Glacier | Renjun āœ“

By 23byeolbamm

1.1K 170 1

Rena pikir hidupnya akan baik-baik saja saat memasuki dunia sekolah menengah atas. Namun ternyata, ia salah k... More

read me please šŸ™
prologue
prelude: tentang raja dan sepi
O1 | first time
O2 | sensitive topic
O3 | a small surprise
O4 | can we go back?
O5 | pensi
O6 | just friend
O7 | close to you
O8 | arrgghhhhh
O9 | his life history
1O | unexpected gift
11 | talkative
12 | sick
13 | typo
14 | special chapter: sigit gasendra
15 | permintaan kembali
16 | what?!
17 | upset
18 | confession
19 | karma
2O | reason (finale)
epilog: lost (pt.1)
epilog: lost (pt.2)

prelude: tentang rena, ayah, dan mama

82 9 0
By 23byeolbamm

Hari masih subuh, tetapi Rena sudah harus terbangun karena sesuatu yang lembut menyapu wajahnya. Gadis itu menggeram rendah, langsung tahu bahwa itu ulah kucingnya yang tidak tahu diri.

Namanya Lila, kucing yang baru 1 tahun itu memang kadang suka tidak tahu diri. Sedang nyaman dalam lelap, Rena bisa tiba-tiba merasa sesak sebab kucing gembrot itu bisa semena-mena tidur di atas perutnya. Seperti pagi ini.

"Lilaa, ya ampun! Kamu tuh udah gede, udah berat, jangan tidur di atas perut lagi dong."

Gerutuannya ditanggapi Reno yang sedang membuka jendela. "Apa salah Lila? Bagus niatnya tahu, dia ngebangunin kamu. Ini udah pagi, buruan mandi. Jangan mentang-mentang udah libur UTS kamu jadi biasa mandi agak siangan ya, sekarang udah masuk sekolah lagi, jadi mandi pagi lagi."

Rena menghela napas mendengar omelan sang ayah. Hadeeeh, masih pagi udah kena omel hampir semenit, batinnya. Namun yang keluar dari bibir jelas hal lain. "Iyaa ayah sayang." Begitu katanya, lantas bangkit dan sempat mencium pipi pria itu sebelum akhirnya berlari ke kamar mandi.

"Iuh bau jigong!!!" Teriakannya memenuhi seisi kamar.

Tak disangka, dari dalam kamar mandi gadis itu balas berteriak. "Biarin, wlee!! Ayah juga sama!"

"Ayah sudah mandi asal kamu tahu!!"

"LAHH AYAH UDAH MANDI?! HEHE MAAF KALAU GITU."

•••

Menu sarapan kali ini hanya telur orak arik. Sederhana, namun mampu membuat Rena tersenyum puas saat menyantapnya. Serius, semua masakan buatan ayah selalu enak di lidahnya. Pagi ini saja ia sudah hampir menghabiskan porsinya dalam waktu kurang dari 10 menit.

"Tiga bulan sekolah, semuanya baik-baik aja, kan?"

Gadis dengan seragam abu-abu itu baru memasukkan suapan terakhirnya saat Reno datang dari arah dapur bersama segelas susu hangat. Kemudian, pria itu duduk di sampingnya.

"Aman, Bos! Teman-teman kelas pada baik," balasnya setelah menelan kunyahan. "Oiya, Yah, aku mau ikut OSIS, boleh gak?"

Sambil minum kopi, alis pria itu terangkat. "Kamu bisa membagi waktu? Kalau iya, ya boleh. Bagus ikut OSIS, nambah pengalaman."

"..., sebenernya udah daftar dari kemarenan sih, tapi baru sempat bilang."

Kontan, Reno menggeleng tak habis pikir. "Dasar. Udah pelupa, cerewet pula. Haduh, kamu tuh anak siapa sih sebenernya?"

Kata-katanya membuat Rena nyaris tersedak saat menenggak susu. Sepasang matanya melotot lucu. "Ayah kok gitu sih!"

"Lho, itu faktanya."

"Tapi wajahku mirip Mama!"

"Iya iyaa, anak mama."

Rena mendecak. "Udahlah, aku mau berangkat aja."

"Bekalnya udah Ayah masukin ke tas, harus dimakan, ya."

"Iya. Ayah juga harus sarapan dan hati-hati kalau kerja! Terus nanti gak boleh skip makan siang! Awas loh, aku tanyain Om Burhan entar. Dan jangan terlalu maksain kalau udah capek, okee?"

Diceramahi seperti itu, Reno malah terkekeh. "Mirip Mama."

"Ck, aku serius!"

"Iyaa. Udah buruan sana, nanti telat lagi sekolahnya."

•••

Tepat jam 8 pagi, dua kakinya terayun pelan memasuki pabrik. Suara nyaring berbagai alat pemotong kayu menyambutnya. Namun walau sempat membuatnya tuli sesaat, Reno tetap mengulas senyum sebagai sapaan kepada beberapa rekan kerjanya yang sudah tiba.

