Radeon

Da naputyy

1.2K 92 10

Menikah dengan bos yang ternyata adalah teman saat kecil?? ... Kayyisa Rheva Shalitta sudah cukup hidup sulit... Altro

R. [00] Dinner.
R. [01] Sesuatu.
R. [02] Makan Siang.
R. [03] Pesta.
R. [05] Proposal.
R. [06] Panggilan Baru.
R. [07] Tunangan.
R. [08] Pagi yang Indah.
R. [09] Bunda.
R. [10] Weekend.
R. [11] Weekend (2).
R. [12] Fakta Isu.

R. [04] Gaun.

93 8 1
Da naputyy

Cklek!

Kay membuka pintu rumah yang kini sudah sepi, semua keluarganya pasti sudah tertidur pulas.


Kay merebahkan tubuhnya di kasur, memejamkan matanya sejenak sebelum ketukan pintu terdengar. Kay langsung bangkit dari tidurnya menuju pintu.

"Ibu?"

"Ayah mau ngobrol sama kamu," kata Ibu dengan lembut.

"Ayah dimana?"

"Ada di kamar."

Keduanya pun berjalan ke arah kamar utama, itu adalah kamar Ayah dan Ibunya beserta dua adiknya.

Kay tersenyum saat melihat kedua adiknya sudah tertidur pulas. "Ayah," panggil Kay saat melihat Ayahnya sedang menatap ponsel sambil duduk di pinggiran kasur.

Ayah yang melihat putri sulungnya sudah datang melepas kacamatanya, ia meletakkan kacamata beserta ponselnya di kasur. "Sini, Teh." Ayah mengayunkan tangannya memanggil Kay yang masih berdiri di pintu bersama Ibu.

Kay berjalan menghampiri Ayahnya dan bersimpuh dilantai, ia mencium punggung tangan Ayahnya. Sedangkan Ibu duduk di samping Ayah.

"Ada apa, Yah?" Kay mendongak menatap Ayahnya yang kini usianya sudah mencapai akhir 40an.

"Ayah udah denger semuanya dari Ibu kamu, dan tadi juga ada seorang pria yang datang menemui Ayah."

"Pria? Siapa?"

"Namanya Radeon, dia bilang kalau dia bos kamu di kantor?"

"Iya. Bos Teteh di kantor namanya Pak Radeon. Kenapa dia ke rumah?"

"Dia minta izin ke Ayah sama Ibu buat bawa kamu ke pesta di rimahnya," Ayah memberitahu putrinya dengan gamblang.

"Terus? Ayah izinin dia?"

Ayah mengangguk, "Nggak apa-apa kalau dia mau ajak kamu. Tapi kalau kamu nolak ya nggak apa-apa juga, nanti Ayah yang bilang ke dia."

"Nggak, Yah." Kay menggelengkan kepalanya pelan, ia menangkup kedua lengan Ayahnya yang sudah mulai keriput. "Kalau Ayah udah izinin aku, aku nggak apa-apa. Dia juga udah janji sama aku kalau dia bakal jagain aku di pesta itu," Kay mengingat ucapan Deon saat pria itu dengan tegas berkata akan selalu ada bersama Kay.

Ayah melepas satu tangannya dan mengangkat dagu Kay yang tengah menunduk, "Putri Ayah sudah mau diambil orang lain, ya?"

Mata Kay memanas saat mendengar ucapan Ayahnya, "Aku ... Aku ...."

Ayahnya mengangguk, "Ayah nggak apa-apa. Yang penting kamu bahagia, itu aja udah cukup buat Ayah."

"Terima kasih, Ayah, Ibu."

Ibu Kay sudah menitikkan air matanya. Ia tidak menyangka jika anak sulungnya akan menikah. Sepertinya ia baru saja melahirkan kemarin, tapi sekarang putrinya sudah ingin diambil oleh orang lain.

"Untuk ke depannya hargai suami kamu sebagaimana kamu menghargai kami," Ayah menepuk kepala Kay sebanyak dua kali lalu mengusapnya.

