STRUGGLE

By IM_Vha

24.3K 1.3K 150

[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pu... More

Prolog
1. Kesalahan
2. Rasa Aman
3. Perbandingan
4. Just Wanna Sleep
5. Mama
6. Mabuk
7. Sebuah Alasan
8. Rindu
9. Not Okay
11. Liburan
12. Liburan (2)
13. Sebuah Apresiasi
14 ; Si Akar Masalah
15. Keduanya Terluka
16. Seorang Teman

10. Katanya, Rumah Tempat Ternyaman

599 70 8
By IM_Vha

Mentari bahkan belum setinggi tombak ketika benda berbahan dasar kaca itu beradu dengan dinginnya lantai. Gema nyaring yang dihasilkan sukses membuat penghuni rumah besar itu kini berkumpul di satu titik. Yaitu, dapur.

"Astaghfirullah, Den! Jangan!" pekik wanita paruh baya yang kini memegangi tangan sang tuan muda.

Meski kalah dalam tenaga, tetapi wanita itu enggan melepas genggamannya. Sembari berteriak heboh, dia berusaha menarik pemuda berambut cokelat itu untuk mundur hingga menciptakan jarak aman dari jangkauan.

"G–gue bener-bener nggak sengaja, Bang, sumpah."

Melihat sang kakak yang masih bersikeras untuk melayangkan bogem padanya, Rei beringsut menuju pintu keluar. Berpikir jika dengan menjauh maka emosi Theo akan mereda, tetapi cowok itu justru dengan mudah menepis genggaman Bi Salma dan berjalan gusar ke arahnya.

"Nggak sengaja?" Pemuda itu menyingkap lengan kemejanya hingga setinggi siku.

"Luka sebesar ini lo bilang nggak sengaja? Apa perlu harus kebakar satu badan supaya bisa disebut sengaja?" tanyanya penuh luapan emosi.

Ruam merah menyelimuti lengan kiri Theo, dan rasa sakitnya semakin menjadi ketika cowok itu menarik kain yang menutupinya. Ini semua terjadi karena Rei yang tak sengaja menyenggol Theo ketika ia tengah menuangkan air panas ke dalam gelas yang pemuda itu pegang. Karena terkejut dan tak bisa merespons dengan cepat, air itu tumpah mengenai lengannya.

"What's wrong with you, Man? Gue udah berusaha nggak berurusan sama lo, tapi selalu aja ada hal yang bikin gue harus hajar lo," geram Theo.

Cowok itu mengambil langkah lebar hingga berhasil memangkas jarak antara dirinya dan yang lebih muda. Kemudian dengan satu tangan ia mencengkram kerah kaus Rei, dan menggunakan satu tangan lainnya untuk melayangkan pukulan ke wajahnya. Sekuat tenaga hingga Rei terjungkal dan kepalanya nyaris membentur meja.

Beruntung kedatangan Samuel berhasil mencegahnya, pria itu berhasil menangkap lengan Rei sehingga anak itu tak terluka lebih parah. Kedatangannya membuat seisi dapur tercekat, terutama Theo. Ia tak menyangka sang ayah akan mendengar keributan ini dari ruang kerjanya.

"Matheo!" bentak Samuel yang sukses membuat si pemilik nama tersentak.

"Apa kamu mulai kehilangan akal? Do you want to kill your brother? You wanna kill him?" tanyanya sembari menarik Rei menjauh.

Jika itu orang lain, Theo pasti sudah menjawab 'iya' dengan lantang. Karena kebenciannya pada Rei sudah sejauh itu. Namun, ketika dia berhadapan dengan Samuel, nyalinya menciut. Seolah otaknya telah diprogramkan untuk takut pada pria yang berstatus ayah ini. Bahkan meski beberapa kali berani membangkang, pada akhirnya Theo tetap kalah jika berhadapan dengan Samuel.

"He start it first," sahutnya dengan suara memelan. Melihat kilat marah di mata Samuel berhasil mengikis habis keberaniannya.

"Hal apa yang membuat kamu sampai tega pukul Rei? He's your brother, and you're the older one. Kenapa kamu tidak bisa bersikap lebih dewasa selayaknya kakak? Mau sampai kapan kamu bertingkah seperti sampah?" timpal Samuel yang tak bisa menerima alasan Theo begitu saja.

Tangan Theo terkepal erat begitu kalimat itu terlontar dari bibir Samuel. Selalu saja seperti ini, alih-alih diberi kesempatan untuk menjelaskan, dia selalu dipaksa untuk menjadi yang bersalah. Tak peduli dengan alasan di balik perbuatannya, Samuel tak pernah mau mendengar.

