NAVYA: Secreet Wife

Galing kay admla_

73.5K 5.8K 1.6K

-Don't forget follow, vote, and comment! -Don't copy my story! Jangan jadi plagiat kalau ingin mempunyai kary... Higit pa

PROLOG
NSW: Teman Lama
NSW: Permintaan Agnes
NSW: Bersama Papa
NSW: Samuel Marah
NSW: Sorry
NSW: Kembalinya Queen Of Darkness
NSW: Keluarga Psikopat
NSW: Tuan Samuel
NSW: Navya Cemburu?
NSW: Family Time
NSW: Teman Lama (2)
NSW: Kecurigaan Sean
NSW: Kedatangan Amberly
NSW: Klinik
NSW: Don't Leave Me
NSW: Sick
NSW: Malam yang indah
NSW: I'm Here
NSW: Apapun Untuk Keluarga
NSW: Tingkah Konyol Regal
NSW: Kedatangan Cegil
NSW: Sebuah Informasi
NSW: Duo Spy
NSW: Pilihan Yang Berat
NSW: Wait For Me
NSW: Terungkap
NSW: Terasa Asing
NSW: You're Still My Princess
NSW: Peace
NSW: The Best Parents
NSW: Jangan Hina, Camila
NSW: Samuel vs Dua Ipar
NSW: Posesif Dad
NSW: I Hated That Incident
NSW: Shinning Day

NSW: Hilang?

2.2K 184 25
Galing kay admla_

Holla, selamat malam semua. Bagaimana kabar kalian? Dan puasa pertamanya? Semoga kalian semua selalu dalam keadaan baik ya😻

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen! Kalau 65 vote, 20 komen lebih aku cepet update. Kalau belum sampai target aku nda mau update...

*******

HAPPY READING!

S

amuel keluar dari walk in closetnya, pria itu sudah siap dengan pakaian formalnya. Hari ini dia akan pergi ke kantor. Dia mulai bekerja sebulan yang lalu seraya melanjutkan misi memecahkan teka-teki kematian Abel yang hingga saat ini belum selesai juga.

Kening Samuel mengerut melihat istrinya yang belum siap, padahal Navya masih masa magang sebagai sekertarisnya. "Nay, kok belum siap?" tanya Samuel yang menghampiri istrinya.

Navya tersenyum kepada suaminya. "Aku hari ini izin dulu ya. Ayah kabarin aku tadi, katanya ada misi untuk aku," jawab Navya yang membuat Samuel bingung.

"Misi apa?"

"Membunuh pengkhianat yang sudah menghancurkan beberapa perusahaan ayah," kata Navya.

Bola mata Samuel terbelalak. "Hancur? Maksudnya apa?" kaget Samuel. Dia sama sekali tidak mengetahui berita tersebut, bahkan sang ayah tak ada bilang apa-apa kepadanya.

Navya mengelus lengan suaminya. "Iya, lima perusahaan ayah di bakar oleh seseorang yang berkhianat kepada ayah. Bukan hanya dibakar, tapi data rahasia perusahaan ayah juga dijual dengan harga tinggi kepada semua saingan bisnis ayah, termasuk jual ke papa aku," jelas Navya.

Samuel menggeram marah, dia tak suka dikhianati. Siapa pun orang yang berani bermain-main dengan keluarga Narendra, maka hidupnya tak akan Samuel biarkan tenang. Pria itu mengepalkan kedua tangannya, Navya yang melihat suaminya sudah emosi pun memeluk tubuh Samuel dengan erat dari samping.

Wanita mengelus punggung Samuel lembut yang membuat emosi Samuel yang tadinya memuncak, kini mereda. "Don't worry. Aku yang akan membunuh semua hama itu, kamu tenang aja ya?" bisik Navya lembut.

Pandangan Samuel dan Navya bertemu. Samuel khawatir, perasaannya mendadak tidak enak, dan hatinya berat untuk mengizinkan istrinya menjalankan misi ini. Tangan Navya mengelus pipi Samuel lembut.

"Aku akan pulang dengan selamat, promise," kata Navya dengan tersenyum manis.

"Promise! Kamu harus pulang tanpa ada lecet sedikit pun, jika satu luka aja aku lihat, maka aku akan meminta kepada ayah untuk kamu berhenti menjadi seorang mata-mata!" tegas Samuel yang tidak akan main-main.

Navya mengangguk pelan. "Iya sayang. Kamu lupa siapa istrimu? Navya Beatarisa yang sudah kebal dengan kekerasan apapun hehehe," kekeh Navya.

Samuel menarik Navya ke dalam dekapannya. Pria itu mencium pipi Navya sekilas. "Istriku tidak lemah. Kamu wanita kuat, Nay," bisik Samuel lembut.

Navya tersenyum tipis. Ia bersyukur kalau Samuel masih mendukung pekerjaannya sebagai mata-mata, dan tidak memaksanya untuk keluar dari dunia hitam. Samuel hanya takut kalau musuhnya diluar sana akan melampiaskan kemarahan mereka kepada istri dan anaknya, maka dari itu Samuel selalu memperketat keamanan semua keluarganya.

