Kosan 210

By diaaprilia_

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... More

Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
07 | Siapa, tuh?
08 | Mantai, Gas Ngeng.
09 | Kok Bisa?
10 | Waduh
11 | Perempuan Berbaju Putih
12 | Sakit
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
15 | The Memories
16 | Hidup Kadang Kidding

01 | Keputusan Yang Tepat

382 13 0
By diaaprilia_

Aku tergerak mencari jawaban

Aku berjalan mencari alasan

Langit yang membiru

Hangat matahari berbisik padaku

Tolong beri kami waktu

Kunto Aji ft. Nadin Amizah, selaras.

***

Siapa pun yang mengalami hari-hari beratnya pasti akan melakukan apa saja untuk menenangkan diri. Entah memesan makanan favorit, menghabiskan seharian penuh di kamar dengan menonton serial kesukaan, atau pergi keluar tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Netra hitam itu mengamati lalu lalang yang lewat. Burger dan kentangnya sudah tandas dia habiskan bermenit-menit lalu. Menyisakan soda yang hampir habis dan tulang dari ayam goreng spicy yang dia pesan.

Pandangannya memang tampak sedang memperhatikan kendaraan yang lewat di jalan raya, namun hati dan pikirannya sedang bergelut hebat untuk membuat sebuah keputusan.

"Cari kos di sana gampang-gampang susah. Apalagi kamu bukan orang asli sana, ngekos juga cocok-cocokkan."

Lagi, yang terngiang-ngiang di dalam kepalanya adalah suara Ibunya. Hal itu yang masih dia pikirkan baik-baik. Apakah keputusannya untuk memilih tinggal sendiri sudah sepenuhnya benar? Dia sendiri pun masih ragu.

Tapi, senyaman-nyamannya tinggal dengan sanak saudara tentu ada beberapa yang bikin sungkan dan enggan berlama-lama buat numpang hidup di sana. Hal itu yang membuatnya menjadi termenung akhir-akhir ini.

Ingin pulang ke rumah rasanya bukan sebuah pilihan tepat. Gadis itu merasa enggan meninggalkan Jogja meski hanya beberapa hari. Padahal dirinya pun bukan asli kota ini hanya kebetulan Tantenya menikah dengan orang asli Jogja. Menjadi alasan kenapa dia bisa berada di kota ini sekarang.

Bermenit-menit berlalu dengan ponsel yang masih bergetar karena pesan masuk. Gadis itu mendengus saat melihat pop up pesan yang masuk. Berusaha mengabaikannya karena energi untuk membuka semua pesan itu hilang. Untuk saat ini, dia membiarkan dirinya tenang tanpa gangguan siapa pun.

"Ibu mau masuk nggak? Biar sekalian pilih menunya apa."

Suara yang terdengar tidak jauh dari tempat dia duduk membuat perhatiannya teralihkan.

"Nggak usah, Mas. Ibu tunggu luar aja, ya? Itu antre banget e di dalem, Ibu duduk di sini aja." balas seorang Ibu paruh baya itu. Wajahnya cantik meski sudah termakan usia.

"Beneran, Bu? Saya pesankan sama kayak anak-anak yang lain, ya?"

Ibu itu mengangguk. "Iya, wes ndak papa. Sana kamu masuk sebelum antreannya makin panjang."

Cowok jangkung yang bersamanya tadi melenggang masuk ke dalam tempat makanan siap saji itu. Menyisakan si Ibu di luar yang seakan takdir lalu menghampiri gadis yang sedari tadi diam-diam mendengarkan percakapan keduanya.

"Permisi e, Mbak. Boleh numpang duduk sebentar?" Ibu itu bertanya halus. Senyumnya ramah sekali.

Gadis itu mengangguk sopan. "Nggih, Bu. Boleh, silakan duduk. Maaf berantakan, baru selesai makan soalnya." Dia berdiri sambil mempersilakkan Ibu tersebut duduk di hadapannya.

"Ibu nggak biasa datang ke tempat kayak gini."

Gadis di hadapannya tersenyum rikuh. Bingung untuk membalas apa, tapi dalam hati agak sedikit julid.

Gaya banget nggak biasa dateng ke tempat beginian.

"Ini makanannya orang luar negeri, ya. Ibu ke sini karena kepingin lihat langsung tempat makannya kayak gimana. Yang tadi sama Ibu, itu anak yang mengontrak di rumah Ibu."

Oh, nggak jadi. Ternyata emang bersahaja orangnya.

Seakan takdir, gadis itu langsung melihat ke arah Ibu tersebut. Rasanya pilihannya sudah tepat.

