Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(20) Tidak Baik-baik Saja
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(53) Email: Jakarta - New York

1.3K 309 31
By dekmonika

N E X T    Y U K K !

________________________________

"Iya. Al bilang dulu dia pernah ditolong oleh papa kamu saat dia sedang tersesat di jalan. Selain itu, waktu kecil dulu Al juga pernah melihat Pak Ferdinand yang menjemput kamu di rumah nenek kamu waktu itu." Kata Damar bercerita.

"Ohh, begitu ya, Om." Andin seakan kehabisan kata-kata.

Sekebetulan itu kah mereka?

"Iya, Andin."

"Dan kamu tahu? Malam sebelum keberangkatannya kemarin, dia baru cerita ke om kalau gadis kecil itu adalah kamu. Itulah kenapa akhirnya om mengerti, betapa Al sangat mencintai kamu. Kamu adalah malaikat kecilnya yang dulu begitu ia tunggu, namun tidak pernah datang lagi." Lanjut Damar bercerita.

"Bahkan saat kami akan memindahkan Al dan Roy kembali ke Jakarta, Al bersikeras ingin tetap tinggal di Bogor. Dia bilang, dia ingin menunggu temannya yang pada saat itu tidak pernah ia tahu namanya. Tapi saat Om mengatakan, barangkali kalian bisa bertemu lagi di Jakarta, Al pun akhirnya mau." Andin tersenyum simpul dengan rasa haru. Ternyata Tuhan memang menakdirkan mereka untuk kembali bertemu meski dengan jarak yang begitu lama. Apakah itu sebuah pertanda baik?

"Kalau mengingat bagaimana pertemuan kalian sejak kecil, Om merasa dunia ini lucu. Ada saja hal-hal unik terjadi yang seringkali di luar kemampuan manusia menerka. Kalian bertemu dalam suatu kondisi, saling mengenal, saling membantu, lalu kemudian berpisah karena suatu keadaan. Dalam rentang waktu itu, kalian mengalami banyak hal, kejadian membahagiakan, rasa sedih, kecewa, takut, kehilangan, dan segala perasaan yang umumnya dialami oleh manusia. Lalu setelah semua yang terjadi, Tuhan kembali mempertemukan kalian berdua dengan kondisi yang sudah berbeda. Kalian berdua sudah mengantongi fase pendewasaan kalian masing-masing. Mungkin sekarang sudah saatnya kalian menjalani fase berikutnya bersama-sama."

Mata Andin tiba-tiba terasa panas. Perkataan Damar membuat perasaan Andin sungguh campur aduk. Ada perasaan haru, bahagia, namun seakan masih tak percaya. Ternyata di antara pekatnya hidup yang selama ini ia jalani, Tuhan masih menyisakan satu cahaya terang yang dibawa oleh sosok laki-laki yang bernama Aldebaran. Matanya tampak berkaca-kaca.

"Lalu, bagaimana soal papa kamu?" Damar mencoba mengganti topik pembicaraan mereka. Andin menggelengkan kepalanya dengan perasaan bingung. Benar. Andin belum tahu keputusan apa yang ingin ia lakukan pada sang papa.

"Apa kamu akan menemuinya?" Tanya Damar, lagi.

"Aku bingung, Om. Sebenarnya, aku mau memberikan papa kesempatan, tapi aku bingung harus memulainya dari mana."

"Kenapa harus bingung? Kamu bisa mendatangi apartemennya kalau kamu mau. Saya bisa meminta Tommy untuk mengantarkan kamu kesana. Dia tahu tempatnya." Ujar Damar. Andin tampak menyimpan keresahan dari tatapan matanya.

"Tapi Om tidak mau kamu datang dengan terpaksa. Kamu bisa meyakinkan hati kamu dulu." Ucap Damar, tersenyum.

"Papa kamu mungkin sudah banyak melakukan kesalahan. Dia banyak kurangnya. Tidak ada sosok ayah yang bisa menjadi sempurna. Tapi walau bagaimana pun, dia tetap papa kamu. Dialah yang sejak kamu lahir ke dunia menjadi figur ayah dalam keluarga kalian. Memaafkan mungkin bukan sesuatu yang mudah, Om tahu itu. Tapi dengan memaafkan, perasaan kita akan menjadi lega. Sebuah penerimaan itu akan membuat hati kita menjadi lapang menerima apapun kejadian yang sudah Tuhan takdirkan untuk kita. Om tahu kamu memiliki hati yang besar, Andin." Ungkap Damar sambil mengusap pundak gadis itu.

