Lampau

By tripeLLLe

310 21 6

Prompt 6: Taylor Swift - New Year's Day Tahun baru itu, waktu yang diidentikkan dengan orang-orang berlomba u... More

Purnakata

Halang Rintang

274 18 6
By tripeLLLe

Hari penuh laknat ini akhirnya akan segera terlewati juga. Andai saja bisa kuhapus satu hari ini dari kalender—tidak. Bagaimana bisa aku merenggut kebahagiaannya? Lihat dia tadi ... bercahaya, tertawa—ah, sudahlah Naya, sebentar lagi malam pun pasti bertukar posisi dengan pagi ... itu jugalah saatnya kita bakal pergi. Toh, sebagian besar sudut apartemen ini sudah selesai kubereskan.

Tanpa adanya ocehan muda mudi, atau irama piring dan gelas beradu, atau genangan hujan konfeti, atau dentuman musik romantis, ruangan ini justru meneriakkan kebisingan yang lebih memekakkan telinga. Sudah tidak banyak furnitur yang tersisa di sini, sejak aku kembali tinggal bersama Mama. Sebenarnya, suasana lengang sehabis riuhnya resepsi pernikahan sore tadi, mengingatkanku pada situasi serupa. Malam pergantian tahun terakhir saat kami masih bersama.

Waktu itu aku juga duduk sendirian di sofa, hanya berteman secercah cahaya lampu temaram ... persis seperti sekarang. Bedanya, kali ini tidak akan ada dia yang menyusul untuk menghabiskan malam berdua. Kalau kejadiannya sama, seharusnya detik ini akan terdengar antusiasme Rikko, menggunjingkan teman-teman yang baru saja dia antarkan ke lobi. Dia akan sengaja menyergap dan menjatuhkanku ke sofa, lalu merebahkan kepalanya ke pangkuanku.

"Delapan tahun lalu, ya ...." Kenangku, sambil berbisik kepada ruang hampa. Kalau ditambah dengan lamanya hubungan asmara kami, itu berarti sudah sekitar delapan belas tahun aku mengenal Rikko. Aku bisa ingat jelas hari pertama aku bertemu dia. Waktu itu bertepatan pula dengan hari pertamanya masuk sekolah. Dia murid pindahan dari Bekasi. Masih terdengar jelas suara Rikko yang terpingkal-pingkal, kala kutebak kalau kota asalnya itu terletak di luar Pulau Jawa. Pengetahuan geografisku saat itu memang hanya sebatas rumah, sekolah, dan supermarket dekat rumah. Aku cenderung acuh tak acuh pada dunia di luar zona nyamanku.

Tetapi, berkat itu aku jadi tidak butuh waktu lama untuk menjadi semakin akrab dengannya. Dua minggu masa pendekatan pun berlanjut hingga lebih dari sepuluh tahun ... sampai akhirnya kami memutuskan untuk rihat sebentar ... berujung belenggu delapan tahun untukku. Yang menyedihkan dari semua ini justru bukan waktu yang terbuang sia-sia, atau harapan yang mendadak pupus begitu saja. Tetapi kenaifanku, selama rentang lima tahun setelah kami memutuskan untuk mengambil jeda. Kalau saja aku cepat sadar.

"Iya ... terima kasih, Pak. Mari."

Cukup Naya! Kondisimu sekarang ini sudah tragis! Masih mau ditambah halusinasi pula?! Mana mungkin seorang pria yang sedang berbulan madu bisa tiba-tiba memilih untuk datang ke sini ... menemui mantan kekasihnya ... tengah malam begini ... berdua saja? Namun, seperti ingin segera mematahkan asumsiku, pintu utama apartemen ini benar-benar terbuka.

"Nay?"

"Rikko?!" Ternyata, suara yang kudengar barusan itu nyata. Ini semacam deja vu. Aku masih tidak menyangka dia ada di hadapanku saat ini. "Kamu ngapain di sini?!"

"Hehe ... kepikiran soalnya, Nay. Takut kamu beres-beres sendirian kayak biasanya."

"Astaga, Ko! Terus istrimu?"

"Waktu ditinggal tadi sih, bobok. Memang gampang capek dia."

Bukan ... sudah sewajarnya Joy tumbang setelah seharian ini jadi pengantin. Justru yang aneh itu ... kenapa kamu malah kemari? "Memangnya kamu nggak capek?"

