Kevin Huo's Proposal

By Liana_DS

860 157 43

Berkorban untuk pekerjaan tidak pernah ada dalam kamus Zhang Ling. Jika sebuah merek, proyek, atau fotografer... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58

24

21 2 0
By Liana_DS

"Ling! Astaga, apa kau mabuk? Ya ampun, kalau kau menangis begini, matamu bisa bengkak besok! Berhenti, tidak?" tegur Mingmei, dengan susah payah membungkuk pada Xiang sambil berjuang membekuk Ling yang terus meronta. "Saya mewakili agensi minta maaf jika model kami merepotkan Anda, Tuan Feng. Saya akan 'membenahinya' saat kami pulang nanti. Kami permisi."

"Ah, baik." Xiang urung mengutarakan kata-kata yang menggantung di ujung lidah. Alih-alih, ia mengangguk pada Mingmei dan tersenyum tipis. "Mohon bantuannya agar Nona Zhang tidak sedih lagi. Terima kasih banyak, Nona Xu."

Hingga tiba di parkiran, Ling tidak bisa lepas dari cekalan Mingmei, tumben sekali. Barangkali ini karena energinya telah terkuras di latihan runway, juga karena menangis. Sepanjang jalan menuju parkiran itu pula, suara mereka sahut-menyahut; yang satu terus mengomel, yang lain membela diri. Ketika mobil sudah melaju menuju apartemen Ling, perselisihan itu baru berhenti. Ling batuk karena tenggorokannya kering dan Mingmei memberinya sebotol air minum, lalu mereka terjebak dalam keheningan yang canggung. Biasanya memang begini; meski sedang bertengkar, Mingmei akan selalu memperhatikan modelnya, sedangkan bagi Ling, perhatian itu merupakan bentuk kebaikan—yang berlawanan arah dengan pertengkaran mereka.

"Aku akan pakai masker mata nanti biar tidak bengkak." Ling memecah kesunyian sekitar lima ratus meter menuju rumah, lalu berdeham. "Sulit mengendalikan diriku ketika Feng Xiang tampak begitu—kesepian. Lebih-lebih, kehadiranku seperti membebaninya untuk terus berbuat baik padaku biar koleksi Fenghuang sukses. Tapi, uh, ya, aku paham seorang model harus selalu tampil sempurna, jadi—uh, maaf ... Kak Mei."

Mingmei melirik Ling sekilas, lalu kembali fokus ke jalanan. Dia tidak mengatakan apa-apa sampai mobil itu memasuki parkiran bawah tanah apartemen Ling.

"Kau bisa cerita padaku apa yang Feng Xiang ceritakan sampai seperti tadi. Kakimu juga butuh diobati." Suara Mingmei melunak beberapa derajat. "Aku akan menginap."

***

Sejak latihan runway malam itu, Ling belum bertemu Xiang lagi, tetapi satu pesan dari sang peragawan di surel yang terkirim pada malam yang sama mampu membangkitkan semangat Ling berhari-hari. Isinya menyerupai instruksi perawatan diri, lengkap dengan rekomendasi masker mata dan salep kaki. Yang menyulut semangat Ling bukan itu semua, melainkan penutup surat Xiang.

[Tolong jangan menangisi saya atau orang lain lagi. Simpanlah air mata itu untuk kesedihan Nona sendiri nanti. Walaupun begitu, saya lebih ingin Nona Zhang selalu berbahagia sebagaimana Nona membahagiakan saya selama ini.]

Gara-gara surel ini, Ling mencopot label 'beban Xiang' yang disematkannya pada diri sendiri. Meski masih dikritik sana-sini oleh Suzanne, ia bangkit dan berjalan dengan kepercayaan diri yang tidak berkurang sedikit pun. Tidak ia rasakan lagi tatapan meremehkan dari model-model wanita yang lain. Itu entah karena ia terlindung oleh kebanggaannya sebagai duta Fenghuang—atau memang tatapan semacam itu sudah lenyap tertelan kekaguman. Mood Ling sangat baik sepanjang latihan runway sehingga tanpa latihan ekstra pun, ia sanggup mengikis lapis demi lapis kritik Suzanne.

Berkat perawatan dan pencegahan ekstra, luka-luka di kaki Ling lama-lama sembuh. Melawan nasihat Xiang, ia kembali latihan malam di runway. Karena diberitahu Suzanne bahwa runway di fashion show nanti panjang lagi bertingkat, catwalk jadi lebih menantang. Ling merasa belum cukup baik untuk 'level' catwalk ini, maka segera setelah kakinya sembuh, ia berjalan lagi, dengan atau tanpa Mingmei. Ling melakukannya selama berhari-hari hingga sudah terbiasa menyetel musik latar dan mengatur pencahayaan sendiri di ruang latihannya.

