Dear, KKN

By bluubearies

111K 13.9K 1.2K

Kisah tentang kegiatan kampus yang mengharuskan dua belas anak manusia hidup dan berbagi tempat tinggal selam... More

CAST - Keanggotaan KKN Desa Weringin
PROLOG - Kuliah Kerja Nyata
O1. Pembagian Kelompok
O2. First Meet
O3. Survei Pertama
O4. Tentang Desa Weringin
O5. Program Kerja
O6. Proposal & Dana
O7. Bimbingan Proposal
O8. Survei Kedua
O9. Posko KKN
1O. [ H-3 ] Keberangkatan
11. Keberangkatan KKN
12. Hari Pertama
13. Acara Syukuran
14. [ H-1 ] Penyuluhan Bank Sampah
15. [ D-Day ] Penyuluhan Bank Sampah
16. Musibah Tak Terduga
17. Khawatir
18. Sakit
19. [ Pelaksanaan Progker ] Bank Sampah
20. Penghuni Lama
21. Progker Dulu, Liburan Kemudian
22. Kenangan Manis
24. Letupan Bahagia
25. Tom & Jerry
26. Yang Malang
27. Cerita Tentang Hari Ini
28. Tamu Tak Diundang
29. Berita Besar
30. "Lo Juga Cantik."
31. One Step Closer ✨
32. Hari Peresmian Perpustakaan
33. Kembali Pulang
34. Dana Gebyar KKN

23. Huru-hara Bendahara

1.9K 230 44
By bluubearies

Tanda centang sudah Talia torehkan di atas kertas yang terdapat nama-nama di sampingnya. Minggu demi minggu Talia rajin melakukannya meskipun beberapa dari mereka ada yang mangkir. Menjadi bendahara di kegiatan KKN bukanlah hal yang mudah. Juga bukan merupakan hal yang baru untuknya.

Teman-temannya pernah ia omelin habis-habisan karena susah sekali membayar uang kas yang telah disepakati sebelumnya. Bukan apa-apa, sebab adanya uang kas tersebut sangat penting bagi keberlangsungan KKN mereka. Memangnya mereka bisa hidup darimana kalau bukan dari uang kas?

“Bayarlah, Man. Lo udah nunggak berapa lama ini. Kalau nggak lo bayar dari sekarang, mau emang tunggakan lo makin banyak?”

Sekarang ini Talia lagi mengekori Hilman yang tengah mengumpulkan botol bekas pakai. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa terganggu dengan Talia yang mengikuti setiap pergerakannya di belakang sana.

“Tagih yang lain dulu. Gue mah gampang. Bisa belakangan.”

“Belakangan gundulmu. Ini lo doang yang tunggakannya masih banyak. Yang lain masih bisa ditolerir.”

“Yaudah.”

“Mau bayar, kan?”

Hilman menggeleng, tangannya berhenti bergerak memilah botol bekas. “Yaudah, besok coba lagi.”

“HILMAN, GUE SERIUS!!”

“Gue juga serius kali. Bokek nih gue. Lo kalau mau nalangin kas gue dulu, gapapa sih. Gue malah seneng, hehehe.”

Mendengar penuturan Hilman barusan membuat Talia mencak-mencak di tempatnya berdiri. Sementara Hilman hanya tersenyum tanpa rasa berdosa. Jika yang lain bisa sedikit dengan mudah ditaklukkan oleh perempuan itu, berbeda dengan Hilman. Ia masih punya seribu satu cara agar Talia tak mengejarnya lagi—tentunya bukan dengan opsi membayar kas tersebut.

“Sumpah, ya. Kalau kayak gini mana mau gue dulu jadi bendahara. Bodoamat, gue aduin ke Renan lo nanti.”

“Gapapa, aduin aja. Gue ikhlas lahir batin.”

“HILMAN!!!”

Di sisi lain sudah ada Sella yang tengah menonton sembari memegangi perutnya yang masih terasa perih dengan ditemani Yusuf.

“Lo udah bayar kas belum, Sel?”

“Gue mah rutin. Biar nggak nunggak. Lo, kan, tahu sendiri Talia galak kalau masalah duit. Lo sendiri, udah belum?”

Yusuf menggaruk belakang telinganya yang tak gatal, “Baru beberapa sih. Tapi gapapalah, seenggaknya yang bolong nggak sebanyak kayak punyanya si Hilman.” Laki-laki itu awalnya sangat tertarik dengan jelly yang sudah tinggal setengah. Lalu kini mengalihkan perhatiannya pada sebotol air yang sepertinya bukan air mineral.

“Itu buat apa?”

Gantian, Sella juga beralih menatap botol dalam genggamannya. Air yang semula terasa hangat, perlahan mulai dingin.

“Kompresan buat perut gue. Biasa, cewek.”

“Kasihan ya jadi cewek.”

“Nah, tahu, kan? Makanya lo sebagai cowok jangan sampai nyakitin cewek-cewek. Nggak baik. Gimana pun lo juga lahirnya dari sosok cewek.”