Tatapan pria di depannya itu menyiratkan sebuah keyakinan yang coba ia salurkan pada Andin. Andin menangkapnya dengan baik. Gadis itu tersenyum simpul, seolah meng'iya'kan. Mungkin benar, sudah saatnya ia menatap masa depannya tanpa rasa benci, tanpa terus memelihara rasa kecewa. Andin optimis, ia memiliki masa depan yang indah bersama kekasihnya. Namun sebelum itu, tahapan memaafkan dan penerimaan itu harus ia lalui lebih dulu.

______________________________________

Life is full the sweet mistakes
(Hidup ini penuh dengan kesalahan manis)

And love's an honest one to make
(Dan cinta itu jujur)

Time leaves no fruit on the tree
(Waktu tidak meninggalkan buah di pohon)

But you're gonna live forever in me
(Tapi, kau akan hidup selamanya dalam diriku)

I guarantee, it's just meant to be
(Saya jamin itu yang akan terjadi)

(John Mayer – You're Gonna Live Forever in Me)

Derap langkah kaki Andin terdengar sayup-sayup melewati sebuah koridor kantor. Dengan sebuah senyuman yang terukir indah, gadis itu melangkah dengan pasti dan percaya diri terhadap hari yang akan ia lalui. Ia memberikan senyuman manis dan sebuah anggukan pada setiap orang yang berpapasan dengannya.

Setibanya ia di meja kerja yang menjadi tujuan, Andin melihat ke jam tangannya yang baru menunjukkan pukul 9 pagi. Hari ini kemungkinan besar ia akan menghabiskan waktu di kantor. Ia tidak memiliki jadwal kuliah dan sudah meminta izin kepada Daniel untuk tidak datang ke Coffeshop. Hari ini ia ingin menuntaskan semua pekerjaannya yang tersisa. Sebab hari ini adalah hari terakhirnya bertugas di kantor milik Darwin tersebut.

Sejak kepergian kekasihnya Senin lalu, ia baru bisa berkomunikasi langsung dengan pria itu satu kali melalui video call, sisanya mereka hanya bisa saling berkabar via e-mail. Hal itu sempat membuat dirinya meradang, menyadari betapa penuhnya kesibukan kekasihnya di sana. Namun ia tidak ingin sifat kekanak-kanakannya itu menguasai dirinya.

Di meja kerjanya, ia membuka laptopnya, masuk ke akun email, lalu perlahan membaca ulang beberapa pesan dari kekasihnya lagi, setelah sebelumnya sudah berkali-kali membacanya. Andin membuka salah satu email yang pertama kali Aldebaran kirim untuknya sehari setelah ia tiba di New York.

[ Hai, Andin. Selamat pagi. Walaupun disini baru menjelang malam. Tapi sepertinya malam ini akan terasa sangat panjang, karena disini ternyata sudah memasuki musim dingin.

Apa kabar? Saya harap kamu selalu sehat dan menjalani setiap harinya dengan tersenyum. Meskipun saya akan merasa iri dengan orang-orang disana yang bisa dengan mudah melihat senyuman kamu.

Maaf ya, saya baru bisa mengabari sekarang dan hanya melalui email. Begitu saya tiba kemarin, banyak hal yang langsung harus saya urus. Selain itu, perbedaan waktu antara Jakarta – New York membuat saya harus berpikir berkali-kali untuk menghubungi kalian disana. Saya tidak mau mengganggu waktu sibuk dan rehat kalian.

Oiya, kemarin papa mengirimiku beberapa foto kalian saat sarapan bersama. Kau tahu Andin? Saya bahagia sekali melihatnya. Saya senang melihat perempuan yang saya cintai begitu disayangi oleh orang-orang terdekat saya, terlebih itu adalah mama dan papa. Walaupun sebenarnya saya sedikit iri karena papa dan mama lebih dulu mencicipi sarapan pagi yang kamu buat daripada saya.

Di email yang papa kirim, dia seperti puas sekali mengejek saya, hehe. Tapi tidak apa-apa. Toh, kalau kita sudah menikah nanti saya bisa setiap hari mencicipi sarapan yang kamu buat. Saya janji akan selalu memujinya, sekalipun mungkin sesekali rasanya akan tidak enak.