Tok tok tok

Keduanya pun melepaskan pelukan mereka. Navya melangkah menuju pintu kamarnya lalu membuka, tepat di depan pintu sudah ada Agnes yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Agnes yang bersiap dibantu oleh maid.

"Good morning mama, papa," sapa Agnes yang langsung masuk ke dalam kamar kedua orang tuanya.

Samuel tersenyum kepada putrinya, dia membawa Agnes ke dalam gendongannya. "Morning princess. Semangat banget, emang Nesa mau ketemu siapa di sekolah?" ujar Samuel dengan mengecup pipi Agnes sekilas.

"Ketemu kakak Melvin," jawab Agnes dengan wajah polosnya.

Samuel dan Navya saling melemparkan tatapan. "Kakak Melvin?" Anak mereka mengangguk pelan. Keduanya tersenyum tipis, mungkin sekarang anak mereka sudah bisa dekat dengan putra Jordan.

Tangan Samuel mengelus rambut putrinya lembut. "Nesa harus dengerin apa kata kakak Melvin dan kakak Jena, ya? Kamu itu lebih muda dari mereka berdua, jadi harus nurut ya," nasihat Samuel kepada putrinya.

"Iya papa."

Navya turun dari mobilnya ketika sampai di markas utama agen rahasia milik mertuanya. Wanita itu datang ke markas setelah mengatarkan putrinya ke sekolah, dan kebetulan tadi dia bertemu dengan Letta. Navya sekalian meminta tolong untuk menjaga putrinya hingga sore, Samuel sudah pasti pulang malam.

Suaminya sedang sibuk dengan urusan kantor dan pekerjaan yang menumpuk.

Navya memasuki gedung besar yang di dalamnya para agen rahasia saja. Para agen rahasia yang melihat kedatangan Navya membungkuk hormat. Navya hanya menunjukkan wajah datarnya, dia pergi ke lantai dua, tepatnya ruang rapat.

"Itu kak Avya? Gila, gue sudah lama banget nggak liat dia deh," celetuk Griselda.

Rafa dan Ravin mengangguk setuju. Tim A di pecah, karna Navya dan Bianca melanjutkan kuliah mereka. Sedangkan Griselda dan kedua temannya tidak ingin kuliah. Mereka hanya ingin tetap menjadi agen rahasia, meneruskan karir mereka sebagai mata-mata saja.

"Kabarnya Bianca gimana, ya?" ujar Ravin yang merindukan tim A.

Griselda menggeleng lesuh, dia sudah jarang berkomunikasi dengan sahabatnya. "Gue sendiri nggak tau, Vin," kata Griselda.

Rafa menepuk pundak mereka. "Sudah, ayo kita istirahat aja. Emang lo berdua nggak capek setelah menjalankan misi tiga hari? Gue si capek ya," ucap Rafa yang mengalihkan pembicaraan.

"Kita pergi ke pemandian air panas aja yuk, gue pengen berendam," ajak Griselda. Rafa dan Ravin pun menyetujui permintaan sahabat mereka.

Ketiganya pun kembali ke kamar masing-masing untuk mengambil baju ganti dan menaruh tas. Mereka baru saja selesai menjalankan misi diluar kota, dan misi kemarin benar-benar menguras banyak tenaga mereka.

Dilantai dua Navya sudah berhadapan dengan empat orang yang lebih dewasa darinya. Wanita memberikan hormat kepada pemimpin agen rahasia, siapa lagi kalau bukan Alvano Narendra.

"Selamat pagi, Jendral," sapa Navya.

Vano mengangguk pelan. "Pagi, Avya. Ini data untuk misi kamu, saya harap kamu bisa berhati-hati menjalankan misi yang satu ini," ujar Vano yang memberikan sebuah amplop coklat kepada Navya.

Navya menerima amplop tersebut. "Baik, Jendral!"

Darrel menatap Navya. "Misi kali ini lo sendiri, tanpa bantuan dari tim A atau yang lainnya. Jangan lupan gunakan baju perlindung untuk berjaga-jaga serangan dari musuh," ucap Darrel kepada Navya.

"Baik! Kalau begitu, saya undur diri. Selamat pagi semua." Navya pun keluar dari ruang rapat untuk menjalankan misinya yang lumayan jauh dari kota Jakarta.

Seorang pria menatap kearah atasannya dengan tidak percaya. "Kenapa anda memberikan misi ini kepada, Avya? Dia hanya seorang mata-mata perempuan yang tidak memiliki kemampuan kuat!"

Alvano menatap salah satu agen rahasianya dengan datar, pria itu terkekeh pelan. "Orang yang kau bilang tidak mempunyai kemampuan adalah mata-mata terbaik saya! Avya yang sudah mendapatkan julukan spy of darkness!"

Leo terdiam terdiam. Pria itu menatap Alvano tak percaya. "Spy of darkness?" gugup Leo. Dia sangat kaget, ia pernah mendengar julukan itu. Siapa pun yang berurusan dengan salah satu mata-mata Vano itu akan bernasib tragis.