"Masih ada waktu dua bulan, Yah. Ayo kita liburan bareng sekeluarga."

"Iya. Ayo, Nak."

・⁠・⁠・

Kay berada di kantin, ia tengah duduk di kursi yang dekat dengan jendela besar kantor. Kay termenung menatap jalanan kota yang padat, memikirkan kehidupannya yang akan berubah total di masa depan. Setelah makan siang, ia tidak langsung ke mejanya seperti biasa.

Vyca yang satu hari sebelumnya ia beritahu kabar itu, kini temannya itu hanya bungkam. Temannya tidak mengatakan apapun saat itu, ia langsung pergi begitu saja. Kay belum berani untuk menghampiri temannya lagi.

"Kay."

Kay menoleh saat ada seseorang yang memanggil, "Vyca?" baru saja ia memikirkan temannya, temannya ternyata langsung datang menghampirinya.

Vyca tersenyum canggung, "Rooftop, yuk?"

Kay tersenyum senang dan mengangguk.

Saat keduanya sudah sampai di rooftop, hanya keheningan yang menghiasi suasana, angin bertiup kencang dan suara klakson kendaraan terdengar begitu nyaring.

"Maaf, kemarin gue pergi gitu aja." Vyca memulai pembicaraan.

"Kenapa?"

"Berita itu terlalu tiba-tiba. Gue bingung harus bereaksi gimana, jadi gue butuh waktu buat itu. Lo beneran diajak nikah sama Pak Deon?"

"Manfaatnya gue bohong sama lo buat apa?"

"Ini beneran, deh! Gue nggak nyangka kalau Pak Deon selama ini emang sengaja bikin lo bolak-balik buat ketemu dia dengan embel-embel tanda tangan berkas ternyata cuma buat ketemu sama lo doang?"

"Masa, sih?"

"Nggak peka dasar."

"Lo juga baru peka sekarang, kan?"

Vyca mendengus kasar dan beralih menatap gedung-gedung tinggi di depannya, "Kapan Pak Deon bilang mau nikahin lo?"

"Tiga minggu lalu kalau nggak salah."

"Tepatnya pas kapan?"

"Lo inget nggak? Yang pas pengawalnya Pak Deon nyamperin gue di basemen?"

"Oh, iya gue inget."

"Waktu itu gue diajakin dinner sama Pak Deon, dan pas itu dia bilang mau ngajakin gue nikah."

"Terus lo langsung setuju?"

Kay menggelengkan kepala, "Waktu itu gue masih ragu."

"Kenapa harus ragu? Pak Deon aja langsung nembak gitu."

"Vyca, lo tahu 'kan kondisi keluarga gue gimana? Orang tua gue masih punya banyak hutang, rentenir dari mana-mana pada dateng ke rumah buat nagihin hutang. Gue malu kalau Pak Deon sampe liat hal itu."

"Pak Deon udah tahu soal itu?"

Kay mengangguk pelan. Vyca menoleh pada Kay dan melihat anggukan kepala Kay. Vyca menghela napas panjang, "Apa kata Pak Deon?"

"Lo tahu pasti jawaban dia apa." Kay menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Lunasin hutang orang tua lo, sebagai gantinya lo nikah sama dia. Tebakan gue bener?"

"Tepat sasaran," kata Kay lirih.

"Saran gue sih, lo terima aja pernikahan ini. Dia juga pasti punya alasan milih lo. Bisa aja karena lo karyawan yang emang paling banyak kelemahannya, jadi dia milih lo."

Kay yang sebelumnya menunduk langsung mendongak menatap Vyca dan menggeleng kencang, "Bukan karena itu!"

Vyca mengedip sekali saat Kay berucap dengan berteriak, "Terus karena apa?"

"Karena dia nggak mau dijodohin. Dia cuma mau nikahin cewek yang dia suka. Pak Direktur perusahaan FN ngasih waktu anaknya buat cari pasangan selama tiga bulan."

"Wah," Vyca memundurkan wajahnya tercengang mendengar hal itu.

