Glacier | Renjun āœ“

By 23byeolbamm

1.1K 170 1

Rena pikir hidupnya akan baik-baik saja saat memasuki dunia sekolah menengah atas. Namun ternyata, ia salah k... More

read me please šŸ™
prologue
prelude: tentang rena, ayah, dan mama
prelude: tentang raja dan sepi
O1 | first time
O2 | sensitive topic
O3 | a small surprise
O4 | can we go back?
O5 | pensi
O6 | just friend
O7 | close to you
O8 | arrgghhhhh
O9 | his life history
1O | unexpected gift
11 | talkative
12 | sick
13 | typo
14 | special chapter: sigit gasendra
16 | what?!
17 | upset
18 | confession
19 | karma
2O | reason (finale)
epilog: lost (pt.1)
epilog: lost (pt.2)

15 | permintaan kembali

28 6 0
By 23byeolbamm

Nyaris tengah malam, Rena yang sudah naik ke atas kasur langsung menoleh pada ponselnya yang meraung cukup lama. Ada telepon masuk ke ponselnya yang tersimpan di atas nakas.

Alis gadis itu bertaut, bingung, otaknya tanpa sadar menebak kiranya siapa yang menghubunginya malam-malam begini. Namun karena tak mendapat jawaban, ia memutuskan melihatnya langsung.

Sigit is calling....

“Oh, pantesan,” gumamnya pelan. Rena baru tersadar memang siapa lagi yang berani meneleponnya tanpa lihat waktu selain cowok itu.

“Ya, kenapa, Git?”

“Ini Renatta?”

“Ini siapa?” Rena malah balik bertanya. Sebab yang terdengar malah suara perempuan alih-alih suara berat cowok itu.

“Mbak Dian.” Perempuan itu mengenalkan diri, dan Rena praktis mengerutkan dahi ketika mendengarnya.

“Mbak Dian? Kok Mbak bisa pegang hp Sigit?”

“Sigit lagi sama Mbak sekarang, Ren. Dia nggak sadar.”

“Nggak sadar maksudnya?”

“Dia banyak minum.”

“Hah?”

“Dia di kafe sekarang. Tolong ke sini, bantuin Mbak antar pulang dia. Mbak gak tau rumahnya di mana, mungkin kamu tau?”

Mendengarnya, tanpa sadar Rena menggaruk alis. “Duh... Mbak, aku juga gak tau. Aku belum pernah ke rumahnya.”

“Terus ini gimana? Mbak khawatir orang tuanya nyariin kalau dia nggak pulang.”

Tiba-tiba saja, sosok Juan terpikirkan otaknya. “Oh! Aku punya nomor sepupunya, Mbak. Bentar aku coba telepon dia dulu.”

“Iya, Ren. Makasih yaa.”

•••

Untungnya, meski dirasa tak sopan karena menghubungi kakak kelas di tengah malam, Juan bersedia keluar. Ternyata mudah sekali mengajaknya pergi, ketika Rena malah sempat ragu mengingat sikap cowok itu.

Jam sebelas malam, mobil Juan tiba di depan rumah Rena. Gadis itu sudah memberitahu Reno tentang ini, dan untungnya, Reno mengizinkan meski sempat sangsi. Jadi saat mendengar deru mobil berhenti di depan rumah, ia yang tengah menunggu di ruang tengah langsung keluar.

Rena masuk ke kursi samping kemudi dengan gestur canggung. Sempat mengingat kejadian typo sore tadi.

“Kafe yang lo sama Raja part-time itu, kan?” Cowok itu membuka percakapan setelah mobil melaju di jalanan yang lengang.

“Iya. Tadi Mbak Dian telepon aku gitu. Tapi, Kak....” Rena menoleh sebentar, dan melihat raut dingin Juan, ia menelan ludah. “..., maaf aku gak tau kenapa dia bisa gitu. Aku juga kaget, ini baru pertama kali.”

“Gue tau.”

“Kakak tau?”

“Bokapnya.”

“Hng... maksudnya, Kak?”

“Biar Sigit aja yang cerita.”

Rena tak bisa bertanya lagi walau benaknya dipenuhi tanya, ia memilih untuk menahan sebab apa yang dikatakan Juan sepenuhnya benar adanya.

