My Lovely Ghost | SELESAI

By rsdtnnisa

4.5K 225 0

Banyak orang berkata, tidak ada yang abadi di dunia. Apakah cinta juga termasuk dalam sesuatu yang akan sirn... More

Part 1 : Rumah Oma
Part 2 : Hari baru
Part 3 : Gangguan
Part 4 : Siapa kamu?
Part 5 : Di sini
Part 6 : Teman
Part 7 : Dekat
Part 8 : Danau
Part 9 : Rindu
Part 10 : Kedatangan
Part 11 : Setelah datang
Part 12 : Hadir
Part 13 : Bunga Ilalang
Part 14 : Pasar
Part 15 : Cerita danau
Part 16 : Rasa?
Part 17 : Bolos
Part 18 : Foto
Part 19 : Cerita?
Part 20 : Kilas balik
Part 21 : Cemburu
Part 23 : Sinar bulan
Part 24 : Bu Hana
Part 25 : Rumah
Part 26 : Foto yang sama
Part 27 : Kecewa
Part 28 : Chandra dan Liam
Part 29 : Pernyataan
Part 30 : Kilas balik (2)
Part 31 : Pergi?
Part 32 : Menjadi bulan
Part 33 : Extra : Awal yang baru

Part 22 : Teman lama

97 4 0
By rsdtnnisa

- • Happy Reading • -

Acara telah selesai dan Anis kini berada di kamarnya, menatap keadaan luar melalui jendela yang tertutup dengan gorden yang terbuka memberi kesempatan pada cahaya matahari sore untuk masuk ke dalam ruangannya.

Alis tipis itu menukik melihat beberapa orang berjalan mendekat, muncul senyum tipis menyadari bahwa teman-temannya datang mengunjunginya.

Suara pintu terbuka membuat si empu menoleh melihat sang Ibu berdiri di sana, "Ono kancamu, Nduk".

"Enggeh, Bu" balas Anis kemudian beranjak keluar dari kamar begitu saja.

Sang Ibu hanya menggelengkan kepala kemudian pergi ke dapur untuk membuat minuman.

Anis menjerit kecil merentangkan tangan selebar yang dia bisa untuk memeluk ketiga temannya ini.

"Kok gak kondo loh nek ameh moro" ujar Anis sembari melepas pelukannya.

"Gak seru kalau bilang dulu, Nis" sahut Aesa.

Mereka dipersilahkan masuk bersamaan dengan Ibu Anis yang keluar membawa nampan berisi minuman.

Bergantian Indah dan Alya menyelami Ibunda Anis, sampai giliran Aesa membuat sang Ibu bertanya-tanya.

"Kok Ibu belum pernah liat yang ini ya, Nis?" tanya Ibu kepada anaknya.

"Temen baruku, Bu, dari Jakarta" jawab Anis.

"Oh dari kota toh, bisa sampe sini ya" Ibu Anis duduk lebih tertarik untuk mengobrol dengan Aesa, "Tapi kok saya kayak pernah liat kamu".

Aesa tersenyum, "Saya cucunya Oma Sari, Tante".

Ibu Anis menutup mulutnya terkejut mendengar pernyataan Aesa, dia langsung memeluk gadis itu erat mengundang keheranan ketiga gadis lainnya.

"Ya Allah, anaknya Elisa" ia kemudian melepas pelukannya pada Aesa, "Gimana kabar Ibumu? Sehat? Dimana sekarang dia? Kenapa gak kesini ketemu sama saya?".

"Sehat, Tante" jawab Aesa yang juga heran sama seperti teman-temannya.

"Elisa itu sahabatku dari kecil, kita udah gak pernah ketemu lagi sejak dia nekat pergi kuliah ke Jakarta sana" ujar wanita yang memang seumuran dengan Bunda Aesa itu mulai bercerita.

"Sudah saya bilang jangan pergi, masih pergi juga" lanjutnya, "Nanti coba tanya ke Ibumu, masih ingat gak dia sama Anggi, teman masa kecilnya".

Berkunjung ke rumah Anis membuat Aesa mengetahui sedikit informasi tentang latar belakang keluarga Ibunya.

Anggi, Ibu Anis, mengatakan bahwa Elisa, sahabat sekaligus Ibu Aesa, seorang yang rajin. Dia punya mimpi yang besar dan berkeinginan menjadi seorang desainer.

Bakat menjahit sudah Elisa miliki sejak remaja karena terus berlatih dengan Ibunya yang dikenal dengan nama Oma Sari.

Aesa juga belajar menjahit dari Ibunya. Bukan hanya Aesa, ketiga temannya juga tertarik mendengar cerita dari Ibunda Anis.

