisa nonjok dengan bisep lo yang kemana-mana itu."

Raga langsung menarik lengan seragam nya untuk menutup otot yang Dito sentuh. Malu karena Raga jelas sadar Dito tengah mengejek nya saat ini.

"Lo jangan gitu ah elah!"

"Hahahaha udah lah santai aja woi, lagian lo nge-gym gak ngajak."

"Bukan nya lo yang males?" Keluh Raga yang sudah tidak emosi lagi.

Pertanyaan itu tidak Dito jawab karena mendadak kepala nya mengingat memori antara dirinya dengan seorang gadis di perpustakaan.

"Ga."

"Hm."

"Gue tadi ketemu cewek itu di perpus."

Raga mengangkat pandangan nya seraya mengingat cewek mana yang Dito maksud, tetapi, sampai di menit setelah nya Raga tidak kunjung menemukan siapa cewek itu.

"Cewek mana?"

"Yang berantem sama Gara."

Menjengit kaget tanpa disuruh Raga langsung mendekat ke arah Dito membuat sahabat nya itu bergerak risih.

"Hah? Serius? Kok bisa?"

Menggeleng pelan Dito pun tidak tau kenapa bisa bertemu dengan gadis itu, kebetulan macam apa tidak tau juga.

"Nggak tau juga. Kebetulan aja dia duduk di sebelah gue."

"Terus terus kalian ngapain?"

"Ngapain, maksud lo?! Nggak ngapa-ngapain lah!" Sungut Dito yang justru membuat Raga semakin memicing curiga.

"Yang bener lo?"

Dito hanya mengangguk sekilas tidak berniat untuk menceritakan obrolan di antara dirinya dan gadis itu kepada Raga. Sebenarnya pun memang tidak ada obrolan yang harus di ceritakan.

"Kenapa gue harus sekolah disini."

"Jangan tanya apa-apa, gue mau sendirian."

Gurat nada penuh kelelahan itu berhasil mengusik pikiran Dito seharian penuh. Seharusnya tidak seperti ini, seharusnya Dito tidak perlu meluangkan waktu untuk memikirkan obrolan tidak berarti tersebut.

Seharusnya Dito sibuk menghafal materi Biologi karena akan ujian beberapa menit lagi. Seharusnya Dito tidak perlu rungsing karena gadis itu.

"Maaf kalo keganggu, bisa gak anggep gue angin lalu aja? Maaf ya."

Sialan.

****

Bersambung..

Apakah saat nya Dito jatuh cinta? Hehe.

Continue Reading

You'll Also Like

Alina By ihidethisapp

General Fiction

1.5M 37.3K 75
The Lombardi family is the most notorious group in the crime world. They rule both the American and Italian mafias and have many others bowing at the...
445K 16.2K 192
Won Yoo-ha, a trainee unfairly deprived of the opportunity to appear on a survival program scheduled to hit the jackpot, became a failure of an idol...
200K 11.6K 43
The feeling of being abandoned by one's own family was not unknown to Aadhira. She hates her family for abandoning her when she was only a newborn, l...
448K 32.1K 43
ပဲပြုတ်သည်ငပြူးနဲ့ ဆိုက်ကားဆရာငလူးတို့ရဲ့ story လေးတစ်ပုဒ်