Alvano mengangguk pelan. "Kau tak akan mampu melawannya, Leo!" tungkas Vano.

Darrel menepuk pundak Leo. "Tarik kata-kata lo kalau nggak mau kepala lo itu hancur ditangan, Avya," ujar Darrel. Leo menelan ludahnya dengan kasar, dia salah berbicara sepertinya.

"Kamu nggak tau, ya? Avya itu salah satu mata-mata terbaik. Bahkan dia berhasil memenangkan perang waktu di pulau Asgar, padahal dia waktu itu lagi hamil muda loh," timpal Chyntia yang mengingat kejadian beberapa tahun lagu.

Di mana geng Devil's Angel bersatu dengan para agen rahasia melawan geng Skala yang melindungi buronan mereka. Dan terjadi lah perang di pulau Asgar, lalu di menangkan oleh geng Devil's Angel.

Leo berdecak kagum. "Keren..." gumam Leo yang menyesal karna telah berbicara yang tidak-tidak tentang Navya.

Di dalam mobil Navya melepaskan masker hitamnya, sebelum jalan dia ingin membaca data tentang misinya. Wanita itu melihat biodata tentang targetnya kali ini. Evano Dirgantara, pria berusia 25 tahun yang hidup sebatang kara. Seorang pengkhianat yang sudah menjual lima data penting perusahaan Narendra'Group kepada saingan bisnis mertunya.

Navya mengeluarkan smirknya setelah membaca semua data misinya. "Evano Dirgantara, ajalmu akan segera datang," gumam Navya.

*********

Samuel keluar dari ruang meeting yang diikuti oleh Jordan di belakangnya. Dia baru saja selesai meeting dengan perusahaan papa dari Regal yang kebetulan bekerja sama dengannya di bidang properti. Tak lama Regal dan seorang pria dewasa datang. "Tuan Samuel," panggilnya.

"Ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Samuel.

"Ah, tidak kok. Putra saya yang satu ini ingin meminta tips meluluhkan hati seorang perempuan, kasian dia sudah jomblo selama 22 tahun," ujarnya dengan melirik kearah Regal.

Regal menatap sang papa dengan tajam. "Papa apaan si? Regal tuh belum nemu yang pas aja," elak Regal.

"Sssttt, lebih baik kamu tanya ke Samuel caranya meluluhkan perempuan. Masa kalah sama papa, dulu papa luluhin hati Alena saja cuma tiga bulan kok." Regal mencibirkan bibirnya kesal.

"Cih, ujung-ujungnya cerai," ceplos Regal.

Sang papa hanya mengedikkan bahunya, sudah biasa mendengar ucapan Regal. Pria itu menepuk pundak anaknya. "Belajar dari ahlinya, papa pamit dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Regal, pria itu pun langsung pergi.

Regal menghela napas panjang. Samuel dan Jordan saling melemparkan tatapan, interaksi orang tua dan anak yang menurutnya aneh. Sang papa yang ingin anaknya cepat mendapatkan jodoh, sedangkan anaknya sendiri masih betah menjomblo.

Regal melirik kearah sahabatnya. "Permintaan bokap gue tadi diemin aja, jangan lo anggap serius," kata Regal.

"Santai. Tapi bokap lo ada benernya juga, masa lo mau terus jomblo si," ujar Samuel. Mereka melangkah menuju ruangan Samuel yang tak jauh dari ruang meeting.

Regal hanya diam, dia belum ada niatan untuk mempunyai pasangan. "Gue belum mau punya pasangan, Sam. Gue trauma, takut nanti hubungan gue seperti hubungan orang tua gue dulu," balas Regal ketika mereka sudah berada di ruang pribadi Samuel.

Samuel duduk dikursi kebesarannya, pria itu menatap sahabatnya. "Semua itu nggak akan terjadi kalau lo sama pasangan lo bisa saling terbuka. Kunci disebuah hubungan langgeng itu tidak hanya saling mencintai, tetapi komunikasi dengan pasangan itu penting," ucap Samuel.

"I know, but, gue belum mau. Gue masih mau fokus sama karir. Ditambah gue juga mau mengurus papa gue. Lo tau berapa lama gue nunggu kedatangan dia, kan?" Samuel mengangguk paham.

"Yaudah, terserah lo aja."

Regal teringat sesuatu. "Si Freddy kemana?" tanya Regal.

"Dia ada urusan katanya di Bandung," jawab Samuel yang fokus dengan laptopnya.

"Terus misi kita buat mecahin kasus kematian Abel gimana?" Samuel melirik kearah Regal sekilas. Pria itu mengedikkan bahunya.

"Harusnya kita sudah nggak perlu cari tau lagi. Cuma gue heran aja, kenapa baru sekarang keluarga Abel ingin kita mencari tau siapa orang yang sudah membunuh Abel," kata Samuel yang heran. Dia juga sebenarnya malas untuk melakukan misi ini.