"Ibu buka kos-kosan?"

Si Ibu mengangguk. "Saya punya rumah kontrak. Ada dua, kebetulan sudah terisi semuanya. Yang satu isinya mas yang tadi sama teman-temannya yang satu lagi khusus perempuan."

"Apa masih ada kamar kosongnya, Bu?" Gadis itu bertanya langsung, siapa tahu kesempatan masih ada untuknya.

"Masih. Masih ada satu kamar. Mbaknya sedang cari kos-kosan po?"

"Nggih, Bu. Dari semingguan yang lalu tapi belum nemu yang cocok. Masih nyari sampe hari ini." Pada akhirnya gadis itu mengatakan uneg-unegnya.

"Oh iya, boleh coba dilihat-lihat dulu ke tempat saya, Mbak. Semoga cocok dengan yang Mbak cari."

"Ibu, saya minta nomornya Ibu boleh? Buat tanya-tanya nanti."

"Boleh, Mbak."

Gadis itu mengeluarkan ponselnya lalu mengetik nomor telepon yang disebutkan si Ibu. Selang beberapa saat si cowok jangkung tersebut keluar dengan tangan kanan yang menenteng tottebag penuh berisi pesanan sementara tangan kirinya merogoh saku hoodienya untuk mengambil kunci motor.

"Kalo ada yang mau ditanyakan jangan sungkan ya, Mbak. Semoga saya bisa bantu nanti."

Gadis tersebut tersenyum sumringah. Rasanya ingin mengucapkan banyak terima kasih, semoga saja sisa kamar itu menjadi miliknya. "Makasih ya, Bu. Saya seneng banget kebetulan bisa ketemu Ibu di sini."

Cowok jangkung itu hanya memperhatikan keduanya. Enggan merespon karena sedikit bingung.

"Nama mbak siapa?"

"Athalia, Bu. Bisa dipanggil Lia aja."

Ibu itu mengangguk lalu berpamitan karena cowok jangkung di sebelahnya sudah menunggu.

Gadis bernama Athalia itu memperhatikan bagaimana motor yang ditumpangi si Ibu melenggang pergi meninggalkan area tempat makan siap saji tersebut. Menyatu dengan jalanan sore yang cukup ramai.

Senyumnya mengembang sampai ke netranya yang ikut tersenyum. Dia berdiri, membereskan bekas makannya lalu bergegas untuk pulang dengan pundak yang ringan. Semoga bebannya berkurang pada hari-hari yang akan datang.

Percayalah, Athalia berat untuk meninggalkan kota yang sarat budaya ini. Karena baginya, Jogja adalah rumah keduanya.

***

"Bigmac gue mana, ya?" Cowok bermata sipit yang memiliki pandangan tajam itu tengah mencari pesanannya.

"Ketuker nggak? Coba dibukain aja satu-satu." Temannya menyahut setelah memarkirkan motornya.

Sore ini suasana rumah kembali ramai. Beberapa yang sudah sejak pagi di kampus akhirnya pulang semua. Kondisi perut lapar membuat semua orang ingin segera makan dengan buru-buru. Maka tak heran bila tak teliti dengan titipan masing-masing.

"Pal, titipan urang dibeli teu?" Cowok berlogat Sunda itu ikut menimbrung dengan kondisi handuk membalut separuh tubuhnya.

"Dibeli. Pake baju dulu, Ris. Aurat lo ke mana-mana itu!" Naufal menyahut. Sebenarnya sebal bila harus dipanggil jadi 'Nopal' tapi ya mau gimana lagi? Temannya itu asli Sunda. Bicara ada huruf F-nya saja malah dipleset jadi huruf P.

Cowok bernama Farris itu terkekeh. "Bae, weh. Barudak lalaki hungkul kabeh di dieu mah. Mun aya si Chika datang karek urang make baju."

"Gue telpon cewek gue kalo gitu biar lo langsung pake baju, gimana?" Cowok yang paling mungil dari semua penghuni kosan itu menyeletuk, tangannya bersiap melakukan panggilan telepon.

"Ih, teu asik si Depan mah. Ngageroana pawang." Farris merengut kemudian cowok itu berjalan ke kamarnya dan kembali dengan kaos hitam polos lengkap dengan celana boxer belelnya.

Burger dan kawan-kawannya sudah berada di tangan mereka masing-masing. Tidak perlu waktu lama, semua makanan yang dipesan sudah tandas masuk ke dalam perut mereka semua.

Tinggal Devan yang masih asik dengan kentang goreng di tangannya.