"Dikit," jawabnya sambil lalu. Rikko tampak lebih bersemangat menuju ke pantri. Matanya jelalatan, tangannya pun sibuk mencari-cari sesuatu di sekitar meja bekas jamuan. "Minuman sisa pesta tadi udah dibuang semua, kah?" Belum sempat kujawab, dia lanjut bertanya, "Kalau camilan? Ada?"

"Bukannya kamu ke sini mau bantu bersih-bersih, ya?" sindirku.

"Yah, kan tugasku seperti biasa nemenin aja, Nay."

"Hmm, penekanan di seperti biasa, ya? Bagus. Mending pulang aja sana, Ko! Enakan juga sendiri di sini. Bisa sambil ngelamun—"

"Ngelamunin suami orang tuh dosa loh, Nay. Cuma ngingetin aja." Rikko menggodaku dengan melempar senyum congkak, seraya menaikturunkan kedua alis.

"Idih!" Aku berusaha keras mencari berbagai macam kalimat-kalimat balasan untuk menyanggah gurauannya, tetapi otakku seperti mengalami korsleting seketika. Mungkin karena yang dikatakan itu benar, makanya jadi sulit mengelak. Layaknya pecundang kalah perang, aku memilih untuk melarikan diri ke toilet. "Udah ah, ngomong sama orang aneh bikin sakit perut!"

"Cieee! Grogi, tuh! Salting, ya? Haha!"

"Apa sih?! Berisik!" Kubanting pintu sebagai pelampiasan kesal.

Bagaimana mungkin kami hanya berdua saja di sini? Aku harus segera keluar dari situasi yang terasa sungguh salah ini ... walaupun, diam-diam aku sedikit menikmatinya—jangan! Jangan terbuai masa lalu Naya! Dia itu ... sudah jadi suami orang.

Tiba-tiba Rikko mengetuk lembut pintu toilet.

"Kamu baik-baik aja kan, Nay?" Sayup-sayup kudengar suaranya dari balik pintu.

"Iya, cuma pipis, kok."

Dia tertawa kecil. "Bukan, bukan itu. Maksudku, setelah hari ini, kita bakal tetep baik-baik aja, kan? Meskipun, kamu katanya bakal pindah ke ujung dunia ...."

Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari mulutnya. Dia pasti sudah mendengar kabar kepindahanku ke Kanada tahun depan. Aku memang sengaja buru-buru menerima promosi jabatan dari kantor, setelah mendengar kabar pernikahan Rikko. Tadinya bahkan, kupikir akan lebih baik jika aku sama sekali tidak bisa hadir di acara resepsi mereka. Ternyata nasib berkata lain. Pengurusan pemindahanku memakan waktu lebih lama dari seharusnya. Maka di sinilah aku sekarang. Terjebak dalam toilet apartemen yang dahulu kami tempati bersama.

"Nanti aja deh, Ko! Nggak kedengeran!" Lagi-lagi aku mencoba menghindar.

"Oh, oke. Sori, sori. Ya udah, entar aja." Terdengar langkah Rikko menjauhi pintu.

Apa aku kabur saja? Pura-pura sakit? Jangan. Pura-pura dipanggil pulang? Hah! Mungkin lebih baik pura-pura gila saja sekalian! Aku benar-benar benci situasi begini. Apa yang sebenarnya dia harapkan dengan datang ke sini? Bohong kalau dia tidak menyangka hanya akan ada aku sendiri di sini. Atau justru itu yang dia inginkan? Tidak. Bukan itu. Dia pasti sadar kalau aku memendam sesuatu. Apa pun yang terjadi, malam ini harus kuhadapi. Malam ini, semuanya harus kami tuntaskan.

Setelah memantapkan diri, aku membuka pintu seinci demi seinci, berharap Rikko tidak menyadari pergerakanku.

"Udah lega?" Pertanyaannya menyambutku yang sedikit terperanjat. Dia sudah menungguku di sofa. Telapak tangannya tampak dua kali menepuk area kosong di sisi kiri, memberi arahan supaya aku segera duduk di sana. "Sini, Nay. Ngobrol."

Bagaikan ditantang, nyaliku kembali menciut. Sembari menunjuk asal-asalan ke arah balkon, aku membalas, "A-aku di sana aja." Melewatinya saja jantung ini serasa akan meledak. Aku sama sekali tidak berani membuang mata ke arahnya.

Tanpa basa-basi, dia meraih tanganku dengan halus. "Kita harus bicara, Nay." Kami pun bertukar pandang. Aku bisa melihat keseriusan di sorot matanya. Terakhir kali dia seperti ini, esok harinya aku berhasil dibuat sepakat untuk mengistirahatkan hubungan panjang kami. Kali ini, apa lagi yang ingin dia rampas dariku?

