Bima Sakti

By bundalidiii

16.8K 1.7K 188

[ FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA ] Galang adalah korban dari pembantaian satu keluarga 8 tahun silam. Dirinya... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Cast
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
BIMA SAKTI IS BACK
BIMA SAKTI IS BACK
PENGUMUMAN

Bab 8

458 75 8
By bundalidiii

SEBELUM BACA UTAMAKAN VOTE & KOMENNYA UNTUK PERKEMBANGAN CERITA INI.

BTW KALIAN DATENG DARI MANA AJA NIH? OHYA JANGAN MANGGIL AKU 'KAK' PANGGIL AJA 'LIDI' WHY LIDI? GATAU LUCU AJA WKWK.

SEMANGAT MEMBACA SEMUANYA

®®®

Bima duduk di bangku depan ruang mayat, dia menunduk tak kuat dengan kenyataan. Saat di bawa ke rumah sakit, Rani dinyatakan meninggal di ambulance. Saat Bima menyalahkan petugas, mereka hanya minta maaf dan bilang jika kemacetan yang membuat mereka terlambat.

"Kamu ke sini lagi?" Tanya dokter wanita yang menangani Bima beberapa waktu lalu.

"Dia bener ditembak? Mau nunggu hasil otopsi?" Tanya dokter tersebut.

"Muka kamu kaya mayat hidup Bima, mari makan dulu." Dokter itu memegang tangan Bima tapi segera Bima tolak. Ia menatap sang dokter tajam, saat ini Bima tidak mau diganggu siapapun.

"Hah..." Dokter itu menghela nafas panjang, ia frustasi dengan perlakuan Bima.

"Seenggaknya biarkan saya membelikan kamu makanan, kalo ini harus mau." Ucap dokter itu lalu pergi.

"Gak ada gunanya di sini." Bima berdiri lalu berjalan pergi. Ia mengambil ponselnya lalu menghubungi Smith.

Bima terus berjalan keluar gedung, ia melihat kiri dan kanannya lalu berhenti di trotoar jalan dekat rumah sakit.

"Jadi apa yang harus gue lakuin?" Tanya Smith.

"Kevin Sanjaya bakal ke Italia malam ini, bisa ledakin pesawat yang dia naikin?" Jawab Bima.

"Lo gila? Gue gak bisa jalani perintah lo buat kali ini." Bima menghela nafas mendengar jawaban Smith.

"Gue tau kalo anggota BIN gak bisa bunuh warga yang gak bersalah, biar gue aja yang bajak pesawat dia. Gimana cara biar pesawat itu meledak?" Tanya Bima.

"Lo mau ikut mati di sana? Penumpang pesawat yang lain juga bakal mati, mereka gak bersalah Bima."

"Gak masalah, kalo pesawat meledak pemerintah juga kena dampaknya. Gue gak akan mati konyol di sana, jadi bisa jelasin gimana cara gue ledakin pesawat?" Tanya Bima lagi.

"Kali ini dengerin gue aja, gimana kalo kita buat Kevin Sanjaya kecelakaan lalu lintas?" Smith mencoba bernegosiasi dengan Bima.

"Belum tentu dia meninggal saat itu juga." Jawab Bima.

Hening seketika, Bima melihat segerombolan mobil yang masuk ke dalam gedung. Saat ia mencoba mengintip, ternyata mobil-mobil tersebut adalah wartawan. Bima melihat para wartawan bingung, ia mencoba mendekat ke untuk mengetahui berita yang mereka liput.

"Berita terkini, terjadi penembakan oleh oknum yang tidak dikenali kepada seorang wanita berusia 20 tahun. Korban segera dilarikan ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal saat di ambulance. Saat ini korban berada di rumah sakit Siaga Harapan dan akan di makamkan besok siang. Sampai saat ini polisi masih belum menemukan pelaku dan akan menghentikan kasus ini untuk sementara." Ucap salah satu wartawan.

Bima mengerutkan keningnya, ia melihat ponselnya lagi lalu menjauh dari para wartawan tersebut.

"Apa maksudnya dihentikan?" Tanya Bima.

