RUMOR

Door blueesilverr

5.7K 496 81

⚠️ 𝐇𝐚𝐫𝐚𝐩 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐇𝐚𝐫𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐫𝐮𝐦𝐨𝐫 𝐭𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧... Meer

Prolog
satu ; kita
dua ; tentang rumor
tiga ; bertengkar
empat ; tentang pahlawan dan pengakuan tak terduga
lima ; susah move on
enam ; malioboro menjadi saksi
tujuh; bertemu
delapan; disini untukmu
sembilan; kebenaran (1)
sepuluh; akhirnya
sebelas; restu
duabelas; kebenaran (2)
tigabelas; bintang kecil (1)
empatbelas; bintang kecil (2)
limabelas; janji
enambelas; keluarga kecil
delapan belas; semua akan baik baik saja
sembilan belas; kemunculan
dua puluh; Radhika bersaudara (1)
dua puluh satu; Radhika bersaudara (2)
dua puluh dua; pengirim pesan (1)
dua puluh tiga; pengirim pesan (2)
dua puluh empat; titik terang (1)
dua puluh lima; berdamai
dua puluh enam; tentang rindu

tujuh belas; cinta pertama

101 5 0
Door blueesilverr





Vote dulu yuk



















Udah?















Here we go










“Aduh!”

Reine meringis kecil kala tidak sengaja menabrak punggung mungil milik Hanum. Pagi itu mereka berangkat bersama ke sekolah dengan berboncengan naik sepeda. Alasan mengapa mereka naik sepeda adalah sama-sama sedang merajuk pada ayah masing-masing. Semalam Reine merajuk karena tidak boleh naik motor ke sekolah, sedangkan Hanum belum kunjung pulang ke rumah setelah insiden kaburnya kemarin.

“Ngeremnya dadakan banget mbak,” gerutu Reine pada Hanum. Namun bukannya menjawab, Hanum justru acuh dan lebih memilih terpaku pada satu objek di depan sana.

“Lewat jalan lain aja ya?” ujar Hanum tanpa basa-basi langsung memutar arah menjadi berlawan dari arah sekolah.

“Lho kenapa? Sekolah kita kan udah deke—”

Hanum tidak menggubris ucapan Reine. Kaki mungilnya sibuk mengayuh sepeda ke arah lain menuju jalan pintas. Degup jantungnya kian membara kala bayang-bayang seorang pemuda berseliweran di dalam kepalanya. Ia juga yakin mungkin dua pipinya sudah berubah warna menjadi kemerahan karena tersipu.

Sementara itu Reine yang tidak tau apapun hanya menurut saja kemana Hanum akan membawanya. Jalan pintas menuju sekolah memang tidak jauh dari perempatan kecil tadi, tetapi cukup memakan banyak waktu karena mereka perlu berputar dari arah sesungguhnya.

Terserah dengan Kaia yang sudah lebih dulu berbelok ke arah tadi. Mungkin gadis itu sudah sampai di sekolah sejak beberapa menit yang lalu.

“Kamu lewat mana sih Han? Kok lama banget sampainya?” gerutu Kaia ketika melihat sepeda yang dikendarai oleh Hanum memasuki area parkir sekolah.

“Hehe maaf, tadi—”

“Mbak Hanum muter lewat jalan lain, nggak tau kenapa,” sambung Reine yang membuat Kaia memicingkan mata mendengarnya.

Tatapannya beralih pada Hanum yang mulai salah tingkah. Kaia tidak perlu bertanya untuk tahu apa yang tengah terjadi pada sepupunya tersebut. Dengan jahilnya Kaia berdeham berulang kali. Alisnya naik turun bermaksud menggoda Hanum yang masih bungkam tanpa kata.

“Pasti gara-gara ada Haidan and the geng di perempatan tadi kan?”

“Dih nggak ya, sok tahu kamu!” elak Hanum yang membuat Kaia tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Oknum bernama Haidan itu adalah teman sekelas Kaia dan Hanum di sekolah. Meskipun satu kelas, Hanum tidak terlalu mengenal Haidan dengan baik. Sebaliknya Kaia, ia tentu mengenal Haidan karena mereka kebetulan adalah teman sebangku. Termasuk, perasaan yang dimiliki Hanum pada Haidan, Kaia tahu semuanya.

Sebagai sepupu yang baik, Kaia selalu mendengarkan seluruh curahan hati Hanum tentang Haidan selama ini. Dan berulang kali pula menyusun strategi untuk membantu Hanum menyatakan perasaan. Namun sayang, hingga saat ini belum ada satupun rencana mereka yang berhasil.