"Teu wareg ieu mah. Mening meuli penyetan Mas Kobis. Aya nu rek nitip moal?" Farris bangun dari duduknya, perut besarnya tentu tidak kenyang kalau belum ketemu nasi.

"Buset, kagak ada kenyangnya banget lo. Gue aja udah begah ini abis satu bigmac." Jazmi geleng-geleng kepala melihat kelakuan Farris.

"Nya, atuh burger sakieu mah kumaha arek wareg, Mi? Mun aya sangu kareg wareg." tepat setelah mengatakan hal itu, Farris bersendawa. "Alhamdulillah."

"Yeee, itu lo udah kenyang, anjir." Devan berdecak sebal setelah mendengar Farris bersendawa.

"Lain ieu mah lain wareg. Soda dari koka kola ieu teh."

Jazmi jadi yang paling ngakak saat mendengar Farris mengelak. "Anjir, nggak mau ngaku segala."

"Jangan rakus, Ris. Penyetan mas Kobis bisa ntar malem, lah. Abis mabar kita makan di sono." Naufal mengingatkan Farris agar cowok itu menjeda jam makannya.

"Lah, naha eweuh nu ngadukung urang dahar penyetan?" Farris kembali duduk di sebelah Devan yang mendapatkan plototan tajam dari cowok itu. Niatnya dia urungkan sebab tak ada satu pun kawannya yang hendak menitip penyetan.

Lagipula siapa juga yang masih ingin menambah nasi padahal baru saja menghabiskan satu burger jumbo dengan kentang goreng? Ya, Farris saja tentunya. Anak kosan lainnya sudah kenyang. Beda dengan perut Farris.

Burger sudah habis pun, dia masih mencari nasi untuk mengenyangkan perutnya.

***

Aldo jadi yang terakhir sampai di kosan sebab harus mengurus keorganisasian yang dia ikuti di kampus dan baru saja selesai pukul tiga sore tadi, cowok Manado itu terkejut saat melihat meja di ruang tengah penuh dengan bungkus bekas burger berlogo M bertumpuk.

Anjir, jorok banget kagak dibersihin dulu.

Dirinya berpapasan dengan Naufal yang membawa kantung plastik hitam.

"Pesenan lo di meja makan ya, Do." Naufal menyahut sambil mulai membersihkan meja yang berantakan itu.

"Bekas makan lo? Banyak amat, gue pikir bekasnya si Paris?" Aldo bertanya sambil memperhatikan Naufal yang tengah membereskan sampah.

"Enggak. Punya anak-anak ini mah. Langsung pada tepar, gue niatnya mau tidur tapi nggak enak kalo belom ngebersihin."

Aldo terkekeh mendengarnya. "Salut dah, gue. Yang paling rajin emang lo doang. Tapi, kadang si Devan nih, yang paling bawel liat beginian. Mana anaknya?"

"Jemput si Chika katanya." Naufal mengikat plastik hitam yang penuh dengan bungkus makanan itu. "Bucinnya tingkat dewa, padahal tau endingnya nggak bakal sama-sama."

Lagi-lagi Aldo tergelak. Apa yang Naufal katakan memang benar adanya. Devan dan Chika itu berbeda dari banyak sisi. Mau sampai mana pun keduanya, tetap saja di akhir nggak bakal bisa sama-sama. Ada batas yang nggak bisa diterobos begitu saja.

Keduanya memang terlihat jadi pasangan yang paling bucin di antara semua anak kosan. Terlihat saling mengerti dan melengkapi. Pun keduanya sangat jarang bertengkar.

Tapi, mau sekeras apa pun ya, susah untuk menyatukan Devan yang rajin Jumatan dengan Chika yang nggak pernah absen ibadah Minggu. Belum lagi restu dari keluarga pasti bakal lebih susah untuk keduanya.

"Nanti juga nyesel, Fal. Belum aja. Kan masih anget-anget tai ayam. Kalo udah kering bakal milih jalan masing-masing."

Naufal cuma tersenyum tipis. Dalam hati agak menyayangkan, sih. Dia paling nggak suka lihat teman-teman dekatnya patah hati, tapi mau bagaimana lagi? Soal perasaan, itu di luar tanggung jawabnya.

"Tumben lo kagak langsung masuk kamar?" Naufal bertanya saat melihat Aldo yang tengah merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu.

"Nanti aja. Nemenin lo beres-beres dulu."

Naufal jadi ketawa dibuatnya. "Yailah, Do. Udah beres lagian ini, tinggal gue buang doang ke tempat sampah."

