Hi, Bye Papa!

بواسطة litsparklings

562 127 22

Dito gak butuh banyak hal di dunia ini, asal Dito masih bisa lihat Papa. Karena, Dito hidup buat Papa. المزيد

Prolog : Namanya Dito
Anak Papa
Mimpi
Tante Cantika
Permintaan Maaf
Kantin yang Berisik
Dito dan Gara
Bom Waktu
Perpustakaan
Papa Sekala
Sagita
Si Cantik Purnama
Danila.
Sebuah Harapan
Papa Marah

Hancur belum Runtuh

50 8 1
بواسطة litsparklings

****

"DITO!"

Ternyata bukan Papa yang datang untuk menyelamatkan nya hari ini. Tapi laki-laki yang saat ini wajah nya sudah mulai kemerahan, Dito pikir seluruh emosi nya di tahan sejak di perjalanan menuju kesini.

Ke gudang terbengkalai melihat nya yang terpuruk, untuk yang kedua kali.

Itu Raga. Itu Raga dengan sejuta keberanian yang tidak tau datang dari mana. Itu Raga yang melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta, demi menyelamatkan hidup seseorang. Demi menyelamatkan Dito yang nyaris runtuh.

Memberikan sahabat nya kesempatan untuk mencoba hidup sekali lagi.

"Lo ngapain disini brengsek?!"

Amarah itu tertahan meski sejujurnya sudah tumpah ruah hingga menyakiti hati Dito, melihat bagaimana jemari putih Raga terkepal kuat, napas nya yang memburu, peluh yang membasahi ujung rambut nya.

Menciptakan perasaan bersalah sekali lagi di dalam hati Dito. Membuat nya luruh kembali di tanah bumi, menangisi segala hal yang sudah menyakiti nya. Menangisi kenapa Raga serela ini untuk menyelamatkan nya yang sudah tidak berbentuk.

Menangisi kenapa harus Raga yang melihat nya hari ini. Kenapa harus Raga?

"Bangun."

"BANGUN BAJINGAN!"

Hampir seumur hidup nya Raga tidak pernah sekalipun berkata sekasar ini, baik pada Ayah, Bunda dan juga laki-laki yang sudah bersimpuh tak berdaya di bawah nya sekarang. Raga anak baik yang selalu menjaga ucapan nya, setidaknya itulah citra yang harus ia pertahankan di hadapan semua orang, di hadapan Ayah dan Bunda.

Pengecualian untuk pengecut seperti sahabat nya. Dito itu memang seperti bom waktu, tapi anak itu hanyalah bom waktu pengecut. Yang tidak mampu mengontrol diri kapan sebaiknya ia harus meledak.

Dito mengakui nya. Sejak kaki nya luruh menyatu dengan semen rooftop yang dingin, sejak air mata nya jatuh di punggung tangan nya yang masih kemerahan dengan darah mengering, sejak ia kehilangan dirinya untuk sekali lagi. Dito mengaku kalah, Dito mengaku kalau dirinya tidaklah sekuat apa yang orang-orang ucapkan.

Pertahanan yang selama ini ia lakukan untuk Raga ternyata luruh oleh Raga.

"Sakit.."

Kata pertama nya setelah melihat kaki Raga yang gemetar, bahkan untuk melihat apakah raut wajah Raga sudah berubah, Dito tidak mau.

Meski untuk melihat betapa terluka nya Raga yang melihat dirinya nyaris runtuh ini, Dito tidak sanggup. Dito sudah banyak melukai orang, dia sakit.

"Kenapa jadi gini sih, To..?" Lirih nya yang masih tetap berdiri tegak meski lututnya lemas bukan main.

Perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang seharusnya memakan waktu kurang lebih 2 jam, malam itu entah di sengaja atau tidak Ayah menyetir seperti kesetanan. Membuat nya sampai 1 jam lebih awal, memberi nya ruang untuk berpikir dimana Dito berakhir untuk membuang rasa sakit nya.

Gedung terbengkalai di seberang kantor Om Sekala, tidak pernah ada di dalam pikiran Raga. Tetapi, hati nya secara spontan menyebutkan bahwa salah satu anak semesta, sekali lagi menjatuhkan dirinya sendiri malam ini disana.

"To, lo mau sampe kapan sehancur ini sendirian? Lo punya gue, kenapa lo mau sok kuat kalo kenyataan nya lo gak bisa, kenapa Dito?"

Dan pada akhirnya lutut kaki nya yang gemetar bukan main tidak lagi mampu menumpu, membuat nya luruh di depan Dito yang masih menangis dalam diam.

Tangan nya merengkuh tubuh yang biasa nya tegap itu dengan kedua tangan nya yang gemetaran. Tubuh yang selalu berjalan tanpa goyah di samping nya, sekarang rapuh di depan nya.

"Gue bukan pembunuh, Ga."

Satu.

"Gue nggak bunuh siapa-siapa."

Dua.

"Gue cuma anak yang mau hidup dengan tenang."

Tiga.

"Gue bahkan nggak punya harapan lagi, Ga. Kenapa mereka semua mau repot-repot hancurin gue padahal gue udah ngehancurin diri gue sendiri."