Regal mengangguk setuju. "Jendral juga nggak ada bilang apa-apa ke kita. Gue rasa kasus ini harusnya sudah selesai. Siapa pun pembunuhnya pasti nggak jauh dari orang terdekat dia," timpal Regal.

Di tempat lain Agnes dan Jena berada dikelas, kedua anak itu sedang istirahat. Agnes mengeluarkan kotak bekalnya yang diikuti oleh Jena. "Kak Jen bawa apa?"

Jena menunjukkan bekal yang dia bawa dari rumah. "Mama aku bawain sushi. Kalau kamu?" tanyanya kepada Agnes.

Agnes membuka kotak bekalnya yang berwarna pink. "Cookies, buah, sama susu," jawab Agnes.

Mata Jena membinar. "Wahhh, pasti cookiesnya enak." Agnes mengambil satu cookies miliknya dan memberikan kepada Jena satu. "Buat kamu," kata Agnes yang berbagi makanan.

"Nesa juga boleh ambil makanan aku." Agnes menggelengkan kepalanya. "Nesa nda mau makan nasi, tadi pas mau berangkat sudah makan nasi," tolak Agnes secara lembut.

Sedangkan dibelakang mereka ada seorang anak kecil yang tengah memakan bekalnya dengan tenang. Pandangan Agnes kepada Melvin, ia tersenyum tipis melihat bekal yang dibawakan oleh sang mama untuk pria itu di makan.

Agnes pun turun dari tempat duduknya dan menghampiri Melvin. "Kak, kamu mau nggak?" tawar Agnes yang menyodorkan kotak bekalnya.

"No, thanks," tolak Melvin tanpa melirik kearah Agnes.

Anak itu mendengus kecewa. "Yaudah deh."

Saat Agnes ingin kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba kedua temannya yang sedang bermain kejar-kejaran didalam kelas tak sengaja menyenggol Agnes hingga menjatuhkan kotak bekal anak itu.

Brukkk

Bola mata Agnes terbelalak melihat kotak bekalnya jatuh ke lantai. Ia menundukkan kepalanya. "Kotak bekal aku...." gumam Agnes pelan.

Jena yang melihat itu turun dari kursinya dan menghampiri dua anak laki-laki yang menyenggol Agnes tadi. Jena menatap datar mereka berdua. "Hei, kalian berdua apaan si main kejar-kejaran di dalam kelas! Lihat tuh, karna ulah kalian kotak bekal Nesa jadi jatuh!" tegur Jena.

"Kita nggak sengaja."

"Ya, makanya jangan main di dalam kelas! Kalian kalau mau main kejar-kejaran dilapangan!" ketus Jena lalu pergi menghampiri Agnes.

Melvin turun dari kursinya, pria itu mengambil kotak bekal Agnes yang jatuh dan mengambil semua makanan dan susu kotak yang jatuh ke lantai. Ia memberikan satu potong roti kepada Agnes yang belum dirinya makan.

"Kamu makan roti aku aja," ucap Melvin.

"Terus kakak makan apa?" tanya Agnes yang tak enak.

Melvin menggeleng pelan. "Aku masih kenyang. Makanan ini jangan di makan, ini sudah jatuh ke lantai!" tegas Melvin.

Agnes tersenyum tipis. "Makasih kak." Melvin hanya mengangguk pelan lalu keluar kelas. Jena yang melihat itu pun ikut senang, ia menarik tangan Agnes untuk kembali duduk.

"Makan bekal aku juga gapapa." Agnes hanya tersenyum.

Di depan kelas Melvin menatap sekitar kelas yang sangat ramai, anak itu seperti sedang mencari seseorang. Pandangannya kepada kedua anak yang sebaya dengannya. Melvin melangkah mendekat menghampiri mereka yang sedang berkumpul dengan anak-anak yang lain.

Mereka tertawa yang membuat Melvin penasaran.

"Hahaha, kasian tadi si Nesa makanannya jatuh ke lantai."

"Kalian sengaja ya lakuin itu ke Nesa?"

"Iya, habis dia ngeselin banget."

Melvin mendengar itu semua merasa kesal. Pria itu menghampiri teman-teman kelasnnya yang sedang berkumpul. "Oh, jadi kalian sengaja menjatuhkan bekal Nesa?" celetuk Melvin.

Seorang anak laki-laki menatap Melvin dengan tersenyum remeh. "Kalau iya kenapa?"

Kedua tangan Melvin terkepal. Dia tak suka ada yang mengganggu Agnes ataupun Jena di sekolah ini. Tugasnya menjaga kedua anak perempuan itu dari gangguan orang-orang.

Bugh

Melvin memukul wajah anak laki-laki itu dengan kencang. Pukulannya tepat mengenai hidung temannya hingga membuat hidung tersebut mengeluarkan darah. "Ini peringatan pertama buat kamu, jangan pernah isengin atau jahati Nesa dan Jena!" tegas Melvin yang langsung pergi beguitu saja.

Anak yang di pukul oleh Melvin barusan menangis kencang. Namun, Melvin sama sekali tidak peduli dan memilih untuk kembali ke dalam kelasnya.