Mobilnya tiba di lokasi beberapa saat kemudian. Keduanya langsung keluar dari pintu masing-masing dan sepakat berjalan tanpa kata. Waktu membuka pintu, mereka disambut Sigit yang menggolekkan kepala di atas meja, di sampingnya Mbak Dian langsung menoleh mendengar pintu terbuka. Dan langsung menghela napas lega melihat kehadiran Rena.

“Mbak.”

Ketika Juan berusaha membopong Sigit, Rena menghampiri perempuan itu. Sekilas menatap wajah Sigit yang memerah.

“Mbak, dia kenapa bisa kayak gitu?” Rena tak bisa menahan diri lagi, akhirnya menyuarakan tanya yang sejak tadi mengganggu pikirannya.

“Tadi sekitar jam tujuhan dia tiba-tiba datang padahal sorenya udah ke sini. Mbak gak tau kenapa, apalagi dia tiba-tiba minta minuman. Dia cuma bilang mau ngelupain masalahnya sebentar. Dia sampai janji bakal minum sewajarnya. Mbak udah coba larang, tapi dia nggak nurut.”

“Masalah? Dia punya masalah apa emang?”

“Setahu Mbak—”

“Ren, bantuin gue dulu, udah biarin Sigit yang cerita nanti.” Rena tersadar dan segera membantu Juan, tangannya gesit mengambil lengan kanan Sigit untuk ia rangkulkan di bahunya, lantas keluar dengan cowok itu yang dipapah.

“Lo duduk di belakang temenin Sigit, gue nyetir,” titah Juan setelah memasukkan Sigit ke kursi belakang.

Rena tak membantah, langsung masuk dan duduk di samping Sigit bersamaan dengan masuknya Juan di balik kursi kemudi. Sembari mobil melaju, gadis itu sedikit membenarkan posisi temannya setelah melihat dahinya mengernyit tak nyaman. Dia membawa kepala cowok itu dan menyimpannya di bahu dengan perlahan. Tak disangka, Sigit malah membuka mata.

“Ugh....” erangnya pelan. Rena tak bereaksi, bahkan setelah Sigit bersuara lagi. “Renatta?” Meski pandangannya masih buram, tapi aroma tubuh gadis ini Rena sekali.

“Iya?” Apalagi setelah mendengar suaranya. Tanpa alasan yang jelas, Sigit merasa nyaman.

“Ini... beneran lo? Gue—” Kalimatnya tak terselesaikan, disambung dengan lenguhan kesakitan. Sigit memijit pelipisnya, lantas melirih pelan. “Gue mau dibawa ke mana?”

“Tidur aja, bentar lagi kita sampe ke rumah lo.”

“Gue—”

“Bener kata Rena, mending lo tidur kalau gak mau muntah,” potong Juan. Dia tak menoleh, hanya menatap keduanya melalui rear view mirror.

“Kak Juan?”

“Iya, ini gue. Puas lo nyusahin kita berdua, hah? Ngapain, sih, mesti minum-minum segala? Lo tuh masih di bawah umur, Sigit.”

“....”

“Tidur aja udah, jangan makin nyusahin dengan lo muntah di mobil gue.”

“Kak, kok gitu ngomongnya?” Rena agaknya tak terima sahabatnya digertak secara kasar begitu.

“Harus. Biar ke depannya nggak lagi.”

Rena mencibir tak bersuara, matanya berotasi jengah. Tapi kemudian ia dibuat membatu saat sepasang tangan Sigit melilit perutnya.

“Sigit—”

“Gue mau gini sebentar, ya?” Semakin nekat saja saat cowok itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher si gadis.

Gerak Rena jadi terbatas. Dia sebenarnya agak tidak nyaman, tapi entah kenapa tak bisa mengelak setelah tahu Sigit nyaman dalam posisi ini. Rena tidak tahu, dia hanya... hatinya berkata dia harus melakukan ini.

Mereka sampai setelah melewati perjalanan yang cukup panjang. Rena tak sadar berapa lama, hanya saja ia tahu ternyata jarak rumah Sigit dan kafe cukup jauh.

Awalnya, Rena mengira begitu, sampai kemudian mereka berdiri di depan pintu dan malah disambut Jean berikut wajah bantalnya, Rena tersadar sesuatu dan refleks bertanya.

