SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK A...

By lnfn21

5.7K 994 167

sudahkah kamu dan dirinya yakin bahwa kalian diciptakan sebagai sepasang? lalu, mengapa masih tidak juga sali... More

00
01
02
03
04
05
06
07
08
09

10

751 102 35
By lnfn21

Ardjuna Dewangga pernah jadi manusia favorit Aca sebelum akhirnya laki-laki itu menduduki peringkat manusia paling menyebalkan sedunia. Hanya karena satu perkara yang menurut Aca klasik saja tapi fatal pengaruhnya.

Sama seperti alasan Aca marah pada Joni waktu itu, atau marah pada ayahnya puluhan tahun lalu:

Juna menyeret orang lain ke dalam hubungan mereka.

Sama seperti saat-saat menyakitkan itu terjadi akibat dua orang sebelumnya, Aca tidak bisa menyuarakan amarahnya dengan benar. Aca pernah mengatakan bahwa ia benci marah yang dibungkam, tapi Aca sendiri juga demikian.

Sama seperti ketika ia menerima perlakuan tidak adil dari banyak manusia yang ia kenal, Aca sangat bisa membenci kelakuannya, tapi tidak dengan pelakunya. Jika hari ini diperlakukan buruk, keesokan harinya Aca akan bersikap seperti kemarin tidak terjadi apa-apa.

"Sibuk nggak?"

"Enggak. Kenapa?"

"Bisa ketemu, hari ini? Ada beberapa barang yang mau aku balikin ke kamu."

Sekarang pun sama.

Setelah menerima sebuah telepon, ia di sini, di depan ruang praktik mahasiswa arsitektur, melangkahkan kaki pada Juna.

Kehadirannya membuat seluruh mahasiswa di dalam sana, kecuali Juna, memilih pergi kemudian. Aca tahu, kabar kandasnya hubungan ia dengan Juna telah menyebar sampai ke banyak telinga. Aca tahu, keributan terjadi di tempat ini, waktu itu. Hanya saja, Aca memilih menutup telinga dari banyak pertanyaan yang diajukan padanya. Aca memilih menutup mata atas luka yang Joni hadiahkan pada Juna.

Biar saja. Energi Aca sudah cukup terkuras malam sebelumnya, saat ia menangis dan mengutuk dunia.

"Duduk, Ca!"

Aca duduk di kursi bekas Juna. Bukan yang pertama, sebelum ini, Aca pernah beberapa kali duduk di sini, sekadar menemani Juna hingga sore tiba, atau hingga larut menjemput.

Juna pergi ke menuju loker di ujung sana, mengambil sebuah tas kertas dan jaket. Juna letakkan benda-benda itu di atas meja, di samping maketnya yang nyaris sempurna, di depan Aca.

"Makasih banyak, ya. Maaf, baru bisa ngembaliin sekarang."

Tak ada suara dari Aca. Hanya anggukan. Dan, sedikit senyuman. Pandangan mereka sempat bertemu sepintas, sebelum Juna akhirnya mengambil posisi bersandar pada meja dan membuat Aca tidak bisa utuh melihat wajah itu.

Aca hanya bisa melihat punggung, lengan kanan, bahu kanan, dan separuh wajah Juna beserta bekas lukanya.

Hening cukup panjang.

"Maket kamu udah beres, ya?"

"Sedikit lagi."

Pandangan mereka sama-sama tertuang pada maket di meja.

"Sidang bulan ini?"

"Insyaallah."

Sebelum akhirnya, bertaut. Aca mendongak, Juna menunduk. Aca tersenyum. "Syukur, deh. Selamat, ya."

Juna tidak. Senyum Aca lenyap begitu merasakan tatapan Juna tidak juga berpindah darinya. Tatapan yang Aca sendiri tidak mampu menelaah jauh arti di baliknya. Butuh banyak waktu untuk itu, sementara Aca tidak bisa menatap lebih dari tiga detik.

"Aku bawa, ya, tempat makannya."