"Katanya dia muak sama yang namanya perjodohan. Pas gue tanya dia suka sama gue atau nggak, jawabannya bimbang. Katanya dia belum suka sama gue."

Vyca menganggukkan kepala mengerti, "Gue yakin pasti ada hal yang disembunyiin sama Pak Deon."

∘∘∘

Deon tengah sibuk membaca berkas-berkas, masih banyak tumpukan berkas yang belum ia baca. Kini pikirannya hanya dipenuhi oleh seorang wanita bernama Kayyisa Rheva Shalitta. Wanita itu sudah memenuhi pikirannya semenjak ia datang ke kantornya.

Hampir dua tahun ia mengharapkan hal ini terjadi, akhirnya penantiannya selama ini terwujud.

Tok! tok! tok!

Pikiran Deon kembali saat ada seseorang mengetuk pintu ruangannya, "Masuk."

Ternyata Tiara, si sekretaris cantik yang sudah bekerja lama dengannya. "Pak, ada seseorang mengirim paket untuk Bapak." Tiara memberikan satu kotak besar berwarna hitam pada Deon.

Deon menerima kotak besar itu dan mengucapkan terima kasih pada sekretarisnya. Tiara langsung pergi setelah paket itu telah sampai di tangan pemiliknya.

Deon langsung membuka kotak yang terbungkus dengan plastik hitam, dan membuka penutup kotak.

"Gaun? Apa orang ini gila?! Kenapa mengirimiku gaun? Atau salah kirim?"

Deon menyentuh barang yang ia bilang gaun itu, dan menemukan secarik surat di pinggiran kotak.

To : Radeon

'Radeon! Ini gaun untuk calon menantuku, kalau sampai kau datang ke pesta seorang diri. Papah tidak akan menerimamu lagi di keluarga Brimantyo'

From : Radean Brimantyo

"Lagi-lagi ancaman? Tapi, gaun ini terlihat cantik. Papah memilih gaun yang cocok untuk Kay." Deon tersenyum bangga, ia menelusuri tongkat gantung yang biasa ia pakai untuk menggantung jasnya. Di sana masih terdapat beberapa gantungan baju.

Deon meletakkan kotak di meja kerjanya dan mengambil gaun biru dongker itu lalu menggantungnya pada gantungan. "Kenapa gaun ini terlihat seperti gaun yang sepasang dengan pakaian formal pria? Model gaun ini terlihat tidak asing."

"Deon!"

Deon langsung menoleh saat suara familiar itu mengusik telinganya. Ia langsung menoleh pada pintu dan terlihat Arga tersenyum sumringah. Sepertinya ia baru saja melalui hari yang menyenangkan.

"Ada apa?" Deon melipat kedua tangannya di depan dada.

Arga melirik ke arah samping Deon, melihat gaun indah itu, "Gaun itu kenapa terlihat sepasang dengan pakaianmu? Gaun untuk Kayyisa?" Arga menunjuk gaun dengan dagunya sambil berjalan menghampiri meja Deon.

"Dengan pakaianku?" Deon mengerutkan aslinya dan melihat kembali gaun itu, mulai mengingat pakaian yang mana yang bisa ia jadikan sepasang dengan gaun ini.

"Iya, yang dua minggu lalu kau beli di toko mahal itu."

Deon langsung teringat dengan hari itu. Benar, Deon saat itu memesan pakaian yang warnanya senada dengan gaun ini, Deon menghela napas dan kembali duduk di kursi kebesarannya.

"Terima kasih sudah mengingatkanku," Deon kembali menyambar berkas yang ia lupakan tadi.

"Siapa yang memesan?" Arga menyentuh gaun itu dan mengamatinya.

"Papah."

"Oh, Pak Radean? Sepertinya dia kesal karena kau hanya memesan pakaian untukmu saja."

"Saat itu aku memang berniat membeli untukku saja, dan untuk Kay nanti. Karena wanita itu masih belum menyetujui ajakan ku."

