bon appétit!

By spica01

4.3K 671 173

Seorang chef itu harus dapat; berpikir seperti ilmuwan, pandai mengatur bak akuntan, punya bakat mendekorasi... More

01. Mise en Place
02. Duck Breast & Scrambled Eggs
04. Siesta & Fiesta
05. Siesta-Fiesta & Hasta La Vista!
06. A Bowl of Chicken Soup & A Secret Between Us
07. Quail & Blackmail
08. Breakfast For Two & Now I Know A Little Bit About You
09. Renjun & Jeno
10. Passion & Tension
11. Hopes & Dreams
12. Sleepover & Go Together
13. Picnic & Love Topic

03. Broken & Molten

295 58 20
By spica01


Song: Bluebird by Alexis Ffrench, Requiem by Mozart


...


"Aku akan menikah."

Renjun tercenung ketika kalimat barusan seperti sengaja sekali disebutkan ke udara. Perbincangan temu kangen biasa di antara keramaian kafe ibukota, mendadak jadi bernuansa suspense meresahkan jiwa.

Bukan ini yang ia harapkan ketika janji bertemu diutarakan.

Bayangkan sebuah bumi biru yang damai sejahtera; alam serta flora dan fauna bersinergi dengan kehidupan manusia, lalu tiba-tiba entah dari galaksi mana, satu meteor besar datang menghantam segalanya tanpa sisa.

Hancur lebur serupa kubangan lumpur.

Itulah gambaran Renjun sekarang; tubuh tegang, tengkuk meremang, otak juga ikutan nge-blank. Kedua lututnya lemas—ia nyaris merosot dari duduk pura-pura tenangnya di kursi kafe. Izin melipir sebentar dari persiapan harian restoran dengan alasan urgensi, ternyata malah berakhir dapat berita menohok hati.

"Oh." Gelas isi agua fresca(1) campuran nanas dan mangga kembali disesap pakai tampang janda tengah berduka. Suara sebisa mungkin dibuat netral tanpa ada emosi berlebih tertera. Alunan musik jazz penuh warna sungguh berbanding terbalik dengan awan-awan kelabu yang berlomba menaungi hatinya. "Kapan acaranya?"

Jung Jaehyun tersenyum simpul.

Tuhan, Renjun sungguh sangat ingin melayangkan kepalan tinju juga ciuman rindu di wajah tampan itu sekarang.

"Tidak ingin tahu siapa orang yang beruntung itu?"

"Oh, seriously?"

Renjun menatap Jaehyun tidak percaya, nyaris tersedak minuman dalam gelasnya. Ia tahu kalau kalimat tadi hanya bercanda, sama sekali tidak ada nada jumawa tersirat di sana.

Karena sejak jadi mahasiswa culinary rantau dan kenal Jaehyun sebagai kakak tingkatnya, Renjun selalu melihat laki-laki itu bersikap penuh sahaja. Meski dia cukup populer di kampus, tapi tutur kata maupun tingkah lakunya tidak pernah menunjukkan karakter yang haus akan puji dan puja.

Pertemuan tidak sengaja mereka terjadi saat Renjun kepergok tengah serius bicara sendiri demi mengomentari ingrendients dari croque monsieur-nya(2) dalam bahasa Korea—kebetulan waktu itu ia sedang beli makan siang di area sekitar Left Bank. Jaehyun ternyata tengah mengantre pada kedai serupa. Ia duluan yang akrab menyapa, basa-basi bertanya asal negara, kegiatan apa yang dijalani olehnya (tak disangka mereka ternyata satu negara dan satu tempat menimba ilmu juga). Begitulah, tiba-tiba saja keduanya sudah bertukar nomor ponsel juga informasi tempat makan murah tapi enak di sekitaran kampus mereka.