Aldo menaruh tangannya untuk menutup kedua matanya, badannya terasa remuk juga pikirannya yang berkecamuk. "Saking capeknya buat jalan ke kamar aja udah kayak nggak ada energi gue."

"Udah lo tidur aja di situ dulu."

"Heran gue, Fal. Udah semester 7 aja masih ada yang harus banget gue urus. Padahal ada anak lain. Kenapa malah gue yang tetep ditunjuk dah?"

"Kinerja lo bagus. Makanya masih dikasih tanggung jawab buat ngurus. Nikmatin aja. Ntar kalo lulus kangen lo bisa sesibuk ini."

Naufal mengerti sekali apa yang Aldo pegang saat ini selain keimanan. Iya, Aldo masih jadi pengurus inti di organisasi yang dia ikuti. Belum lagi skripsi yang perlahan sudah mulai disusun tentu semakin menambah beban pikiran.

"Iya, sih. Gue coba nunjuk anak lain buat nge-back up malah kacau. Nggak mau gue marahin anak orang, tapi asli anaknya minta banget gue marah-marahin." Aldo bercerita dengan suara lelah. Mau marah tapi energinya benar-benar sudah habis untuk hari ini.

"Anaknya pingsan kagak lo marah-marahin?" Naufal teringat waktu Aldo menjabat sebagai komdis acara ospek mahasiswa baru setahun yang lalu.

Alasannya karena si anak baru ini telat. Aldo melayangkan death glare ke arah anak tersebut sembari memberitahu kalau telat dalam acara penting itu termasuk tindakan tidak bertanggung jawab. Cowok itu terpaksa menaikkan sedikit nada bicaranya ketika menegur karena itu bagian dari tugasnya.

Tanpa disadari, wajah anak itu sudah pucat pasi yang berujung pingsan saat Aldo belum selesai bicara. Dari situ terkenal lah Aldo sebagai kating galak. Ditambah pula Aldo ini orang Sulawesi, makin-makin adik tingkat nggak ada yang berani sama dia.

"Nggak. Nggak sampe pingsan kayak waktu itu gue jabat komdis. Lagian dia pingsan paling karena telat sarapan."

"Iya, ketambah lo marahin dia karena telat. Udahlah akhirnya itu anak pingsan."

Agaknya Aldo masih merasa bersalah meski kejadian tersebut sudah berlalu. Tapi Aldo sudah menemui anak yang pingsan itu, kok. Dirinya meminta maaf dengan tulus, dia takut adik tingkatnya itu menyimpan dendam kesumat kepadanya.

"Udah minta maaf gue, Fal. Rada nggak enak emang waktu itu. Bersalah banget jadinya gue."

"Besok dikurang-kurangin galaknya."

"Mana ada gue galak? Logat gue aja ini kedengeran galak."

Hadeh, ngeles lagi aja ini anak.

***

Malam menyambut Lia ketika dia sampai di rumah Tantenya. Memang tadi tidak langsung pulang ke rumah. Selepas makan tadi sore, Lia melipir sebentar ke Gramedia di Jl. Sudirman untuk membeli salah satu novel dari penulis favoritnya.

Kondisi rumah terlihat sepi——ralat, memang lebih sering sepi karena seisi rumah adalah orang sibuk—— jadi Lia memutuskan untuk langsung masuk ke kamar, membersihkan wajah dan berniat untuk rebahan sebentar.

Sejak pertemuannya tadi dengan seorang Ibu-ibu paruh baya semakin menguatkan niatnya untuk mengekos dibanding tetap numpang tinggal di rumah Tantenya ini.

"Tha, udah pulang?" Terdengar suara Tantenya memanggil dari balik pintu kamar.

Lia langsung berdiri dan membuka pintu kamarnya. "Eh, iya. Udah, Tan. Beberapa menit yang lalu."

"Kamu udah makan belum?"

Lia mengangguk pelan. "Tadi pas sore udah, Tan. Ini masih agak kenyang."

"Tante mau minta tolong beliin nasi goreng, ya? Buat Tante sama Om aja. Kayaknya Mas juga udah makan di luar. Lagi pergi tadi sama temen kampusnya."

Mau mengeluh tapi Lia sadar kalau di sini dia cuma numpang tinggal. Kalau di rumah sih, mana pernah Lia disuruh pergi membeli ini itu keluar. Karena tentu yang disuruh pasti adiknya bukan dia.

Tapi selama tinggal di rumah Tante maka dia yang akan menjadi tumbal untuk disuruh-suruh. Tantenya punya anak, kok. Dua dan itu laki-laki semua. Terpaksa apa-apa jadi Lia yang harus disuruh.