Empat.

Hening.

Angin malam itu menerbangkan daun-daun yang ada di samping, menciptakan suara-suara yang memenangkan. Seolah-olah mengatakan gapapa semua nya akan baik-baik saja.

Dito itu rumit. Semua orang tau, bahkan Sekala tau serumit apa seorang Ardito. Semua pemikiran dan kata hati nya hanya Dito yang tau, sekeras apapun Sekala dan Raga mencoba untuk memahami hasil nya gagal.

Tidak ada yang bisa memahami hancur dalam hidup Dito. Mereka hanya bisa merasakan, maka dengan sekali lihat, mereka tau bahwa Dito sudah hancur.

"Ayo pulang. Om Sekala pasti kebingungan nyariin lo."

"Papa."

Napas nya berangsur-angsur kembali normal, nada suara nya sudah mulai tenang, meski gemetar di tubuh nya belum hilang. Raga mencoba untuk tetap diam, mendengarkan seperti apa yang biasanya ia lakukan.

"Apa menurut lo Papa bakal marah liat keadaan gue yang jauh dari kata baik-baik aja ini?"

Raga belum berani menjawab setidaknya pertanyaan itu di biarkan tanpa jawaban selama dua menit. Membuat mereka sama-sama merasakan bagaimana angin mulai menelisik, menciptakan rasa dingin namun nyaman.

"He not."

Dua kata itu berhasil membuat Dito mengangkat wajah nya, melihat Raga yang ternyata sama kacau nya.

"Ayo pulang, To."

Laki-laki itu berdiri setelah sekian lama mengadu pada bumi yang malah tidak berempati sekali lagi, tetapi, memang Dito tidak butuh empati nya. Dito sudah sadar diri untuk tidak mengharap empati dari siapapun.

Langkah jenjang kedua nya yang sejajar menciptakan bunyi yang selaras, membuat bayangan yang tercipta sebab lampu jalanan terlihat bersisihan. Belum ada yang membuka suara sejak mereka keluar dari gedung terbengkalai yang sejujurnya cukup menyeramkan untuk Raga.

Baiklah itu sangat menyeramkan.

Mereka hanya diam tidak tau menikmati apa karena malam ini benar-benar tidak ada yang bisa di nikmati, selain keadaan langit malam yang kontras dengan hati Dito.

Malam itu langit sangat indah dengan banyak bintang, tapi Dito benci.

"Kok lo udah balik? Bukan nya besok?"

Dito juga benci keheningan. Meski fakta nya ia selalu hidup dalam keheningan, bayangkan betapa tersiksa nya Dito selama ini.

"Menurut lo apa gue harus tetep stay di Bandung setelah sahabat badung gue nelpon dan bilang berantem sama anak problematik di sekolah?"

Oke, ini benar-benar Raga Rahardian yang kecepatan berbicara nya di atas rata-rata. Karena, sosok yang ia lihat di atap gedung tadi berbeda 180 derajat dari sosok yang ia lihat sekarang.

Dito hanya menggaruk tengkuk nya sekilas menendang apa saja yang menghalangi ujung sepatu nya.

"Gue nggak ngerti apa yang lagi di rencanain Gara." Ungkap nya yang memenuhi isi kepala nya sejak tadi siang.

"Kenapa dia nargetin gue?"

Raga menjawab karena menurut nya itu adalah sebuah pertanyaan. "Dia terancam kali sama lo. Lo yang gak peduli soal presensi dia. Lo yang bodo amat sama semua tindakan-tindakan gila dia. Lo yang bahkan nggak peduli sama hidup dia."

"Orang-orang kayak Gara itu butuh validasi, pengakuan, karena mereka memang hidup buat itu. Jadi, ketika mereka tau ada orang yang nggak mengakui kehadiran nya, mereka marah. Mereka merasa satu orang yang nggak peduli sama mereka ini akan bikin semua orang di sekitar mereka jadi ikutan nggak peduli."

"Kasar nya mereka takut nggak punya power."

Penjelasan dari Raga di terima dengan sangat baik oleh Dito sampai ia mengernyit tajam. "Cewek itu."

"Ha?"

"Cewek yang berantem sama Gara. Gimana keadaan dia?"

••••

Raga benar soal Sekala yang khawatir bukan main setelah melihat keadaan di rumah sepi. Lampu-lampu masih gelap, dapur masih bersih seperti tadi pagi ia tinggalkan. Kamar di lantai atas juga masih gelap tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Yang artinya Dito belum pulang sejak tadi.

Sekala nyaris membanting ponsel nya saat nomor Dito benar-benar tidak bisa di hubungi.

"Nomor telepon yang Anda hubungi sedang berad—"

"Argh!"

Satu pukulan ia arahkan ke dinding menyebabkan lapisan kulit terluar nya memerah dengan sedikit darah. Sekala sedang lelah dengan pekerjaan yang begitu menumpuk dan fakta Dito tidak dirumah membuat nya semakin kalut.

"Dito kamu kemana lagi, Nak?!"

Sekala takut bukan main. Setiap kali dirinya tidak melihat Dito, rasa takut nya naik satu level. Sekala hidup untuk Dito, kalau Dito tidak ada hidup Sekala hancur.