"O-oke," jawabku singkat. Aku mengambil posisi duduk tepat di bagian yang dia tunjuk. Bisa kurasakan pancaran hawa tubuhnya yang memang hampir bersentuhan denganku. Aroma alkohol dari minuman yang baru saja habis ditenggaknya pun samar tercium.

"Kamu beneran mau pindah sejauh itu?" tanya Rikko lugas.

Aku hanya membalas dengan anggukan.

"Bukan gara-gara aku, kan?"

Mendengar itu, tubuhku yang sejak tadi sengaja membelakanginya pun setengah berputar. Dengan tatapan tajam dan alis mengernyit, aku membentak dia, "Maksudnya?! Eh, nggak ya, Rikko! Nggak semuanya itu selalu tentang kamu!" Aku langsung mengentak lantai untuk segera beranjak dari sofa, tetapi lagi-lagi dia mencegahku.

"Tunggu dulu, jangan marah dulu, Nay. Denger dulu." Dia berusaha membujukku. "Maksudku, kalau memang itu impianmu, bagus. Tapi kalau cuma pelarian—"

"Kenapa aku harus lari?!" Sambil menepis tangannya, kali ini aku berhasil berdiri. Bagaikan hilang kendali atas emosiku, kini justru aku yang menantangnya. Dengan melipat kedua tanganku di depan dada, aku menunggu kalimat balasan dari Rikko.

"Aku tahu, aku salah. Harusnya dulu aku langsung terus terang aja, waktu aku ketemu Joy. Tapi niatku itu, cuma biar kita tetep baik-baik aja. Biar kita nggak berantem lagi. Aku nggak suka dieman sama kamu, Nay."

"Oh, terus biar kamu seneng, aku mending tahu dari orang lain, gitu? Mending aku, yang kayak orang tolol nggak tahu apa-apa? Kamu tahu nggak, sih ... konyolnya ... aku dengan ceria dan antusias, milih-milih perabotan, buat ngisi rumah yang aku pikir buat kita?!"

"Maaf ...."

"Udah, kamu udah minta maaf, kok. Coba cari kata-kata lain. Coba!"

"Aku pikir—"

"Kamu pikir, kamu pikir, kamu pikir aja terus! Kamu mikir nggak, rasanya jadi aku, bertahun-tahun dikasihani temen-temenmu?! Kamu mikir nggak gimana perasaanku, tahu kamu beli rumah itu dari orang lain, ngirain itu kejutan, terjebak euforia sesaat, terus hancur seketika?! Kamu mikir nggak, waktu beli rumah itu buat Joy?!  Kamu mikir nggak, pernah janji apa ke aku tentang rumah itu?!"

Rikko hanya diam menunduk. Dia pasti sadar, apa pun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan bisa meredam bara apiku.

"Aku salah ... aku lupa ...."

"Lupa?!"

"Tapi kan, bukan salahku kalau mereka kasihan sama kamu selama ini. Harusnya, kamu jangan kesenengan dulu waktu itu. Tadi juga di pesta, kamu diem aja di pojokan, lesu, gimana orang-orang fokusnya nggak teralih ke kamu."

Paham bukan rasanya saat rasa marah sudah terlalu memuncak? Ditambah lagi kedongkolan yang sudah tidak kuasa dibendung ... tangisku pun pecah. "Jadi, semuanya salahku gara-gara kegirangan sendiri, gitu? Coba inget-inget deh, kamu bilang, kalau kamu beli rumah itu—"

"Tandanya istirahat kita udah selesai. Tandanya, aku udah siap lanjutin hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Tandanya, aku siap wujudin mimpi kita sama-sama lagi."

"Terus, kalau aku seneng, salah? Menurutmu aku yang salah? Padahal, kamu yang lupa semuanya setelah ketemu Joy. Tapi kamu nggak salah, karena kamu lupa. Gitu, kan?" Aku tersimpuh di depannya. "Oke ... oke. Nggak apa-apa. Anggaplah, aku salah. Tapi, kenapa harus rumah itu sih, Ko?!"

"Aku juga nggak tahu, Nay! Ya, sori ... aku inget gimana jatuh cintanya kamu sama rumah itu. Mungkin, itu juga alasanku langsung ngerasa nyaman di sana. Memang, aku akui, cuma kamu yang selalu bisa bikin aku nyaman ...."