************

Kini Navya telah sampai di lokasi tujuannya. Wanita itu berdiri didepan gedung tua yang sangat besar. Tak jauh dari gedung tersebut ada parkiran yang dijadikan tempat persembunyian kendaraan para pengkhianat. Navya mempersiapkan senjata-senjatanya.

Kali ini tak akan menggunakan pistol, tetapi menggunakan senjata yang mirip seperti jarum yang tajam. Senjata yang jarang Navya gunakan, sekali dia gunakan akan langsung membuat targetnya mati dalam sekejap.

Navya memasuki gedung tua tersebut dengan langkah yang anggun. Wanita itu memasuki sebuah lift dan menekan tombol lantai tiga. Informasi yang Navya dapatkan bahwa mereka semua berkumpul dilantai tiga.

Saat pintu lift terbuka Navya langsung di sambut dengan lima pria yang berbadan kekar. Ia menyembunyikan senjatanya dibelakang tubuhnya. Navya tersenyum manis kepada mereka, dia menyamar sebagai wanita bayaran untuk memuaskan mereka.

"Ada cewe nih, cantik pula," ujarnya.

"Pasti dia yang di sewa oleh bos," timpal temannya.

Navya menatap kelima pria itu dengan tersenyum mematikan. "Aku dengar disini adalah tempat para pengkhianat bersatu ya," celetuk Navya. Raut wajahnya berubah menjadi tajam, kelima pria itu menatap Navya dengan was-was.

"Anda siapa?"

Navya mengeluarkan smirknya, wanita itu mengeluarkan dua senjatanya. "Selamat tinggal hama," gumam Navya.

Jleb

Jleb

Jleb

Jleb

Jleb

Navya menusuk kelima pria itu dengan senjatanya yang tajam, dia menusuk tepat bagian jantung mereka. Navya tersenyum melihat kelima pria itu sudah tumbang. Pandangannya tertuju kepada sebuah pintu yang tertutup.

Kaki Navya melangkah menuju pintu tersebut.

Brakk

Navya menendang pintu tersebut hingga hancur yang membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut. Navya menatap jijik orang-orang yang ada di dalam. Banyak sekali wanita sewaan yang dijadikan budak seks para pengkhianat.

"LO SIAPA HAH?"

Tatapan Navya menajam, dua senjata yang dia pegang meneteskan darah-darah korban sebelumnya. "Aku? Avya. Kedatangan aku kesini untuk menghabiskan kalian semua," ucap Navya lembut.

Navya pun bergerak dengan gesit membantai semua orang yang ada di dalam. Dia menusuk semua orang dengan senjatanya yang tajam. Tak segan-segan Navya menusuk bagian dada, leher, dan juga bagian mata.

Darah muncrat kemana-mana, bahkan hingga ke dinding.

Jleb!

Senjatanya menusuk bagian jantung. Darah yang mengenai wajah Navya membuat wanita itu tersenyum senang. Tak sampai sepuluh menit semua targetnya mati terbunuh secara tragis, bahkan para wanita bayaran mereka pun mati ditangan Navya.

Navya mengusap wajahnya dengan kasar.

Prok prok prok

Sebuah tepukan tangan yang membuat Navya terkejut. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat tiga orang pria yang berdiri didekat pintu masuk. Navya menatap tajam mereka semua, salah satu dari mereka adalah pria yang menjadi tujuan utamanya datang kemari.

"Tidak aku sangka, bahwa wanita cantik sepertimu ini seorang psikopat. Hebat, anda bisa membunuh semua anggota saya," ujar Evano yang menjadi tujuan utamanya.

Cih, Navya berdecih sinis. "Lebih baik anda menyerah, atau nasib anda akan sama seperti mereka!" Navya tak mungkin langsung membunuh Evano sebelum intrograsi pria itu.

Evano tertawa kencang mendengar ucapan Navya barusan. "Menyerah? Hahaha!"

Pria itu melirik kearah kedua temannya. "Urus nih cewe." Mereka mengangguk pelan.

Kedua temannya pun menyerang Navya secara bersamaan, mendapatkan serangan mendadak membuat Navya bergerak dengan was-was. Wanita itu menatap kedua pria yang mengelilinginya, tatapan Navya tak lepas dari dua musuh.

Navya memasukkan senjatanya, tak mau membuang waktu banyak.

Bugh!

Navya menendang perut salah satu pria itu. Mereka pun berkelahi disebuah ruangan yang penuh dengan mayat dan darah yang menggenang dilantai. Evano hanya memperhatikan pertengkaran mereka saja, melihat keahlian Navya dalam bertarung membuatnya kagum.

Tak sampai disitu, Navya memukul mereka dengan membabi buta. Ia menendang, memukul, dan membanting kedua pria itu dilantai dengan kencang. Evano tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Navya tanpa wanita itu.

Navya menarik kerah salah satu teman Evano. "Brengsek! Lo tadi sengajakan pegang dada gue? Anjing lo!" murka Navya yang ingin melayangkan bogeman.