"Setau gue yang tanganin kasus ini detektif Audrey, dia tiba-tiba mau nutup kasus ini buat beralih ke kasus adeknya yang di culik. Bima lo gak sadar sesuatu? Seolah ada orang yang ngerencanain semua ini biar kasus Rani gak di sentuh dulu, kemungkinan mereka bakal ngilangin jejak sebelum polisi buka kasus lagi." Jelas Smith.

"Orang-orang itu emang gak bisa dihukum sama polisi, gue gak perduli sama detektif itu. Smith, tolong bantu gue lagi. Agak susah buat nerobos masuk ke mansion Sanjaya. 4 jam lagi Kevin bakal ke bandara, lo bisa suruh Yaksa sama Reza ke sana? Gue punya rencana." Bima melihat jam di ponselnya lalu tersenyum.

®®®

Revalina sedang santai di kediamannya, ia terlihat senang sambil menonton tv tanpa sadar jika anaknya berdiri di belakangnya. Saat Revalina ingin mengambil minum, barulah anak laki-lakinya itu mengecup pipi Revalina.

"Eh? Udah pulang kamu?" Tanya Revalina.

"Udah dari sore bu, lagi asik nonton apa nih?" Jawab anak itu lalu duduk di samping Revalina.

"Gimana tadi jalan-jalannya?" Tanya Revalina.

Bukannya menjawab, anak itu berdiri dengan ekspresi kaget saat melihat berita di tv.

"Kenapa ga?" Tanya Revalina lagi.

"Dia Rani kan ma? Waktu itu aku pernah ketemu sama dia tapi lupa di mana." Jawab laki-laki itu kembali duduk.

"Sudah jangan diingat lagi, lebih baik sekarang Arga tidur.

"Jam berapa ini suruh tidur? Ngomong-ngomong polisi udah nangkep pelakunya belum ya?" Tanya Agra.

"Yang waktu itu kamu lihat? Kalaupun udah mereka gak laporan dong ke kamu." Jawab Revalina.

Agra mengangguk setuju, ia langsung bersandar ke pundak Revalina sambil menikmati berita di tv. Revalina tak masalah, ia sudah biasa dengan sikap manja anaknya. Walupun sudah besar, ia tetap menganggap Agra itu anak kecil. Jadi semua yang dia lakukan tetap lucu di mata Revalina.

Tiba-tiba saja ada satu pesan masuk, Revalina mengambil ponselnya lalu membaca melalui lockscreen.

Matanya membulat, Revalina langsung mematikan ponselnya lalu melihat sekitar dengan cemas. Ia kembali menyalakan ponselnya lalu menghubungi seseorang.

"Saya masih sibuk bu."

"Lacak nomor yang saya kirimkan ke kamu, saya perlu secepatnya." Perintah Revalina, Agra yang sejak tadi bersandar di pundak sang ibu pun langsung mengangkat kepalanya lalu melihat sang ibu.

"Kenapa?" Tanya Agra.

"Ibu dapat informasi." Jawab Revalina.

"Kenapa anda memberi saya banyak sekali tugas? Apa anda tahu jika saya juga butuh istirahat."

"Saya menyetujui kamu untuk bekerja di luar kantor apa masih kurang?" Revalina mulai kesal dengan ocehan laki-laki di telepon tersebut.

"Itu nomor sekali pakai, terakhir aktif di sekitar NTT apa anda punya kenalan orang NTT?" Revalina terdiam, ia mengingat semua orang yang ia kenal tanpa terkecuali.

"Aneh, saya tidak kenal dengan orang-orang sana." Lirih Revalina.

"Apakah tugas saya selesai? Saya harus menyelesaikan tugas lainnya, jika anda terus menelpon saya sama saja anda mengganggu saya. Ck! Apakah mengawasi petinggi negara lain tidak cukup untuk membuat saya tidak tidur." Revalina segera memutuskan panggilan telepon tersebut lalu meletakkan ponselnya ke meja.