Andin, kamu tahu? Saya masih amat merasa bahagia mengingat kamu yang sudah menerima lamaran saya. Saya menjadi sangat bersemangat menghadapi hari-hari saya ke depan. Bagaimana dengan perasaanmu? Apa kamu merasakan bahagia yang sama seperti saya?

Saya akan berusaha sungguh-sungguh selama disini, supaya saya bisa lekas pulang. Untuk itu, kamu disana berusaha yang terbaik juga, ya. Selalu bersemangat untuk kelulusan kamu yang sudah ada di depan mata. Karena saya tidak ada disana, saya akan meminta mama, papa, Roy, dan Tommy untuk membantu kamu saat kamu perlu bantuan, termasuk mereka akan membantu kita untuk mempersiapkan segala keperluan pernikahan nanti.

Berjauhan bukan berarti membuat kita tak bisa saling berkabar. Saya akan berusaha mengabari kamu, meskipun mungkin tidak akan bisa setiap hari. Saya akan bercerita tentang apapun yang terjadi di hari-hari saya disini, begitupun dengan kamu yang bisa bercerita tentang apapun. Saya akan tetap ada buat kamu.

Saya tunggu balasan email dari kamu, ya. Salam rindu dari saya yang akan terus merindukan kamu.]

Andin tertawa untuk kesekian kalinya setiap kali membaca ulang email dari sang kekasih. Di saat-saat senggang atau di saat ia sedang merindukan pria itu, maka membaca beberapa pesan email-nya adalah salah satu hiburan bagi Andin. Terlebih untuk menghubungi pria itu secara langsung, baik telepon atau video call tidak bisa semudah saat Aldebaran masih ada di Jakarta. Mungkin itu salah satu cara Tuhan menguji kepercayaan mereka berdua. Bukankah yang paling penting dari sebuah hubungan adalah rasa saling percaya?

Baru jam 9 pagi, berarti di New York baru menjelang malam. Pikir Andin. Gadis itu jadi terpikir untuk membuat sebuah pesan baru untuk kekasihnya. Ia ingin bercerita tentang hari mengesankannya kemarin saat bertemu sang papa. Ya, benar. Andin sudah mengambil keputusannya. Dengan bantuan Tommy yang memberikan alamat apartemen sang papa, Andin telah membulatkan tekadnya untuk mau menemui pria itu kemarin.

[Hai, sayang. Kamu lagi apa?
Kalau aku baru saja sampai di kantor dan sekarang mau cerita dulu ke kamu sebelum mulai kerja. Oiya by the way, hari ini adalah hari terakhirku bertugas di kantor desain Pak Darwin. Aku akan melakukan pekerjaanku berkali-kali lebih baik dari hari-hari biasa. Untuk saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai ungkapan terima kasihku untuknya karena sudah memberiku kesempatan menimba pengalaman di kantornya.

Mas, aku mau cerita. Aku harap kamu turut senang mendengarnya.
Kemarin adalah hari yang berkesan. Kamu tahu kenapa? Aku akhirnya bisa mengalahkan egoku dan menemui papa. Saat tiba di apartemennya, sebenarnya aku masih ragu. Tapi kalimat kamu di surat tempo hari membuatku kembali yakin. Aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya, Mas. Dan kamu benar, setiap orang berhak diberi kesempatan kedua..].

Sembari mulai mengetikkan kata demi kata pada pesan tersebut, ingatan Andin kembali melayang pada momentum kemarin sore, saat ia sudah memberanikan diri memutuskan sesuatu yang besar dalam hidupnya.

_________________________

Andin meremas jari-jari tangannya begitu sampai di depan pintu sebuah apartemen. Tidak, tidak. Ia tidak boleh ragu lagi. Ia sudah membuat sebuah keputusan, maka ia harus bertanggung jawab dengan pilihannya. Gadis itu menghela nafasnya beberapa kali, lalu memberanikan diri menekan sebuah tombol bel yang terletak di samping pintu.

Tak menunggu lama, pintu apartemen itu pun perlahan terbuka. Andin sedikit mendongak melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya. Sosok seorang pria yang berperawakan tinggi dan tampak gagah di usianya yang tak lagi bisa dibilang muda itu. Pria dengan kemeja abu-abu yang lengannya ia singkap. Pria yang memiliki jenggot dan kumis yang agak tipis. Pria itu adalah papanya.

"Andin..." Lirih pria bernama Ferdinand itu dengan tatapan kagetnya. Andin menunjukkan senyuman tipis, balas menatap sosok pria di hadapannya.