“Iya, sih. Yang bilang gue lahir dari keong juga siapa.”

Dua per-enam bagian dari populasi cowok di posko ini rupanya memiliki kepribadian yang sangat menyebalkan. Untung saja Sella sedang tidak punya tenaga untuk memukul atau sekedar mencubit perut laki-laki itu. Tolong ingatkan Sella untuk menghukumnya di lain waktu nanti.

Hehehe, bercanda kali, Sel. Gitu aja ngambek. Biar happy dikit.”

*****

“Jadi yang kasnya masih kurang banyak atas nama Hilman Pambudi.”

Yang namanya disebut pun sama sekali tidak merasa terganggu. Hilman juga tak berniat menjelaskan sedikit pun apa alasannya sampai membuat ia nunggak begini. Laki-laki itu sangat-sangat terlihat santai.

Kali ini Jendra yang mengambil alih sementara Renan hanya diam mendengarkan. Renan tahu hal seperti ini sudah biasa bagi Hilman mengingat keduanya adalah teman sekolah dulu. Renan malah menanti sesuatu apa yang akan Hilman perbuat jika ia sudah terpojok.

Tapi sayangnya Hilman punya seribu satu cara untuk menghindar—jika ia sedang beruntung.

“Man, lo nggak mau lunasin uang kas? Tadi udah ditagih sama Talia, kan?”

“UDAHH!!” bukan Hilman yang menjawab, melainkan Talia sendiri dengan wajah bersungutnya. Perempuan itu masih teramat kesal atas apa yang Hilman lakukan tadi.

“Terus kenapa belum lo bayar?”

“Gini ya teman-temanku sekalian. Di dunia ini ada banyak golongan. Yang pertama, golongan tak punya duit. Kedua, golongan sedikit punya duit. Ketiga, golongan punya duit. Keempat, golongan punya duit lebih. Nah—”

“Dan lo adalah golongan yang nggak punya duit?”

“BETUL SEKALI ANANDA SENO,” balas Hilman dengan wajah kegirangan.

Dengan tetap masih mengunyah makanan di mulutnya, Shasha berucap, “Bohong tuh, kemarin pas waktu beli elpiji sama gue, duitnya Hilman segepok di dompetnya.”

“NAHHHH, SEKARANG MENDING LO BAYAR. KALAU BISA SAMPAI LUNAS. LO MAU BESOK CUMA MAKAN NASI PAKE GAREM?”

“Hiperbola lo, Tal. Ntar gue bayar.”

“Sekarang, Man.”

Hanya sekali titah dari Renan, Hilman bergegas mengambil dompet yang tersimpan di dalam tas yang berada di kamarnya. Bukannya ia tak mau melunasi uang kas tunggakannya. Hanya saja rasanya seperti sayang sekali melihat uang yang tersimpan rapi di dompet kembali berkurang. Seperti ada sesuatu yang bilang, begitu batinnya.

“Oh, iya. Gue mau nanya dong. Kalau sabtu besok gue sama Jendra ijin pulang, boleh nggak?”

Pertanyaan tersebut diajukan kepada Renan. Keputusan untuk pulang memang belum ada kesepakatan sebelumnya. Jadi sebelum KKN ini berakhir dan jatah pulang hilang, Yesmin berniat untuk menanyakan hal ini. Siapa tahu ia bisa pulang sedikit lebih awal.

“Boleh-boleh aja. Asal jangan lama-lama. Inget ya, setiap hari kita selalu ada progker. Kalau kalian balik sabtu, usahain senin udah ada di posko.”

“Gue jadi pengen ikut balik juga,” celetuk Ajeng tiba-tiba.

“Kalau mau pulang, sama gue aja.”

Tahu, kan, yang barusan menyahuti itu siapa? Betul, dia adalah Jev. Gelagatnya sangat kelihatan sekali ingin bersama perempuan itu. Ditambah lagi cengiran yang tidak pernah hilang dari wajah tampannya.

Namun di sisi lain, ada seseorang yang memperhatikan interaksi keduanya. Ada perasaan tidak suka menyaksikan kejadian tersebut. Seperti perasaan iri, lebih dominan ke arah cemburu. Dan ini bukanlah pertama kalinya ia merasakan perasaan semacam ini kepada Ajeng.

“Semisal orangtua kalian ada yang jenguk ke sini. Gapapa. Gue pribadi seneng-seneng aja. Siapa tahu emang ada yang mau dijengukin.”

*****

“Kaki lo gapapa, Rin?”

Itulah kalimat pertama yang ditanyakan oleh Ajeng ketika menemani Karin memasak makanan untuk makan malam. Ajeng baru menyadari ada yang aneh dengan cara jalan Karin. Perempuan itu seperti menahan sedikit rasa sakit pada bagian kakinya.

“Gapapa, kok. Cuma luka ringan.”

“Kok bisa, sih? Mau gue obatin, nggak?”

“Udah diobatin kok tadi sama Renan.”