®®®

Audrey mengendap-endap memasuki sebuah rumah sambil menyodongkan pistol. Ia melihat sekeliling rumah diikuti oleh Hisam dan beberapa petugas kepolisian. Mereka berpencar ke semua ruangan yang ada di rumah tersebut. Audrey memasuki sebuah kamar lalu melihat bercak merah di kasur. Ia melihat sekeliling kamar dan menemukan tubuh laki-laki yang tergeletak di bawah kasur. Audrey mendekati tubuh tersebut, ia berjongkok lalu mengecek denyut nadi laki-laki itu.

Audrey membalikkan tubuh tadi agar telentang. Betapa terkejutnya Audrey saat mendapati wajah laki-laki itu sudah berlumuran darah dan bagian perut yang terlihat bolong seperti ditusuk. Audrey juga melihat tangan laki-laki itu berlumuran darah dan salah satu jari yang terpotong.

"HISAM!" Teriak Audrey yang membuat Hisam dan beberapa petugas berdatangan ke kamar tersebut. Audrey segera menyerahkan jasad laki-laki itu ke Hisam lalu keluar dari kamar.

Ia lanjut ke ruangan lain, saat ini ruangan yang dituju masih kamar. Tapi kali ini kamarnya cukup luas berbeda dari kamar tadi. Audrey membuka setiap lemari, ia menghembuskan nafas lalu berjalan keluar. Saat sudah di ambang pintu, Audrey mendengar suara. Ia kembali melihat sekeliling ruangan, Audrey berjalan ke saklar lampu lalu menyalakan lampu.

Matanya melotot saat melihat seorang wanita yang berdiri dengan wajah yang penuh dengan bercak darah.

"LIAN!" Teriak Audrey yang langsung menghampiri Lian lalu memeluknya.

Tangisan keduanya pecah kala itu, Lian menangis sangat keras di pelukan Audrey. Dia terus memanggil nama Audrey lalu menyalahkan keterlambatan Audrey.

Beberapa petugas mendatangi Audrey dan Lian. Ada yang memberikan Lian sebuah selimut, Audrey segera menuntun Lian keluar dari rumah tersebut menuju ambulance untuk dibawa ke rumah sakit.

Sementara itu, Bima saat ini sedang duduk di mobil. Ia melihat ke arah ponselnya dengan serius lalu segera beralih pandang saat listrik mulai padam di sekitarnya. Ia meletakkan ponselnya ke kursi sebelah lalu turun. Sebelum turun, Bima memakai masker dan sebuah kacamata buatan Smith yang dibuat untuk memudahkan melihat di kegelapan dan fitur kamera sertai video call.

Ia berjalan ke rumah yang berada di sebrang, Bima melihat gerbang rumah tersebut di penuhi oleh penjaga. Ia berjalan ke samping rumah lalu memanjat tembok rumah tersebut. Bima terdiam saat melihat seluruh sudut di rumah itu dijaga dengan ketat. Banyak pengawal di mana-mana yang tidak memungkinkannya untuk turun ke bawah. Ia juga sempat melihat cctv sekitar.

"Coba jalan ke arah utara, di sana lo bisa loncat ke kebun. Gue udah liat di cctv kalo kebun itu sedikit yang jaga."

Bima mengikuti arahan Smith, ia berjalan sesuai arah yang Smith bilang. Benar saja saat ini di bawahnya adalah kebun, ia juga melihat jika kebun itu tidak memiliki pengawalan yang tepat.

"Manusia mana juga yang ngerahin banyak orang buat jaga kebun." Lirih Bima lalu loncat ke bawah. Untungnya loncatannya tidak menghasilkan suara yang terlalu kencang.

"Setelah ini lo harus berterimakasih ke gue karena udah nyiptain sepatu yang keren." Bima tersenyum saat Smithson sedang menyombongkan diri.

"Gue tau, di mana letak kamarnya?" Tanya Bima.

"Lo liat ruangan di atas pintu masuk kebun? Itu kamarnya, lo bisa naik ke atas buat mempersingkat waktu." Bima melihat ke atas, ia mendapati sebuah jendela yang tertutup.

"Lagi ngapain dia di kamar?" Tanya Bima sambilan berjalan.

"Duduk?"

"Fokus ke cctv aja, suruh Reza sama Yaksa buat gerak cepet. Gue mau beritanya keluar malam ini setelah gue selesai."

