RUMOR

By blueesilverr

5.7K 495 81

āš ļø š‡ššš«ššš© šŸšØš„š„šØš° šš®š„š® š¬šžš›šžš„š®š¦ š¦šžš¦š›šššœšš š‡ššš«šššš§ šššš§ š«š®š¦šØš« š­šžš§š­ššš§... More

Prolog
satu ; kita
dua ; tentang rumor
tiga ; bertengkar
empat ; tentang pahlawan dan pengakuan tak terduga
lima ; susah move on
enam ; malioboro menjadi saksi
tujuh; bertemu
delapan; disini untukmu
sembilan; kebenaran (1)
sebelas; restu
duabelas; kebenaran (2)
tigabelas; bintang kecil (1)
empatbelas; bintang kecil (2)
limabelas; janji
enambelas; keluarga kecil
tujuh belas; cinta pertama
delapan belas; semua akan baik baik saja
sembilan belas; kemunculan
dua puluh; Radhika bersaudara (1)
dua puluh satu; Radhika bersaudara (2)
dua puluh dua; pengirim pesan (1)
dua puluh tiga; pengirim pesan (2)
dua puluh empat; titik terang (1)
dua puluh lima; berdamai
dua puluh enam; tentang rindu

sepuluh; akhirnya

207 16 2
By blueesilverr


Vote nya boleh banget ya guys

Hardan menguap pelan. Diliriknya sekilas jam dinding yang sudah menunjukkan dini hari. Itu artinya sudah 3 jam lebih dirinya berada di depan laptop untuk mengerjakan laporan keuangan cafe.

Sedaritadi ia duduk di salah satu meja paling ujung dengan cangkir kopi yang sudah tandas tak bersisa. Terbesit niat untuk refill kopinya kembali, namun dering ponsel  mengejutkannya yang tadinya ingin berlalu sebentar ke dapur.

Satu panggilan dari yang terkasih, membuatnya mengulas senyuman sebelum dengan cekatan menggeser tombol hijau, guna mengangkat panggilan.

"Halo?"

"Ih kamu dimana? Kan aku udah bilang hari ini jangan pulang larut," omel sebuah suara di seberang sana, membuat Hardan meringis bersalah.

"Maaf, ada laporan yang harus aku kerjain bentar. Ini udah selesai kok," Hardan menjepit ponselnya diantara rahang dan bahu, sedangkan tangannya sibuk meraih tombol dispenser.

"Yaudah aku tungguin ya? Langsung pulang gausah mampir-mampir,"

"Ayay, kapten!"

Panggilan terputus begitu saja. Hardan berjalan untuk mengemasi laptop berikut tas dan barang-barang lain yang masih tercecer di atas meja. Setelah merapikan cafe sebentar, ia pun bergegas mematikan lampu dan berjalan keluar.

Dia adalah satu-satunya pegawai yang tersisa disana malam itu. Yesha dan Raya yang biasanya ikut bantu-bantu sudah lebih dulu pulang sejak jam 9 tadi. Begitupula Jivan selaku sang pemilik yang tidak pernah tinggal lebih dari jam 10 malam di cafenya sendiri.

Maklum lah, ia punya istri yang harus diurus juga di rumah. Keegoisannya pun harus ia luruhkan sejenak guna memberikan quality time yang berkualitas untuk istri dan calon anaknya.

Jarak cafe dengan rumah tidak begitu jauh. Hardan sampai di rumah setelah tadi sempat mampir sebentar untuk membeli wedang wuwuh kesukaan orang-orang rumah. Tidak terkecuali Cantika—sang adik—yang merupakan pecinta wedang wuwuh nomor wahid.

"Udah sampai?"

Hardan mengangguk seraya merentangkan kedua tangannya lebar, tepat setelah dirinya menaruh sepasang sepatu putih ke atas ranjang. 

"Iya, Cantika mana?"

Gadis yang tadi masuk kedalam pelukannya, melepaskan diri sejenak. Sibuk menatap Hardan yang tanpa henti tersenyum kepadanya.

"Lagi ngerjain tugas kuliahnya tuh di kamar," jawabnya.

"Tumben banget kamu mau nginep disini?" tanya Hardan.