"Oh, iya, Tan. Mau nasgor yang mana?"

"Beli di abad 21 aja. Punyanya Om nggak pedes, ya."

Begitulah, baru saja dirinya hendak merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk berakhir tidak jadi. Ada nasi goreng yang harus dibeli sekarang.

Dan di sinilah dia sekarang. Di pinggir jalan sambil menunggu pesanan nasi gorengnya matang.

Mengamati lalu lintas yang cukup ramai sebab ini adalah malam Minggu. Lia sudah membayangkan semacet apa lampu merah Tugu arah Malioboro.

Dalam hati sih, iri kepingin jalan-jalan sama pasangan kayak yang lainnya. Tapi Lia sadar diri, pacar saja nggak ada bagaimana mau pergi malam Mingguan berdua?

Melihat jalan raya yang ramai ternyata menyenangkan buat Lia. Iya, keramaian di Jogja itu tertib dan tidak berisik suara klakson yang bersahutan seperti di Bekasi. Jadi wajar kalau Lia suka melihat kemacetan di sini. Malah jadi membuat Lia membayangkan semisal dia benar-benar punya pasangan yang bisa diajak ke mana-mana, kayaknya akan seru.

Eh, lupa. Tantenya punya jam malam yang tidak bisa dilanggar.

Mengingatnya membuat Lia berdecak sebal. Syukurnya dia pakai masker, jadi orang di sekitarnya tidak perlu tahu kalau Lia baru saja memasang wajah malas dan juga sebal.

Sekali saja, Lia ingin hidup sendiri. Tanpa adik-adiknya, tanpa kedua orang tuanya, dan tanpa saudara-saudaranya. Rasanya ingin menjalani hari tanpa bertemu mereka semua. Benar-benar maunya bertemu dengan orang baru.

Menenangkan diri bisa dengan banyak cara. Dan Athalia hanya ingin hal itu bisa dia dapatkan untuk sekarang. Memulai langkah baru dengan orang baru terdengar lebih baik baginya saat ini.

Doanya pada Tuhan untuk tahun ini adalah semoga hal-hal baik berpihak padanya.

***

Setelah vakum dari 2019, akhirnya seorang April memberanikan diri lagi untuk kembali menulis. Tentu dengan cerita yang lebih matang untuk dibawakan.

Seperti Athalia yang berdoa untuk tahun ini, aku juga sama. Berharap tahun ini hal-hal baik datang buatku dan kita semua.

Kenapa latarnya Jogja, ya? Iya, ya kenapa Jogja? Wkwkwk.

Aku bosen kalo latarnya Jakarta. Jadi kuputuskan Jogja sebagai latar utamanya.

Juga karena aku pengen kuliah di Jogja tapi nggak kesampean wkwkwkwk sedih sekaliii.

Semua hanya fiktif, yaaa. Tolong digaris bawahi, ini hanya fiktiffff!

Untuk visual bakal aku pub di part selanjutnya. Tapi benar-benar nggak memaksa pembaca untuk setuju dengan visual yang aku bawa. Bebas kok mau ngegambarin siapa.

Yauda semoga semangat menulisku kembali di tahun ini, yaaa.

See you! ♥️

Bekasi, 14 Februari 2023.

Continue Reading

You'll Also Like

4M 87K 62
โ€ข[COMPLETED]โ€ข Book-1 of Costello series. Valentina is a free spirited bubbly girl who can sometimes be very annoyingly kind and sometimes just.. anno...
638K 56.1K 35
๐™๐™ช๐™ฃ๐™š ๐™ ๐™ฎ๐™– ๐™ ๐™–๐™ง ๐™™๐™–๐™ก๐™– , ๐™ˆ๐™–๐™ง ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž ๐™ข๐™ž๐™ฉ ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž ๐™ƒ๐™ค ๐™œ๐™–๐™ฎ๐™ž ๐™ข๐™–๐™ž...... โ™ก ๐™๐™€๐™๐™„ ๐˜ฟ๐™€๐™€๐™’๐˜ผ๐™‰๐™„ โ™ก Shashwat Rajva...
61.1K 1.5K 27
"CONGRATULATIONS Ms KIM!...U R PREGNANT!" P-pregnant????? . Wow nice one kim y/n! congrats on being fired from ur job, getting pregnant by ur enemy...
36.9K 1.5K 24
inspired by traitor - olivia rodrigo with a little bit of twist. โ†ชlowercase intended โ†ชthe ch gets longer further into the story [ like super long ] (...