Ada beberapa kesamaan (tentu saja di samping tanah kelahiran) yang membuat keduanya tertarik pada satu sama lain selama dua tahun lamanya: musik, film, dan kecintaan terhadap makanan dari berbagai belahan dunia. Setiap kali ada waktu luang dan demi meminimalisir stress tinggal sendirian di tanah orang, mereka akan food-hunting atau piknik sederhana seraya mengobrol santai di pinggiran Seine. Menghabiskan akhir pekan dengan melihat beragam manusia sibuk lalu-lalang, menyaksikan batobus(3) hilir mudik membawa pelancong menyusuri aliran sungai yang tenang sampai malam menjelang, sementara di kejauhan, Eiffel mulai nyala gemerlap bermandikan cahaya terang.

Saat Renjun lulus dan mesti kembali ke Seoul, Jaehyun tetap tinggal untuk bekerja selama tiga tahun di Paris. Pada jangka waktu yang sama, ia sudah bergabung dalam tim dapur Blue Plate sebagai chef junior berbarengan dengan masuknya Haechan. Bahkan ketika Jaehyun kembali dan mulai membangun karir di negeri sendiri, mereka masih lumayan lancar menjalin komunikasi. Intensitas pertemuan keduanya memang lambat laun berkurang. Tidak ada lagi acara jalan santai di akhir pekan akibat tuntutan pekerjaan, tidak ada lagi kegiatan food-hunting lalu mengomentari apa saja plus-minus dari setiap menu pesanan. Hanya ada chat singkat berupa ucapan selamat tambah usia dan selamat hari raya yang terselip di antara deretan pesan kerja, atau tagihan bulanan yang sekarang jadi tanggung jawabnya selaku orang dewasa.

Dan saat ini sosok Jaehyun tiba-tiba saja sudah duduk tenang di hadapannya sambil menyesap cappucino untuk membicarakan soal pernikahan.

Tentu orang yang terpilih sebagai pendampingnya bukanlah dia.

Renjun dulu pernah mengira jika mereka punya kesempatan untuk bersama tiap kali berandai berdua; membicarakan berbagai relativitas dalam kehidupan, merancang rencana-rencana untuk masa depan, berharap suatu hari nanti segala angan akan kesampaian.

Tapi sepertinya kata platonik adalah label yang paling cocok tertera untuk relasi di antara mereka.

Renjun merogoh ponsel dari saku celana. "Walau aku ingin lebih lama mengobrol denganmu, tapi sepertinya panggilan tugas tidak bisa menunggu." Pura-pura saja terus, padahal tidak ada seorangpun yang menghubunginya untuk buru-buru. "Congrats on your decision to settle down," ujar Renjun pelan seraya berpikir kalimat apa yang harus ia katakan selanjutnya. "But always remember, the most important words for a successful marriage is—"

Jaehyun menatap Renjun, dan seolah punya telepati mereka berujar sehati: "I'll do the dishes."

"Exactly."

Kekeh halus Jaehyun membuat ia ingin mengulang kembali nostalgia, tapi apa daya, mereka sudah tiba di akhir halaman cerita.

"Kalian harus bertemu."

Renjun tidak membiarkan dia mengucap nama atau bercerita lebih lanjut mengenai siapa orang yang 'beruntung' itu.

"Text me for the date then, i'll meet you guys later."

Angguk beriring senyum maklum adalah hal terakhir tentang Jaehyun yang akan Renjun patri. Karena setelah ini, semua kenangan dengannya akan ia jejalkan jauh-jauh dalam peti penyimpanan memori.


...


"Sedikit masukan kata meja nomor enam," Johnny tahu kalau kata-katanya barusan akan bebuntut panjang, tapi tetap saja ia lakukan demi memancing tingkah ekspresif dari orang yang bersangkutan. Katakan dia memang masokis kalau ini sudah berhubungan dengan satu sosok spesifik paling menarik perhatian. "Cake-nya agak kurang melting." Ia berbisik di dekat sang sous chef restoran.

Kepala Renjun berputar secepat kilat. Fokusnya teralih dari piring yang menampung dua potong lamb rack dan puree labu. Ujung pinset dalam pegangan tangan masih setia mencapit satu kelopak pansy ungu, begitu pesan tadi keluar dari mulut manajer tinggi yang mengenakan blazer navy blue.

Alis-alis bertaut, bibir langsung saja mengerucut.

"What?"