Mendengar itu, spontan aku tertawa pahit. Kuembuskan napas panjang sebelum mendongak untuk menatap wajah Rikko. "Kamu berharap aku jawab apa?"

"Aku cuma mau kita baik-baik aja."

"Kalau nggak baik, mana mungkin aku bantuin pesta kamu? Di bekas apartemen kita pula ... kamu sadar kan, ini dulu tempat kita? Yah, walaupun bentar lagi bakal kejual."

"Nah, itu. Batalin aja, ya? Kamu, apartemen ini, batalin semuanya."

"Kalau gitu, batalin pernikahanmu. Bisa?"

Rikko kembali terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjatuhkan kepala ke tadahan kedua telapak tangan. Suara yang keluar dari mulutnya setelah itu pun nyaris tak terdengar.

"Aku merasa utuh karena kalian semua ada di hidupku, Nay. Kamu, apartemen ini, kenangan kita ... Joy, rumah itu, masa depan kami ...."

Kucondongkan tubuh serta kudekatkan telinga kananku ke arahnya, berusaha untuk menyimak dan mencerna kata-kata Rikko dengan lebih saksama. Sepertinya aku salah dengar. Apa yang baru saja dia utarakan?

"Memangnya kamu rela, ninggalin ini semua? Ninggalin aku? Kamu itu sahabat terbaikku, Nay. Kamu itu saksi dari pencapaian-pencapaian impianku. Kamu yang paling kenal aku. Kesukaanku, kebiasaanku, bahkan suara langkah kakiku aja kamu hafal." Tiba-tiba dia berlutut. Seluruh jemarinya berpegang erat pada bahuku. "Aku pun sama. Aku selalu bisa nemuin kamu di mana pun. Kamu cuma bilang 'a' aja, aku bisa tahu itu suaramu. Kamu nggak ngomong aja, aku tahu kamu butuh apa, ngerasa apa ... jadi, aku minta, kamu pikir-pikir lagi, ya?"

Sahabat terbaik. Aku benar-benar dibuat tidak berdaya. Tidak habis pikir. Pandanganku pun semakin kabur, akibat air mata yang terus terbendung. "Kalau gitu, sekarang ini, menurutmu aku ngerasa apa?"

"Aku nggak tahu ... sejak kamu menjauh, aku ngerasa koneksi kita ikut melemah."

"Salahku lagi, ya?"

"Semuanya berjalan lancar-lancar aja selama ini. Kenapa harus dirusak sih, Nay?! Aku berhasil punya pacar pertama di umur tujuh belas, dan bertahan selama sepuluh tahun lebih. Aku berhasil buktiin kalau pacaran lama pun bisa putus baik-baik, bahkan mantanku bisa jadi sahabat. Sahabat yang juga rela bantuin aku, sampai akhirnya aku berhasil nikah sebelum umur tiga lima—"

"Jadi, aku cuma secuil bagian dari targetmu yang berhasil tercapai, ya? Atau jangan-jangan, malah mungkin, sekadar pijakan? Ah iya, makanya, gampang aja buat kamu ngelupain segalanya tentang aku."

"Kamu itu cinta pertamaku, Nay. Pacar pertama, ciuman pertama ... seks ... masih kurang? Kamu mau jadi istri pertama juga? Gitu? Tapi kamu inget kan, waktu itu kita udah putus—"

"Oh, sori, tunggu dulu, bukan putus. Istirahat. Itu istilah yang kamu pakai buat ngeyakinin aku waktu itu. Karena kamu terlalu pengecut untuk jujur."

"Nah, lihat, kan? Ini contoh nyata. Bayangin nggak kalau dulu kita nikah, terus kamu maunya menang sendiri gini, buntut-buntutnya apa? Cerai! Dan aku, nggak percaya perceraian. Nggak akan ada kata cerai di kamusku. Makanya, aku pilih Joy. Dia yang nyelametin aku waktu terpuruk setelah kita pisah. Dia alasan aku bisa bahagia lagi."

"Yang mau pisah kan, kamu!" Aku memberanikan diri untuk tetap melawan. Tak akan kubiarkan dia menindasku lebih jauh. Apalagi, kalau tudingan itu tidak berdasar.

"Karena aku udah nggak bahagia sama kamu, Naya."

"Wow! Oke. Kalau gitu, biarin aja dong, aku pergi? Kamu bisa bahagia sepuasnya."

"Kamu dengerin aku nggak, sih?! Aku butuh—"

"Aku juga butuh bahagia," timpalku tegas.