"Sial. Kenapa nggak bisa di hubungi?!"

Amarah nya sudah berada di dua level teratas sampai suara pintu yang terbuka, mengenyahkan kemarahan nya.

Dito sudah pulang dan keadaan nya kacau.

"Dito?!"

"Papa, maaf. Dito baru pulang, hp Dito mati jadi nggak bisa—"

Kata-kata nya tertahan sesaat Sekala lari dan membawa nya ke dalam pelukan hangat seorang Ayah. Kata-kata nya bahkan belum selesai sampai Sekala menangis untuk nya, menangis kuat seperti 4 tahun yang lalu.

"Kamu baik-baik aja kan? Nggak ada yang luka kan? Kamu kemana aja, Nak? Papa takut, Papa takut Dito."

Menangis dengan kadar ketakutan yang tidak bisa di ukur dengan gelas ukur. Menangis dengan rasa gemetar yang tidak bisa di sembunyikan.

"Jangan kayak gini lagi, jangan hilang, jangan diulangi lagi, Dito.."

Yang pada akhirnya membawa kembali kenangan menyakitkan itu untuk memenuhi isi kepala nya yang semakin kusut. Membuat nya terpaksa mengingat betapa menyakitkan nya hidup Papa kalau dirinya tetap melawan takdir untuk mati.

Papa mau dia tetap hidup bagaimana pun cara nya Papa akan berusaha keras, tetapi, dirinya dengan tidak tau diri memilih untuk mati, berusaha keras untuk menghilang agar tidak menjadi pisau yang semakin hari semakin menggoreskan luka dalam untuk Papa.

"Jangan tinggalin Papa, Papa cuma punya kamu, Dito."

Bagaimana.. bagaimana mungkin dirinya menyakiti hati yang sudah rapuh ini? Bagaimana mungkin dirinya tega akan menyakiti nya untuk yang kedua kali? Dito kamu jahat.

"Papa maaf.. Maafin Dito.. Maaf, Pa."

Napas nya memburu melihat bagaimana anak nya yang jatuh meluruh di pojokan atap. Hati nya berdebar hebat melihat bagaimana rasa sakit itu menghancurkan Dito perlahan-lahan. Tenggorokan nya tercekat hanya untuk menelan ludah saat sadar bahwa Dito sedang melakukan percobaan bunuh diri.

Kenapa? Apa yang sudah Dito lalui sampai berani mengambil keputusan menakutkan itu? Apa yang salah? Apa dia yang salah? Apa Dito sakit hati dengan dirinya?

"Dito!"

Kaki nya sudah tidak mampu lagi menumpu massa tubuh nya, ia jatuh. Luruh lantah bersama, menangis kencang seolah mencari harapan agar mereka sama-sama bisa terus 'hidup'.

"Siapa yang bikin kamu kayak gini, Dito?"

"Bilang sama Papa, kasih tau siapa yang udah nyakitin kamu! Papa bisa cari dia sekarang!"

Namun apa yang Dito katakan malam itu, sekali lagi berhasil menyakiti dirinya. Berhasil menyadarkan dirinya bahwa dia belum 'cukup' baik untuk menjadi orang tua yang baik. Sekala masih belum mampu menjadi orang tua yang tepat untuk Dito.

"Dito. Dito yang bikin diri Dito kayak gini. Dito yang hancurin diri Dito sendiri, Pa."

"Dito capek Pa.."

"Dito cuma mau hidup, Dito gak berharap apa-apa lagi. Dito cuma mau tenang."

Malam itu bahkan Sekala tidak berani meminta harapan, karena Sekala sudah gagal sejak hari itu.

"Papa belum berhasil, jadi Dito jangan pergi, Papa hidup buat Dito."

"Maaf, Pa.."

Dito sudah hancur sebelum dia sadar Sekala sudah lebih dulu hancur menyentuh runtuh.

****

Bersambung..

This chapter.. aku tidak bisa berkata-kata *sobbing*

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

128K 4K 34
Nollani is a 21 year old student, she has a big personality that only the closest know. She's very independent but very deep down wants a mommy to de...
200K 11.5K 42
The feeling of being abandoned by one's own family was not unknown to Aadhira. She hates her family for abandoning her when she was only a newborn, l...
60.1K 3.5K 49
M/n, a victim of bullying who took his own life, got a chance to be reborn as Vasilyev Konstantin, a Russian political figure in the world of lookism...
335K 39.1K 73
✦ ᴄᴀɴ ʙᴇ ʀᴇᴀᴅ ᴀs ɢᴇɴᴇʀᴀʟ.ғɪᴄᴛɪᴏɴ ✦ - 𝖒𝖆𝖓𝖎𝖐 𝖝 𝖆𝖓𝖆𝖍𝖎𝖙𝖆 𝖝 𝖓𝖆𝖓𝖉𝖎𝖓𝖎 - --- ♡ --- "𝘔𝘺 𝘩𝘦𝘢𝘳𝘵 𝘴𝘵𝘰𝘱𝘱𝘦𝘥 𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩𝘪𝘯𝘨 𝘧...