"Just as they said..."

"But the chocolate is melting."

"Chef Huang, ingat kalau di sini pelanggan adalah raja..."

Renjun lekas berdiri tegak dari posisi membungkuknya semula, menyerahkan tahap akhir plating pada Haechan—yang menatap was-was pada perubahan air muka sang rekan kerja. Mata nyalang (dan lelah) menyisir terburu sekeliling dapur yang hectic di hari Minggu. "Mana molten cake-nya?! Berikan satu padaku!"

"Yes, Chef!"

Seorang commis(4) bagian pattiserie takut-takut maju dengan sepiring menu yang jadi calon pemantik seteru. Hela napas berat terdengar sebelum ia menatap Johnny tepat di mata untuk kemudian lantang berseru. "Dengar ya tuan sok tahu, molten cake itu bukan kue coklat yang kurang matang, bukan itu yang membuat bagian tengah kuenya lumer." Renjun mulai bermonolog sembari menyendok kue (berteman es krim vanilli dan butir-butir manisan raspberi) dari atas piring dengan tenaga kuli. "Kau ambil seonggok ganache(5) beku," katanya rendah, sebelah tangan dikepalkan lalu dihentak kencang-kencang. "Masukkan adonan bangsat itu ke dalam ramekin(6) beroles mentega dan terigu, kemudian panggang si bangsat selama sepuluh menit agar bagian luarnya mengeras, sementara bagian tengahnya tetap lumer serupa lelehan madu!" Ia menatap garang ke arah Johnny, tapi sang manajer (hanya tersenyum penuh arti) seperti sudah kebal akan perubahan mood yang terjadi. "It's fuckin' melting..." bisik Renjun tidak pada siapapun, wajah manis tegang oleh emosi.

Haechan menatap horor ke arah rekan-rekan lainnya, memberi tanda untuk bersiaga jika terjadi sesuatu di luar kehendak mereka.

Dalam keadaan siap tempur, sosok Jeno (si tukang bantu-bantu baru) malah muncul dari bagian belakang dapur dengan dua tumpuk kontainer stainless besar berisi bahan-bahan tambahan.

"IT'S FUCKIN' MELTING!!"

Renjun tiba-tiba saja berteriak, dan tanpa aba-aba sudah berjalan tergesa ke arah manusia yang sama sekali tak mengerti apa-apa. Sendok bersepuh emas dalam genggaman sampai di depan hidung Jeno dan disuapkan paksa ke dalam mulut si korban salah sasaran tanpa diduga-duga. Ia sempat terhuyung ke belakang, beruntung tubuhnya lekas ditahan Jisung yang berdiri tidak jauh dari posisinya berada.

Jeno dan Renjun sekejap saling beradu pandang. Kilat lelah dan tidak percaya tergambar jelas ketika mata-mata membelalak mereka bersua. Untuk sesaat, Jeno melihat sekelebat sesal yang tersirat, namun langsung hilang begitu ia terbatuk sekali akibat rasa kejut juga jejalan kue dalam mulutnya.

Dapur mendadak sepi. Semua orang diam di tempat bagai terkena sihir membatu paling sakti. Renjun berkedip ketika kewarasannya kembali, sendok ditarik keluar dari mulut Jeno setelah sadar kalau aksi tadi bisa saja membuat orang lain mati.

Masuk berita di televisi dengan tajuk 'Mati Karena Suapan Kue Penuh Emosi' atau 'Chef Brutal Lakukan Tindakan Kriminal: Jejalkan Kue ke Mulut Anak Buah Akibat Rasa Kesal' sungguh terdengar tidak elit sekali.

Desis saus yang menyusut dalam pan dan percik lemak ikan di atas penggorengan, jadi pengisi latar belakang dapur dari absen gerakan atau percakapan.

Setelah detik-detik (yang terasa bagai seabad) itu terlewat, Renjun mendesah, wajah bersalah diusap lelah. "I'm sorry." Katanya tanpa ada kontak mata yang terjadi. Dada bidang Jeno ditepuk pelan dua kali, gumaman lemah itu tulus berasal dari hati. "Maafkan aku," katanya lagi pada seluruh staff dapur seraya berjalan gontai menuju Haechan berada. Mata dipejamkan erat-erat, kepala menunduk dalam demi berusaha mengembalikan fokusnya mengerjakan pesanan menu yang masih berderet untuk para tamu.