"Papi lagi ada dinas diluar kota, Jovan nggak tau kemana tuh anak, mami juga lagi ada urusan, takut banget sendirian dirumah,"

Hardan terkekeh, tangannya terjulur untuk menyentuh pucuk kepala gadis disampingnya, siapa lagi kalau bukan Gita. Sahabat sekaligus tetangga yang hampir setiap saat merecoki kehidupannya. Namun Hardan sama sekali tidak keberatan direpotkan oleh sahabatnya satu ini.

"Nih minum dulu,"

Kedua manik mata Gita berbinar kala dua bungkusan wedang wuwuh kini diletakkan di atas meja berikut dua gelas lumayan besar disampingnya. Dengan langkah girang ia berjalan mendekati Hardan yang sedang sibuk menuang wedang tadi kedalam gelas.

"Aku panggil Cantika sebentar, kamu duduk sini dulu oke?"

Gita mengangguk, "Jangan lama-lama,"

Hardan menggeleng seraya berjalan menjauh dari dapur, meninggalkan Gita yang sibuk menikmati wedang wuwuhnya dengan damai.

Tak lama kemudian, dapur kembali diisi dengan suara orang-orang berbincang satu sama lain. Rumah yang biasanya sepi, kini ramai seketika hanya karena ada Gita di dalamnya. Tak ketinggalan pula ada Kalyana yang tiba-tiba saja diminta oleh Hardan untuk bergabung.

"Malam ini tidur sini aja mbak, biar makin rame ini rumah,"  ujar Cantika.

"Betul itu, kamu nginep sini aja sekalian," Gita dengan sigap membenarkan usulan Camtika yang disusul tatapan terkejut dari Kalyana.

Setelah percakapan dari hati ke hati tempo hari, Gita dan dirinya memang tidak lagi bersikap dingin satu sama lain. Terbukanya kebenaran membuat Gita tidak memiliki alasan lagi untuk membenci Kalyana. Situasi diantara mereka membaik dengan sendirinya setelah obrolan lumayan panjang hari itu.

Hardan yang menyadari hubungan dua perempuan dihadapannya mulai membaik, sedikit demi sedikit pun merasa lega. Ia sendiri merasa tidak perlu membuang tenaga untuk memperbaiki situasi yang sempat memburuk. Namun sepertinya semesta juga tidak suka melihat Gita dan Kalyana bertengkar satu sama lain, membiarkan salah paham terus mengalir diantara hubungan mereka.

"Nggak usah deh, nanti aku ngerepotin kalian lagi," sahut Kalyana.

"Apanya yang ngerepotin sih mbak? Santai aja kali,"

Cantika yang baru saja bergabung pun ikut masuk dalam obrolan. Ketiga perempuan berbeda usia tersebut saling terlibat dalam percakapan yang membuat Hardan diam di tengah-tengah. Lelaki itu sibuk memperhatikan ketiganya tanpa berusaha masuk dalam topik. Sebaliknya ia sibuk membalas chat masuk, sembari sesekali ikut tersenyum kala telinganya mendengar obrolan lucu.

"Abis ini buruan tidur gih, terutama kamu Aya. Kasihan bayi kamu kalau nanti kamu nya kecapekan," ujar Hardan.

"Ayay, captain!"

"Tidur di kamar Cantika ya, biar kamar tamunya dibuat tidur sama Gita," Hardan kembali menambahkan.

Setelah itu mereka semua pergi ke kamar masing-masing sesuai dengan kesepakatan. Gita tidur di kamar tamu, Kalyana dan Cantika tidur di kamar depan, sedangkan Hardan tidur di kamarnya sendiri.

"Har, makasih ya aku udah diijinin nginep disini," celetuk Gita yang tiba-tiba saja menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

Hardan menghentikan langkahnya lalu tersenyum mengangguk. Gita dengan segala tingkah ajaibnya memang selalu menjadi hiburan tersendiri baginya.

"Dan maaf karena aku banyak salah pahamnya sama kamu selama ini," sambungnya, lagi. Hardan tertegun beberapa detik.

"Salah paham?"

"Aku udah tau kok, apa yang terjadi diantara kamu dan Kalya. Tapi tau nggak sih aku tuh kesel sama kamu,"

Hardan menaikkan salah satu alisnya, "Kesel kenapa?"