Namun, cucuran keringat bisa memadamkan api semangat yang semula berkobar-kobar. Suatu hari, Ling bercermin di dinding kaca ruang latihan. Hanya ada dirinya seorang di ruangan itu. Remote di tangannya menghentikan musik latar; Ling berharap dapat menemukan bunyi dari lantai lain, tetapi tidak ada apa-apa. Harinya hiruk-pikuk hanya sampai Suzanne menyudahi latihan resmi. Mingmei semakin jarang menemaninya karena fashion show semakin dekat; agensi Ling bolak-balik memanggil Mingmei untuk melaporkan keseharian sang model dan kendala-kendala lapangan. Ketika pulang, Ling seringnya diantarkan sopir-sopir agensi yang tak terlalu diakrabinya. Masuk apartemen, cuma ada dua kemungkinan: apartemen setengah bersih karena Wei sudah pulang duluan dan sedang beristirahat di kamar, atau kotor sama sekali karena Wei tidak pulang sehingga Ling yang harus bersih-bersih. Dua-duanya sama hening dan Ling terlalu lelah untuk membuat keramaian sendiri setelah latihan ekstra.

Ling memencet remote control, menyalakan musik latar dengan volume setingkat lebih tinggi.

"Aku rindu Feng Xiang," ucap Ling di tengah dentum musik yang seakan menjejalkan suaranya balik ke dalam. Justru itu yang membuat Ling terus curhat dengan pantulan dirinya sebagai penyimak. "Jika Kak Mei dan Nenek tidak ada, setidaknya dia muncul, dong. Bukannya dia yang bilang kalau masih banyak kesempatan untuk menjadi lebih keren darinya di runway? Mengapa tidak mendampingiku latihan lagi?"

Setelah puas menumpahkan isi hatinya, Ling mendengus dan berjalan balik ke runway seolah sesi monolog tadi tidak pernah terjadi. Satu putaran, dua putaran, tiga dan seterusnya hingga alarm Ling berbunyi. Pukul setengah sebelas, lebih setengah jam dari batas waktu latihan ekstra yang ia tetapkan. Buru-buru ia membereskan semua perangkat musik dan barang pribadinya, mematikan lampu, serta mengunci pintu ruang latihan dari luar. Selama melakukan semua itu, Ling masih berharap Xiang akan muncul pada satu titik, sayangnya tidak kejadian.

Ling membuang napas keras hingga bergaung di lantai ruang latihan. Kekosongan ternyata bisa begini mengimpit. Sambil mengetik di ponsel, Ling melangkah cepat menuju lift dengan satu tujuan dalam benak.

[Nenek, kau masih di workshop?]

Balasan masuk setelah Ling memencet lantai di mana workshop berada.

[Ya, aku lembur. Pulanglah duluan.]

"Justru karena kau masih di sini, makanya aku datang." Ling menyimpan ponsel ke tas. Ia sudah muak sendirian. Mingmei tidak akan menjemputnya hari ini dan dia bukan siapa-siapa Xiang yang bisa tahu ke mana saja sang peragawan pergi, maka Ling akan merecoki Wei untuk menghilangkan kesepiannya. Masa bodoh mau diamuk juga; Ling sudah siap dengan risiko mood memburuk.

"Permisi."

Hanya sedikit kepala dalam workshop yang terpalingkan oleh panggilan lirih Ling, Wei dan Tian termasuk. Yang tidak terduga adalah kehadiran Xiang di antara mereka, teralihkan sejenak dari pekerjaannya menjahit bunga prem ke sebuah gaun. Seperti kebanyakan orang workshop, Xiang tampak letih dan redup; riasan tipisnya tidak di-retouch, mungkin tidak sempat karena banyaknya pekerjaan. Dia mengenakan kaos abu-abu berlengan panjang yang lengannya disingsingkan sampai siku, juga jeans belel. Ling sampai pangling. Meskipun masih tampan, Xiang tidak lagi terlihat seperti duta Kevin Huo, melainkan penjahit biasa yang balapan dengan tenggat waktu.

Omong-omong, kemampuan menjahit Xiang juga menimbulkan tanda tanya besar di kepala Ling.