Remaja itu memandang sekilas sosok Rei yang berdiri bungkam di samping sang ayah kemudian berdecak cukup keras.

"Oke, aku salah dan aku minta maaf. Puas?" pungkas Theo lantas melangkah melewati dua orang yang masih bergeming di tempatnya.

"Theo! Papa belum selesai bicara."

Panggilan Samuel sama sekali tak digubrisnya. Ketika pria itu berbalik untuk mengejar Theo yang kurang ajar, saat itu pula Rei mencegah.

"Udah, Pa. Jangan marah sama Abang. Emang aku yang salah karena aku numpahin isi gelas yang Abang pegang," cegah cowok itu yang sukses membuat langkah Samuel terhenti seketika.

"Numpahin isi gelas?" Pria itu mengulang ucapan si bungsu lantas mengernyit.

Melihat sang ayah yang sedikit bingung membuat Rei menghela napas. Dibantu dengan Bi Salma, bocah itu akhirnya menjelaskan sebab dari kemarahan Theo pagi ini. Hingga akhirnya Samuel pun mulai menyadari kekeliruannya. Namun, meski begitu, pria itu masih belum menyadari jika luka yang ia torehkan lebih besar dibanding siraman air panas yang akan hilang dalam hitungan hari.

🍬🍬🍬

"Jangan keseringan melamum, Den." Sosok paruh baya itu meletakkan sebuah nampan berisi jus jeruk serta sepiring biskuit ke atas meja.

"Eh, Bi. Aku nggak ngelamun, kok. Cuma lihatin kolam aja," sahut sosok yang sebenarnya terkejut karena tak menyadari kedatangan wanita itu.

"Duduk aja, Bi. Itung-itung temenin aku di sini," lanjutnya sembari menunjuk bangku kosong di seberang mejanya.

Wanita itu menurut, mengambil tempat duduk di bangku yang Rei maksud kemudian mengedarkan pandangan ke birunya air kolam. Dari sudut matanya, Rei dapat melihat kilas kekhawatiran yang terpancar dari wajah wanita yang sudah enam tahun ia kenal. Dan ia jelas tahu, siapakah yang wanita ini khawatirkan.

"Abang masih belum mau keluar kamar, ya, Bi?" tanyanya kemudian.

Wanita itu mengangguk. "Iya, tapi tenang aja, Den. Tadi Bibi udah bilang supaya lukanya dirawat, Den Theo pasti udah lakuin yang Bibi bilang," sahutnya.

Ah, benar juga.

Rei terlalu sering abai dengan keberadaan wanita ini. Sampai-sampai ia lupa, bahwa meski posisinya adalah orang luar, tetapi Theo menghormatinya lebih dari siapa pun di rumah ini. Dan wanita ini pula yang bisa meluluhkan hati remaja itu hanya dengan kalimatnya.

"Justru yang bikin Bibi khawatir itu Aden," celetuk wanita itu usai terjadi jeda yang cukup lama.

Rei menaikkan sebelah alisnya. "Lah, kenapa aku?"

"Karena nggak seperti Den Theo yang bisa selalu jujur sama yang dia rasakan, Den Rei justru selalu bersikap seolah semua baik dan lancar-lancar aja. Padahal saya yang hanya pembantu ini tahu, ada di posisi Aden itu tidak mudah," papar Bi Salma.

Manik teduh wanita itu menatap anak di depannya dengan sedikit haru. Satu hal yang Rei tahu, bahwa sosok ini ternyata khawatir padanya. Dan dia membiarkan Bi Salma melanjutkan kalimat yang ingin wanita itu lontarkan.

"Saya akui, sebagai salah satu orang yang sudah merawat Den Theo sejak anak itu masih bayi merah, sudah terjadi banyak perubahan. Apalagi setelah Nyonya meninggal, dan ...." Wanita itu sedikit ragu untuk mengucap kata selanjutnya.

Namun, dengan sedikit lirih ia berujar, "Sejak Bapak menikah lagi, sifat Den Theo semakin nggak terkendali. Rasanya ... sosok Den Theo yang dulu sudah sepenuhnya hilang. Apalagi setelah kejadian itu, dia benar-benar berubah."

Ucapan Bi Salma seratus persen benar. Saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, Theo memang sangat membencinya. Butuh waktu cukup lama sampai bocah itu tak lagi melempari Rei dengan bermacam benda setiap kali mereka bertatap muka. Namun, peristiwa 'itu' membuat mereka pernah dekat. Setidaknya, hingga Theo dibuat lupa dan kembali ke semula, saat di mana Rei menjadi orang yang paling dibenci.