"Boleh kita bicara?" Tanya Andin, terus terang. Ferdinand yang sebelumnya tampak terpekur itu, lantas mengusap wajahnya dan mengangguk dengan cepat.

"Ya, tentu, Nak. Kamu mau masuk?" Balas Ferdinand dengan cepat seakan takut jika putrinya itu akan berubah pikiran.

"Boleh."

Ferdinand membuka pintu apartemennya lebar-lebar, seolah mempersilahkan putrinya itu untuk segera masuk. Begitu Andin sudah berjalan masuk lebih dulu, dengan perasaan harunya Ferdinand mengusap kedua matanya yang mendadak terasa panas. Pria itu sungguh tidak menyangka kalau ia akan kedatangan seseorang istimewa itu.

"Papa sudah lama tinggal di apartemen ini?" Sebuah pertanyaan kembali keluar dari mulut Andin, sembari melihat-lihat kondisi di ruang tengah apartemen tersebut. Ferdinand tersenyum haru saat mendengar putrinya itu kembali memanggilnya dengan sebutan 'papa'.

"Iya, Nak. Papa membeli apartemen ini pertama kali saat papa baru keluar dari penjara." Jawab Ferdinand membuat Andin menjeda pergerakannya. Gadis itu mencoba mencerna maksud ucapan itu, tapi ia tidak mengerti. Penjara? Apa maksudnya?

"Penjara?" Andin memutar kembali tubuhnya untuk menghadap sang papa dengan kening yang berkerut, tak mengerti. Ferdinand tercenung. Ia menyadari bahwa putrinya itu tidak tahu-menahu tentang apa yang selama ini terjadi dengannya. Mungkin itulah saat yang tepat untuk ia mulai bercerita.

_____________________________

[. . . Saat mendengar cerita yang selama ini menjadi misteri untukku, jujur, aku kaget dan merasa marah, Mas. Dalam hatiku aku marah pada diriku sendiri karena baru mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku merasa kecewa pada mama dan Om Tama yang turut menyembunyikan kenyataan ini dariku. Tapi setelah kupikir lagi, mereka menyembunyikan hal itu dariku pasti ada alasannya. Apalagi mengingat bagaimana kondisi mama pada saat itu yang sangat embuat cemas.

Tak ada yang sepenuhnya salah kan, Mas? Tidak ada juga yang patut disesali, toh semua sudah terjadi. Selama kesempatan itu masih ada, semua orang boleh memperbaiki kesalahannya. Begitu kan, Mas?

Setelah papa menceritakan semua dengan rasa penyesalannya, aku menangis dan langsung memeluk papa. Ternyata, aku sangat sangat rindu padanya. Aku rindu pelukannya. Aku rindu sentuhannya yang penuh cinta. Aku rindu kalimat-kalimat baik yang keluar dari mulutnya, Mas. Ternyata kamu benar, seberapapun aku membencinya, itu semua tidak akan bisa menghapus perasaan cinta yang ia tanamkan pada diriku sejak aku lahir ke dunia. . . ]

Dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca saat mengingat pertemuannya dengan sang papa kemarin, Andin terus mengetik kalimat-kalimat curhatannya untuk sang kekasih. Sesekali bibirnya tampak mengukir sebuah senyuman manis penuh kelegaan. Ingatannya pun terus melayang...

_________________________

"Papa ingin menunjukkan sesuatu buat kamu." Kata sang papa seolah mengajak putrinya itu untuk megikuti langkahnya menuju salah satu ruangan lainnya. Tanpa ragu, Andin mengekori langkahnya perlahan.

Mereka sampai di sebuah ruangan yang nampaknya adal sebuah kamar milik papanya itu. Ferdinand menunjuk sebuah lemari yang terbuat dari kayu. Lemari itu nampak besar dan kokoh. Andin melihat pada sang papa dengan tatapan seolah sedang bertanya.

"Kamu penasaran?" Tanya Ferdinand. Tentu saja Andin penasaran.

"Kamu boleh membukanya sendiri." Ujar Ferdinand dengan senyumannya.

Meskipun ragu, namun rasa penasaran gadis itu melebihi apapun. Ia sedang bertanya-tanya kira-kira apa yang tersembunyi di balik lemari besar itu? Ah, terus bertanya-tanya hanya akan membuang-buang waktu. Sebaiknya ia langsung membukanya saja.