"Elisa tidak pernah lagi datang ke desa setelah pergi dari rumah untuk mengejar cita-citanya" lanjut Anggi, "Karena itu juga tidak sedikit orang tua yang melarang anaknya pergi melanjutkan sekolah di kota karena takut mereka tidak akan kembali lagi seperti Ibumu".

"Tante tau waktu Bunda nikah?" tanya Aesa.

"Tau, acaranya cuma kecil-kecilan aja antar keluarga" jawab Anggi, "Kalau nanti Ibumu dateng ke sini lagi, minta ketemu ya sama Tante".

Aesa mengangguk, "Pasti, Tan".

"Keren ya, Nis" Anggi menepuk lengan anaknya yang sedari tadi menyimak cerita sampai tanpa sadar melamun, "Ibu dipanggil Tante, biasanya Budhe".

"Jadi berasa orang kota" Anggi tertawa kecil, "Ibu tinggal dulu ya, ngobrol aja kalian mumpung belum magrib".

Aesa masih memikirkan cerita dari Ibu Anis tadi, dia hanya tersenyum dan tertawa mendengar teman-temannya saling bicara.

Mereka bertanya-tanya tentang pemuda yang berani datang ke rumah Anis dan bertemu langsung dengan Bapaknya.

"Kamu jawab apa, Nis?" tanya Aesa membuka suara.

"Ya belum ada jawabannya, nunggu aku lulus sekolah" jawab Anis, "Masih lama kok, kita masih bisa main kayak biasanya".

Orang tua pastilah ingin yang terbaik untuk anaknya. Begitu juga yang dilakukan oleh kedua orang tua Anis, mereka telah memilah dan memilih pasangan bagi putri mereka dengan jeli.

Sebagai seorang anak perempuan, Anis hanya bisa menurut dan menerima. Dia bebas berpendapat tapi mendapatkan restu orang tua lebih sulit dari yang dia kira.

Aesa memahaminya. Lagipula ini bukan di kota, budaya mereka pastilah berbeda dan Aesa sangat menghargai semua itu.

Cahaya jingga dari sang surya telah berubah menjadi kemerah-merahan pertanda hari mulai gelap.

Indah dan Aesa berpamitan sedangkan Alya masih ingin berada di rumah Anis sebentar karena jarak ke rumahnya cukup dekat dari sini.

Keduanya berjalan di jalanan desa yang berupa tanah dan bebatuan, cukup halus karena sudah sering dilalui pejalan kaki maupun kendaraan.

"Indah, nanti nginep lagi gak?" tanya Aesa saat mereka hampir sampai di rumah.

Indah menggeleng, "Enggak, Bapak gak pulang malem ini jadi aku nemenin Ibu".

"Besok males banget mau berangkat sekolah!" keluh Aesa seperti orang yang menggeliat saat bangun tidur, "Gak ada Alya".

"Besok Alya lomba kan? Kenapa kita gak liat dia aja?" tanya Indah antusias.

"Kata Alya yang ikut cuma anak OSIS" jawaban dari Aesa membuat Indah mendengus kecewa.

Aesa melambai pada Indah saat mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Ia masuk ke dalam rumah sembari mengucap salam pelan, "Chandra, gue pulang".

Tak ada sahutan dan Aesa tidak acuh dengan itu, ia pergi membersihkan diri kemudian bersantai di kamar. "Apa Chandra lagi ada di danau ya?" pikir Aesa, gadis itu duduk di tepi ranjang kemudian merunduk melihat ke dalam laci meja.

Ia mengulurkan tangan mengambil sebuah kotak kaleng tempatnya menyimpan uang, Aesa lalu menggoyangkan kotak itu memunculkan suara berisik dari sesuatu di dalamnya.

Tutup kotak kaleng itu Aesa buka, ia mengambil lembaran uang selain warna merah untuk dia hitung jumlahnya.

"Cukup gak ya?" gumam gadis itu, "Tapi gue juga gak boros-boros banget sih, paling uangnya cuma buat belanja sama pegangan aja pas di sekolah".

"Hai".

Aesa menoleh ke sumber suara di mana ada Chandra yang sedang berdiri di ambang pintu.

Gadis itu tersenyum kemudian menepuk tempat di sampingnya mengisyaratkan pada Chandra untuk duduk di sana.

"Nah gitu, kalau nongol sapa dulu biar gue gak kaget" Aesa memasukkan kembali kotak kaleng itu ke dalam laci.

"Kok gak di rumah? Udah mau magrib masih aja keluyuran" tanya Aesa.

"Danau" jawab Chandra, bukannya duduk sosok itu malah merebahkan tubuhnya membuat Aesa heran.

"Eh, mau ngapain?" Chandra meletakkan kepalanya pada paha gadis itu , anehnya Aesa tidak merasa geli padahal dia masih bisa menyentuh surai Chandra dengan tangannya.