"Yes, calm down Chef Huang..." Suara berwibawa Johnny meredakan ketegangan yang mengudara. "Kurasa satu masukan sederhana tidak perlu sampai membuat dirimu lupa kalau ini masihlah jam kerja."

Dengus penuh dendam Haechan seolah berkata: 'Tapi kan dirimu sendiri yang nekat cari perkara!!' Kalau saja bisa, saat ini juga ingin rasanya ia menggebuk dahi Johnny pakai spatula.

"Kau benar." Renjun menyerah pasrah, apapun yang Johnny katakan selanjutnya, akan lebih baik jika ia mengalah. "Ayo semua kembali bekerja!" Tepukan tangan meminta atensi supaya bergegas, lekas mengembalikan ritme mereka ke semula.

"Buat dua lobster, segera!"

"Berikan aku lamb rack lagi untuk meja sebelas!"

"Mana? Aku menunggu halibut dan saus krim fennel-nya!"

"Seared scallops untuk meja sembilan sudah siap!"

"Buatkan empat cold appetizer untuk meja lima belas!"

"Yes, Chef!!"

Sementara Jeno (begitu selesai ditenangkan oleh Jisung—padahal anak itu sendiri lebih ketakutan) segera berjalan kikuk dari tempat kejadian perkara demi melanjutkan tugas yang barusan sempat tertunda. Ia harus mengirimkan bahan-bahan tambahan yang baru dibersihkan pada salah satu station chef untuk dimasak dan dihidangkan bersama menu lain, kemudian balik mengerjakan tugas utamanya (berkubang bersama Soobin) di bak cucian.

"Sana, minum dulu." Satu tepuk empati di bahu ia rasakan ketika Johnny (yang tersenyum teduh) berjalan melewatinya setengah terburu. Jeno memberi angguk mengiyakan sebelum pria tinggi itu berlalu dari hadapannya untuk kembali ke bagian depan restoran.

Sepeninggal sang manajer, lidah Jeno menyeka sisa-sisa manis yang tertinggal di sudut bibirnya dengan syahdu.

'Oh, yum...'


...


"Kau harusnya lihat wajah Jeno tadi, di sana jelas sekali tergambar kebingungan bercampur jutaan rasa ngeri." Chenle yang duluan selesai berganti pakaian, outfit trendi serba hitam jadi highlight penampilan. Area loker lumayan sepi, kebanyakan staff sudah pulang karena sebentar lagi memang masuk jam tutup restoran.

"Sudah pasti tidak usah ditanya lagi. Soalnya dia baru dihampiri oleh malaikat kematian itu sendiri." Celetuk sarkas Haechan langsung saja dapat tatap segan. "Coba sini cerita, dirimu sebenarnya sedang ada masalah apa?" Mood naik-turun Renjun sungguh di luar perkiraan, walau mereka sudah biasa, tapi kali ini terasa ada yang sedikit berbeda.

Bukan sedikit, tapi berkali lipat efek berbedanya.

Bahu Renjun mengedik. Tidak mungkin juga ia mengatakan jika masalah hari ini bersumber dari sang 'mantan crush' yang tadi siang datang-datang membawa kabar duka—memang bukan secara harfiah, tapi tetap saja undangan pernikahan itu serupa berita buruk baginya. Oke, ia akui kalau ia memang salah (plus norak), tindakannya sungguh jauh dari kata profesional dan Renjun malu untuk mengakui hal ini. Lagipula ia tidak pernah menceritakan sosok Jaehyun pada mereka, karena menurutnya itu privasi dan tidak terlalu penting juga.

Kalau tidak penting, kenapa tadi dirinya malah terbawa suasana? Cih, dasar Renjun si manusia paling hipokrit sedunia!