Aca alihkan perhatian menuju tas kertas yang ia ambil, kemudian menuju jaket yang ia biarkan.

"Kalo jaketnya, itu buat kamu aja karena itu punya kamu."

Juna mengernyit. Jelas, yang Juna tahu, Aca memberikan itu sebagai hadiah ulang tahunnya, Februari lalu.

"Kamu ngerasa pernah kehilangan jaket, nggak, sebelumnya?"

Juna berpikir.

"Di depan galeri, sekitar tiga tahun lalu."

Dua buah petunjuk itu berhasil membuat Juna ingat. Iya, Juna memang pernah seceroboh itu meninggalkan jaketnya di depan sebuah galeri, ketika—

"Kamu 'kan yang duduk di kursi waktu itu, yang nungguin hujan reda berjam-jam. Kamu mungkin nggak ngenalin aku, karena kita duduk lumayan jauhan. Tapi, aku pengen ngucapin makasih, karena kalo kamu nggak ada di situ, mungkin aku udah pulang hujan-hujanan, dan mungkin aku bakal kena marah bapak."

"Waktu itu, aku kepikiran buat beliin kamu minuman. Aku pergi ke warung, tapi pas balik lagi, kamunya udah nggak ada. Cuma tinggal jaket kamu."

Aca tersenyum kecil manakala membangkitkan kenang di kening. Tidak pernah Aca lupa soal galeri seni, hujan, dan seorang laki-laki.

Laki-laki yang sengaja membuat dirinya menjadi terbelakang, tertinggal, tersorot mata Aca yang kala itu juga menyengajakan hal yang sama. Sepanjang menyusuri petak demi petak galeri, Aca memperhatikan laki-laki itu sebanyak laki-laki itu memperhatikannya.

Aca sebenarnya bukan tipe orang yang punya percaya diri berlebih, tapi Aca merasa seperti diperhatikan. Aca adalah tipe orang penakut dan was-was terhadap orang asing, tapi anehnya, ia tidak begitu ketika berada di sekitar Juna.

Iya, sekarang Aca tahu namanya Juna. Ardjuna Dewangga. Setelah dua tahun mencari-cari, akhirnya Aca temukan Juna sebagai satu dari sekian banyak teman Joni, pacarnya. Sayang, jaket yang ingin sekali Aca kembalikan tidak lagi berada di tangan.

"Jaketnya hilang waktu aku bawa makrab sama teman-teman BEM. Jadi, aku beli yang baru, walau enggak persis. Aku udah nyari-nyari yang sama, tapi enggak nemu. Sorry, ya."

Juga juga tertawa kecil. Merasa lucu, membayangkan seandainya mereka betulan saling menyapa waktu itu.

"Nggak apa-apa. Kamu notice aku aja, aku udah seneng."

Hening kemudian.

"Waktu itu, aku bukan nunggu hujan. Tapi, ngumpulin keberanian buat nyapa kamu duluan, atau mungkin nawarin kamu tumpangan. Aku inget kok, kalo itu kamu. Gimana bisa aku lupain momen di mana aku ngerasa jadi manusia tercupu di dunia."

Nampaknya, Aca agak kaget. Juna tidak pernah bercerita sebanyak ini sebelumnya.

"Dulu, aku sering mikir, gimana ya, seandainya aku ngajak kamu kenalan dari waktu itu. Mungkin, kamu nggak akan sama Joni, dibuat nangis sama Joni, dan aku nggak harus bersaing dengan Joni walaupun kamu udah jadi pacar aku."

"Tapi, sekarang, aku malah mikir, seandainya aku sadar dari awal kita emang bukan sepasang, aku mungkin nggak akan maksa kita buat jadi sepasang, dan kamu nggak harus kerepotan karena aku, nggak harus nangis karena aku."

Juna tidak pernah bicara sebanyak ini. Tatapan Juna tidak pernah membuat Aca selarut ini. Aca bahkan tidak sadar sejak kapan Juna mengambil kursi lain, membawa itu ke hadapannya, duduk di sana.