Evano menahan tangan Navya, pria itu mencengkram kuat lengan Navya yang membuatnya meringis kesakitan. Tatapan mereka saling bertemu, bola mata Navya menatap tajam Evano. "Lepas!" kata Navya dengan memberontak.

Evano semakin kencang mencengkram lengan Navya. Pria itu menarik tangan Navya dengan kasar. "Lo berisik! Lebih baik lo tidur!"

Bugh

Evano memukul leher Navya dengan kuat yang membuatnya lemas. Pandangan Navya menjadi kabur, ia jatuh ke dalam pelukan Evano. Pria itu tersenyum sinis. "Gini aja lo nggak bisa tumbangin nih cewe," ketus Evano kepada kedua temannya.

Zain dan Daffa bangkit. "Tuh cewe kayak preman, tenaganya kuat banget," ringis Daffa dengan memegang bagian perutnya yang ditendang oleh Navya.

Zain terkekeh pelan. "Untung lo cepat nahan dia, kalau nggak muka gue babak belur karna tuh cewe," ujar Zain dengan menatap Navya yang terjatuh pingsan.

"Lo beneran pegang dada dia, Zain?" Pria itu mengangguk pelan. "Awalnya gue mau mukul wajahnya, eh tapi tangan gue nggak sengaja megang dada dia," kata Zain.

Evano menggelengkan kepalanya. "Mending kita cepet bawa nih cewe ke villa, dia bisa kita jadikan umpan," celetuk Evano.

Zain dan Daffa mengangguk setuju. Ketiga pria itu pergi meninggalkan bangunan tua, mereka membiarkan mayat-mayat anggota mereka yang sudah dibunuh oleh Navya. Evano meletakkan Navya dikursi belakang yang dijaga oleh Daffa, sedangkan Evano dan Zain duduk di depan.

Ditempat lain Bianca baru saja tiba di markas utama, gadis itu mendapatkan panggilan dari Chyntia untuk menyuruhnya datang ke markas. Bianca berpikir akan ada misi baru untuknya, namun anehnya dia tak menerima informasi apapun tentang misi.

Bianca melihat ketiga sahabatnya yang sudah menunggunya di dekat tangga. Gadis itu melambaikan tangan. Griseldan, Ravin, dan Rafa yang melihat kedatangan Bianca pun tersenyum. Bianca memeluk sahabatnya dengan erat.

"Kalian apa kabar?" tanya Bianca.

"Kita baik. Lo sendiri gimana?" Bianca tersenyum tipis. "Gue baik juga."

"Jendral tumben banget ngumpulin tim A lagi, apa ada misi yang penting banget?" celetuk Ravin.

Rafa menatap kembarannya. "Apa ini semua ada kaitannya sama misi kak Avya?"

Kening Bianca mengerut. "Avya lagi jalanin misi?" ketiganya mengangguk pelan.

"Emang lo nggak tau, Bi?" ujar Griselda.

Bianca menggelengkan kepalanya. Seorang pria menghampiri mereka berempat. "Kalian sudah ditunggu oleh Jendral diruang rapat sekarang," kata Darrel yang menyampaikan pesan dari atasannya.

Mereka pun bergegas pergi ke ruang rapat.

Diruang rapat Vano sudah menunggu kedatangan tim A bersama dengan Chyntia dan juga Leo. Tak lama mereka datang dan langsung menghadap kepada atasan mereka. Rafa sebagai wakil dari Navya menunduk hormat.

"Selamat siang, Jendral."

Vano mengangguk pelan. "Siang. Saya langsung the point saja. Saya ingin kalian semua menyusul Avya ke lokasi tujuan misinya, kami mendapatkan kabar bahwa lokasi Avya tidak dapat dilacak oleh pihak komunikasi. Kalian semua harus kesana bersama dengan Leo, pastikan keadaan disana!" tegas Vano.

Bianca dan teman-temannya saling melemparkan tatapan. Bianca merasa aneh, tidak biasanya Navya akan sulit dilacak. "Apa waktu untuk Avya jalankan misi sudah selesai, Jendral?" tanya Bianca.

"Seharusnya sekarang dia sudah ada di markas, tetapi dia belum kembali," jawab Vano.

Rafa berdiri tegap, pria itu menatap Vano. "Kami akan mengecek situasi disana!"

"Kalian boleh berangkat sekarang bersama Leo. Kalau ada apa-apa langsung kabarkan pihak komunikasi," ucap Vano kepada seluruh tim A.

Rafa dkk pun keluar dari ruang rapat bersama dengan Leo yang akan memimpi tim A menuju lokasi misi Navya yang sudah di tentukan. Vano kembali duduk dikursinya, sedangkan kedua tangan kanan Vano hanya diam dan tak berani untuk membuka suara apapun, selain melemparkan tatapan.

Vano memijat pangkal hidungnya. Menantunya yang secara tiba-tiba tidak dapat dilacak, padahal tiga puluh menit sebelumnya mereka tau posisi Navya, pihak markas sudah mendapatkan pesan khusus dari Navya.

Kode-kode pesan yang hanya dapat dipahami oleh pihak komunikasi.