“Mas Haidan tuh siapa?” tanya Reine.

“Dia itu—” Hanum segera membekap mulut Kaia.

"Temen sekelas kita," sambung Hanum kemudian seraya menunjuk Kaia dan dirinya sendiri.

Reine yang tidak tahu menahu hanya menganggukkan kepalanya saja, sebelum dirinya berpamitan menuju sekolahnya, meninggalkan Kaia dan Hanum yang masih memperbincangkan pemuda bernama Haidan tadi.

“Jangan ngomong sembarangan depan Reine. Dia masih kecil tau! Nggak paham cinta-cintaan,” ucap Hanum.

Kaia mengernyitkan keningnya, "Bilang aja, kamu malu kan ketahuan salting setelah ketemu mas Haidan?"

Hanum tidak menggubris godaan dari Kaia. Ia memilih melenggang pergi dengan langkah lebar meninggalkan sang sepupu—yang masih mengekor di belakangnya. Berusaha acuh pada ucapan Kaia tentang Haidan. Meskipun ya, ia tidak berbohong jika jantungnya tengah berdetak kencang setiap mendengar nama Haidan.

○○○

“Kayaknya lagi bahagia banget nih anaknya mami,”

Gita menyambut kedatangan Hanum dengan sebuah pelukan lebar. Gadis mungil itu tanpa ragu masuk kedalam dekapan sang ibu seraya mengangguk kecil. Senyuman tak pernah hilang dari wajah jelitanya, membuat Gita bertanya-tanya, ada apakah gerangan yang membuat putrinya tersenyum lebar seperti itu.

"Nggak kok Mi, nggak ada apa-apa,” jawab Hanum kemudian melepas pelukan.

“Eh ayo ngaku, kenapa kamu hm?”

Tak menyerah sampai disitu saja, Gita rela mengekor di belakang anaknya. Mengikuti kemanapun Hanum melangkahkan kaki dan berakhir duduk berdua di ruang makan. Putri semata wayangnya masih tersenyum dengan kedua pipi dihiasi warna merah merona. Membuat Gita semakin penasaran mengenai apa gerangan yang tengah dialami oleh putrinya.

“Mi, Hanum mau nanya nih,”

Gita seketika memasang wajah sumringah, “Boleh, mau nanya apa nak?”

“Jadi gini Mi, misalnya kita bertemu dengan seseorang terus nggak ngerasain apa-apa, tapi lama kelamaan menimbulkan perasaan bahagia itu kenapa ya Mi? Maksud Hanum, bahagianya tuh sampai nggak bisa digambarin pakai kata-kata,”

Gita menahan senyum, “Oh ... seseorang itu lawan jenis maksudnya?”

Dengan malu-malu Hanum mengangguk kecil. Entah mengapa rasanya malu sekali mengakui hal satu ini di depan ibunya sendiri.

“I–iya,”

“Bilangin papi ah,”

“Ih mami! Jangan dicepuin ke papi dong please,

Gita tertawa keras setelah berhasil menggoda putrinya. Kali pertama mendengar cerita berbau percintaan remaja keluar dari mulut sang putri membuatnya menyadari bahwa waktu memang berlalu secepat itu. Anak kecil yang ia rawat dan besarkan bersama Hardan, kini telah tumbuh menjadi sesosok gadis remaja yang mulai dilanda rasa cinta. Ada sedikit rasa tidak rela dalam dirinya melihat putrinya mulai memiliki objek lain untuk diamati dan bahkan menaruh rasa padanya. Namun rasa maklum kemudian tumbuh seiring dia menatap raut wajah berbinar milik Hanum. Putrinya terlihat bahagia ketika mereka membahas tentang 'pemuda' entah siapa itu. Dan ia tidak tega menghancurkan kebahagian anaknya.

“Siapa namanya? Mami boleh tau kan?”

Hanum mengangguk lagi.

“Namanya Haidan. Dia itu temen sekelas di sekolah, temen sebangkunya Kaia. Kata Kaia sih, dia anak baik, nggak aneh-aneh. Tapi sayangnya sampai sekarang, Hanum cuma sebatas ngobrol biasa aja sama dia, jarang juga,”

“Hmm ... terus kenapa nggak coba ngobrol tiap hari? Kan ketemu tuh di sekolah,”

“Malu tau mami, apalagi Haidan nggak pernah sekalipun liat Hanum kalau lewat depan mata,” jawab Hanum sendu.