"Dia belum bilang setuju?"

Deon menggeleng pasrah, "Katanya dia takut. Apa keluarga ku se-menyeramkan itu?" Deon menatap Arga penuh tanya.

"Kalau di bilang iya, tentu saja iya. Aku saja takut."

"Ck! Yang benar saja."

"Itu memang benar. Keluargamu terlalu menyeramkan. Jika aku menjadi Kay pun, aku akan menolak ajakan pesta itu."

Deon terdiam mendengar penuturan temannya itu, Arga duduk pada sofa dan menatap keterdiaman Deon, "Kenapa?"

"Aku harus bicara lagi dengan Kay."

・⁠・⁠・

Tersisa tiga hari lagi hingga hari pesta diadakan. Kay masih menghindar dari Deon. Namun, saat ini pria itu tiba-tiba saja muncul di hadapannya.

Keduanya sedang berada di cafe dekat kantor, jam istirahat masih ada dua puluh menit lagi.

"Ada apa, Pak?"

"Bagaimana?"

Kay terdiam saat ia tahu tujuan pembicaraan ini. Kay menghela pelan, "Saya sudah mendapatkan izin dari Ayah. Bapak juga sudah diberi izin oleh Ayah saya, jadi tentu saja saya menerima ajakan Bapak."

"Syukurlah, kenapa kemarin kau ragu?"

"Bapak sudah pasti tahu alasannya."

"Terima kasih sudah menerima tawaranku. Nanti setelah jam pulang, datanglah dulu ke ruangan ku."

"Iya, Pak."

Setelah percakapan singkat itu, Deon pergi dari restoran dan Kay masih terdiam memikirkan keputusannya.

Apakah ia sudah mengambil keputusan yang tepat?

∘∘∘

Jam pulang kantor akhirnya tiba. Sesuai perintah Sang atasan, Kay mampir lebih dulu ke ruangan Deon. Ia bilang pada Vyca jika ia masih memiliki urusan dengan Deon, jadi sore itu Vyca pulang sendiri.

Seperti biasa, Kay akan bertanya lebih dulu pada Tiara, dan setelah Tiara bilang Deon ada di dalam, Kay langsung mengetuk pintu kaca hitam itu.

"Masuk."

Kay langsung mendorong pintu kaca dan terlihat Deon sedang berdiri di samping meja kerjanya, Deon berdiri membelakangi Kay yang melihat Deon dengan pandangan bingung.

"Ada apa Bapak menyuruh saya kemari?"

Deon langsung berbalik dan melihat Kay dengan kerutan alis yang tipis. "Kemarilah," Deon mengayunkan tangannya agar Kay mendekat padanya.

"Ada apa, Pak?"

"Bisakah kau melipat gaun ini? Aku tidak tahu cara melipat gaun."

Kay menghela pelan dan tersenyum, "Tentu bisa. Tapi, apakah saya boleh menyentuh gaun mahal ini?" Kay melirik pada gaun yang masih tergantung. Gaun itu terlihat sangat mahal, Kay takut jika ia menyentuh gaun itu barang seujung kuku.

"Tidak apa-apa. Gaun itu juga untukmu nantinya. Aku memberikannya untukmu."

Kay yang masih meneliti gaun langsung melotot terkejut menatap Deon setelah mendengar ucapan tak terbantah itu. "Untuk saya?"

Deon mengangguk sekali, ia berjalan ke arah kursinya dengan santai, "Tolong lipat itu, dan bawakan padaku." kata Deon tanpa melihat reaksi Kay, ia kembali fokus pada pekerjaannya.

Kay terdiam melihat Deon kembali bekerja. Ini 'kan sudah jam pulang kerja? Kenapa Deon masih saja bekerja di jam santai ini? Kay menggelengkan kepala, ia tersadar jika Deon tidak akan berhenti bekerja sampai pekerjaan itu terselesaikan.

"Baiklah. Saya meminta izin untuk menyentuh gaun mahal ini, Pak." kata Kay sebelum akhirnya menyentuh kain gaun yang begitu lembut.

