Sampai pagi Candra terus memikirkan malam itu. Bisa-bisanya untuk yang satu ini dirinya bisa teledor. Melisa tidak mengenakan alat kontrasepsi apa pun sekarang. Kalau ternyata nanti perbuatannya berbuah hasil, bagaimana?
"Mas, kereta kita berangkat jam berapa?"
Bahkan, suara istrinya Candra abaikan. Kepala lelaki itu masih penuh dengan berbagai spekulasi.
"Mas?" Melisa memanggil sekali lagi. Sejak tadi suaminya tidak mengeluarkan suara sama sekali. Kalau sedang diam seperti ini, berarti ada sesuatu yang sedang dipikirkan. "Mas kenapa, sih? Masih mikirin yang semalam? Aku mau, Mas mau, salahnya di mana?"
"Kalau kamu hamil sebelum waktunya gimana?" Akhirnya Candra mendongak. Menatap wajah sang istri.
"Ya, nggak gimana-gimana. Emangnya aku harus gimana?" Melisa jadi gusar. Namun, ia harus tetap kalem. Menghadapi Candra yang lagi begini itu jangan pakai urat.
"Mel, punya anak lagi itu nggak mudah, apalagi kalau yang satu masih kecil."
"Mas, aku tahu nggak mudah dan kalau memang udah waktunya, artinya kita mampu. Kalau kita mikirin terus, bakal jadi berat. Lagian, belum tentu jadi."
Hening. Melisa kembali memasukkan pakaian Xania ke tas. Rencananya pagi ini, mereka akan pulang. Tidak mungkin meninggalkan Sarina lama-lama berdua dengan Mbak Lala. Pun Melisa tidak enak dengan Ahsan. Lelaki itu pasti butuh waktu.
"Atau gini aja, biar aku yang pasang alat kontrasepsi. Sebelum ada Xania, aman-aman aja, kan? Gimana, Mas mau nggak?" Melisa kembali bersuara. Ia rasa hanya opsi ini yang sesuai dengan keadaannya sekarang. Ya, jujur Melisa juga takut sebenarnya, tetapi ia mencoba untuk santai. Apalagi, sekarang ada Xania, Melisa tidak mau gegabah.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Ya, nggak apa-apa. Daripada Mas takut mulu. Aku nggak mau masalah kayak gini bikin kita ribut terus."
Melisa menghela napas. Ia sangat paham akan ketakutan suaminya. Memang tidak mudah melepaskan sesuatu yang melekat lama. Memang tidak mudah menghadapi masa depan yang belum tentu berjalan mulus. Apa yang dipikirkan Melisa belum tentu sama dengan Candra. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya mengerti.
"Ya udah, kalau kamu maunya gitu, aku izinin kamu pakai alat kontrasepsi."
Senyum terukir di wajah Melisa, kemudian melangkah sedikit, dan tangannya melingkar sempurna di leher sang suami. "Mas, tenang aja, semuanya bakalan baik-baik aja, kok. Intinya gini, Mas, kalau jadi, artinya rejeki. Kalau nggak jadi, berarti sesuai rencana."
Lagi-lagi, Melisa berhasil menenangkannya. Memang benar, dukungan dari orang-orang terdekat itu sangat diperlukan. Candra masih berusaha untuk lepas dari banyak kemungkinan buruk.
"Kamu, kok, keliatan biasa aja?"
Melisa menatap suaminya. "Emangnya aku harus kayak gimana? Kepikiran itu ada, tapi aku nggak mau terlalu fokus ke sana. Aku nggak mau mengganggu pikiran terus bikin Xania nggak cukup ASI-nya. Kayak yang aku bilang tadi, kalau jadi ya rejeki, nggak jadi ya udah."
Dirasa sudah selesai, sepasang orang tua baru itu turun ke lantai bawah. Menghampiri Xania yang kini sedang bermain dengan dua om dan kakek neneknya. Sebentar lagi pulang, Melisa membiarkan keluarganya menghabiskan waktu bersama Xania. Pun ketika Xania ada di tangan mereka, Melisa jadi leluasa merapikan kamar dan perlengkapan yang akan dibawa pulang.
Melihat ayahnya datang, Xania langsung menopang tubuhnya menggunakan kedua tangan, lalu bergerak menghampiri Candra pelan-pelan sambil terus mengoceh 'bababa'. Baru beberapa langkah, Xania terjatuh. Dengan sigap Candra mengangkat anaknya. Xania sampai tertawa renyah.
"Kalau ada bapaknya, kita bakal kalah, Yan," celetuk Ryan.
"Om-om kalah ganteng soalnya," balas Melisa.
Candra tersenyum. Bibinya mengecup singkat pipi Xania. "Xania pulang dulu, ya, Om."
"Xania di sini aja. Nanti Om Ryan beliin es krim."