Kalau Feng Tian bisa menjahit, aku tidak akan kaget, tetapi Feng Xiang kan model?

"Ah, sepertinya Nona Zhang ada urusan dengan saya. Permisi sebentar." Wei bangkit dengan panik sebelum bergegas menghampiri Ling. Begitu cukup dekat, ia berbisik jengkel, "Mau apa kau ke sini? Pulang dan jangan ganggu aku!"

"Aku tidak bermaksud mengganggu! Kau saja yang merasa terganggu tiap aku datang," bisik Ling, tetapi suaranya lebih keras. Wei berdecak dan membalikkan badan kakaknya, siap mendorongnya keluar, sayangnya Ling memberikan perlawanan dengan berpegangan pada kosen pintu. Pemandangan konyol ini akan mencairkan suasana di workshop andai Tian tidak memancarkan aura permusuhan, membungkam tawa yang nyaris lolos dari para bawahannya.

"Tuan Zhang Wei, tolong lanjutkan pekerjaan Anda—dan Nona Zhang Ling, sebaiknya Anda punya alasan bagus datang kemari."

Ling sudah mengantisipasi pertanyaan ini, jadi dia berbalik dengan mantap begitu Wei—yang tenaganya sudah terkurasberhenti mendorongnya.

"Saya ingin membantu adik saya di sini!"

Wei mendelik mendengar jawaban kakaknya, sementara Tian langsung mendengus meremehkan.

"Sebelum itu, saya akan memberikan sebuah tugas," tunjuk Tian pada seonggok kain perca. "Tolong ambil selembar kain yang paling besar dari tumpukan itu, lalu guntinglah seperti akan membuat lengan baju."

Ling mengernyit. Tidak ada cukup kain dalam tumpukan kain perca itu untuk membuat sebuah lengan baju, jadi apa-apaan perintah Feng Tian itu? Lagi pula, mengapa secara spesifik harus lengan baju? Apa bedanya menggunting kain untuk bagian itu dengan bagian lain pakaian? Meski dipenuhi keraguan, Ling mengerjakan apa yang disuruh: menggunting kain perca tadi.

"Ah, bukan—"

Suara panik Xiang seketika menghentikan Ling memotong kain, padahal baru ujung yang tergunting. Terlambat; kesalahan Ling langsung terlihat dan Tian sudah berdecak mengadili.

"Cukup. Letakkan itu dan tolong keluar." Tian kembali pada pekerjaannya membenahi renda di pinggang gaun yang dikenakan manekinnya. "Anda tak akan berguna di sini."

Si Cebol ini!

Ling inginnya takut, tetapi ia terlalu muak kembali ke kesendiriannya di ruang latihan dan bersikeras tinggal. "Maaf, bagaimana Anda memutuskan saya tak akan berguna jika saya baru memotong kain perca saja?"

"Karena memang dengan tangan itu, cuma menggunting kain perca yang bisa Anda kerjakan." Tian menjawab dengan konsentrasi terus terpusat pada rendanya. "Bahaya kalau sampai Anda menyentuh kain lain."

Kejengkelan Ling melejit sampai tepi matanya berkedut. "Apa—"

"Ling, kau dengar dia," desis Wei frustrasi. "Keluarlah dari sini. Kau cuma akan membuat ruangan ini makin sesak."

"Begini kau membayar niat baikku, Nek? Mengapa Feng Xiang boleh membantu, sedangkan aku tidak?" tanya Ling tak terima.

"Nona Zhang Ling, saya tak ingin mengulang perintah," perintah Tian tegas, membuat atmosfer ruangan kecil itu menjadi tegang. Ling mengepalkan tangan di samping paha, berkeras tinggal. Masalahnya, Wei semakin tak senang, kini memelototinya seolah ingin memakannya hidup-hidup; bukankah sayang sekali kalau hubungan mereka yang baru baik dirusak lagi?

"Uhm ...."

Beruntung, keheningan yang mencekik itu dipecah oleh suara menguap seorang staf Tian yang tahu-tahu saja merangkak dari bawah meja tak terpakai. Muka gadis yang tampaknya lebih muda dari Ling itu kucel, tipikal orang bangun tidur, lengkap dengan cap kerut kain yang memerah di pipinya. Mungkin cap itu berasal dari alas tidur seadanya yang ia pakai.