“Kalau chat?”

“Belum pernah juga Mi,”

Hanum mengembuskan napasnya kasar. Sibuk memainkan air di dalam gelas yang tinggal separuh itu—dengan sengaja menggoyangkan gelas dalam genggamannya. Air mukanya terlihat masih sendu, membuat Gita merasa bersalah takut sudah salah melontar tanya.

“Masalahnya, Kaia jadi aneh banget kalau aku lagi bahas Haidan sama dia, mi,”

“Aneh gimana?”

“Contohnya seperti, waktu aku minta nomor hapenya Haidan. Dia selalu beralasan,”

“Nggak mau ngasih?” tanya Gita dan Hanum mengangguk pelan.

“Kenapa ya kira-kira? Kaia nggak pernah lho kayak gitu sama aku sebelumnya, Mi,”

Mendengar pertanyaan dari anaknya membuat Gita enggan untuk menjawab. Kesimpulan dalam benaknya tidak mungkin ia lontarkan pada anaknya. Sekali lagi, ia tidak sampai hati membuat Hanum sedih mendengar pendapatnya.

“Kapan-kapan coba kamu ngobrol sama Kaia ya? Tanya baik-baik kenapa dia nggak mau ngasih nomor hape nya Haidan. Kalau kamu nanya baik-baik, siapa tau Kaia mau jawab kan?”

“Iya Mi, Hanum ajak Kaia ngobrol kapan-kapan,”

Good girl, sekarang ganti baju dulu. Abis itu makan siang bareng mami ya?”

“Siap mami!”

Gita melepas kepergian Hanum dengan tatapan sendu. Mendengar cerita anaknya membuat dirinya banyak berpikir tentang apa yang akan terjadi pada putrinya itu nanti. Namun kisah semacam ini mustahil tidak terjadi diantara anak remaja. Dan Gita maklum akan hal tersebut.

'Semoga apa yang ada di pikiranku salah. Nggak mungkin kan ada kisah cinta segitiga antara Hanum, Haidan dan Kaia?' gumam Gita lirih.

○○○

“Mbak Kaia kesini sebentar boleh? Bunda mau minta tolong,”

Kaia segera berlarian keluar dari kamar begitu mendengar teriakan bundanya dari lantai bawah. Derap langkah kakinya kian dipercepat ketika dirinya sampai di lantai bawah dan hendak menuju ke arah dapur. Disana bunda tengah sibuk mengelap permukaan galon utuh yang hendak digotong masuk ke dalam dispenser. Dengan cekatan, Kaia membantu bundanya yang tadinya ingin mengangkat galon itu seorang diri.

“Maaf ya mbak, bunda tadinya mau minta tolong sama papa, tapi kayaknya papa mu lagi nggak ada dirumah. Soalnya bunda panggilin daritadi nggak nyahut,” ujar Kalyana.

Usai memasang galon pada dispenser, Kaia menggeleng kecil. Memberi kode pada bundanya bahwa apa yang ia kerjakan bukanlah sesuatu yang sulit baginya. Bahkan tanpa disuruh pun ia akan melakukannya dengan senang hati.

“Papa ke kantor bunda. Tadi pamit sama Kaia katanya ada urusan mendadak. Maafin Kaia juga karena lupa nggak ngabarin bunda tadi,”

Kalyana tersenyum hangat, menandakan bahwa Kaia tidak perlu mempermasalahkan apapun terkait dengan Jendra. Sepasang ibu dan anak itu duduk di ruang makan dengan Kalyana yang sibuk membuka isi kantong kresek hitam.

“Itu apa bun?” tanya Kaia.

"Dari papimu, katanya buat makan siang. Gih ambil!”

Entah mengapa mendengar makanan yang ia dapatkan itu ternyata dari Hardan, membuat Kaia tersenyum senang. Hampir tidak pernah berjumpa setiap hari, Kaia seringkali merindukan perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh ayahnya tersebut. Hardan sangat sibuk. Jarang sekali memiliki waktu luang hanya untuk sekedar berkumpul bersama keluarga. Dan bukan hanya Kaia saja yang mengeluhkan tentang kesibukan lelaki itu, Hanum pun juga sama. Gadis mungil itu selain hobi bertengkar dengan papinya yang jahil, ia juga sering mengeluhkan tentang Hardan yang tidak pernah ada untuknya.