"Kenapa harus bohong dan bikin semua orang menciptakan rumor jahat kayak gitu sih?"

Lagi-lagi Hardan tersenyum, "Karena emang itu tujuannya,"

"Bikin orang-orang kesel gitu?" jawab Gita tidak santai, Hardan semakin terbahak.

"Udah malem, lebih baik kamu tidur gih. Masih ada besok buat jelasin semuanya,"

Gita mengalah. Ia menganggukkan kepalanya seraya menyodorkan jari kelingking. Hardan geleng-geleng kepala dibuatnya.

"Janji?"

"Kayak bocil aja kamu pakai pinky promise segala,"

"Biarin, wlee!"

Namun Hardan tetaplah Hardan. Yang sama sekali tidak pernah punya niat untuk menyakiti hati sahabat baik sejak masa kecilnya, Gita. Ia pun tanpa ragu menautkan kelingkingnya dengan kelingking Gita sebagai tanda bahwa dirinya sudah berjanji akan menceritakan semuanya besok.

○○○


"Masih suka pusing nggak mbak?" tanya Widia, siang itu.

Sepulang kuliah, Kalyana datang ke rumah sakit khusus ibu dan anak—tempat dimana Widia bekerja. Kali ini ia tidak ditemani oleh Hardan, melainkan bersama Jendra yang memang sedang tidak ada jadwal kelas di kampus.

"Dikit, contohnya tadi pagi. Tiba-tiba aja pening waktu keluar dari kelas," sahut Kalyana.

"Itu artinya kamu kurang istirahat, Aya," sahut Jendra yang diangguki setuju oleh Widia.

Kalyana mengerucutkan bibirnya. Entah mengapa mendapatkan Omelan dari Jendra benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Mungkin porsinya jengkelnya pada Jendra lebih dua kali lipat dibandingkan pada Hardan. Menurutnya, mengapa dirinya selalu mendapatkan omelan dari dua laki-laki yang sialnya sangat ia sayangi ini?.

"Dikarenakan bulan kelahiran yang semakin dekat, jaga kesehatan ya mbak, jangan capek-capek dulu sementara waktu, kalau kemana-mana minta temenin aja soalnya kandungan mbak lagi lemah banget, tapi gapapa kok bayi mbak kuat,"

Jendra duduk seraya menyimak penjelasan Widia dengan baik. Kalyana duduk disampingnya sembari mengangguk-angguk kecil. Dalam dirinya masih menyimpan perasaan jengkel pada Jendra, namun juga tak memungkiri dirinya juga tertarik akan penjelasan Widia mengenai tumbuh kembang janin dalam kandungannya.

"Dia cewek atau cowok, Wid?" tanya Jendra yang membuat Widia tersenyum lebar saat mendengarnya.

"Mas Jendra mau tau sekarang? Nggak nanti aja biar kejutan gitu?" Widia menimpali dengan sengaja menarik turunkan alisnya dengan jahil untuk menggoda Jendra.

"Yaudah deh, nanti aja,"

Widia tersenyum puas, begitupula dengan Kalyana yang ikut menarik kedua sudut bibirnya kesamping. Entah mengapa hatinya menghangat kala melihat Jendra terlihat antusias juga dengan tumbuh kembang bayi dalam kandungannya. Perasaan jengkel yang tadinya ia rasakan pun seketika pudar begitu saja.

Tak lama setelahnya ponsel Jendra bergetar, ia pun pamit keluar lebih dulu meninggalkan Kalyana dan Widia berdua. Sepertinya Jendra darisana, Kalyana pun turut melihat ke arah komputer yang menyala, menyaksikan hasil USG yang masih terpampang disana.

"Mbak juga penasaran si baby sebenernya cowok atau cewek?" tanya Widia, Kalyana tanpa ragu mengangguk.

"She is baby girl," ujar Widia menambahkan.

"Cewek?"

"Hm," Widia mengambil jeda, tangannya meraih mouse kecil di atas meja untuk menunjukkan hasil USG kepada Kalyana.

"Dia pasti cantik banget," ujar Widia yang membuat Kalyana mengangguk-angguk kecil dibuatnya.