“Ini bukan rumah Sigit?”

“Bukan. Ini rumah gue.”

“Kenapa Kakak nggak nganter Sigit ke rumahnya?” Rena melirik Sigit yang sudah terpekur di sofa ruang tengah.

“Gue mau ngintrogasi dia.” Juan menjawab sekadarnya. “Je, anterin Rena pulang. Gue mau ngobrol berdua sama Sigit.”

Jean yang baru saja bergabung setelah menyegarkan diri, melotot tak percaya. “Lo nyuruh kakak lo seenaknya gitu. Emang gak ada sopan santunnya.”

“Ck, buruan!”

Jean mendecih kesal, tapi kemudian meraup kunci mobil yang tersimpan di atas meja, langsung mengajak Rena keluar.

“Aku gak lihat orangtua Kak Jean tadi.”

“Mereka emang gak ada, lagi ke Solo.”

“Oh, pantesan.”

“Gue lupa lagi jalan ke rumah lo, entar tunjukin, ya. Takut malah nyasar.”

“Oke.”

•••

Gara-gara masalah Sigit, Rena sempat melupakan masalahnya sore itu. Sebenarnya sudah bukan jadi masalah, sebab telah terselesaikan hari itu juga. Tapi tetap, Rena merasa salah tingkah saat beberapa kali masuk ruang OSIS, Kenzo sialan selalu membuatnya ingat akan kejadian memalukan itu.

Seminggu penuh, Rena jadi menghindari Raja. Tidak ada unsur sengaja, semua mengalir begitu saja. Waktunya lebih banyak dihabiskan bersama Sigit yang saban hari tak lelah merecokinya. Pagi tadi saja mereka terpaksa berangkat bersama. Terpaksa, karena Sigit sudah di rumahnya jam enam pagi, jadi Rena tak enak hati kalau menolaknya.

Memasuki jam istirahat, seorang kakak kelas yang tidak dia kenal mendatangi kelasnya, meminta Rena untuk bertemu sebentar dengan temannya yang bernama Lia. Sigit kontra, menyuruh Rena mengabaikan undangan itu dan lekas ke kantin bersama. Tapi Rena abai, tetap mengikuti langkah kakak kelas itu yang membawanya ke atap sekolah, mengabaikan Sigit yang pergi ke kantin sendiri.

Dia tidak tahu jika sepuluh menit kemudian, Raja juga mendatangi kelasnya.

Sorry, ada Renatta?”

Kelas X IPS 1 yang tadinya ramai, langsung hening dalam sekejap setelah suara lembut Raja mengalun beserta ketukan di pintu sebelumnya. Semua murid kompak menatap si pria, beberapa di antaranya ada yang segera memalingkan muka, ada yang diam-diam senyum tebar pesona, sampai ada yang hanya mampu mengerjapkan mata.

“Nggak ada, Kak, lagi keluar.” Divya, perempuan yang Raja tahu sebagai wakil ketua kelas itu menyahut sekenanya.

Dahi Raja mengerut seketika, apalagi saat netranya mengarah pada bangku Rena dan tak mendapati sosok yang ia cari duduk di sana, bahkan Sigit pun tidak ada.

“Ke mana?”

“Dipanggil Kak Lia. Tadi, pas bel istirahat baru bunyi.”

“Lia?”

“Anak kelas tiga jurusan IPA 4.”

Kelas Kak Mahen....

“Oh, yaudah, thanks semuanya.”

Raja pergi dari sana, tak tahu bahwa sesaat setelahnya pergi, kelas Rena menggunjingnya diam-diam. Beberapa geng yang berkumpul di satu meja menggunjing perubahan sikapnya. Ada yang makin jatuh cinta, ada yang lega sebab Raja tidak sedingin biasanya.

Jam istirahat masih panjang, jadi Raja memutuskan mencari gadis itu sebentar. Melihat ke kelas Mahen adalah cara pertama, ia bisa bertanya pada siapa saja yang ada di sana—akan lebih baik, sih, Kak Mahen saja.

Nasib baik, Mahen tampak sibuk di bangkunya saat Raja menyembulkan kepala. Segera saja ia memanggil cowok itu.

“Kak Mahen!”