Kaia sering mendengar seluruh curhatannya dengan hati yang sedih. Sebagai seorang sepupu yang juga dianggap layaknya anak kandung oleh Hardan, tentu dirinya merasa kesepian juga. Hardan dan segala gurauannya selalu Kaia rindukan di setiap harinya. Sayang sekali untuk bertemu papinya itu harus banyak bersabar.

“Papi kesini?”

“Tadi mampir, katanya kangen kamu sama Reine. Tapi kan kalian lagi di sekolah. Jadi ya papi langsung pamit terus balik ke kantor,”

Kaia seketika bermuka sendu. Bahagianya seketika memudar setelah mendengar papinya kembali disibukkan oleh pekerjaan yang memang tidak ada habisnya. Sekarang ia mengerti betapa kesepiannya Hanum karena sering ditinggal ayahnya dinas keluar kota selama berbulan-bulan.

“Jangan ditekuk begitu dong mukanya. Kamu kan bisa telfonan sama papi kapanpun kamu mau? Papi juga pasti angkat kan?” Kalyana berucap bermaksud menghibur hati putrinya yang sedang bersedih.

“Iya nanti Kaia coba telfon papi,"

Kalyana menjulurkan tangannya guna mengusak surai hitam legam milik Kaia. Lantas membiarkan putrinya membuka bungkusan kertas coklat berisi nasi padang. Salah satu makanan kesukaan Kaia yang memang tidak ada tandingannya ini—sudah dihapal oleh Hardan diluar kepala. Hampir setiap kali berkunjung, lelaki itu tidak lupa membawa sebungkus nasi padang untuk Kaia.

“Mbak tadi hapenya bunyi terus tuh,” ucap Kalya seraya menunjuk ponsel milik Kaia yang tergeletak di atas meja dapur—menggunakan dagunya.

"Oiya lupa, hape ketinggalan disini,” sahut Kaia kemudian meraih cepat ponselnya dan memeriksa notifikasi apa saja yang ia dapatkan sehingga menimbulkan bunyi berisik.

Ia melotot kala melihat ada beberapa notifikasi pesan dari sebuah nama kontak yang beberapa minggu belakangan sering menghubunginya. Perlahan-lahan kedua sudut bibirnya tertarik kesamping membentuk sebuah lengkungan yang berhasil mengundang perhatian Kalyana.

Di umurnya yang tidak lagi muda, Kalya tentu tahu apa yang menjadi penyebab kemunculan senyum bahagia milik putrinya tersebut. Ia pernah muda. Tentu tidak mungkin jika dirinya tidak memahami apa yang membuat putrinya terlihat bahagia seperti itu.

Ekhem, chat dari siapa tuh? Dari pacarnya mbak Kaia ya?”

Secepat kilat Kaia menyembunyikan ponselnya ke belakang tubuh. Takut jika bundanya tiba-tiba saja merebut ponsel dan memeriksa riwayat pesannya.

“Ng–nggak kok, bukan chat dari siapa-siapa bunda,” elak Kaia gugup.

“Beneran? Terus kenapa senyum-senyum?” tanya Kalya.

"A–ada ini temen aku ngirim stiker lucu banget,”

Kalya memicingkan kedua matanya sembari tersenyum menggoda.

“Temen apa temen nih?”

“Ih bunda! Kaia malu,” pekik Kaia seraya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menyembunyikan rona kemerahan yang mungkin sudah melingkupi seluruh permukaan wajahnya.

Tak lama kemudian Reine datang bergabung kesana. Ia sempat mencuri dengar mengenai percakapan diantara bunda dan Kaia. Dalam hatinya ia merasa geli juga melihat kakaknya malu-malu mengakui tentang kisah cintanya. Si bungsu duduk di sebelah Kaia. Diraihnya bungkusan nasi padang yang tersisa dan ikut memakannya bersama Kaia dan bunda.

“Mbak Kaia bohong tuh bunda,”

“Eh kamu ngapain? Anak kecil nggak boleh ikut-ikutan,” tegur Kaia yang disusul kerucutan bibir dari Reine.

“Kalau aku anak kecil, mbak emangnya bukan? Kita cuma beda dua tahun doang ya mbak ish,” balas Reine.

Kaia mencibir dengan sengaja menggerakkan mulutnya merangkai kata-kata Reine dalam bentuk pengulangan, tanpa suara. Kalyana menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua putrinya tersebut.