Ryan hendak menggendong lagi, tetapi anak itu malah menyembunyikan wajah di dada ayahnya.
"Salim sama Om dan kakek nenek."
Candra membimbing tangan Xania untuk cium tangan dengan Ryan, Fyan, Hartanto, dan Ratna. Giliran nenek kakeknya, Xania dihadiahi ciuman di kedua pipinya.
"Mel sama Mas Candra pulang dulu, ya, Ma, Pa." Giliran Melisa dan Candra yang mencium tangan kedua orang tuanya.
"Hati-hati, ya. Kalau udah sampai, jangan lupa kabarin mama," kata Ratna.
Sampai di rumah, Candra istirahat untuk persiapan penerbangan selanjutnya, sementara Melisa masih harus menjaga Xania yang belum mau diajak tidur siang. Melisa melakukan segala cara mulai dari menggendong, memberi susu, hingga dibacakan buku cerita. Ketika Xania berhasil tidur, Melisa meletakkannya dengan hati-hati di crib, kemudian menutup pintu kamarnya pelan-pelan.
Alih-alih pergi ke kamarnya, Melisa justru melangkah ke dapur. Ia lapar sekali. Mumpung Xania anteng, Melisa ingin menyantap masakan Mbak Lala. Asisten mertuanya itu masak oseng-oseng kangkung.
Di luar, terdengar suara Sarina yang sedang menyuruh Mbak Lala menyiram tanaman-tanaman miliknya. Sarina belum bisa bergerak banyak. Wanita itu masih takut melangkah pakai alat bantu. Ya, kalau tidak dipaksa Melisa, mungkin selamanya Sarina tidak mau terapi dan duduk di kursi roda.
Sarina terlihat seperti tidak memiliki semangat hidup setelah sakit. Jelas, wanita itu kehilangan teman-teman yang selama ini selevel bagi wanita itu. Sejak sakit, tidak ada satu pun dari mereka yang datang menjenguk Sarina, bahkan bertanya kabar tidak ada.
Ya, memang untuk sekarang Melisa yang disuruh sabar.
Mbak Lala masuk, mendorong kursi roda Sarina. Melisa yang sudah selesai makan itu lantas mendekati mereka.
"Ibu udah makan belum?" tanya Melisa.
"Sudah, kok, Mbak. Sudah minum obat juga." Mbak Lala yang menjawab.
"Bagus, deh. Ibu harus rajin biar cepet sembuh."
"Cepet sembuh apanya? Buktinya masih begini," sahut Sarina. Wajahnya tampak mendung.
"Ya, Ibu yang sabar, terus mau nurut sama dokter. Kalau lagi latihan jalan jangan ngeluh mulu. Semuanya itu butuh proses. Nggak bisa langsung sehat bugar."
"Mau sampai kapan begini?"
"Ya, tergantung Ibu. Kalau Ibu nurut, pasti cepet."
Terdengar helaan napas dari bibir Sarina. Melisa cukup paham dengan perasaan sang mertua.
"Bu, kan, sebentar lagi Mas Candra bakal pindah tugas, nih. Nah, di sana nanti Ibu bakal tinggal sama kita. Siapa tahu di Jakarta ada dokter yang berhasil nyembuhin kaki Ibu."
Sebelumnya, Candra sudah menyinggung rencana ini di depan Sarina. Hanya saja wanita itu belum memberikan respons.
"Ibu mau di sini aja."
Melisa terbelalak. "Maksudnya Ibu nggak mau ikut gitu?"
"Iya."
Lho, kok, malah jadi begini? Padahal, Candra sudah mencarikan dokter untuk Sarina.
"Kenapa Ibu nggak mau? Kan, enak deket sama anak. Mendingan ikut aja, Bu. Biar sekalian. Kalau di sini, Ibu mau sama siapa?"
"Ada Lala, kamu nggak usah khawatir."
"Tapi, kasihan Mbak Lala, Bu. Ikut aja, ya, Bu."
Sarina menghela napas lagi. "Ibu itu udah tua, repot kalau naik pesawat."
"Ya, kan, nanti dibantu sama pramugari, Bu."
"Pokoknya ibu tetep nggak mau ikut."
Sekarang Melisa yang kebingungan sendiri. Kalau begini, sama saja memakan waktu. Bolak-balik Jakarta ke Yogyakarta itu pasti menguras tenaga. Makanya Melisa tidak keberatan jika Candra ingin membawa Sarina tinggal bersama.
"Ibu mending pikir-pikir lagi, deh. Enak tahu tinggal deket sama anak."
Yang mau baca part selanjutnya bisa ke Karyakarsa. Karena aku belum tahu bakal update kapan lagi 😂
Semoga habis ini aku cuma kena review editor dikit biar bisa nulis normal lagi 💪