_________________________

[. . . Kamu tahu, Mas? Di apartemen itu ternyata papa memiliki sebuah tempat penyimpanan kado untuk anak-anaknya yang selama ini tidak pernah sampai ke tangan kami. Hampir enam tahun kami berpisah, ternyata papa tidak pernah lupa dengan hari-hari spesial anak-anaknya. Setiap ulang tahunku dan Baskara, papa memiliki hadiah untuk kami. Bahkan ketika bukan hari spesial pun, dia juga mengumpulkan banyak hadiah untuk kami berdua . . .]

______________________________

"Kenapa papa tidak pernah memberikan hadiah ini langsung pada kami?" Tanya Andin saat membuka salah satu kotak hadiahnya yang berwarna ungu, sesuai warna favoritnya.

"Papa takut, Nak. Penolakan kalian adalah hal yang menakutkan untuk papa. Oleh karena itu, papa hanya berani mengirimkan hadiah-hadiah ini melalui pos, meskipun akhirnya papa tahu hadiah ini akan berbalik ke apartemen ini lagi." Ungkap Ferdinand.

"Dan ketakutan papa itu terbukti saat untuk pertama kalinya papa muncul di hadapan kamu waktu itu, setelah sekian lama. Papa kalian ini terlalu pengecut untuk memulai lagi semuanya, Andin. Maafkan papa." Ferdinand tertunduk, menyesal.

Mendengar semua cerita yang diterangkan oleh pria itu membuat Andin harus kembali membesarkan hati. Apa yang terjadi memang sulit untuknya mengerti. Tapi kembali lagi, ia sudah memutuskan pilihannya. Bukan lagi saatnya untuk terus menengok ke belakang, seolah mencari-cari apa dan siapa yang patut disalahkan. Kini, saatnya ia melihat masa depan yang jalannya terhampar luas dan indah. Menerima dan memaafkan adalah pilihan terbaik.

_________________________________

[. . . Setelah ia banyak bercerita, ia mencetuskan ide untuk kami makan malam bersama. Aku menyetujuinya, Mas. Dia mengajakku ke sebuah mall dan membebaskan aku yang memilih resto dan menu apa yang akan kami santap. Aku pun memutuskan untuk makan di resto tempat kita makan sushi waktu itu. Ya itung-itung jadi sedikit penawar kangen aku ke kamu. Tapi setelah kupikir-pikir, papa dan kamu ternyata memiliki kesamaan lain, selain kalian sama-sama laki-laki, hehe. Kamu dan papa punya tatapan teduh yang sama pada perempuan yang kalian cintai. Hufft, aku jadi makin kangen sama kamu.

Setelah makan malam bersama, aku dan papa terus menjelajahi mall hingga larut malam. Barangkali waktu yang singkat itu bisa sedikit menebus banyak waktu yang tidak kami lalui bersama-sama. Aku mengajaknya untuk menyambangi beberapa timezone di mall itu. Aku ingat sewaktu kecil dulu, setiap kali papa membawaku ke mall, dia yang paling bersemangat untuk mengajakku bermain.

Kami bermain street basketball, monster drop extreme, bahkan papa berinisiatif sendiri untuk memainkan capitan boneka. Dia berusaha keras puluhan kali demi mendapatkan satu boneka untukku. Di antara waktu yang bergulir itu, aku seperti kembali menjadi putri kecilnya yang dulu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Ternyata, papa tidak pernah berubah, Mas.]

__________________________________

"Maaf ya, Pa..." Ucap Andin sambil memeluk boneka yang baru saja didapatkan oleh sang papa.

"kenapa minta maaf?" Tanya Ferdinand, heran.

"Maaf karena aku sudah mengajak papa ke tempat ini. Aku jadi kayak anak kecil lagi ya, Pa? Papa malu nggak?" Mendengar ucapan itu membuat Ferdinand tertawa sambil mengacak pelan rambut putrinya.

"Kenapa harus malu? Bagi papa, kamu akan selamanya menjadi putri kecilnya papa, Nak."

"Nggak selamanya dong, Pa. Kalau nanti aku sudah menikah, aku bukan lagi putri kecilnya papa." Bantah Andin.

"No. Sekalipun kamu sudah menikah, bagi seorang ayah, anak perempuannya akan tetap menjadi ratu dan putri kecil selamanya." Balas Ferdinand. Andin menatap sang papa begitu lekat dengan tersenyum simpul. Entah mengapa, kalimat itu membuat perasaan Andin menjadi hangat.

