Lidah pahit, tenggorokan sakit, kepala yang pusing ditempeli koyo di sisi kiri-kanannya, Melisa tetap memaksakan diri untuk makan. Dia tidak mau egois. Sekarang Xania bergantung padanya. Kalau jarang makan, yang ada ASI-nya menipis. Tentu saja makan sambil memegang ponsel. Melisa masih berusaha menelepon nomor Candra.
Sudah mau tiga jam, tapi Melisa belum mendapatkan kabar apa pun. Entah itu dari suaminya, juga dari Hutama dan Sintia. Melisa kian gelisah. Kepalanya terus memikirkan nasib suaminya saat ini. Sebenarnya Candra ada di pesawat itu atau berada di pesawat lain?
Samar-samar telinganya menangkap tangisan Xania di lantai atas. Saat Melisa berdiri dan hendak naik ke tangga, Inayah muncul dengan menggendong Xania.
"Xania nangis terus padahal udah aku gantiin popoknya. Apa dia tahu, ya, aku bukan ibunya?"
Mendengar itu, Melisa justru terbelalak. "Nay, kok, nggak panggil aku? Malah kamu yang gantiin popoknya."
"Ya, nggak apa-apa. Itung-itung belajar buat masa depan. Kamu juga dari tadi neleponin orang terus."
"Sini, sini, kayaknya Xania mau susu." Melisa mengambil Xania dari gendongan Inayah. "Boleh minta tolong ambilin nursing cover di deket box-nya Xania? Takutnya nanti ada orang datang."
"Oke."
Inayah naik lagi dan beberapa menit kemudian muncul dengan membawa nursing cover milik Melisa. Ia lantas membantu temannya mengenakan kain penutup itu. Setelahnya, duduk di dekat Melisa.
"Udah ada kabar, Mel?"
Melisa menggeleng karena mulutnya baru saja diisi daging ayam. Ia menelan makanan itu sebelum bersuara. "Kayaknya ayah sama mami susah dapet informasi. Pasti di sana lagi rame banget, kan? Bayangin aja ada ratusan penumpang yang naik pesawat itu."
"Iya, sih. Dari tadi aku liat di Youtube bandara rame banget."
Jujur saja, Melisa tidak berani melihat berita di mana pun. Bahkan, dia sudah melarang Ambar menyalakan TV untuk sementara waktu. Melisa belum siap mendengar kabar buruk lagi. Berat rasanya. Akan tetapi, hatinya juga diliputi rasa penasaran.
"Udah ada kabar nggak pesawatnya itu jatuh di mana?"
"Ada salah satu tim Basarnas yang nemuin puing pesawat di tengah laut, Mel. Bagian ekor katanya."
Melisa terbelalak. Jantungnya kembali diremas. "Sumpah? Berarti udah fix jatuh?"
"Berdasarkan beritanya, sih, iya. Soalnya udah ada serpihannya gitu."
Melisa menepuk pelan pantat Xania ketika anak itu menggeliat. Sulit untuk fokus menyusui kalau pikiran lagi semrawut begini. Dalam hati dia berharap semoga bukan Candra yang jadi pilotnya. Jatuhnya di laut begitu, pasti akan susah dicari.
Ambar datang dari arah ruang tamu. Di tangannya terdapat kardus berukuran besar. "Mbak, barusan ada kurir datang, terus kasih paket ini buat Mas Candra."
"Dari siapa, Mbak?" tanya Melisa.
Ambar kemudian membaca nama pengirim yang tertera di kardus itu. "Martin Stevan Lukas, Mbak."
"Oh, itu temennya Mas Candra kayaknya. Tolong taruh di kamar, Mbak. Biar Mas Candra nanti yang buka pas pulang." Ya, Melisa masih berharap Candra pulang. Suaminya tidak mungkin ada di pesawat itu.
"Nay, percaya, kan, kalau Mas Candra bakal pulang?"
"Iya, Mel. Aku percaya. Udah, kamu mending fokus menyusui aja. Jangan pikirin yang lain dulu."
Belum selesai menyusui, ponsel Melisa berdering. Ada telepon dari Sintia. Melisa tidak perlu menunggu sampai Xania selesai karena sudah tidak sabar dengan kabar yang dibawakan mertuanya.
"Mi, gimana?"