Reno bekerja di perusahaan furniture yang sudah menembus pasar Asia. Namun ia bekerja di pabrik pembuatan, bukan bidang penjualan. Dan karena besarnya perusahaan, setiap jenis barang memiliki lokasi sendiri yang berdampingan, disortir menurut jenis kegunaan. Lelaki itu sendiri bekerja di pabrik khusus pembuatan lemari, bekerja menjadi karyawan sekaligus kepala yang bertanggungjawab di sana—tidak resmi, hanya saja orang-orang di dalam selalu mengandalkannya jika ada keperluan dengan Pak Burhan selaku kepala produksi.

"Lha, Bang, udah balik kerja lagi?"

Seseorang datang menghampiri saat Reno hendak memakai sarung tangan. Dia refleks menoleh, hanya untuk mengulas senyum pada Rizal, salah satu rekannya.

“Iya, nggak bisa nganggur lama saya.”

"Emang kakinya udah gak sakit lagi?"

Reno menggeleng dan lagi-lagi menyunggingkan senyum. "Enggak, diurus sama Rena jadi cepat sembuh."

Ini yang membuat Reno disegani seluruh pabrik sub lemari. Sosoknya yang ramah dan selalu tersenyum membuat orang-orang merasa nyaman. Dia tidak jumawa karena menjadi karyawan terlama, juga selalu memperlakukan semuanya dengan sama rata.

Lalu secara tidak resmi mereka membuat Reno jadi kepala yang bertanggungjawab padahal di unit lain tidak ada kepala seperti itu. Mungkin menurut mereka Reno lebih berpengalaman dan mereka pun sudah terbiasa bergantung pada pria berusia 38 tahun itu.

Jelas itu bisa dimengerti, Reno mulai bekerja dari perusahaan ini baru buka, sampai kini memiliki cabang di beberapa kota. Mungkin jika diingat, dia sudah bekerja hampir 10 tahun lamanya. Dia juga sudah dekat dengan Pak Burhan yang juga menganggap Rena seperti anaknya sendiri.

"Bang, gimana sih cara didik anak biar kayak Rena? Serius, aku iri sama Abang."

Akhirnya, Reno tertawa. "Iri kenapa, Zal? Rena juga biasa-biasa saja. Dia kadang nakal, bisa membangkang juga kalau saya larang kesukaannya. Sudahlah, cepat mulai kerja saja, tadi saya dapat pesan dari Pak Burhan kalau hari ini kita bakal kedatangan banyak barang."

Mendengar itu, Rizal lekas ke bagiannya, langsung berbaur dengan pekerja lain. Reno tetap di sana, awalnya menatap betapa sibuknya punggung orang-orang. Lalu secara diam-diam, satu helaan napas berembus dari hidungnya.

"Lau, aku udah berhasil didik Rena kita." batinnya berujar.

•••

Seperti biasa, kantin ramai siang itu. Ruangnya jadi berisik dengan berbagai macam topik di tiap meja. Tak terkecuali meja yang kini ditempati Rena. Walau hanya berdua, mereka cukup berisik. Tidak, hanya Rena yang ceriwis, laki-laki yang duduk di depannya tampak acuh tak acuh menanggapi ocehannya.

"Jungwoo tuh beneran ganteng tau! Apalagi kalau bare face. Beuh! Gak ada tandingannya!"

"Ganteng kalau aneh juga sama aja bohong," balas Sigit spontan, tak sekalipun berpikir bahwa kalimatnya bakal mendapat lirikan mematikan dari Rena.

"KONTEKS ANEH TUH GIMANA YA?"

"Ya itu, dia ngelakuin apa yang gak orang umum lakuin. Pokoknya aneh lah! Dia—"

Kekesalannya yang hampir naik ke ubun-ubun batal ketika Sigit tak mampu melanjutkan kalimatnya. Rena tersenyum jahat, diam-diam berterima kasih pada siapapun yang menelpon pria itu hingga ia batal mendengarkan hate comment dari sang teman.

"Iya? Nggak. Makasih."

Itu adalah panggilan paling singkat yang pernah ia saksikan. Rena yang tengah menyuapkan nasi goreng pun sempat lupa jika sendoknya masih di mulut saking herannya.

"Siapa yang nelepon? Singkat bener."

"Bukan siapa-siapa." Bahkan nadanya mendadak jadi dingin. "Lo free gak malam ini?"

"Hah?"

"Gue pengen jalan-jalan. Kita belum pernah keluar bareng."

"..."

"Gue gak mau di rumah malam ini."

•••

Malamnya, Rena sudah siap dengan kaus putih yang dirangkap kardigan peach untuk keluar bersama Sigit. Terkesan seadanya, tapi itu sudah yang paling bagus dalam koleksi bajunya. Sebelumnya, dia bahkan sempat sebal sendiri karena tak memiliki baju layak untuk keluar.