Ajeng beranjak mengambil wadah untuk kuah sayur bayamnya, meninggalkan Karin yang tengah menggoreng tempe.

“Lo lagi deket ya sama Renan?”

“Ha?”

Karin murni tidak mendengar ucapan yang Ajeng tujukan padanya. Perempuan itu terlalu fokus dengan yang ia kerjakan saat ini. Takut kalau tempe hasil gorengannya gosong.

“Gue lihat-lihat kalian kayak udah kenal lama gitu.”

“Siapa?”

“Lo sama Renan.”

“Kita dulu satu sekolah.”

“SD, SMP atau SMA?”

“SMA.”

“Oh, pantes.”

Harum sayur bayam dan rasa hangat yang menerpa tangan Ajeng membuat perutnya kembali mengeluarkan suara, tanda kalau ingin segera diisi. Makhlum, makan malam kali ini sedikit telat dari malam-malam sebelumnya, sebab rapat yang biasanya dilakukan menjelang tidur ternyata lebih dulu dilaksanakan.

“Renan udah punya cewek belum, sih?”

“Kenapa? Lo suka?”

Ajeng tertawa. Perempuan itu bahkan tidak pernah terpikirkan sedikitpun mengenai kalimat tersebut. Menyukai seorang Renan tidak pernah ada dalam pikirannya. Meskipun ia akui kalau Renan termasuk dalam jajaran cowok-cowok yang bisa diperhitungkan.

“Bukan. Bukan gitu. Gimana ya gue bilangnya. Dia tuh kayak tipe laki-laki yang gampang deketin cewek nggak, sih? Kayaknya selama kita tinggal bareng di sini, gue perhatiin Renan nggak hanya deket sama lo. Renan lebih deket sama Yesmin ketimbang sama cewek lain di posko ini. Gue emang rada sedikit peka sama hal-hal kayak gini. Jadi lo jangan kaget, ya.”

“Iya kali….gue nggak tahu.”

Ajeng mendekat, membisikkan sesuatu tepat di telinga Karin, “Lo pernah jalin hubungan sama Renan, ya?”

Ucapan yang tiba-tiba itu membuat spatula yang dipegang oleh Karin terlepas dari tangannya karena terkejut, sehingga menyebabkan cipratan minyak panas yang sedikit banyak mengenai telapak tangan kanannya.

Melihat hal itu Ajeng terpekik menyamarkan rintihan dari Karin. Pekikan tersebut mengundang penghuni posko yang lain untuk datang menghampiri keduanya. Ajeng juga tak menduga, dugaannya yang ia anggap belum tentu benar malah membuat Karin mengalami insiden ini.

Renan yang datang lebih dulu. Dengan sigap ia mematikan kompor dan menarik perempuan itu agar tangannya segera mendapatkan pertolongan pertama.

Guyuran air pada kran pada kamar mandi berhasil membuat kulit Karin merasakan dingin dan perih secara bersamaan.

“Kenapa bisa gini?” semua orang juga tahu kalau ketua KKN itu tengah khawatir pada Karin.

“Panas.”

“Jangan ceroboh makanya. Tetep aja dari dulu nggak pernah berubah. Kalau masak tuh jangan bercanda.” Renan berdecak kesal. Sementara yang lain menatap Karin kasihan dari luar kamar mandi.

“Udah, Ren. Jangan dimarahin anaknya.”

Sorry, itu tadi karena gue,” cicit Ajeng merasa bersalah.

Tangan itu masih memerah. Karin bahkan sudah melelehkan air matanya akibat rasa sakit yang masih menjalar pada telapak tangannya. Ia juga tak begitu memperhatikan kalimat yang dilontarkan oleh Renan. Lagian siapa yang mau dengan musibah kayak gini.

“Kalian ada yang punya salep luka bakar?”

Dari semua orang yang ada di sana, tak ada satupun yang mengiyakan pertanyaan tersebut. Bodohnya lagi kenapa selama ini mereka tak pernah menyiapkan obat itu untuk berjaga-jaga dan sekarang mereka baru menyesalinya.

“Gu…gue gapapa.”

“Gapapa gimana? Kita ke puskesmas sekarang! Pake jaket!”

Dan kejadian ini semakin memperkuat dugaan Ajeng kalau jauh sebelum hari ini, keduanya pernah menjalin suatu hubungan yang lebih dari sekedar teman dekat.

To be continued.





Continue Reading

You'll Also Like

381K 2.3K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
5.4K 771 16
Rony dan keluarganya sudah bekerja untuk keluarga Nabila selama 20 tahun, tepatnya sejak Rony masih berusia 1 tahun. Rony dan Nabila sudah berteman s...
70.9K 11.4K 51
ft. 00 line ㅤㅤ11 pemuda dan 11 pemudi yang merangkai kisah di Kost Pratala - Pratiwi. Bukan sekedar teman berbagi yang tinggal satu atap, tapi mereka...
4.4K 340 8
Berisi oneshoot, daily chat, what-if, side story, atau lil'bit spoiler dari cerita KKN 110