"Di sini Bibi nggak bermaksud untuk menyalahkan satu atau dua pihak. Toh, apalah Bibi ini, cuma orang rendah yang bekerja demi bertahan hidup." Bi Salma menghela napas kemudian menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum tipis nan tulus.

"Harapan Bibi sederhana, semoga masalah cepat selesai. Semoga hubungan antara Tuan, Nyonya, Aden, dan Den Theo lekas membaik. Setidaknya sebelum Bibi mati, Bibi bisa lihat keluarga yang sudah seperti keluarga sendiri ini menemukan kebahagiaan," lanjutnya menatap Rei dengan mata teduh.

"Astaga, Bi Salma jangan bilang gitu, dong. Bukannya terhibur, aku jadi sedih, nih. Apalagi Bang Theo, kalo denger Bibi ngomong gini, dia pasti marah banget," timpal Rei diiringi kekehan. Berusaha mengubah suasana yang mulai suram akibat topik pembicaraan yang mereka ambil.

Wanita paruh baya itu pun ikut terkekeh. "Bibi cuma bilang yang sebenarnya, Den. Bibi ini sudah tua, nggak selamanya Bibi bisa ada di samping Den Theo. Paling lama, dua tahun lagi Bibi bekerja di sini. Setelah itu, siapa lagi yang bisa jadi penyemangat Den Theo selain keluarganya sendiri?"

Ia berhenti sesaat untuk memberi waktu sang tuan muda memberi balasan atas untaian kalimatnya. Namun, selama itu juga Rei memilih setia dalam diam.

"Karena sejauh mana pun kita pergi, pada akhirnya keluarga adalah tempat ternyaman untuk pulang," lanjut Bi Salma setelah sekian lama tak kunjung mendapat balasan dari si lawan bicara.

Pernyataan itu sukses menarik atensi Rei sepenuhnya. Dari yang semula terdiam menatap tenangnya air kolam, remaja itu lantas mengalihkan pandangan ke sosok Bi Salma yang sedari tadi tak melepas pandangan darinya.

"Tempat ternyaman?" ulangnya pada kalimat yang terdengar jelas oleh rungunya.

Mendapati perubahan pada raut wajah Rei, Bi Salma sedikit tersentak. Wanita itu menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"M-maaf, Den. Sepertinya Bibi terlalu banyak bicara sampai kurang ajar. Bibi minta maaf, silakan makan kuenya, Bibi kembali ke dapur dulu sama bantu Nyonya siap-siap buat keberangkatan nanti sore," cicitnya buru-buru bangkit dan berjalan cepat meninggalkan sosok Rei yang masih menatap lekat padanya.

Tidak ... Rei tidak marah dengan ucapan Bi Salma. Semua orang bebas berpendapat, tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadap pendapatnya. Pro dan kontra dalam sebuah pendapat itu wajar, 'kan?

Namun, kali ini Rei tidak berada di posisi untuk setuju ataupun tidak dengan kalimat yang baru saja dia dengar. Justru ia bingung, bagaimana bisa tempat ternyaman untuk pulang adalah keluarga? Sedangkan tak sedikit orang memilih untuk meninggalkan keluarga untuk mencari kenyamanan.

-STRUGGLE-

Jangan lupa tinggalkan jejak dan follow IM_Vha 😗. Mampir ke Karyakarsa untuk baca bab lebih awal, yaaa.

Sekian dan bye~

Salam

Vha

Continue Reading

You'll Also Like

Blessure (End) By Anisaa

General Fiction

82.2K 8.3K 16
Sosok yang berselimutkan luka. Tatapannya yang polos bersanding dengan hatinya yang banyak menyimpan rasa sakit. Dia...sosok yang tidak di inginkan h...
33.2K 2.7K 11
Ares dan Zen, saudara kembar identik yang tidak memiliki kemiripan selain fisik mereka. Mereka tidak dekat dan saling gengsi. Hingga suatu hari Ares...
223K 18.3K 36
Ini tentang posisi yang selalu membuat orang lain iri. Yang katanya, posisi ini adalah impian semua orang, karena yang paling berpotensi untuk mendap...
24.4K 2K 11
Berisi kisah Gentala bersaudara๐Ÿ’ซ (Lebih fokus ke si bontot) ๐Ÿฃ๐Ÿ‘๐Ÿถ๐ŸŒป No.1 rank #Zihao - 19 Maret 2023 No.1 rank #Wangzihao - 6 Mei 2023 No.1 rank #J...