Mahen yang tengah sibuk berkutat dengan buku dan pulpen segera menoleh, mengangkat alis sesaat sebelum akhirnya beranjak mendekat, setelah melihat Raja mengayunkan tangannya.

“Kenapa?”

“Lia temen kelas lo ada di dalam?”

“Hah?” Mahen tampak bingung sesaat. “Gak ada. Dia pergi sama antek-anteknya pas jam istirahat baru mulai. Ngapain nyariin dia? Suka, ya, lo?”

“Nggak. Dia bawa Rena, gue tanya ke temen kelasnya pada gak tau.”

What the f—Rena dalam bahaya kalau gitu!”

“Bahaya kenapa?”

“Geng mereka suka ngebully, Ja. Kemaren aja kasus terakhirnya yang dibully sampe pindah sekolah karena trauma.”

“Kok gue gak denger?”

“Nyokapnya punya power, yang tau diancam tutup mulut, bahkan ke guru pun.”

Shit.”

•••

“Lo denger gak gue ngomong apa, mulai sekarang jauhin Raja.”

Rena ketakutan. Sejak awal menyadari jika perempuan di hadapannya ini tengah merundungnya, tubuhnya bergetar. Trauma masa lalu menghantuinya. Sayang, ia tak bisa berteriak karena jika mengeluarkan sedikit suara saja, ia bisa didorong dengan mudah mengingat posisinya yang berada di ujung rooftop.

Rena menyesal kenapa ia mengabaikan saran Sigit tadi dan tetap memenuhi undangan cewek ini.

“Paham gak gue ngomong apa?!”

“P-paham, Kak.”

Sigit... Kak Raja... ayah... aku takut....

“Paham paham, tapi lo tau gak apa yang harus lo lakuin?”

“Ap-apa... Kak?”

“Astaga, bego ternyata.” Tiga perempuan di depannya tertawa remeh.

Satu yang memegang tangan kanan Rena kini bersuara setelah mencondongkan wajahnya. “Gini ya, karena lo harus MENJAUH, ya lo jauhin dia, SEJAUH-JAUHNYA. Lo cuma boleh sama dia pas OSIS aja, itu pun HARUS DALAM BATAS WAJAR. Jangan kayak kemaren-kemaren, enak banget dianter pulang melulu.”

Lia menyeringai. “Sebenernya jadi musuh gue aja itu udah fatal banget. Tapi karena gue masih baik, apalagi setelah tau lo anak piatu, ya, gue cuma kasih peringatan aja, kayak gini contohnya, gak sampai eksekusi kayak—kayak siapa sih yang baru-baru ini kita eksekusi? Gue lupa lagi.”

“Si Mika anak kelas sebelah.” Yang lainnya ikut menambahkan. “Paham gak, Dek?”

Rena sudah akan membalas iya, bahkan mulutnya sudah terbuka. Tapi suara di belakang ketiga gadis itu mengembalikan keberaniannya.

“Kalian ngomongin gue, gue perlu gabung, gak?”

Suara Kak Raja!

Lia dan dua anteknya spontan membalik badan, otomatis cekalan lengannya terlepas dan Rena akhirnya bernapas lega. Sementara itu, kaki Raja terayun semakin dekat pada Lia yang langsung mengubah gaya jadi seanggung mungkin.

“Hai, Ja,” sapanya lembut, mengulas senyum manis yang memuakkan.

Raja jengah, tapi ia bertahan dan tetap membalas dengan senyuman. “Kalian ngomongin apaan?”

“Bukan hal penting, kok, gue cuma lagi kasih beberapa tips ke dia sebagai anak baru.”

“Oh, bukan karena ngancem dia harus jauhin gue?”

“Hah?”

“Soalnya gue dengernya gitu tadi.”

“Lo salah denger kali.” Cewek itu tertawa bersama kedua temannya. Garing banget.

“Mungkin, iya, tapi hp gue gak mungkin salah denger.”

Raja mengangkat ponsel yang sedari tadi digenggamnya, memutar rekaman yang baru ia ambil. Tubuh ketiga gadis itu langsung menegang, kompak menelan ludah dengan mata dibayangi kepanikan yang kentara.

“Gue punya bukti. Mau ngelak gimana lagi kalian?”