"Iya, aku tahu, Nay. Makanya, sekarang aku di sini, sama kamu. Karena kita sama-sama tahu, cuma aku yang selalu bisa bikin kamu bahagia. Lihat kan, ini buktinya kalau kamu udah terlalu jauh dari aku. Kita jadi harus cekcok nggak jelas gini. Menurutku, justru kamu yang lupa, betapa bahagianya kita berdua."

Kepalaku pusing. Aku merasa perbincangan kami lebih seperti perdebatan tak berujung. Sedari tadi aku berusaha keras mencerna kalimat per kalimat—bahkan kata per kata—yang dilontarkan Rikko. Tetapi, semakin kusimak, semakin sesat rasanya. Di saat seperti ini, biasanya dengan sengaja kubiarkan anganku menjelajah ke memori-memori indah yang tersisa tentang dia. Sayangnya, kali ini seakan segalanya terkuras, aku tidak bisa melambung ke mana pun. Mungkin seharusnya memang aku tidak meladeni omong kosong orang yang sedang mabuk.

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku mengangkat tubuhku dari lantai. "Lebih baik aku pulang. Kamu di sini dulu aja, kalau udah sadar, baru pulang. Kasihan Joy, kalau lihat kelakuanmu kayak gini. Nanti aku minta tolong Pak Heru, cari orang buat bersihin sisanya. Kamu juga, jangan lupa balikin kunci ke dia."

Aku berbalik menuju tas dan jaketku yang tergeletak di atas meja dapur. Sesekali aku harus berhenti berjalan untuk menyeimbangkan langkahku yang entah mengapa terhuyung.

"Kapan sih, kamu bakal dewasa, Nay? Selalu aja lari."

Mendengar tuduhan itu, rasanya ingin sekali aku kembali dan membantahnya. Tetapi, sepertinya jiwa ragaku sudah terlalu lelah. Terlebih, setelah perdebatan tadi, sekarang aku makin yakin bahwa hubungan kami benar-benar sudah berakhir. Lebih tepatnya, belenggu yang kubiarkan melilit kebebasanku selama ini, sudah rontok. Tidak akan lagi kuizinkan masa lalu semu itu membayangi masa sekarang dan masa depanku. Sepertinya, setelah melewati pembelajaran selama delapan belas tahun, bolehlah kalau aku menyatakan diri sendiri lulus dengan predikat cukup memuaskan.

"Nay, jangan pergi ...."

Abaikan saja. Jalan terus. Jangan lihat ke belakang. Dengan mengulang-ulang mantra itu, aku bergegas keluar dari apartemen. Lift yang ada di pengujung lorong terasa jauh sekali. Jangan sampai Rikko berhasil menyusulku.

"Naya!"

Berhenti memanggil namaku! Sekuat tenaga kupercepat langkah kaki yang kian lunglai ini.

"Tunggu, Nay!"

Terlambat. Pintu lift segera mengatup sesaat setelah aku memijat tombol lantai dasar. Sebelum menghilang dari pandangannya, aku sempat mengangkat tangan supaya dia berhenti mengejarku. Itu sekaligus salam perpisahan untuk kami. Dia tidak akan pernah melihatku lagi.

Sesampainya di lobi, terdengar ponselku berdering. Mama mengirim pesan untuk menanyakan keberadaanku. Baru aku sadar, seharusnya malam ini aku menginap di sini. Tentu sekarang tidak mungkin lagi. Kukirim balasan singkat kalau aku batal tidur di apartemen dan akan segera pulang. Mama memintaku untuk berhati-hati di perjalanan, bahkan sempat menawarkan untuk datang menjemput daripada aku harus memesan taksi online. Jelas kutolak. Lagi pula, saat ini aku sedang ingin sendiri.

Tidak butuh waktu lama untuk jemputanku tiba. Setelah berpamitan kepada Pak Heru—penanggung jawab apartemen—aku berjalan perlahan menuju pintu keluar. Namun, karena kelengahan sang otak, diam-diam kilas balik kebersamaan kami bermunculan tanpa diundang. Mereka hadir dalam wujud sepasang bayangan serupa kami di masa itu. Mengiringi tiap tapak yang akan menjejak hamparan marmer putih bersih di sepanjang jalur perjalanan.

Mulai dari pertama kali kami berdua menginjakkan kaki di lobi gedung pencakar langit ini. Pertengkaran kecil di salah satu lorong menuju restoran. Mencuri-curi kecupan saat menunggu lift turun. Sampai yang teranyar, berjalan berpegangan tangan meninggalkan kediaman kami untuk terakhir kalinya. Rikko di depan dan aku yang murung mengekornya. Sepintas, aku tampak lebih seperti diseret daripada dituntun.