Sebenarnya Rena bukan tipe gadis penyuka tongkrongan, maka jangan heran jika koleksi bajunya didominasi kaus atau piyama. Daripada menghabiskan waktu di luar seperti kebanyakan remaja, gadis itu akan lebih memilih mengurung diri di kamar, entah sekadar menonton Kim Jungwoo, atau maraton film horor bersama Reno.

Anak itu baru keluar dari kamar saat Reno menghadangnya, menelisik penampilannya dari atas sampai bawah.

"Kamu mau keluar malem-malem gini, Ren?"

Seperti robot, Rena mengangguk kaku. "Iya, diminta Sigit nemenin jalan-jalan. Tapi bentar kok, Yah. Gak sampai jam sepuluh. Janji deh! Boleh, ya? Aku udah janji soalnya."

"Sigit teman kelas yang sering kamu ceritain itu?"

"..., iya."

"Dia udah di luar?"

"Belum kayaknya, belum ada chat soalnya..."

"Nanti suruh masuk dulu, Ayah mau ngomong bentar."

"Apa itu artinya... boleh?"

Bukannya menjawab, Reno malah melenggang masuk ke kamar. Terang saja, Rena melotot tidak terima, bisa-bisanya ia diacuhkan! Lalu secara refleks, kakinya ikut melangkah mengekori sang ayah. Begitu masuk, dilihatnya Reno tampak sibuk di depan lemari. Entah sedang apa.

"Yah, ih! Kok aku dicuekin sih?!" protesnya. Namun lelaki itu acuh. "Ayahhh!!" Kemudian memanggil tepat di telinga kiri sang ayah.

Berhasil, pria itu berbalik badan menghadap padanya. Rena langsung mengembangkan senyum polos dengan pupil mata melebar, jurus andalannya jika ingin sang ayah mengabulkan permintaannya.

"Ayah..."

"Ganti pakaianmu dengan ini," katanya, lalu menaruh sehelai pakaian di lengan sang putri.

Kedua alis Rena naik saat melihat baju di tangannya. Gaun yang terkesan tua namun tetap cantik, punya siapa?

"Ayah kok punya baju begini? Punya siapa?" Dia bertanya, tapi lekas dijawab sendiri. "Ayah punya cewek baru? Apa aku bakal punya mama baru?"

Kontan saja satu sentilan meluncur sempurna di dahinya. "Sembarangan! Itu punya Mamamu tau."

"Ayah masih nyimpen baju mama? Wah..."

"Kan buat kenang-kenangan, kalau lagi kangen Ayah biasanya peluk baju itu sambil tidur."

"Utututuu ayahku terverifikasi cowok yang setia bangettt! Cini cini kalau kangen mama peluk aku aja, aku kan mirip Mama." Anak itu malah tergerak meledek sang ayah.

Mungkin, dari luar Reno tampak biasa saja, bahkan tatapannya terkesan jengah. Tapi ada lelehan hangat yang mengalir dalam dadanya mendengar godaan itu. Itu hanya lelucon, tetapi ia menganggapnya sebagai pengakuan.

Kenapa kalian harus semirip itu? Sampai aku harus beberapa kali mengingatkan diri kalau dia anakku, bukan kamu.

Benar, Reno mengakui dalam keadaan sadar dan tidak dalam tekanan siapapun jika Rena adalah jiplakan sang istri. Rena benar-benar semirip itu dengan Laura Ayu Larasati. Semua bagian tubuh anak itu diturunkan dari Laura. Dari bentuk tubuh yang mungil, warna kulit yang putih pucat, sampai ke garis wajah. Kadang Reno bertanya-tanya, apa yang menurun darinya pada Rena? Sepertinya tidak ada yang menonjol selain sifatnya yang penyuka kucing.

"Yeuu, malah bengong lagi."

Sepasang matanya langsung mengerjap. Reno lekas menatap sang putri yang masih berdiri di hadapannya, dengan wajah menelisik seperti penyidik.

"Kenapa?" tanyanya kemudian.

Yang ditanya mengangkat bahu. "Gak ada sih, barusan mikirin apa sampai bengong?"

"Kamu, mirip banget sama mama. Ayah heran," ungkapnya, segera menyambung saat gadis itu hendak membalas. "Udah buruan ganti bajunya, keburu Sigit datang loh."

Pada akhirnya, pertanyaan "ayah lagi kangen mama ya?" tak tersuarakan, Rena menarik napas samar, lantas tersenyum sekilas sebelum akhirnya keluar dari kamar.

•••

—Tasikmalaya, 25 Maret 2023—

Continue Reading

You'll Also Like

23K 3.9K 25
Sebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana...
69.2K 12.6K 24
Ini tentang Sekar dan segala kegalauannya akan sang mantan juga tentang Reno yang datang untuk menolong, tapi malah berakhir jadi yang ditolong. Tent...
7.5K 1.5K 7
ć…” C Y C L E M A T E ; "Kisah mereka dimulai dari sepasang sepeda dan pencarian sebuah IDEAL"
7M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...