"Tapi jangan bilang-bilang Jendra dulu ya, seperti kata kamu tadi, biarin ini jadi momen surprise buat dia,"

Widia mengacungkan jempolnya sebelum mencetak hasil USG dan memberikannya kepada Kalyana. Setelah menerima semua hasil pemeriksaan kandungan, Kalyana keluar. Ia menghampiri Jendra yang baru saja menerima telepon entah dari siapa.

"Udah beres?" tanya Jendra, Kalyana mengangguk.

"Abis ini mau kemana lagi?"

Dengan cepat Jendra meraih tangan kiri Kalyana untuk ia genggam. Menggandeng wanita tersebut menuju tempat parkir untuk menjemput mobil. Tak ada jawaban, Kalyana nampaknya masih berpikir entah harus kemana lagi setelah ini.

"Kamu lagi free nggak?" tanya Kalyana.

"Free kok siang ini, kenapa?"

"Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat,"

"Kemana?"

"Naik aja dulu, nanti aku kasih tau,"

Jendra menurut. Ia bergegas membukakan pintu mobil untuk Kalyana kemudian beralih menuju kemudi. Ia pun menjalankan mobil meninggalkan area rumah sakit mengikuti ke setiap arah yang ditunjukkan Kalyana kepadanya.

Mereka sampai di halaman depan sebuah rumah. Sebuah tempat asing yang tenang dan sedikit jauh dari area perkotaan. Letaknya berada di pinggiran kota dengan tetangga yang jarang-jarang dan dikelilingi taman bunga yang cantik.

"Rumah siapa?"

"Ayo masuk,"

Jendra yang tidak memahami apapun hanya menurut saja. Ia turun dari mobil mengikuti Kalyana yang lebih dulu turun dan berjalan menuju rumah tersebut. Wanita itu tampak merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kunci darisana, membuat Jendra tertegun sebab berpikir darimana kiranya Kalyana bisa mendapatkan kunci rumah tersebut.

"Kok kamu ... " Jendra menggantung ucapannya, memilih mengikuti langkah Kalyana yang mengajaknya masuk ke dalam rumah tersebut.

"Kaget ya?" tebak Kalyana seraya tertawa kecil.

"Rumah siapa ini?" Jendra tidak menyerah, ia kembali bertanya sebab rasa penasarannya belum terpuaskan.

"Rumah aku," jawab Kalya tanpa ragu.

Jendra melotot, "Rumah kamu? Tapi kan kamu—"

"Sebelum pindah jadi tetangganya Hardan, aku tinggal disini. Ini rumah hadiah dari seorang kakek baik yang dulunya udah aku anggap kayak keluarga aku sendiri," ucap Kalya membuka ceritanya.

Ia duduk di sebuah kursi rotan yang terlihat sangat kuno namun memiliki nilai seni tinggi, disusul Jendra yang duduk di sofa, letaknya berhadapan dengan kursi rotan tempat Kalyana duduk.

"Bagus nggak rumahnya?" tanya Kalya.

"Bagus, bagus banget malah!" puji Jendra seraya tidak hentinya melihat kesana kemari seperti memastikan tidak ada satupun hal di rumah ini yang ia lewatkan begitu saja.

"Rencananya nanti setelah anakku lahir, aku mau tinggal disini lagi," ucap Kalya.

"Sendiri?"

"Nggak tau sih, aku belum ijin sama Hardan," jawab Kalya lesu.

"Kok tiba-tiba kamu keliatan sedih?" Jendra mengambil langkah untuk menghampiri Kalya kemudian menjulurkan tangannya untuk mengusap pucuk kepala wanita itu.

"Soalnya Hardan nggak ngasih ijin aku tinggal sendirian disini, takutnya ada apa-apa. Padahal rumah ini tergolong aman loh,"

Jendra mengangguk kecil kemudian duduk disamping Kalya. Membiarkan wanita tersebut menyandarkan sisi kepala kirinya pada bahu kanannya. Ia sendiri menumpukan sisi rahang kanannya pada pucuk kepala wanita itu kemudian berdeham kecil.

"Kalau gitu, kita tinggal bareng—"

Kalya dengan cekatan memukul lengan kokoh milik Jendra sedikit keras. Tidak peduli seberapa kerasnya laki-laki itu mengaduh akibat pukulan yang tak terkira tersebut.