®®®

Neva saat ini tengah duduk di ruang tamu rumah Adi. Ia tak berniat pulang karena Adi sendiri di rumah. Sebelumnya Saga juga menawarkan diri untuk menemaninya tapi Neva tolak karena laki-laki itu harus pulang. Ia sudah menidurkan Adi di kamar, saat ini Neva sedang asik memainkan ponselnya.

Tok!

Tok!

Tiba-tiba saja ada ketukan dari arah pintu utama. Ia beranjak dari tempatnya lalu membuka pintu. Neva bingung saat melihat laki-laki bertubuh tinggi yang mengenakan topi hitam dan masker hitam sedang berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah kotak.

"Atas nama Galang Pandegas?" Tanya laki-laki itu.

"Tidak ada nama itu di rumah ini." Jawab Neva.

Laki-laki itu diam sambil menatap Neva. Ia melirik ke dalam rumah lalu melihat kembali kotak di tangannya dan menatap Neva.

"Mungkin saya salah rumah." Ucap laki-laki itu lalu pergi.

Neva terheran dengan sikap laki-laki itu, tapi tidak terlalu ia pikiran. Ia langsung menutup pintu lalu kembali duduk di kursi dan memainkan ponselnya. Ia terkejut saat melihat jam di ponselnya. Neva segera berlari ke arah pintu lalu menguncinya.

"Mana ada kurir jam 9 malam." Lirih Neva.

Kembali lagi ke kediaman Revalina, walupun mati lampu Revalina terlihat tenang di kamarnya dengan duduk santai di sofa sambil menatap ke arah jendela.

Ceklek!

Saat mendengar pintu kamarnya di buka, Revalina tersenyum lalu segera meminum jus yang sejak tadi sudah ia pegang.

"Kamu datang saat listrik di rumah saya sedang padam. Harusnya ada cadangan energi tapi kenapa bisa padam semua?" Ucap Revalina.

Ia mendengar langkah kaki yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.

"Di mana kalian memindahkan yayasan?" Kali ini suara berat milik Bima terdengar di belakang Revalina.

"Jadi ini benar kamu ya Galang?" Tanya Revalina.

"Jika anda memberitahu saya di mana letak yayasan maka anda akan terbebas dari pembunuhan." Ucap Galang.

"Apa yang akan kamu laporkan? Saya adalah warga yang taat hukum jika kamu tidak tahu."

Hening, tak ada jawaban dari Bima sama sekali. Suasana kamar menjadi sangat hening, hanya terdengar beberapa suara dari lantai bawah. Revalina mencoba melihat ke belakangnya untuk memastikan apakah Bima masih di sana atau tidak. Belum sempat menggerakkan kepalanya, tiba-tiba Revalina merasakan benda keras menyentuh kepala belakangnya.

"Apa yang kamu lakukan!" Ucap Revalina.

"Ini hanya pistol, bukannya anda tidak takut dengan pistol? Anda adalah anggota BIN." Jawab Bima dengan nada meremehkan.

"Jawab saja pertanyaan saya di mana letak yayasan, saya hanya butuh jawaban itu." Lanjut Bima.

"Jika kamu beranggapan saya terlibat dalam pembunuhan orang tua kamu maka kamu salah Galang. Sebelum kamu mencari pembunuhannya apakah kamu pernah melihat jasad kedua orang tua kamu di makamkan? Apakah kamu pernah melihat jasadnya secara langsung?" Tanya Revalina.

"Apa anda sedang bercanda? Katakan saja di mana letak yayasan!" Ucap Bima kesal.

"Bukan saya yang membunuh orang tua kamu." Revalina terlihat kekeh dengan jawabnya tanpa memperdulikan pertanyaan Bima yang sebenarnya.

Bima menghela nafas, ia menjauhkan pistol itu dari kepala Revalina.

"Sudah saya bilang jika anda mau memberitahu letak yayasan maka anda akan terbebas dari tuduhan. Anda menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup dengan tenang." Ucap Bima lalu berjalan pergi.

