Hi, Bye Papa!

By litsparklings

562 127 22

Dito gak butuh banyak hal di dunia ini, asal Dito masih bisa lihat Papa. Karena, Dito hidup buat Papa. More

Prolog : Namanya Dito
Anak Papa
Tante Cantika
Permintaan Maaf
Kantin yang Berisik
Dito dan Gara
Bom Waktu
Hancur belum Runtuh
Perpustakaan
Papa Sekala
Sagita
Si Cantik Purnama
Danila.
Sebuah Harapan
Papa Marah

Mimpi

27 8 0
By litsparklings

****

Dito pulang lebih sore hari ini karena jadwal ekskul nya. Dito tidak banyak mengikuti ekskul sekolah, hanya dua. Satu, ekskul Olimpiade dan kedua, ekskul Badminton. Dan hari ini jadwal ekskul Badminton.

Begitu pulang ternyata gerbang masih terkunci yang artinya Papa belum pulang, seperti nya akan pulang malam. Merogoh kunci yang ada di saku nya, Dito membuka gembok gerbang dengan mudah untuk selanjutnya ia biarkan gembok tersebut tidak terkunci lagi, hanya kunci gerbang saja yang ia gunakan.

Dirinya buru-buru membersihkan tubuh nya yang lengket karena keringat lalu setelah nya ia akan memasak untuk makan malam. Papa selalu mengajarkan padanya untuk tidak boros dengan memesan makanan di luar, oleh karena nya sejak kecil Papa selalu mengajarkan dirinya memasak. Agar nanti setelah dewasa Dito bisa mengurus diri nya sendiri.

Terbukti, masalah kebersihan rumah dan memasak Dito jago nya. Meskipun Papa lebih jago sih, tapi paling tidak dirinya bisa meringankan beban Papa yang sudah pasti jauh lebih berat karena harus bekerja juga.

Ia memilih untuk memasak sop melihat bahan yang tidak begitu banyak di kulkas, karena mereka berdua belum belanja bulanan. Bukan masakan yang repot, tapi, baik dirinya mau pun Papa paling suka sop. Jadi, bukan merupakan masalah besar bagi Dito dan Sekala kalau hanya ada sop di meja makan.

"Apa gue nanti buka restoran aja ya pas udah lulus. Gak buruk-buruk amat masakan gue." Katanya setelah mencicipi masakan sederhana nya.

Setelah di rasa pas, Dito matikan kompor lalu memindahkan sop yang semula di panci ke mangkok besar. Semua nya sudah siap, tinggal menunggu Papa pulang.

"Papa lupa ngabarin apa gimana ya? Dari tadi gak nelpon."

Sedikit demi sedikit rasa khawatir nya muncul ke permukaan begitu sadar sudah lewat jam kerja Papa, namun pria itu tidak kunjung pulang. Membuat nya tanpa sadar menggigit bibir bawah nya, kebiasaan setiap kali ia merasa cemas.

"Duh di telpon juga gak di angkat. Kemana sih?" Racau nya masih dengan menelpon nomor bernamakan, Suami Mama, tersebut.

Ingin menyusul pun tak bisa karena Dito tidak memiliki kendaraan pribadi. Papa yang melarang karena dirinya belum cukup umur, nanti setelah 17 tahun akan di belikan sekalian membuat KTP dan juga SIM.

Masih dengan rasa khawatir yang tinggi sayup-sayup ia dengar suara mobil dan suara kunci gerbang yang di buka. Tanpa menunggu lama ia segera pergi ke depan untuk melihat apa kah benar itu Papa atau bukan.

Nafas nya kembali normal setelah memang benar itu Papa yang baru saja pulang.

"Papa pulang." Begitu katanya dengan suara yang cukup riang tanpa sadar putra nya sudah menatap nya tajam.

"Papa kenapa gak ngabarin?" Itu adalah kata pertama yang Dito ucapkan setelah menyalimi tangan Papa.