"Sentuh lah, itu pun akan menjadi milikmu."

Kay dengan sangat hati-hati membawa gaun itu ke arah sofa, ia meletakkannya pada sofa dan Kay duduk di bawah. Ia meneliti gaun itu lebih dulu, dan mulai melipat gaun itu dengan hati-hati.

Deon melirik Kay dan tersenyum kecil melihat wanita itu yang sangat hati-hati saat menyentuh gaun. Deon kini dengan terang-terangan memperhatikan Kay, ia menopang dagunya dengan kedua tangan. Tangan kanan menggenggam pen khusus iPad karena ia sedang melihat proposal bawahannya.

Setelah Kay selesai melipat gaun itu hingga rapih, ia membawa gaun itu ke arah meja Deon. "Sudah saya lipat, Pak."

Deon melihat Kay berdiri di depan mejanya dengan gaun yang ada di kedua tangan Kay. Kay memegang gaun itu seperti sedang memegang bendera. Deon tertawa kecil kemudian menunduk untuk mengambil kotak yang kemarin ia letakkan di kolong mejanya. "Letakkan di sini." Deon menaruh kotak itu di mejanya.

"Baik, Pak." Kay kembali meletakkan gaun itu dengan sangat hati-hati.

"Tunggu aku sebentar lagi, aku akan menyelesaikan ini lebih dulu. Kau duduk saja di sofa." Deon menutup kotak itu dan kembali meletakkan kotak gaun itu di kolong meja, lalu kemudian menunjukkan iPad pada Kay.

"Bapak berniat mengantar saya pulang?" tanya Kay bingung.

"Tentu saja, tidak mungkin aku menyuruhmu untuk pulang sendiri."

"Tidak perlu, Pak. Biar saya naik taksi saja."

"Kay, pulanglah bersamaku. Aku membawa mobil sendiri hari ini." Deon menatap Kay dengan memohon, tidak lama kemudian ia menunduk untuk kembali melihat iPadnya.

"Baiklah," Kay mundur satu langkah dan berbalik menuju sofa. Ia duduk sambil melihat-lihat isi ruangan Deon.

Ruangan itu sangat harum, Kay sangat menyukai harum ruangan Deon. Rak buku yang tersusun rapih, jendela besar yang kini ada di belakang tubuhnya menampilkan gedung-gedung tinggi, tiga sofa panjang berbentuk liter U, meja bundar kaca berwarna hitam satu paket dengan sofanya yang hitam. Kay melirik meja kerja Deon yang besar, di balik tubuh laki-laki itu terdapat lukisan ber-kanvas putih. Hanya kanvas itulah yang berwarna putih di ruangan ini, sisanya hitam.

"Ayo kita pulang."

Kay melihat Deon sudah bangkit dari duduknya dan tengah mengenakan jas hitam. Kay pun ikutan bangkit dari duduknya dan menunggu Deon sampai dekat dengannya. "Iya, Pak."

Saat Deon akan membuka pintu kaca ruangannya, seorang wanita cantik berambut pendek juga ingin menyentuh pintu kaca itu dari luar ruangan. Namun, pintu sudah terbuka lebih dulu dari dalam. Wanita itu terkejut dan tiba-tiba menjadi canggung.

"Hai ... Deon."

✧Bersambung✧

Ilustrasi ruangan Direktur Radeon Brimantyo.

Naputy.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

1.2M 48.3K 53
Being a single dad is difficult. Being a Formula 1 driver is also tricky. Charles Leclerc is living both situations and it's hard, especially since h...
2.3M 119K 65
↳ ❝ [ INSANITY ] ❞ ━ yandere alastor x fem! reader ┕ 𝐈𝐧 𝐰𝐡𝐢𝐜𝐡, (y/n) dies and for some strange reason, reincarnates as a ...
Fake Love Da :)

Fanfiction

137K 3.2K 46
When your PR team tells you that we have to date a girl on the UCONN women basketball team and you can't say no to it... At first you don't think too...