Revalina terdiam sejenak sambil menunggu Bima pergi, saat mendengar pintu kamarnya tertutup barulah ia bisa bernafas lega.

®®®

Bima terlihat berjalan santai menuju mobilnya setelah berhasil keluar dari rumah Revalina. Ia masuk ke mobil lalu mengambil ponselnya dan tersenyum.

"Bertahan untuk membuat sakit orang lain adalah keahlian lo Kevin Sanjaya. Kali ini bertahan tapi tidak untuk membuat orang lain sakit, justru gue yang akan buat lo sakit." Ucap Bima.

Bima beralih ke aplikasi musik di ponselnya lalu memutar satu-satunya lagu yang tersimpan di sana. Lagu tersebut berjudul 'somewhere only we know'. Bima meletakkan ponselnya sambil menikmati lagu tersebut lalu menyalakan mobilnya dan pergi.

Sepanjang perjalanan, Bima melihat segerombolan ambulance dan beberapa mobil polisi yang sedang terburu-buru. Ia menekan salah satu tombol di mobilnya lalu terdengar suara.

"Seberapa parah?" Tanya Bima.

"Supir Kevin meninggal." Jawab Yaksa.

"Apa lo seneng?" Tanya Bima lagi.

"Makasih Bima, berkat lo gue bisa bunuh supir itu." Jawab Yaksa yang terdengar seperti hampir menangis.

"Yang bunuh dia bukan gue tapi lo, harusnya lo berterimakasih sama diri lo sendiri."

Bima menghentikan mobilnya lalu melihat wartawan di rumah sakit Siaga Harapan. Ia menyalakan mobilnya lagi dan memasukinya area rumah sakit untuk memarkirkan mobil ke tempat parkir.

"Seharusnya mereka di rumah Revalina sekarang." Lirih Bima.

"Penangkapan Revalina besok pagi, Bima lo beneran berhasil." Kali ini Mahesa bersuara.

"Gak ada polisi yang bisa gue percaya selain lo Mahesa." Bima tersenyum lalu menekan kembali tombol tadi.

Bima mengambil ponselnya lalu keluar dari mobil. Saat berjalan masuk ke rumah sakit, ia melihat satu wartawan laki-laki sedang duduk di bangku pojok dekat parkiran. Wartawan itu terlihat lesu dan sembab seperti orang yang habis menangis. Bima tidak terlalu perduli, ia kembali melanjutkan jalannya. Saat sudah berada di pintu masuk, Bima seperti teringat sesuatu. Ia segera menyalakan ponselnya lalu mengecek pemberitahuan yang sempat ia lewatkan.

Bima mengerutkan keningnya, ia segera berputar balik untuk berlari ke arah tempat parkir. Tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Bima melihat orang itu lalu terkejut.

"Pak Kevin?" Lirih Bima.


Halo halo kembali lagi bersama saya lidiiii
Jadi gimana part kali ini? Kurang greget atau masih mumet?

Btw besok puasa guys, sengaja aku post malem-malem biar nemenin kamu sahur nanti hehehehhe

Selamat menunaikan puasa ramadhan bagi yang menjalankan, mari kita berburu takjil besok soree😅

Dadah sampe ketemu next part🤗

Continue Reading

You'll Also Like

188K 10.2K 36
Vania yang malam itu meninggal karna kecerobohannya, ia bukannya menuju alam baka. Tapi ia malah ber transmigrasi ke tubuh Fita. Gadis 16 tahun yang...
75.9K 8.5K 15
[JUST PREVIEW] PRE-ORDER 26 FEB-13 MAR 2024 DI PENERBIT LOVRINZ šŸ¤ Untold story of the Klandestin Gang. šŸ’š Judul Sebelumnya : Reka Rasa Seperti sen...
17.7K 2.6K 140
Dia, Xue Fanxin, seorang jenius medis terkenal di abad ke-21, telah bertransmigrasi ke dalam tubuh putri Adipati Agung yang bodoh. Saat keburukannya...
1.3K 261 31
"Maaf, Juan udah berusaha. Tapi penyakit 'gagal ginjal' ini seakan-akan ingin membunuh Juan detik ini juga." "Jangan ngomong gitu, Juan harus inget...