"Aku bener-bener minta maaf, ya, Ca."

Aca tidak pernah seberani ini mengamati wajah Juna. Aca dulu hanya berani mengamati ketika Juna sedang fokus akan hal lain, atau ketika Juna sedang terlelap.

"Aku sayang kamu, Juna."

Dada dua manusia berdebar-debar hebat, tetapi Juna adalah yang paling hebat. Ungkapan ini, tabu menurutnya.

"Kalo seandainya aku tahu dengan kalimat itu kamu bisa lebih percaya aku, kalau seandainya aku tahu dengan kalimat itu kamu bisa percaya bahwa kamu nggak lagi bersaing dengan siapapun termasuk Joni, kalau seandainya aku tahu dengan kalimat itu kamu nggak berakhir cari yang lain, aku bakal ngucapin itu seribu kali dalam sehari."

Aca usap air mata yang tiba-tiba menganak dari sudut kelopak. "Tapi, sekarang, kalimat itu udah nggak berguna, ya, Jun. Kamu pasti udah sering denger itu dari pacar kamu."

Juna diam, tak menyangkal. Padahal, ia dan Jelita sudah lama tidak saling bertukar kabar.

Hingga pada saatnya tiba,

"Sukses buat sidangnya."

Aca pamit.

Di sana, Juna duduk di antara gamang.

"Aca!"

Aca dipanggilnya sebelum lenyap sempurna.

"Ya?"

"Maaf, nggak bisa jadi rumah buat kamu."

Lembut, perempuan itu menjawab, "Nggak apa-apa. Aku juga nggak bisa jadi rumah buat kamu."

Kata siapa.

Diajeng Ranasya Tifa adalah rumah ternyaman bagi Juna.

Aca tempat kembalinya Juna dari segala kericuhan dunia. Juna tidak pernah meminta muluk terhadap Aca. Aca duduk di sebelahnya, memberikan bahu untuk Juna gunakan bersandar kala-kala penat, mengomeli Juna ketika mengabaikan sarapan, menemani Juna ketika maket-maket harus selesai keesokan harinya, mengirimkan sarapan, menyediakan obat-obatan, dan lain hal yang Juna kewalahan jika harus semua disebutkan.

Itu sudah lebih dari cukup bagi Juna yang tak pernah diberi perhatian sebanyak itu.

Namun, bagi Aca, jangankan rumah, disebut sebagai tempat singgah saja, Juna tidak layak.

"Bahagia, ya, Ca. Kamu pantes bahagia. Semoga kamu dapet laki-laki yang lebih baik segala aspek dari aku."

Di ujung sana, seulas senyum manis diterima Juna. 

Aca sungguhan pamit seusai berkata,

"Semoga."

[]



\\ d e n g a r \\

#1 afgan - untukmu aku bertahan
#2 gonebloom - atas nama cinta
#3 amigdala - tuhan sebut sia-sia


SEANDAINYA KITA SADAR SEJAK AWAL
KITA BUKAN SEPASANG

TAMAT


author notes: 
halo semuanya,
bagaimana setelah membaca sampai akhir?
apakah berkesan?

terimakasih banyak atas segala bentuk apreasi
terhadap work iseng-iseng ini. 
sehat-sehat kalian di sana.
aku menyayangi kalian sebanyak
Aca menyayangi Juna dan sebaliknya, hehe. 

selamat menunaikan ibadah puasa :)

Continue Reading

You'll Also Like

90.7K 10.1K 30
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...
207K 4.8K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
Drie By VAnswan

Fanfiction

30.8K 3.8K 21
Mamanya bilang, Chandra harus mengalah pada adiknya, Nathan, karena Chandra adalah seorang kakak. Lalu papanya bilang, Chandra harus mengalah pada ka...
56.5K 6.9K 33
"Saat kamu kembali, semua cerita kembali dimulai." Kisal Sal dan Ron kembali berlanjut. Setelah banyak yang terlalui. Mereka kembali bersama. Seperti...