Melihat Chandra yang memejamkan matanya membuat Aesa tidak tahan untuk tidak mengusap kepala sosok itu dengan lembut seolah berusaha membuatnya nyaman dalam tidurnya.

"Pertanyaan lo waktu di perpustakaan, kalau gue tanyain balik jawabannya apa?" Aesa membuka suara.

Chandra membuka matanya tanpa terusik dengan usapan lembut di kepalanya oleh tangan Aesa, "Entah" jawab Chandra tak tahu.

"Lo belum tenang ya, Chandra?" tanya Aesa lagi.

Chandra hanya terdiam menatap kosong ke arah langit-langit kamar, dia juga bertanya-tanya sebenarnya apa yang menganggu dalam dirinya ini?.

Sosok itu bangkit duduk di tepi ranjang, dering ponsel kemudian terdengar membuat Aesa bergegas beranjak keluar dari kamar untuk mengangkat telepon tersebut.

Aesa tersenyum lebar, "Halo, Bunda".

"Bicara apa kamu sama Liam?".

Senyum Aesa pudar seketika mendengar suara sang Ayah yang terdengar ketus dan sedang kesal.

"Kamu gak malu cerita masalah keluarga ke Liam? Kamu ini menyebar aib!".

"Es gak bicara apa-apa ke Liam" balas Aesa dengan suara kecil dan sedikit terbatas karena takut.

"Gak habis-habisan emang kamu bikin malu ya, jangan sampe kamu juga bicara ke warga desa yang macem-macem" itu terdengar seperti ancaman.

"Anak gak tau diri, nyesel-UDAH, MAS!".

Aesa mendengarkan dengan seksama saat suara sang Ibu muncul, "Bunda" lirih gadis itu.

"Es gak salah! Kita yang kurang memahami Es sampai-sampai dia cerita semua masalahnya ke Liam".

Gadis itu menutup mulutnya menahan tangis mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, karena dirinya.

Aesa memutus panggilan dan langsung mengirim pesan pada Liam untuk menanyakan yang sebenarnya terjadi, beberapa kali dia menelfon tapi tak satu panggilan pun diangkat oleh sahabatnya itu.

Ia mengusap wajahnya, Aesa percaya dengan Liam tapi apa yang terjadi sekarang ini membuatnya kesal dengan pemuda itu.

Kenapa rasanya masih saja sakit? Kata-kata dari sang Ayah berhasil menyayat hatinya. Bukan hanya Ayahnya yang merasa malu, tetapi Aesa juga malu pada dirinya sendiri.

Gadis itu terduduk bersandar pada dinding memikirkan masalah sepele menurut orang-orang yang membuatnya sampai selemah ini.

Aesa tak ingin menangis, nafasnya menderu membuat pundaknya naik turun saat wajahnya bersembunyi pada lipatan lengan yang dia gunakan untuk memeluk lututnya.

Chandra yang penasaran lantas menghampiri Aesa, ponselnya menyala menampilkan beberapa pesan singkat dari seseorang bernama Liam.

"Kenapa sih Ayah kayak benci banget sama gue?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri, "Gue capek ngalah terus".

Chandra duduk di depan gadis itu, perlahan tangannya terulur mengusap surai Aesa sama seperti saat gadis itu mengusap kepalanya.

Tanpa di rasa oleh si empu, Chandra memeluknya. Tangis Aesa pecah saat itu juga, gadis itu hanya terisak karena berusaha menahan tangis.

Ia membuat tubuhnya tak bisa disentuh oleh Aesa agar pelukannya ini tidak mengganggu si gadis, "Saya di sini" bisiknya pelan.

***

Motor itu melaju cepat membelah jalanan ramai menuju ke suatu tempat. Ia harus sampai sebelum hari gelap, tapi sepertinya tidak bisa karena matahari sudah terlihat jingga dan cahayanya menyorot tajam.

Pemuda itu cemas sejak semalam, jika hari ini tidak ada ulangan harian maka ia akan membolos untuk menemui sahabatnya guna meluruskan kesalahpahaman mereka.

"Maaf, Es" gumamnya berkali-kali sepanjang jalan.

"Gue benci sama lo, Liam! Gue benci!".

Itu yang Aesa katakan dengan suara bergetar lewat telepon semalam, dan gadis itu langsung memutus panggilan tanpa mendengar penjelasan dari Liam.

Liam berharap dia belum terlambat, laki-laki itu menambah laju kecepatan motornya agar dapat segera sampai.

Di atas sana bulan bersinar terang, hari sudah gelap dan Liam masih berada di jalan. Namun, jarak menuju ke desa sudah tidak terlalu jauh.