"Kurasa dia hanya kurang kasih sayang." Komentar Chenle ini langsung dapat suara bantingan pintu, kebetulan loker mereka sebelahan. "Kan? Manusia satu ini memang butuh disayang..."

"Yeah, why don't you get laid? Sepertinya sudah lama sejak terakhir kali aku melihatmu sexually active." Dua jari Haechan membuat tanda kutip di udara, tangan Renjun nyaris melayang untuk menampar bagian belakang kepalanya.

"Tidak ada waktu."

"Cih, mana mungkin begitu?" Para sahabat mencibir dengan nada kelewat ingin tahu.

Headchef Lee belum kembali, Renjun merasa ia tidak punya waktu untuk urusan menyenangkan diri. Banyak sekali hal yang harus dibenahi, menu-menu baru menanti untuk dikaji—termasuk juga, err, perihal merekatkan kembali kepingan hati.

(Halah, basi!)

"Cari lagi sana orang yang sesuai kriteriamu di Tender, asal jangan tukang tipu mesum yang mengaku-ngaku jadi taipan minyak dari Emirat lho ya, sudah banyak yang tergocek soalnya..." Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari mulut Haechan tanpa filter. "Ketemuan deh di bar lalu ajak masuk kamar. Cinta satu malam saja. Meet them, get onto the main bussiness, no string attached, and done. Itu kan yang biasanya kau lakukan untuk menyegarkan pikiran?" Enteng sekali mulut Haechan bicara, padahal orang yang jadi topik utama ubun-ubunnya sudah berkobar mirip bara neraka. "Eh tapi ingat, harus tetap pakai pengaman supaya jauh dari hal-hal yang tak diinginkan."

"Shut it stupid, or I'll smack the hell out of you!"

"Uhh, takuut..."

Ringisan Chenle hanya menambah kekesalannya. "Atau sekarang mau ikut kami? Segelas, dua gelas wiski mungkin bisa jadi obat penenang hati?" Dia dan Haechan punya rencana untuk menghabiskan hari pada salah satu bar yang sedang viral di kalangan anak muda belakangan ini.

"Yeah, mumpung besok libur, carilah seseorang agar kau terhibur..."

Mata Renjun berputar malas. "Aku hanya butuh tidur."

"Aww, tuan pekerja keras kita ternyata butuh istirahat juga, kukira cuma butuh belaian cinta..."

Ujaran Haechan barusan benar-benar dapat satu tonjok ringan di lengan. Tak berapa lama, keduanya sudah berkejaran bagai orang kesetanan menuju arah parkiran, diikuti Chenle yang hanya bisa keras tertawa melihat tingkah manusia-manusia super duper kekanakan di depannya.


...


Tbc~


1. Agua Fresca: jus dari campuran beberapa buah dengan banyak air asal Meksiko

2. Croque Monsieur: roti lapis isi ham dan keju

3. Batobus: layanan kapal wisata yang beroperasi di Sungai Seine, Paris

4. Commis: asisten chef

5. Ganache: campuran antara cokelat dan krim

6. Ramekin: pinggan tahan panas berukuran kecil. Biasanya terbuat dari keramik atau melamin. Bisa buat wadah creme brulee, mug cake, atau mini souffle.


Note: adegan Renjun ngamuk itu inspired by scene di film Chef (2014). Pas Carl (the main character chef) marah-marah ke Ramsey (food critic) perkara katanya Carl nggak punya inovasi dalam menu-menunya, padahal cuma miskomunikasi aja gara-gara Riva (the restaurant owner) masih mau pertahanin old menu restoran mereka.


Halo, halo, kembali berjumpa dengan chapter tiga. Masih slow progres nih Noren-nya, doakan agar mereka cepat ada sesuatu... (amen) Maafkan kalo ke depannya bakal ada beberapa kata yang diplesetin, entah istilah, merk, atau publik figur, coba ditebak aja sendiri ya maksud saya apa, hehehe...

Terima kasih buat yang sudah mampir, see ya and ciaoo!!

Continue Reading

You'll Also Like

1M 82.1K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
426K 34.4K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
298K 25.1K 37
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
431K 44.2K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...