"Kalau Chika tau Navya menghilang seperti ini, bisa-bisa aku di pecat sebagai suaminya," gumam Vano yang didengar oleh kedua tangan kanannya.

Darrell berdeham pelan. "Maaf tuan, apa tidak sebaiknya kita kabarkan tuan muda juga?"

Vano menatap Darrell dengan datar. "Kau mau aku mati ditangan putra ku sendiri, Darrell?" Pria itu ingat dengan putranya yang sangat menuruni sifat emosional dan psikopat darinya.

Darrell menggeleng cepat. "B--bukan begitu tuan. Hanya saja menurut saya, tuan muda berhak tau kabar ini," ujar Darrell dengan gelagapan.

"Kau benar, tetapi sudah pasti saya akan mati ditangan Samuel jika dia tau istrinya menghilang saat menjalankan misi. Kalian tau sendiri secinta apa putra saya kepada mata-mata kita, luka sedikit, nyawa kalian taruhannya," pungkas Vano.

Mau Darrell ataupun Chyntia mematung, keduanya menelan ludah dengan kasar. Mereka jadi teringat perang waktu di pulau Asgar, dimana Samuel marah besar karna istrinya terluka. Dan semuanya terkena amukan seorang Samuel Narendra.

Vano bangkit dari duduknya, pria itu kembali menatap layar yang besar. Dia dapat melihat semua pergerakan para agen rahasia yang tengah menjalankan misi dari layar tersebut. Para agen rahasia dapat dia pantau, karna setiap langkah mereka akan terpapar jelas.

Namun, pandangan Vano kepada jalur yang dimana itu lokasi misi Navya. Secara tiba-tiba titik merah wanita itu menghilang. Pihak komunikasi sudah coba untuk menghubungi dia, tetapi tidak ada jawaban.

***********

Sebuah mobil sport memasuki kawasan luas yang dibelakang mobil tersebut diikuti oleh empat motor. Para penjaga yang melihat kedatangan anggota Devil's Angel menunduk hormat. Tak lama seorang pria turun dari dalam mobilnya yang di susul oleh sahabatnya.

Pria itu menatap sekitar halaman depan markas yang sangat ramai. Banyak penjaga yang menjaga keamanan markas utama. Samuel dkk memang sudah berniat untuk datang ke markas hari ini, mereka akan menanyakan sesuatu.

Dan entah kenapa perasaan Samuel tiba-tiba tidak enak.

Keenam pria itu memasuki markas utama yang didalamnya berisi para agen rahasia yang menggunakan pakaian khusus, dan tentunya berwarna hitam.

Pandangan Samuel menatap setiap sudut markas, dia mencari keberadaan sang ayah.

"Gue rasa Jendral ada diruang rapat," celetuk Farhan yang sangat tau tempat-tempat yang sering di datangkan oleh Vano.

Mereka pun melangkah menuju ruangan rapat yang berada dilantai dua. Didalam ruang rapat Vano benar-benar dibuat pusing, hingga detik ini belum ada kabar dari tim A tentang situasi lokasi Navya.

Pintu ruangan terbuka menampilkan keenam pria. Vano dan kedua tangan kanannya menatap kedatangan Samuel dkk yang secara tiba-tiba. Dia sudah dapat menebak kalau putranya akan datang ke markas.

Farhan menghampiri mereka. "Jendral, saya dengar Avya sedang menjalankan misi. Apa dia bersama tim A?" Vano menggelengkan kepalanya.

"Saya hanya menugaskan Avya seorang diri. Lagi pula tim A baru saja pulang setelah menjalankan misi di perbatasan timur," jawab Vano.

Kening Farhan mengerut. "Kenapa Jendral tidak menugaskan saya juga? Saya bisa membantu Avya dalam menjalankan misi," ujar Farhan.

Vano menghela napas panjang, dia tak lagi menjawab ucapan Farhan. Pikirannya terus tertuju kepada menantunya saat ini, sedangkan Samuel sejak tadi menatap sang ayah dengan dalam. Dia yakin, kalau ada sesuatu yang terjadi, sehingga membuat ayahnya gelisah.

Samuel berdeham pelan. "Apa ada yang ingin anda katakan kepada saya?" celetuk Samuel.

"Instingmu kuat juga," gumam Vano.

Pria itu menatap putranya. "Tunggu kabar dari Leo," finall Vano yang tidak terima bantahan apapun.

Dua jam kemudian....

Sudah dua jam Samuel dkk menunggu diruang rapat tanpa ada yang harus mereka kerjakan. Regal dan Bastian hanya sibuk pada ponsel mereka, begitu pun dengan yang lainnya. Samuel sudah lelah menunggu, dia yakin terjadi sesuatu kepada istrinya saat ini.

Chyntia menghampiri Vano. "Ada panggilan dari Leo, tuan," celetuk Chyntia.

"Sambungkan ke layar sekarang!" tegas Vano.