"Maaf, Sayang, mami lama telepon kamu. Tadi pihak maskapai baru merilis daftar manifest pesawat dan di loket banyak sekali keluarga yang mau lihat. Tapi, kamu nggak perlu khawatir lagi, ya. Candra nggak ada di daftar itu. Dia nggak tercatat sebagai salah satu kru pesawat itu."
Melisa terhenyak. Tercekat. Tangannya mencengkeram ponsel erat-erat. Ini sungguhan? Candra tidak ada di pesawat yang dipastikan jatuh di laut itu?
"Mami ... Mami nggak salah baca, kan, tadi? Ini beneran, kan?"
"Mami udah pastikan, nggak ada nama Candra. Maskapai juga mengonfirmasi kalau Candra ada pergantian jadwal sebelum berangkat. Nanti mami kirimkan manifest ke kamu, ya. Mami sama ayah bakal ke rumah kamu sekarang."
Kali ini, Melisa tidak dapat menahan air matanya. Mulutnya mengucapkan syukur berkali-kali. "Makasih, Mi. Makasih ...."
Inayah yang sejak tadi menyimak berdiri di belakang Melisa, kemudian mengusap bahunya. Bermaksud untuk menenangkan Melisa. Sementara itu, setelah Sintia menutup telepon, Melisa mencoba menghubungi suaminya lagi, tapi yang didapat justru suara mbak-mbak operator.
"Nay, kata mami, Mas Candra nggak ada di pesawat itu, tapi kenapa nomornya masih nggak aktif? Harusnya udah."
"Alhamdulillah. Mungkin ada urusan lain, Mel, makanya belum sempat hidupin HP-nya."
"Mas Candra, tuh, nggak biasanya begini, Nay. Udah lebih tiga jam, lho!"
Di balik nursing cover, Xania merengek. Melisa ingin menenangkan, tapi dirinya juga masih sibuk menghubungi suaminya. Akhirnya, Melisa memilih menenangkan anaknya dulu. Ia melepas nursing cover, lalu berdiri dan berjalan pelan. Perlahan tangis Xania berhenti dan mulutnya mencari sumber makanannya lagi.
"Kamu nggak mau ditutup, ya. Kita pindah ke tempat lain kalau gitu."
Melisa memilih sofa ruang tengah sebagai tempat menyusui. Inayah mengikuti di belakang, jaga-jaga kalau Melisa butuh bantuan.
Ponsel Melisa berdering lagi. Kali ini dari nomor baru. Melisa sempat ragu, tetapi Inayah menyuruhnya menerima panggilan itu.
"Kali aja dari Candra, Mel," kata Inayah.
Barulah Melisa berani menggeser tombol berwarna hijau, kemudian menempelkan layar ponsel ke telinga. "Halo?"
"Sayang, ini aku."
"Mas!" Tangis Melisa pecah lagi. Menular ke Xania yang terkejut mendengar suara mamanya. Inayah berinisiatif mengambil bayi itu, mengajaknya keluar agar tangisnya berhenti.
"Mel, kamu lagi sama Xania? Jangan nangis, Sayang." Di seberang, tentu saja Candra bisa mendengar suara anaknya.
"Mas, kenapa nggak bilang kalau jadwalnya berubah? Aku lihat di berita pesawat itu katanya hilang kontak, terus aku lihat di flight radar pesawatnya hilang di ketinggian 10.000 kaki, Mas. Kalau beneran Mas ada di sana, aku belum siap jadi janda anak satu," kata Melisa dengan suara tersendat. Tangannya satu lagi memegangi perut yang terasa nyeri akibat tekanan dari dada.
"Kamu tenang dulu, ya. Atur napas kamu."
Melisa menurut. Dia mencoba mengatur napas supaya nyeri di bagian luka operasinya itu hilang.
"Maafin aku, ya. Aku emang ada perubahan jadwal dan nggak sempat bilang ke kamu. Pas aku mau telepon kamu, aku baru sadar HP-nya nggak ada di saku. Aku pulang nanti malam. Kamu jangan nangis lagi, ya."
"Pokoknya Mas harus beli HP baru!"
"Iya, tapi kamu jangan nangis lagi, ya."
"Udah nggak nangis, kok. Ini cuma sisa ingus aja." Melisa menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. "Mas beneran pulang malam ini, kan?"
"Iya, Sayang. Aku pulang malam ini. Kamu jangan nangis lagi, ya. Aku nggak apa-apa."
Jujurly, kalian mau aku double update nggak? Mumpung ada tenaga, nih. Syaratnya 200 vote 50 komen untuk part ini 💃💃💃