Yang di tanya hanya tersenyum tipis lalu mengusap pelan kepala anak kesayangan nya itu.

"Maaf tadi ada kerjaan tambahan, Papa gak sempet buka hp buat ngabarin kamu."

Mendengar itu Dito hanya menghela nafas pelan lantas membiarkan Papa nya untuk pergi ke kamar dan membersihkan badan.

"Maaf. Dito cuma takut kehilangan Papa, kayak Dito kehilangan Mama."

Tidak ada suara bising selain dentingan sendok di atas piring. Ayah dan Anak itu sepakat apabila sedang makan jangan sampai ada pembicaraan di atas nya, Dito bilang itu engga sopan dan Sekala tentu saja menyetujuinya.

Begitu selesai, baru lah Sekala membuka suara hanya untuk menanyakan bagaimana keadaan anak nya hari ini.

"Gimana hari ini? Ada yang ganggu gak?"

Selalu. Sekala selalu menyempatkan kegiatan seperti ini setiap hari nya, terkadang sebelum tidur dirinya akan repot-repot datang ke kamar Dito demi untuk mendapatkan jawaban tentang apa yang ia tanyakan barusan. Sepele memang, tetapi Sekala tidak akan bisa tidur dengan nyenyak kalau tidak mendapat jawaban sepatah kata pun dari putra semata wayang nya tersebut.

"Baik, agak ngeselin sih. Soalnya tadi pas ekskul anak-anak pada gak konsen, bikin capek doang."

Begitu pun Dito. Dia akan sebisa mungkin menjabarkan bagaimana keseharian nya kepada Sekala. Dito tidak pernah merasa keberatan justru dirinya butuh. Dito tidak bisa segamblang ini bercerita dengan Raga meskipun mereka sudah berteman lama, apa yang tidak ia ceritakan pada Raga pasti akan berakhir di dengar oleh Sekala.

Dito hanya merasa tidak mau menyulitkan Papa dengan segala cerita yang sengaja ia sembunyikan. Dirinya pun cukup sadar kalau Papa seperti ini agar ia merasa tidak kesepian.

"Apa yang bikin gak konsen emang nya?" Jawab Sekala pelan seraya meneguk kopi terakhir nya.

Mendengus sebal Dito mulai mengunyah apel yang baru saja selesai di kupas.

"Biasa ngeliatin anak-anak yang ekskul basket. Heran, padahal disana isi nya orang gila—aa maksud aku, anak narsis yang gila pengakuan. Ah pokoknya hari ini nyebelin lah, mana Raga ninggalin ke kantin tadi!"

Mendengar itu Sekala jelas tidak bisa menahan tawa nya. Dito sangat mirip dengan Danila, mulai dari wajah, cara anak itu bercerita sampai raut nya yang menahan kekesalan, semua nya sangat mirip. Bahkan mungkin kalau dia bilang Dito adalah adik Danila, orang awam akan percaya saja. Wanita itu benar-benar tidak membiarkan dirinya untuk melupakan barang sedetik.

Sekala juga tidak berniat untuk melupakan sih, Danila selalu ada di dalam hati nya. Sampai kapan pun.

"Papa jangan ketawa dong, aku lagi gak ngelucu loh ini." Balas nya dengan wajah yang dua kali lipat lebih kesal.

"Maaf maaf, gimana ya abis nya muka kamu kalo ngomel lucu gini. Merah semua mirip sama Mama, haha."

"Ck! Gak adil, selalu bawa-bawa Mama biar aku gak jadi ngamuk." Decak nya terdengar begitu sebal.

Apa yang Dito ucapkan bukanlah sebuah kebohongan. Karena itu fakta, setiap kali Sekala mengejek nya atau menertawai nya maka Papa nya itu akan selalu membawa Mama sebagai pembelaan. Dan sial nya Dito tidak pernah jadi marah kalau begitu.

Karena, Papa akan selalu bilang begini.