Tak lama wajah Leo muncul dilayar monitor yang dapat dilihat satu ruangan. "Selamat sore, Jendral! Kami ingin menyampaikan, bahwa situasi di lokasi nona Avya menjalankan misi tidak ada yang mencurigakan. Semua target sudah dibantai habis olehnya, hanya saja kami tidak menemukan keberadaan nona Avya."

Vano melihat situasi disana dari monitor, memang terlihat jelas mayat-mayat yang tergeletak dilantai.

Sedangkan disana seluruh tim A sedang berkeliling gedung tua tersebut. Bianca menatap sekitar ruangan yang sangat enggap, gadis itu menginjak sesuatu yang membuatnya mengerutkan keningnya.

Bianca menatap sepatunya dan melihat sesuatu yang berkilau dibawah kakinya. Ia mengambil benda tersebut, bola matanya terbelalak melihat terdapat nama Navya diujung benda tersebut.

"Apa ini senjata yang di gunakan Avya?" ujar Bianca yang menunjukkan sebuah benda tajam yang mirip seperti jarum.

"Ada nama Avya?" Bianca mengangguk pelan.

Vano mengusap wajahnya dengan kasar. "Kalian sudah cek seluruh gedung? Tidak ada tanda-tanda keberadaan Avya?" ucap Samuel yang sudah angkat bicara.

Tiba-tiba Rafa datang menghampiri Leo dan Bianca dengan tergesa-gesa yang diikuti oleh kedua sahabatnya. Pria itu memberikan sebuah kertas kepada Leo yang dia temukan di salah satu ruangan yang bersih tanpa ada darah, ataupun mayat disana.

Leo membuka kertas tersebut, didalamnya ada sebuah tulisan.

"Permainan yang bagus, tapi kalian salah lawan. Wanita ini akan aku bawa dan ku jadikan sandraan untuk sementara. Semua keputusan ada ditangan kalian. Jika ingin wanita ini selamat, silakan turutin kemauan saya!"

Leo membacakan isi pesan tersebut. Vano yang berada di markas menggeram marah. Dia tau siapa yang menuliskan isi pesan tersebut, sudah pasti Evano Dirgantara. Orang yang sudah berani berkhianat, serta menjual data perusahaannya kepada saingan bisnisnya.

Farhan menaikkan sebelah alisnya. "Kalian tidak menemukan satu jejak pun?" mereka menggelengkan kepalanya.

"Sekarang kita harus mencari Navya di mana? Orang itu sangat licik. Dia menghapus semua jejaknya agar kita tak bisa menyelamatkan Navya," kata Chyntia.

Sean melihat Samuel yang terlihat prustasi. Sean mempunyai firasat yang tidak enak. "Kemungkinan Navya sudah mati terbunuh oleh mereka," celetuk Sean yang membuat semua orang yang ada didalam ruangan terkejut.

Kedua tangan Samuel terkepal kuat, ia menatap sahabatnya dengan tajam. "Istriku bukan wanita lemah!"

Regal dan yang lain hanya diam. Vano kembali menatap layar monitor, pria itu mengepalkan kedua tangannya. "Saya berikan kalian semua misi! Samuel dan yang lain pergi menyusul tim A, saya akan mengirimkan sebuah lokasi kepada Leo. Kemungkinan Avya berada disana. Kalian semua harus menyelamatkan Avya, bagaimana pun caranya dia harus selamat!"

"Dan yang utama, saya mau kalian semua bekerja sama dalam misi ini! Keselamatan Avya ada ditangan kalian semua, apa kalian mengerti?" sambung Vano.

"Mengerti, Jendral!"

Sean dan teman-temannya pun keluar dari ruangan rapat, sedangkan Samuel menatap sang ayah dengan datar. Ayah dan anak itu saling melemparkan tatapan, tanpa sepatah kata Samuel langsung pergi dari ruang rapat.

Vano menghela napas kasar, sudah pasti putranya marah besar kepadanya karna lalai memberikan misi kepada Navya. Vano pun tidak prediksi bahwa semua akan seperti ini.

********

Jangan lupa follow instagram:

@wp.ayananadheera
@navyabeatarisa_
@samuelnarendra_
@gal.hrnndz
@ccmla_z
@seanmlvn
@farhan_snjya
@bastiancromwell
@arlettanica_
@gang_devilsangel

See you next part!

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

2M 178K 54
"Nggak boleh ada orang lain yang nyakitin Lo selain gue. Cuma gue yang berhak buat Lo nangis. Dan cuma gue yang berhak buat Lo menderita!" -Gema Gemi...
1.8M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
65.8K 4.9K 37
Arvin Fatnon Mixcel. Tidak pernah ia bayangkan jika harus menjalani hidup serumit itu. Pada usianya yang terbilang masih muda itu harus bertunangan b...
1.4M 120K 85
𝐒𝐄𝐐𝐔𝐄𝐋 𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐃𝐎𝐒𝐄𝐍𝐊𝐔 𝐌𝐀𝐍𝐓𝐀𝐍𝐊𝐔 [ BUDAYAKAN FOLLOW DULU AKUN SEBELUM MEMBACA! ] ⚠️ Welcome to Toxic Relationship ⚠️ Tentang per...