Aku mengikuti mereka sampai masuk ke dalam taksi. Si lelaki tak melepaskan genggamannya sedetik pun, sedangkan si perempuan terus saja memalingkan wajah ke luar jendela. Bisa kudengar jelas percakapan sejoli itu. Meski sepertinya akan lebih tepat jika dikatakan bualan satu arah.

"Semua bakal baik-baik aja, Nay. Percaya sama aku. Kita cuma lagi butuh ruang sendiri aja. Kita ini terlalu jenuh ... hei, udah dong, nangisnya ... ini masih keitung ulang tahunku, loh ... yakin deh, nih ya, tungguin aja ya, nggak lama, aku pasti telepon kamu, mohon-mohon ... kangen, balikan yuk, Sayang ...."

Mendengar itu, aku menoleh ke sisi kanan. "Bohong," bisikku ke udara. Bayangan Rikko pun lenyap seketika bersamaan dengan kembalinya kesadaranku ke masa kini. Tidak ada siapa pun di sebelahku. Hanya aku sendiri di kursi penumpang dan si pengemudi di depan. Ia mengintip dari kaca spion.

"Kenapa, Mbak?"

"O-oh, nggak, Pak. Maaf."

"Nggak apa-apa, Mbak. Saya kira tadi manggil." Bapak sopir itu diam sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. "Anu, kalau boleh saya kasih saran ...." Kini, ia menunggu persetujuanku.

"I-iya?" jawabku ragu.

"Ini, loh ... kan, sudah mau tahun baru, mbok ya jangan galau-galau, Mbak. Mending dibawa seneng-seneng saja. Anu, kalau kata simbah saya ya, nanti rezekinya dipatuk lele, loh."

"Eh? Lele? Bukannya ayam ya, Pak?"

"Ya, ayam juga bisa kalau mau, Mbak." Kemudian ia terkekeh-kekeh atas leluconnya sendiri.

Benar juga, minggu depan sudah datang tahun yang baru. Itu artinya ... ulang tahun Rikko juga—astaga, Naya! Masih saja kamu memusingkan manusia satu itu! Berhenti memikirkan dia dan segala hal tentangnya! Sebentar lagi kamu akan berkiprah di negeri orang. Lebih baik pusatkan seluruh energi dan perhatianmu ke sana. Ingat, semuanya sudah selesai ... kamu sudah bebas.

Menyadari itu, tanpa aba-aba, aku tertawa sendiri.

"Nah, begitu. Senyumin saja, Mbak. Kayak saya begini, nih." Sambung si Bapak, seraya memamerkan barisan gigi depan yang tampak kehilangan salah satu personel.

Aku pun lantas membalasnya dengan senyuman manis. "Begini, ya?"

Setelah itu, suasana di dalam mobil jelas berubah menjadi lebih ceria. Kami pun cukup banyak berbincang, sampai-sampai tak terasa, kami sudah tiba di titik tujuan. Sebelum turun, ia menitipkan pesan pamungkas untukku. Katanya, "Selamat berbahagia ya, Mbak Naya. Monggo dipakai cerita-cerita humor saya tadi, kalau sekiranya dibutuhkan di Kanada."

"Siap, Pak! Terima kasih ya, tumpangan dan cerita lucunya. Hati-hati di jalan."

"Sama-sama, Mbak. Mari."

Aku melambaikan tangan ke arahnya, sampai ia tak terlihat lagi. Terima kasih banyak, Pak Rahmat. Mulai sekarang, hanya akan ada masa kini dan mendatang. Siapa tahu, setelah bergantinya tahun, hati ini akan sembuh dan kembali berlabuh. Entah kepada jiwa yang sepadan dengannya, atau kepada dunia yang dipilihnya. Selamat berbahagia!


❇ ❇ ❇

Continue Reading

You'll Also Like

16.8M 731K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
6.2M 321K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
4M 196K 101
✅ "We always long for the forbidden things." 𝐝𝐲𝐬𝐭𝐨𝐩𝐢𝐚𝐧 𝐧𝐨𝐯𝐞𝐥 ↯ ⚔︎ ʙᴏᴏᴋ ᴏɴᴇ ᴀɴᴅ ᴛᴡᴏ ᴄᴏᴍʙɪɴᴇᴅ ⚔︎ ...
3M 24.1K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...