"Kamu tuh mirip Mama banget kalo lagi gini."

"Kenapa ya kok kamu tuh bisa mirip banget sama Mama, Papa gak dibagi."

"Ngomel mulu, mirip Mama."

"Jangan kebanyakan marah, Dito. Udah kayak Mama aja."

Begitu. Dito tidak tau untuk maksud apa Papa berkata demikian, tetapi, jauh dalam lubuk hati nya ia jadi semakin penasaran bagaimana sebenarnya Mama itu? Dirinya sering bertanya pada Papa tentang Mama, tetapi Papa selalu berhasil menghindari.

"Pa, boleh nanya gak?"

"Boleh, nanya apa tuh?"

"Mama tuh kayak gimana sih orang nya?"

"Ya kamu liat aja diri kamu sendiri."

Pada akhirnya ia hanya bisa kecewa diam-diam. Dito punya foto Mama dan memang tidak salah sih, Mama benar-benar mirip dengan nya—ah tidak dirinya yang mirip Mama, Papa selalu bilang begitu. Kalau di katakan mungkin dirinya adalah Mama versi lelaki.

"Ya abis nya beneran mirip."

"Ya ya ya." Balas nya singkat seraya merotasikan mata nya yang mirip kucing itu.

"Besok jadi pertemuan nya?"

Kali ini Sekala yang merubah topik, kasian juga kalau di ledek terus, bisa-bisa berubah jadi kucing garong nanti.

Mengalihkan pandangan nya Dito menatap Papa tenang. "Jadi. Papa bisa?"

"Jam berapa?"

"Sekitar jam sembilan kalo gak salah. Pa, beneran kalo Papa gak bisa gapapa kok."

Bukan nya apa, Dito juga cukup sadar diri melihat bagaimana hari ini Papa yang pulang terlambat. Berarti memang sedang se riweuh itu kan perusahaan. Dito tidak mau Papa terlalu kelelahan.

"Bisa kok. Tapi agak telat dikit gapapa, ya?"

Mengangguk sekali, Dito mulai membersihkan meja makan lalu membawa piring kotor milik nya dan Sekala ke wastafel untuk segera ia cuci.

"Gapapa, santai aja."

"Besok wali Raga siapa yang dateng?"

Mengendikkan bahu nya sembari membilas piring yang ia cuci, Dito menjawab sekenanya. "Kayak biasa, Tante Cantika. Om Tegar kan orang sibuk."

Dalam diam Sekala tetap mengangguk meski Dito tidak melihat nya. "Habis ini mau langsung tidur apa nonton dulu?"

"Tidur deh. Aku capek banget hari ini."

"Oke. Selamat tidur, Anak Papa."

••••

Ruangan itu terasa pengap tetapi entah mengapa Dito justru tidak kehilangan oksigen. Hanya ada ruangan putih yang terasa hampa, namun, di ujung sana terdapat beberapa bunga Daisy yang sangat cantik. Seperti bunga milik Mama yang ada di kebun rumah.

Jujur, dirinya tidak tau kenapa bisa ada disini. Seingat nya tadi setelah selesai mencuci piring, ia segera beranjak ke kamar setelah berpisah dengan Papa. Selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi, dan tiba-tiba berakhir di ruangan ini.

"Gue dimana sih? Aneh banget dah."

Tanpa sadar nada ketus nya keluar begitu saja saat mengelilingi ruangan ini yang benar-benar hampa, tidak ada apa-apa, selain bunga yang ia katakan sebelum nya.

"Duh, jangan ngeprank deh. Benci banget gue kalo ginian."

Tidak ada seorangpun disana, dirinya hanya terus meracau agar tidak terlalu merasa kesepian. Sebab lama-lama ia merasa tidak enak juga berada di ruangan asing yang terasa hampa ini.

"Dito?"

Suara itu memenuhi pendengaran nya, suara asing yang begitu lembut menyapa, Dito tidak tau itu siapa. Rasa cemas nya mulai hadir bersamaan dengan tangan nya yang mulai berkeringat.