"Aduh sakit!" keluh Jendra sambil mengusap lengannya bekas pukulan Kalya.

"Kamu sih, ngomong tuh dipikirin dulu, jangan ngasal!" ucap Kalya.

"Lagian siapa yang ngasal? Aku belum selesai ngomong loh," timpal Jendra membela diri.

Kalya kembali menyenderkan kepalanya pada bahu Jendra, seakan tidak peduli pada kehebohan yang baru terjadi dan memilih melupakannya. Tidak peduli juga pada Jendra yang sedang mengerucutkan bibir akibat perdebatan kecil mereka tadi.

"Aya, besok Hardan dirumah nggak?"

"Tanya aja langsung sama dia,"

"Aku punya ide bagus,"

"Ide bagus apa?"

"Mau bawa papah mamahku ketemu dia,"

"Ngapain?!" pekik Kalya heboh.

"Ngelamar kamu,"

"Jangan gila ya kamu!"

Kalya bangkit dari duduknya, begitupula dengan Jendra yang ikut menyusul. Mereka berjalan ke halaman rumah. Kalyana mondar mandir kesana kemari sembari menggigit jari jemarinya. Sedangkan Jendra memilih diam di ambang pintu masuk dengan perasaan campur aduk.

"Aya, nggak ada salahnya kan? Aku kenal siapa kamu, begitupula sebaliknya. Ini juga bukan pertama kalinya kita keluar bareng. Terus apa yang bikin kamu keliatannya marah banget hah?"

"Kamu tau kan siapa aku? Udah deh lupain aja ide gila kamu itu,"

Jendra mengerutkan keningnya,"Maksud kamu gimana?"

"Jen dengerin ya, kamu baru aja putus. Gita yang cantiknya kemana-mana aja tiba-tiba kamu putusin. Kenapa hah? Jangan bilang ada sangkut pautnya sama ide kamu ini?"

"Aya, kamu jangan langsung berasumsi kayak gitu. Putusnya aku sama Gita sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama ide aku ini. Aku sama dia putus itu karena udah sama-sama nggak cocok. Sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan apa yang aku sampein ke kamu,"

"Tapi Jen ... "

"Kenapa? Kamu takut?"

Kalya mengembuskan napasnya. Mengalihkan pandangan ke arah lain dengan perasaan campur aduk. Tanpa sengaja pula menggigit bibirnya sendiri untuk melampiaskan rasa gelisahnya.

"Kamu takut aku nggak bisa move on dari Gita terus balik lagi sama dia?"

"Bukan itu,"

"Terus apa?"

"Jendra, banyak loh wanita diluaran sana yang mau nerima kamu jadi bagian hidup mereka. Tapi kenapa kamu milih aku? Seorang wanita yang lagi berjuang sama kandungannya dan—"

"Aku nggak peduli siapa kamu, darimana kamu berasal, masa lalu kamu seperti apa. Yang aku pikirin adalah sekarang dan masa depan. Hanya ada kita berdua dan anak dalam kandungan kamu,"

"Jendra ... "

"Please Aya, kasih aku satu kesempatan untuk membuktikan kalau aku layak buat jagain, bahagiain kamu dan anak kita ya?"

Jendra meraih tubuh Kalyana untuk ia dekap. Menyalurkan rasa hangat akan sebuah ketulusan yang sedang berusaha ia ungkapkan lewat perlakuan kepada kepada si wanita tercinta. Berharap setelah ini, Kalyana akan membuka satu kesempatan untuk dirinya.

"Oke, besok kita ketemu Hardan."

Dan senyum Jendra mengembang mendengar balasan dari Kalyana, yang memang telah ia nantikan tersebut.










Continue Reading

You'll Also Like

455K 34.4K 40
Hidup Linka yang menurutnya flat semenjak keluar dari panti asuhan mendadak berubah saat seorang cowok datang dan mengaku sebagai anaknya. ** Linka t...
43.6K 4.2K 27
Ā° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! Ā° ā€¢ Brothership ā€¢ Friendship ā€¢ Family Life ā€¢ Warning! Sorry for typo & H...
182K 18.1K 70
Freen G!P/Futa ā€¢ peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...