Liam tidak memikirkan apapun selain segera bertemu dengan Aesa, suasana jalanan gelap dengan penerangan yang seadanya tidak membuat pemuda itu ketakutan.

Bukan hanya di jalan, suasana desa pun juga sudah sangat sunyi. Deru motor Liam beradu dengan suara nyaring serangga yang berasal dari arah hutan.

Pemuda itu masuk ke pekarangan rumah, langsung turun dari motornya dan mengetuk pintu tempat dimana Aesa tinggal, "Es! Ini gue, Liam!".

Liam menurunkan gagang pintu kemudian mendorongnya tetapi seseorang di balik pintu menahannya agar tertutup kembali.

"Pergi!" bentak Aesa. Liam mendorong pintu itu sekuat tenaga membuat Aesa terhuyung ke belakang.

Pemuda itu masuk sembari menutup pintu khawatir dengan suara mereka yang akan mengganggu waktu istirahat orang-orang.

"Ngapain lo ke sini?!" Aesa menepis tangan Liam yang berusaha menggapainya, "Pergi lo, bangsat!".

"Es, dengerin gue!" Liam mencoba menenangkan Aesa, "Gue minta maaf-".

"Lo bilang apa ke Ayah? APA AJA YANG LO BOCORIN KE MEREKA?!" jerit Aesa disertai air mata yang mulai mengalir.

"Gue udah percaya sama lo, Liam" Aesa mengusap air matanya, "Kita udah kenal dari kecil DAN INI BALASAN LO KE GUE?!".

"Gue tau!" Liam mencengkram kedua lengan Aesa, "Gue minta maaf, Es!" ucapnya tulus tak peduli dengan Aesa yang terus memberontak.

"Kenapa lo cerita ke orang tua gue, Liam?" Aesa mulai terisak, "KENAPA?!".

"DEMI KETEMU SAMA LO!".

Guncangan serta suara keras Liam membuat Aesa tersadar, gadis itu menutup wajahnya malu sambil menahan isak tangisnya.

Liam langsung menarik Aesa ke dalam pelukannya, "Maafin gue, Es" ucap pemuda itu.

Mata Aesa pedih karena terus mengeluarkan air mata sejak sore tadi, ia rindu Bunda, ia kesal dengan Ayahnya, dan marah dengan Liam.

Daripada Liam, dia lebih ingin bersama Chandra saat ini. Sosok yang Aesa maksud sedari tadi berdiri di lorong melihat pertengkaran keduanya dengan perasaan yang tak karuan, ia kemudian menghilang di balik kegelapan entah pergi kemana.

"Gue gak cerita semuanya, Es" Liam kembali bicara saat dirasa Aesa mulai tenang dalam pelukannya, "Cuma sedikit tentang keluh kesah lo sama Om Satrio".

"Gue minta maaf" ucap Liam lagi, "Gue gak tau kalau bakal kayak gini".

"Setelah Bunda lo ngasih alamat ke gue, gue ngerasa bersalah banget udah bocorin cerita-cerita lo ke gue itu" Liam menyesal, "I'm so sorry".

"Lo sahabat gue, Liam" gumam kecil Aesa yang sempat Liam dengar sebelum mereka sama-sama terdiam dalam dekapan.

Saat hendak melepas pelukan, tubuh Aesa lemas sampai Liam menahannya. Ternyata gadis itu tertidur, dengan telaten Liam menggendongnya dan membawa Aesa ke kamar.

Pemuda itu kemudian membiarkan Aesa beristirahat, ia berjalan ke ruang tamu untuk tidur juga di sana. Dengan jaket sebagai bantalan, Liam berbaring pada kursi kayu panjang yang keras.

Karena kurang nyaman, Liam memutuskan berbaring di lantai saja. Diapit oleh meja dan kursi membuatnya cukup sesak tetapi lebih nyaman daripada berbaring di kursi tadi.

"Gue sayang sama lo, Es".

***

- • To be continued • -

Ono kancamu, Nduk
(Ada temenmu, Nak).
Enggeh, Bu
(Iya, Bu).
Kok gak kondo nek ameh moro
(Kok gak ngasih tahu kalau mau dateng).

Thanks for the vote and comment

Continue Reading

You'll Also Like

9K 646 21
Warning!!!18+ Tidak ada diskripsi langsung baca saja,,pasti menarik cast Oh Sehun as Sehun Parkshinhye as shinhye Ji Chanwook Im yoona See kyung as...
115K 8.3K 34
'I Need a Mate!' Aiden Grimshaw a Werewolf Mateless 25 y.o *Mari merambah kedunia per-Werewolf-an ✌ ▪︎foto2 dari koleksi pribadi dan google, yg kuam...
554K 21.1K 34
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
874K 65.4K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...