“Haidan ini siapa? Bunda boleh tau dong,” bujuk Kalyana yang diangguki setuju oleh Reine. Kaia menatapnya panik dan hendak memotong ucapan sang adik, tetapi bunda menahan dengan sengaja menyentuh lengannya.

“Haidan itu temen sekelasnya mbak Kaia sama mbak Hanum,”

“Oh ya? Sering ngobrol dong kamu sama dia?” tatapan Kalyana beralih pada si sulung. Tak ada pilihan lain dari Kaia kecuali menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Tapi beneran cuma temen doang bunda, lagian Haidan nganggep aku seperti adiknya sendiri kok,” elaknya kemudian, Kalyana mengangguk.

“Tapi kamu malu-malu tau mbak pas bahas mas Haidan tadi,”

“Reine,”

“Lho iya kan? Aku nggak bohong,”

Kaia hampir mengeluarkan kata-kata balasan, namun tatapannya bertemu lebih dulu dengan tatapan penuh peringatan dari sang bunda. Ia pun menundukkan kepalanya tak berani membuat kontak mata dengan Kalyana. Takut jika fakta yang baru dibuka disini akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Bagaimana jika bunda marah mendengarnya menaruh rasa cinta pada seseorang? Apakah Kalyana akan setuju?.

“Kay, kamu kelas berapa sekarang?”

Tatapan Kaia berubah, “Kelas 2 smp bund,”

Kalyana menghela napasnya gusar.

“Kay dengerin bunda ya nak. Bunda sama sekali nggak masalah kalau kamu punya hubungan dengan lawan jenis. Bunda juga pernah muda. Bunda tau bagaimana rasanya jatuh cinta. Tetapi tentu saja kita harus banyak berhati-hati dalam memilih dengan siapa kita bergaul. Oke, kalau Haidan hanya menganggap kamu sebagai temennya saat ini, tetapi untuk lebih dari itu bunda minta jangan dulu ya nak? Kamu mengerti maksud bunda kan?”

Kaia semakin menundukkan kepalanya. Perasaannya campur aduk tanpa dapat ia gambarkan dengan jelas apa rasanya. Entah mengapa mendengar nasehat dari bundanya justru semakin memperkeruh suasana hatinya. Namun ia memilih untuk diam sembari duduk mendengarkan.

Sungguh situasi ini bukan sesuatu yang ia harapkan akan terjadi.

“Bunda juga tau seberapa besar rasa suka kamu terhadap Haidan. Bunda bisa baca dari mata kamu Kaia,”

“Kaia tau batasnya kok bunda apalagi Kaia bukan satu-satunya yang punya perasaan sama Haidan,”

“Dia banyak penggemar?”

"Banyak, salah satunya ada di depan mata Kaia,”

Kalyana mengangguk paham sebelum kembali bersuara, “Siapa?”

“Hanum,”

Sebisa mungkin Kalyana menahan rasa terkejutnya dengan mencoba bersikap biasa saja terhadap pengakuan putrinya. Ada sesuatu yang menghantam jantungnya dengan keras. Membuatnya seketika melunturkan tatapan garangnya tadi menjadi sedikit lebih lembut. Terlebih lagi, Kaia telah menampakkan wajah sendunya di tengah percakapan.

“Untuk sekarang Kaia kayaknya nggak sanggup kalau harus bilang suka sama Haidan, takut Hanum sedih. Kayaknya jadi temen udah cukup,”

“Kay, bunda nggak—”

“Gapapa, Kaia lebih sedih kalau liat Hanum sedih,”

Kalyana menaruh atensi kembali pada si sulung. Hatinya ikut perih menyaksikan bagaimana seraut wajah sendu itu kembali terbingkai oleh kedua manik matanya.

“ ... tapi kenapa rasanya sakit banget ya? Aku ini kenapa?”

Baik Kalyana dan Reine saling berpandangan. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sebagai bentuk balasan atas pertanyaan dari Kaia. Yang Kalyana tawarkan hanya sebuah pelukan yang pastinya disambut dengan senang hati oleh si sulung.

○○○

“Kay!”

Senyuman Kaia merekah seiring dengan langkah pelannya yang berubah menjadi sedikit cepat menuju kantin. Di sebuah bangku yang belum cukup ramai diduduki orang-orang—ada Hanum yang tengah menunggu pesanan makanan tiba.

“Aku samperin ke kelas nggak ada ternyata udah disini aja kamu,” ucap Kaia. Hanum meringis mendengarnya.