___________________________________

[. . . Pertemuan kami di malam itu ditutup dengan ideku untuk menonton film bioskop. Aku hanya tidak menyangka bahwa kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu bersama papa masih tersedia untukku. Hidup memang penuh misteri ya, Mas. Papa yang memberikan pengkhianatan terdalam di hidupku, ternyata masih bisa menumbuhkan rasa cinta yang kupikir sudah mati.

Hingga pada akhirnya papa harus pergi lagi, maka tidak ada rasa sesal di dalam hatiku. Aku bisa mengenang hari kemarin menjadi sesuatu yang berharga yang aku sebut sebagai 'one fine day with papa'.

Mungkin itu dulu yang mau aku ceritakan padamu, Mas. Semoga kamu ikut merasakan bahagia yang aku alami, ya. Di lain hari nanti, mudah-mudahan masih banyak hal bisa aku bagi ke kamu.

Saatnya aku mau beres-beres barang-barang dulu sebelum benar-benar meninggalkan kantor ini. Jaga kesehatan kamu ya, Mas. Kalau capek, istirahat sebentar. Kalau malas, ingat lagi tujuan kamu disana mau apa. Aku tahu kamu bisa. Kamu salah satu laki-laki hebat dan terbaik yang pernah aku kenal, Mas. Terima kasih untuk semua pelajaran dan nasihat hidup yang kamu beri ke aku selama ini. Aku mencintaimu.]

Begitu selesai mengirimkan email untuk kekasihnya, Andin mengambil sebuah kotak yang telah berisi beberapa barang-barang pribadi miliknya yang selama satu bulan itu menemaninya di kantor tersebut. ada bingkai foto, kamera polaroid, beberapa buku catatan, ada kumpulan beberapa berkas juga.

Ia mengambil kamera tersebut dan tampak mencoba mencetak beberapa foto yang ia kirim dari ponselnya. Foto yang baru tercetak itu menampilkan ia dan sang papa yang saling memeluk dan satunya lagi menampilkan wajah jelek keduanya. Andin terkekeh melihatnya.

Tak lupa ia juga mencetak beberapa fotonya bersama sang kekasih, dan beberapa lagi fotonya bersama rekan kerja di kantor tersebut, termasuk saat sedang menjalankan misi projek bersama Darwin di Bandung waktu itu. Andin akan menyimpan kumpulan foto yang kelak akan mejadi kenangan manis baginya.

"Andin, sepuluh menit lagi meeting kita mulai, ya." Ujar seseorang yang tiba-tiba melintas di antara meja kerja mereka. Dia adalah darwin, atas mereka semua.

"Baik, Pak." Sahut Andin, tersenyum.

Andin meletakkan kotak itu lagi ke bawah setelah memasukkan beberapa foto polaroid tadi ke dalamnya. Ia meraih beberapa map berisi dokumen penting yang sudah siap di atas mejanya. Dengan penuh percaya diri, Andin beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju sebuah ruangan meeting.

Setelah semua yang terjadi, ada banyak pelajaran yang Andin dapatkan. Salah satu di antaranya, perihal cara menerima dengan lapang apa yang sudah terjadi di dalam hidup yang berjalan. Tentu pelajaran itu tak bisa ia dapatkan sendirian. Ada banyak orang yang mengambil peran, namun keputusan akhir tetap berada di tangannya. Kelak, orang-orang itu akan menciptakan banyak kisah terbaik dalam hidupnya.

Temui angin yang menggetarkan sayapmu

Terbangkanlah

Hingga waktunya mendarat di mimpimu

Warna pelangi

Membentang bisik nurani

Dengarkanlah

Bisikan mimpi yang mengitari hati

Huuu – uuu

Dengarkanlah

Kisah terbaik adalah kisah

Yang berliku dan penuh warna

Hati yang baik, bersinar terang

Di antara belukar dunia

(Chiki Fawzi – Belukar Dunia)

_____________Masih Bersambung____________

Insyaallaah, 3 part menuju ending ya, readers wkwk

Selamat membaca dan selamat menghibur diri sendiri...

Besok kalau nggak sibuk sibuk amat mau nyelesein part berikutnya sekalian update🤣🤣

Continue Reading

You'll Also Like

57.1K 5.9K 19
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
189K 9.2K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
92.7K 15.9K 24
Kecelakaan pesawat membuat Jennie dan Lisa harus bertahan hidup di hutan antah berantah dengan segala keterbatasan yang ada, keduanya berpikir, merek...
102K 10.9K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...