Saking kerasnya kuapan si staf, semua mata beralih kepadanya. Namun, barangkali karena masih belum sadar betul, staf tersebut tidak tampak jengah sedikit pun. Ia duduk bersila di depan 'gua'-nya yang nyaman, setengah memejam mengucek mata untuk menghilangkan kantuk. Apa yang membangunkannya sebangun-bangunnya adalah tepukan dari Xiang ke bahunya.

"Syukurlah Anda sudah bangun, Nona Lan. Bisa lanjutkan pekerjaan Anda menjahit bunga, kan?" Xiang melirik sekilas pada Ling. "Saya ada perlu dengan Nona Zhang sebentar."

Lucu. Keresahan yang bersumber dari kerinduan Ling langsung lebur dan hanyut entah ke mana dengan kalimat terakhir Xiang.

Setelah memastikan Nona Lan cukup sadar untuk menjahit bunga-bunga prem (juga sehabis diizinkan Tian), Xiang beranjak dari depan gaun cantik yang ia kerjakan tadi dan menggamit tangan Ling, isyarat untuk mengikutinya ke suatu tempat. Ling sepatuh kerbau dicocok hidung, berjalan rapat di belakang Xiang meskipun tahu seberapa membakar tatapan Tian dan Wei ke punggungnya.

Rupanya, Xiang berjalan ke arah lift. Begitu masuk, ia memencet tombol tertinggi di panel dengan santai, berbeda dengan rekan kerjanya yang tercengang.

"Kita akan ke rooftop, Tuan Feng?"

"Untuk suasana berbeda, mengapa tidak?" senyum Xiang. "Meski sayup-sayup, saya mendengar daftar putar runway dari workshop tadi. Anda tidak jenuh berlatih selama itu di ruang tertutup?"

Feng Xiang tahu. Pipi Ling merona. Dia tahu aku berusaha.

Langit malam Shanghai begitu-begitu saja, tetapi memandangnya dari rooftop gedung Kevin Huo setelah mendapat cukup perhatian dari Xiang terasa berkesan. Tempat itu hening, angin berembus kencang ke sana kemari, tetapi kepala Ling langsung merancang jalur catwalk dari lansekap luas tak beraturan di hadapannya. Lampu-lampu kota menjelma blitz kamera yang penasaran sekaligus takjub. Daftar putar runway berdentum-dentum di telinganya, disambung dengan degup jantungnya sendiri ketika Xiang berbalik menghadapnya.

"Sekarang," Xiang melepas sweternya dan mengikatnya ke pinggang Ling yang tak melawan, "tantangannya adalah ball gown berekor lebar. Anda siap?"

"Lebih dari siap." Ling menatap Xiang yang masih mereka ekor lebar ball gown menggunakan sweter. "Jika saya berhasil, tolong jelaskan tentang kemampuan menjahit Anda yang hebat itu."

Alis Xiang terangkat, lalu ia tersenyum miring. "Tidakkah hadiah itu terlalu sederhana untuk tantangan yang telah saya siapkan?"

***

Tumpuan pinggang yang tak terkendali. Tersandung di tangga runway. Langkah menyalahi beat. Lengan kurang mengayun. Lengan terlalu mengayun. Begitu banyak kesalahan Ling di rooftop runway ini—atau mata Xiang saja yang terlalu awas. Lebih menyebalkannya lagi, Xiang mengoreksi Ling dengan senyum tak bersalah dan sikap sopan, menggagalkan Ling mengamuk. Setelah puluhan putaran (serta percontohan; Ling masih tak mengerti bagaimana Xiang juga menguasai gaya berjalan peragawati), Ling akhirnya diluluskan—dan langsung menuntut haknya.

"Jadi, apa saya sudah boleh bertanya bagaimana Anda yang seorang model menjahit bunga-bunga prem itu dengan sangat rapi?"

"Bernapaslah dulu yang benar, Nona Zhang." Xiang tertawa tengil dan Ling mendengus terang-terangan. "Tolong jangan kesal."

Ling terkejut ketika Xiang menggelar sweternya di lantai rooftop. "Pakaian Anda nanti kotor!"

"Daripada pakaian Anda yang kotor," ucap Xiang sebelum menduduki separuh bagian sweter, menyisakan cukup ruang untuk Ling. "Mari." []

ni buat yang nungguin kemarin XD happy reading yaa

Continue Reading

You'll Also Like

196K 12.4K 57
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
572K 80.3K 35
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
296 99 14
Setelah kepergian Cinta Pertama nya, hati nya tertutup terkunci, sepertinya semua sudah berakhir, dalam pikirannya dia hanya akan hidup berdua saja d...
138K 6.5K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...