"Siapa? Siapa lo?"

Lagi, tidak ada jawaban. Hanya kehampaan yang lagi-lagi mengisi ruang Dito.

"Sumpah, lo siapa? Kalo mau ngomong ayo, jangan kayak gini lah." Emosi mulai mengerubungi dirinya sampai tiba-tiba langkah kaki seseorang memenuhi ruangan tersebut.

Di belakang nya. Dito sudah memutar tubuh nya, tetapi ia hanya bisa menatap bagian bawah gaun putih dengan renda dan sepatu hak rendah berwarna senada dengan gaun yang perempuan itu pakai. Dito tidak bisa melihat wajah wanita itu. Sekuat apapun Dito mendongak, tetap tidak mampu untuk menjangkau.

"Dito, kamu udah besar ya?" Wanita itu berucap lagi, kali ini lebih lembut daripada yang pertama.

"Lo siapa? Lo kenal sama gue?"

Kernyitan di dahi nya yang penuh akan peluh itu tidak dapat di tutupi, menampakkan bahwa jelas dirinya tengah berpikir keras.

"Bukan sekarang ya? Nanti. Belum waktu nya kamu disini."

"Maksud nya?"

Perlahan keberadaan seseorang itu menghilang seiring dengan pandangan nya yang mengabur dan dengan secepat kilat ia seperti terdorong oleh cahaya hitam yang terasa seperti menyedot nya.

Dito membuka mata nya lebar di iringi dengan nafas yang begitu memburu, peluh nya masih ada disana. Saat dirinya sadar kalau ia tengah ada di kamar, menatap langit-langit kamar nya yang di hiasi dengan lukisan Papa.

Itu hanya mimpi. Tidak tau mimpi buruk atau bukan, tapi yang pasti Dito merasa ini seperti sangat nyata. Bunga, gaun, sepatu, Dito seperti pernah melihat ketiga nya.

"Dito, kamu udah besar ya?"

"Bukan sekarang ya? Nanti. Belum waktu nya kamu disini."

Bahkan suara itu terasa nyata.

"Mimpi apa sih? Duh makanya Dito kalo Papa suruh berdoa sebelum tidur, harusnya lo berdoa."

Omel nya pada diri sendiri dan sekarang menuntun nya untuk kembali tidur setelah meminum segelas air yang selalu ia sediakan di atas nakas samping tempat tidur. Namun untuk beberapa saat Dito tidak bisa menutup mata nya. Mimpi itu benar-benar memenuhi isi kepala nya, bahkan lukisan bintang yang Papa buat, tidak berhasil membuat nya tertidur malam ini.

Mimpi nya beneran nyata, gak mungkin cuma bunga tidur semata.

****

Bersambung..

Hayolo siapa tuh?

Continue Reading

You'll Also Like

589K 27K 42
Needs editing [ the destiny series #1] 𝑻𝒉𝒆 𝒇𝒂𝒕𝒆 𝒑𝒖𝒔𝒉𝒆𝒅 𝒕𝒉𝒆𝒎 𝒂𝒑𝒂𝒓𝒕 𝒃𝒖𝒕 𝒅𝒆𝒔𝒕𝒊𝒏𝒚 𝒂𝒈𝒂𝒊𝒏 𝒑𝒖𝒍𝒍𝒆𝒅 𝒕𝒉𝒆𝒎 𝒕𝒐𝒈...
78.6K 6.9K 64
#Book 2 Because of Nandani's condition Mamta decides to marry off her childrens, and her childrens abide by her decision. She chose her brother's dau...
142K 6.2K 40
Amaira Romano , the princess of ITALY. A cute little inoccent girl who can make anyone heart flutter at her cuteness. Everything was going smoothly...
128K 4K 34
Nollani is a 21 year old student, she has a big personality that only the closest know. She's very independent but very deep down wants a mommy to de...