“Ja, gue bisa jelasin—” Dari suaranya, Lia panik luar biasa.

“Maka jelasin, sebelum gue ngasih ini ke kepala sekolah dan—ya lo taulah, Kak Lia. Nyokap lo boleh nyuap guru-guru sekolah ini buat tutup mata atas kelakuan lo, tapi nggak dengan kepala sekolah kita yang bisa bersikap adil tanpa memandang status.”

Sekali lagi, Lia tampak menelan ludah susah payah. “Gue... gue....”

Melihat kegugupannya, Raja tersenyum culas. Sungguh ia ingin tertawa kencang. “Gak bisa, ya? Siap-siap kalian bertiga— terutama lo, Lia, dipanggil Pak Nanda.”

“Raja, lo gak kasian sama gue yang bentar lagi lulus?”

“Kalau gue balik pertanyaan itu, lo bakal jawab apa? Lo gak kasian ngancem Rena yang baru masuk, hm?”

Lia ditelak.

“Gue bisa aja ngelupain kejadian ini, tapi dengan dua syarat.”

Fine. Kita buat kesepakatan.” Setelah diam beberapa lama, perempuan itu akhirnya mengalah. “Lo mau apa?”

“Hilangin semua perasaan lo ke gue, sama jangan ganggu wakil sekretaris gue. Simpel, kan?”

“....”

“Gimana? Bisa, gak? Harusnya bisa, sih, soalnya gue gak minta aneh-aneh macam minta lo terjun dari sini sekarang juga.”

Deal.”

“Bagus.” Senyum puas terbit di bibir Raja. “Sekarang apa lagi? Pergi sana!”

“Ayo.”

Ketiganya berlalu dari sana. Setelah eksistensinya benar-benar hilang, Raja menggeser netra pada Rena.

“Lo gak papa?”

Rena mengangguk sekali walau wajahnya masih pucat pasi. “Makasih, Kak.”

“Ini ke berapa kalinya mereka ngancem lo?”

“..., baru pertama.”

“Baru pertama?” Pria itu kelihatan tak percaya. “Terus alasan lo ngejauh dari gue seminggu ini apa? Gue pikir karena mereka.”

“Ngejauh gimana? Aku gak merasa gitu.” Meskipun benar, Rena tetap berusaha mengelak. “Kita masih ketemu di ruang OSIS, di luar pun hampir setiap hari aku ketemu Kak Raja. Apa aku kelihatan lagi menghindar?”

“Gue ada bilang menghindar?”

“....”

“Ada sesuatu pasti.”

“Apa, sih? Nggak ada apa-apa!” Karena gugup, Rena tanpa sadar meninggikan suaranya. “M-maksud aku... nggak gitu—”

Raja menghela napas. “Cerita sama gue, ada apa?”

“Aku gak punya cerita. Udah, aku mau ke kelas.” Rena buru-buru mengayunkan kaki menjauh dari Raja. Sayang, Raja yang cepat tanggap cekatan mencegah langkahnya dengan menarik lengan kanan. “Apa lagi sih, Kak?”

“Apa karena kejadian waktu gue sakit?”

Rena terdiam. Keterdiamannya membuat Raja semakin yakin dan segera melanjutkan.

“Itu cuma masalah sepele, nggak cukup pantas kalau alasan typo itu dijadiin alasan buat lo ngejauh dari gue. Seminggu loh, Ren.”

“Kenapa juga Kakak masalahin?”

“Maksudnya?”

“Ada aku atau nggak, seharusnya nggak jadi masalah besar, kan?”

Of course it's a big deal.” Demi Tuhan, kalimat barusan refleks keluar begitu saja.

“Alasannya?”

Karena refleks itulah, sekarang Raja bingung harus menjawab dengan apa.

“Kenapa, Kak?” tuntut Rena.

“Karena... lo wakil sekretaris yang udah seharusnya ada di samping gue.”

“Nggak cukup pantas juga kalau itu dijadiin alasan Kak Raja buat nuntut aku untuk harus selalu di samping Kakak.”

“Gue juga... udah terbiasa sama lo.”

“....”





—Tasikmalaya, 3 Juli 2023—

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 117K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
576K 27.5K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 60.6K 27
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
6.9M 292K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...