“Maaf, udah laper banget makanya buru-buru ke—”

Ucapan Hanum menggantung kala tatapannya tanpa sengaja menangkap sesosok pemuda yang amat sangat ia kenal sedang berjalan ke arahnya. Hey, ia tidak salah melihat bukan?. Pemuda itu berjalan ke arah bangkunya?!
Seraut penuh senyum bahagianya, mendadak pudar begitu saja kala pemuda bernama lengkap Haidan Arlando itu berbelok arah, bukan ke arahnya, melainkan berjalan ke arah Kaia.

“Hai Kaia,” sapa Haidan ramah.

Pandangan Kaia beralih dari Hanum menjadi pada seorang pemuda yang tengah tersenyum manis kepada dirinya. Astaga, apakah semesta tengah mempermainkan dirinya saat ini? Harus secepat inikah mereka bertiga berjumpa dalam satu waktu?.

“Hai juga, Haidan,” balas Kaia kikuk.

Hanum berdeham namun tidak mengalihkan pandangan sama sekali dari Haidan dan Kaia—yang tengah saling memandang—seolah melupakan keberadaannya disana.

“Eh ada Hanum juga disini?”

Mendengar pertanyaan dari Haidan membuat Kaia tersadar bahwa ada satu orang yang sejak tadi ia acuhkan karena sibuk berbincang dengan Haidan.

“I—iya Dan,”

Tatapan Haidan melembut seiring dirinya menjulurkan tangan ke arah Hanum. Dengan senang hati, Hanum menyambut dan menjabat tangan Haidan dengan perasaan gugup. Momen yang ia nantikan, secepat inikah datangnya?.

“Udah pesen makan belum kalian?”

“Udah kok,” jawab Hanum.

“Oh iya? Kamu Kay?” Haidan beralih menatap Kaia.

“Ini mau pesen,”

“Yuk barengan aja,”

Kaia mengangguk. Mereka berpamitan pada Hanum kemudian menuju salah satu outlet di food court. Kedua manik mata Hanum tidak bisa lepas dari kedua manusia lawan jenis tersebut. Entah mengapa jantungnya berdetak, tidak terlalu cepat, pun juga terasa sangat sakit.

“Ini aku kenapa sih? Kok sakit gini?” ujar Hanum lirih.

Haidan kembali bersama Kaia dengan membawa nampan berisi dua piring siomay dan dua gelas es teh manis. Setelah meletakkan makanan di atas meja, Haidan beralih merogoh saku jaketnya sendiri untuk mengeluarkan ponsel. Tanpa basa basi ia menyodorkan ponselnya kepada Hanum. Yang disambut tatapan bingung oleh gadis bertubuh mungil tersebut.

“Hmm ... kenapa ya?” tanyanya tak paham.

"Boleh nggak aku minta nomor hape kamu?” tanya Haidan dengan hati-hati.

“Hah?”

“Aku pengen ngobrol nanti,”

Dengan banyaknya pertanyaan bermunculan di kepalanya, Hanum masih dapat berpikir jernih, siang itu. Diraihnya ponsel milik Haidan kemudian mengetikkan sederetan angka disana. Menyerahkannya kembali kepada sang empunya setelah menyelesaikan urusannya.

Kini bergantian ponselnya yang berdering. Satu panggilan masuk dari nomor tak dikenal, menarik perhatiannya. Terlebih lagi ketika senyuman Haidan tak sengaja tertangkap oleh kedua manik matanya.

“Itu nomor aku, save ya?”

“A–ah oke,”

“Semoga kita bisa berteman baik ya? Kayak aku sama Kaia. Dan sekarang kamu juga. Boleh kan aku jadi temen kamu?”

Hanum bungkam. Jantungnya terasa seperti dpukul oleh sesuatu yang keras secara tiba-tiba. Rasanya nyeri dan ia tidak tahu harus berkata apa. Ucapan Haidan barusan bukanlah apa yang ingin ia dengar. Tetapi ia bisa apa?.

“y–ya, boleh kok,”

Dan senyuman lebar Haidan sudah berhasil memupuskan harapan Hanum untuk menjadi lebih dekat bukan sekedar sebagai teman. Harapan utamanya sudah hancur lebur.

'Jadi cuma dianggap sebagai seorang temen ya?' gumamnya dalam hati.


Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

216K 19.5K 33
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
597K 28.5K 36
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
64.9K 9.7K 22
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
187K 18.5K 70
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...